Bab 12
Anna menarik pintu, membuatnya berayun terbuka. Dan dua orang tengah berdiri di hadapannya.
"Se-selamat malam pangeran ... dan Nyonya ...," Anna menunduk kikuk sambil mempersilakan kedua tamunya masuk.
"Dia gadis yang sudah kuceritakan padamu, Nek," ujar Andrew riang.
"Cantik juga. Matamu memang jeli," Nenek Amery terkekeh.
Mendengar itu, Anna pun tersipu malu. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ternyata benar apa yang disampaikan oleh Alice. Sepertinya sang pangeran menaruh hati padanya.
"Dia juga seorang penyihir penyembuh," sambung Andrew lagi.
"Ya, dia yang beberapa hari ini menjadi buah bibir di seluruh kota bukan?" Seulas senyum ramah tersungging di bibir Nenek Amery. Ia lalu duduk di sebuah kursi yang ada di sana.
"Duduklah, Manis," ujarnya pada Anna.
Anna pun duduk di sebuah kursi yang lain dengan kikuk.
"Jadi, seperti yang sudah pernah disampaikan oleh Andrew, saat ini sang raja sedang sakit misterius. Kuharap kau bersedia membantu," ujar Nenek Amery langsung pada intinya.
"Te-tentu saja, Yang Mulia," sahut Anna terbata. "Apakah hamba bisa melihat kondisi beliau?"
"Jadi begini ...," Nenek Amery berdehem sejenak. "Sang ratu tak begitu menyukai penyihir berada dalam lingkaran dekatnya. Aku sudah beberapa kali mengatakan kepadanya bahwa tak semua penyihir itu jahat, tapi dia keras kepala. Anakku itu selalu bersikeras bahwa sebaik apa pun seorang penyihir, tak pernah ada yang tahu apa yang ada dalam benaknya. Ia selalu mengambil kasus Hans Cornell sebagai contoh. Penyihir itu telah berkhianat dengan membunuh tuannya sendiri." Nenek Amery mendesah berat.
Meski paham siapa Hans Cornell yang sedang dibicarakan, Anna memilih bungkam. Ia lalu bertanya lagi, "Lalu bagaimana hamba bisa membantu?"
Nenek Amery terdiam sejenak sebelum berkata, "Kau bisa membuat ramuan Arsimilia bukan?"
Pertanyaan itu sontak membuat Anna terkejut.
"Meski bukan penyihir, setidaknya aku memiliki sedikit pengetahuan mengenai dunia sihir," jelas Nenek Amery.
"I-iya, aku bisa membuat ramuan itu," sahut Anna tergagap.
"Besok lusa akan ada seorang tabib dari negeri seberang yang datang untuk memeriksa kondisi raja. Kau buatlah ramuan itu dan menyamarlah menjadi sang tabib."
"Baik, Nyonya, tapi hamba akan membutuhkan kulit bunglon, kepompong dan sebagian kecil dari tubuh tabib itu. Bisa berupa kuku, rambut, atau darah."
"Andrew akan menyiapkan segala yang kau butuhkan. Benar begitu?" Nenek Amery menoleh pada cucunya.
Andrew pun mengangguk tegas. "Aku akan menyuruh pengawal yang paling terpercaya untuk mengumpulkan bahan-bahannya dan menyergap tabib itu saat sedang dalam perjalanan."
"Jangan lupa, sampaikan juga pada pengawalmu untuk tidak menyakitinya," tambah Nenek Amery.
"Tentu saja. Jangan khawatir soal itu," sahut Andrew.
Kemudian, pada saat yang bersamaan, terdengar suara ketukan di pintu. Andrew pun berdiri untuk melihat siapa di sana.
Rupanya Alice datang membawakan makan malam. Namun, kali ini porsi untuk dua orang. Dengan sigap, pelayan itu pun menata hidangan di meja.
Suasana hening sejenak. Sambil melakukan tugasnya, Alice sempat bertukar lirikan dengan Anna sekilas.
Lalu, setelah semua piring tertata rapi, Alice pun membungkuk hormat untuk mohon diri.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Nenek Amery juga bangkit dari kursinya sambil berkata, "Baiklah, kurasa hanya itu yang bisa kusampaikan. Silakan menikmati kebersamaan kalian." Wanita tua itu lalu tersenyum dan segera pergi.
Sepeninggal Alice dan Nenek Amery, tinggallah Anna berdua bersama Andrew duduk saling berhadapan. Suasana pun mendadak berubah canggung.
Anna beringsut beberapa kali memperbaiki posisi duduknya. Jantungnya kembali berdebar begitu kencang, sementara keringat dingin mulai terasa membasahi wajahnya.
"Makanlah," ucap Andrew membuka percakapan.
"B-baik, Pangeran,"
"Andrew saja." Ia mengingatkan.
Anna tertunduk dalam diam. Ia memilih memotong ayam panggang di hadapannya lalu menyuapkannya ke dalam mulut dengan gugup. Entah kenapa, jantungnya seperti tak sudi berkompromi untuk setidaknya berdetak secara normal.
"Jadi dari mana asalmu?" Pertanyaan sesederhana itu sudah membuat Anna hampir tersedak.
"A-Arven-d-dale," gagap Anna.
Andrew tersenyum simpul. "Kenapa kau tampak sangat gugup?"
"Ma-af, Pangeran, mm-aksudku, Andrew. Sejujurnya, aku pun tak tahu. Mungkin aku hanya belum terbiasa."
"Kalau begitu kita harus lebih sering makan berdua. Agar kau terbiasa," sahut Andrew sambil terkekeh.
"K-kalau boleh tahu, kenapa makan bersamaku di sini?" tanya Anna lirih hampir tak terdengar.
"Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh. Sejujurnya ... aku tertarik denganmu."
Jawaban itu sontak membuat pipi Anna merona merah. Ia kembali menunduk, berusaha menutupi reaksi berlebihan dari tubuhnya. Rupanya apa yang dibicarakan Alice bukan omong kosong belaka.
"T-tapi ibumu? Bukankah ia membenci penyihir?"
"Kurasa dia hanya lebih sering bertemu dan mendengar berita tentang penyihir jahat. Aku berharap kau bisa membuktikan bahwa persepsinya itu salah," tegas Andrew.
"Aku berpikir untuk memperkenalkanmu padanya setelah kau berhasil menyembuhkan ayah. Dengan begitu, ibu akan bisa melihat sisi baik dari seorang penyihir."
Anna kembali terdiam sambil menyuapkan kembali makanannya. Entah kenapa selera makannya benar-benar hilang. Ayam panggang lezat di hadapannya justru terasa hambar.
"Lalu apa yang membawamu kemari?" tanya Andrew lagi.
"Err ... a-aku ... aku ...," Alih-alih menjawab, Anna justru terdiam. Ia tak tahu apakah menceritakan petualangannya bersama Peter akan menjadi jawaban yang bijak. Ia meremas jemarinya sendiri yang kini terasa basah oleh keringat.
"Aku apa?" desak Andrew.
"A-aku, dijual sebagai budak. Aku melarikan diri dari tuanku dan ditangkap oleh para gerpa." Akhirnya gadis itu memutuskan untuk berbohong saja.
"Lalu, orang tuamu?"
"Mereka sudah ..." Jawaban Anna terdengar seperti mengambang di udara. Ia lalu memilih untuk menunduk sambil menekuri piring makanannya.
"Maaf, aku tak bermaksud," jawab Andrew. Dari nada suara dan air muka lawan bicaranya, sang pangeran bisa memahami bahwa orang tua Anna telah tiada. "Ternyata masa lalumu begitu kelam," lirihnya prihatin.
"Mulai sekarang kau tak perlu takut lagi. Aku akan menjagamu." Tegas Andrew.
"Te-terima kasih ...," sahut Anna.
"Apakah makanannya tak enak? Kau tampak tak berselera?"
"B-bukan begitu ... aku menyukainya." Anna memakasakan seulas senyum seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Baguslah. Aku sudah meminta koki terbaik kerajaan untuk memasak hidangan ini." Andrew tersenyum lagi. Begitu ramah.
Mendengar itu, Anna justru merasa semakin sungkan. Ia, yang selama ini hidup sebagai pelayan rendah—bahkan pernah dijual sebagai budak—kini diperlakukan dengan begitu istimewa oleh seorang pangeran. Hatinya terasa seperti melambung tinggi di awan sekaligus membuatnya begitu kikuk.
"Ayo habiskan." Andrew yang telah menandaskan makanannya sendiri kini menyesap anggur sambil memandangi Anna yang masih berkutat dengan ayam panggang miliknya.
Anna mengangguk pelan lalu memaksakan diri untuk melahap sisa makanannya. Meski perasaannya sedang campur aduk, ia tak ingin mengecewakan sang pangeran yang telah begitu baik terhadapnya.
"Kau suka anggur?" Melihat piring Anna telah kosong, Andrew menawarkan minuman pada perempuan itu.
Anna menyeka mulutnya sekilas lalu mengangkat bahu. "Entahlah, aku hanya pernah meminum anggur berkualitas rendah."
"Kalau begitu cobalah. Kau akan menyukainya. Ini anggur yang sangat baik." sambil berujar, Andrew segera menuangkan minuman itu ke gelas Anna.
"T-tidak perlu, biar aku saja." Merasa sungkan, Anna pun berusaha mengambil botol itu dari tangan Andrew. Sensasi aneh tiba-tiba terasa ketika jari keduanya saling bersentuhan.
"Ma-maaf," ujar Anna lalu segera menarik tangannya.
Andrew tersenyum sekilas lalu mendorong botol anggur itu mendekat pada Anna. Gadis itu lalu segera menuangkannya sendiri.
Berikutnya, cairan kemerahan yang mengalir melalui kerongkongannya, membuat tubuh Anna terasa menghangat.
"Kau suka?"
Anna mengangguk sambil tersenyum "I-iya, rasanya unik tapi ini lezat." Ia pun menyesap kembali anggurnya.
Andrew membalas senyuman Anna, lalu berkata, "Baiklah, kurasa hari telah larut. Aku akan kembali ke kamarku."
"Ah, iya. Terima kasih, Andrew." Anna akhirnya berhasil menyebut nama sang pangeran secara langsung. Sedikit anggur tampaknya berhasil membantu gadis itu merasa lebih rileks.
"Jangan lupa rencana kita besok lusa." Setelah berujar, Andrew tersenyum lagi lalu pergi meninggalkan Anna sendiri di kamarnya.
Sepeninggal sang pangeran, gadis penyihir itu mendudukkan diri di tepi kasur sambil menghela napas panjang. Ia melamun sambil menyesap lagi anggurnya. Perasaannya campur aduk antara lega, gembira, was-was, dan bingung.
Belum lama melamun, tiba-tiba pintu kamar Anna menjeblak terbuka. Alice muncul dari balik pintu dengan mata berbinar. "Bagaimana? Kau berhasil menaklukan hati sang pangeran?" tanyanya langsung ke intinya.
"Eeh, i-itu ... a-aku tidak tahu," sahut Anna tergagap karena kaget dengan kedatangan Alice yang tiba-tiba.
"Hahaha ... kenapa kau jadi kikuk begitu? Aku yakin kau berhasil. Aku lihat air muka pangeran begitu cerah tadi."
"B-begitukah?"
"Tentu saja! Kau meragukan instingku?" kekeh Alice sambil membereskan peralatan makan dari meja.
Anna terdiam sejenak. "Menurutmu apakah aku pantas menjadi pendamping bagi seorang pangeran yang kelak menjadi raja? Maksudku, aku hanya seorang pelayan," gumam Anna sambil membantu Alice membereskan meja.
"Tentu saja! Kau cantik, baik dan berbakat! Tak ada yang lebih pantas dari dirimu," sahut Alice bersemangat.
"Benarkah?" Anna lalu terdiam sejenak sementara Alice menatapnya sambil tersenyum.
"Kemarilah, kubantu kau mengganti bajumu," ujar Alice kemudian.
"Baiklah," sahut Anna. Setelah itu ia kembali larut dalam diam. Pikirannya melayang jauh menembus waktu, kembali ke masa lalu kala dirinya masih bersama Peter. Debar jantung waktu pertama kali mereka tak sengaja saling bertatap, sampai ketika Peter mengajaknya ikut bertualang bersama; juga saat hatinya begitu sedih melihat Peter dihajar oleh sang pemimpin orc. Semuanya masih terekam begitu jelas dalam memorinya.
"Menurutmu apa yang akan terjadi kalau aku menolak seorang pangeran?" Pertanyaan Anna yang tiba-tiba itu sontak membuat Alice terbelalak.
"K-Kau tidak serius bukan?"
"Eeh ... te-tentu tidak. Aku hanya asal bertanya."
Alice mengembuskan napas lega. "Jangan pernah berpikir seperti itu!" ujarnya tegas. Anna pun mengangguk cepat.
Setelah itu, Alice keluar dari kamar sambil membawa peralatan makan untuk dicuci.
Sepenuhnya sendiri, Anna merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Pikirannya kembali berkecamuk dipenuhi segala kemungkinan yang bisa terjadi mengenai hubungannya dengan Peter dan Andrew. Ia kini harus memilih salah satu dari antara keduanya.
Meski kaya dan berkuasa, kehidupan kerajaan yang dipenuhi dengan aturan-aturan ketat rasanya kurang cocok bagi Anna yang sejak kecil terbiasa hidup bebas. Namun, sang pangeran telah menyelamatkan nyawanya dan memperlakukan dirinya dengan begitu baik. Anna bukanlah orang yang tak tahu balas budi. Ia juga tak ingin mengecewakan kebaikan hati sang pangeran.
"Aargh ..." Anna menggeram frustrasi melampiaskan kegalauan hatinya. Apa yang harus kulakukan? tanyanya pada diri sendiri.
Tak kunjung menemukan jawaban, Anna memilih memejamkan mata dan berusaha tidur. Namun, pikirannya terus mengganggu, membuatnya tetap terjaga. Ia baru berhasil terlelap ketika sudah lewat tengah malam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro