Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa hari ke timur laut, Susan dan Fiona akhirnya tiba di Tunsteen, sebuah kota nelayan yang terletak dekat pantai. Saat itu sudah hampir sore ketika terjadi sebuah kericuhan.

"BERHENTI! PENCURI!" teriak seorang pria sambil berlari terengah-engah.

Sementara itu, sang pencuri berlari gesit menghindari kejaran orang-orang yang ingin menangkapnya. 

Susan dan Fiona yang berada tak jauh dari situ segera bersembunyi di balik tembok sambil menunggu kedatangan sang pencuri.

Ketika targetnya sudah dekat, Fiona sengaja mengulurkan kaki untuk menjegalnya. 

Tidak sempat menghindar lagi, pria berpenutup wajah itu pun jatuh tersungkur ke tanah sementara orang-orang berhasil mengepungnya. Pencuri itu akhirnya berhasil ditangkap berkat bantuan Fiona.

Para warga lalu membawa kriminal tadi pada penguasa wilayah untuk dihukum, sementara kantong emas yang dicuri dikembalikan pada sang empunya.

"Terima kasih atas bantuanmu," ujar sang pemilik keping emas pada Fiona. "Namaku Garnett, apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan Anda?" ujarnya lagi. Penampilannya agak kumal, sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang memiliki uang.

"Entahlah ... sebenarnya kami berniat menyeberang, apa kau bisa membantu?" sahut Fiona ragu. 

"Ah, kebetulan sekali, aku adalah seorang awak kapal yang ditugaskan membeli roti untuk bekal perjalanan. Tuanku pasti bisa membantu. Ke mana kalian berniat menyeberang?"

"Kami bermaksud menyeberang ke Pulau Barnes."

Jawaban Fiona itu sontak membuat Garnett terkejut. Keningnya mengernyit tidak percaya. "K-kurasa itu bukan ide bagus. Maaf, tapi sepengetahuanku, pulau itu sangat mengerikan. Sudah belasan tahun ini tak pernah ada yang berkunjung ke sana."

"Kami memiliki urusan serius di sana." Tak terpengaruh perkataan Garnett, Fiona menjawab datar.

"B-baiklah kalau begitu, biar Tuanku saja yang memutuskan. Ayo, ikut aku." Garnett pun beranjak pergi. Ia mampir ke sebuah toko roti untuk membeli pesanan tuannya, lalu melangkah menuju dermaga. Sementara itu, Susan dan Fiona mengekor di belakangnya.

"Ini pesanan Anda, Tuan." Setibanya di dermaga, Garnett menyerahkan roti yang dibelinya tadi pada seorang pria berjenggot dengan bekas luka di wajahnya. "Oh ya, wanita ini sudah membantuku tadi." Garnett pun menceritakan peristiwa penjambretan yang menimpanya. 

Sementara itu, Susan tampak menatap pada sang kapten kapal dengan penasaran. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, gumamnya dalam hati.

"Ah, terima kasih," ucap sang kapten pada Fiona, lalu ia ganti menatap pada Susan. "Kau? Sepertinya aku mengenalmu," ujarnya ragu.

"Ya, aku pun merasa tak asing dengan wajahmu. Namaku Susan," Gadis itu memperkenalkan dirinya.

"Ah iya! Kita pernah bertemu di penginapan milik Ogier!"

"Berinon? Tentu saja! Bagaimana aku bisa lupa?" Susan menepuk dahinya sendiri. "Jadi kau sudah kembali berlayar?"

"Ya, berkat emas pemberian Tuan Gideon, aku bisa mendapatkan kembali sebuah kapal." Berinon tersenyum renyah. "Lalu apa yang membawamu kemari?"

"Kami bermaksud menyeberang ke Pulau Barnes,"

Mendengar jawaban itu, air muka Berinon sontak berubah. "Kau tidak mungkin serius!" tegasnya.

"K-Kenapa tidak?"

"Pulau itu tak akan membiarkan siapa pun lolos." desis Berinon lirih.

"Maksudmu?" tanya Susan ragu.

"Kau mengerti maksudku. Belum pernah ada yang bisa kembali setelah pergi ke sana. Meskipun dulu pulau itu berada di bawah kekuasaan para gerpa, sudah belasan tahun ini tak ada lagi yang pergi ke sana. Menurut rumor yang beredar, pulau itu telah dikuasai para hantu. Aku sarankan batalkan saja niat kalian pergi ke sana."

"Huh, kurasa hantu tak benar-benar ada. Itu hanya cerita untuk menakut-nakuti anak kecil," sanggah Fiona. "Ada hal penting yang harus kami lakukan di sana."

"Pikirkan sekali lagi. Apakah hal itu lebih penting dari nyawa kalian?"

Sementara itu, Susan terdiam cukup lama sambil menatap bibinya. Pikirannya berkecamuk karena mendengar peringatan Berinon.

Di tengah keraguannya itu, bayangan Anna yang diikat di tiang bakar tiba-tiba muncul berkelebat dalam benaknya. Tangisan pilu sang sahabat yang kembali terngiang jelas pada akhirnya membulatkan tekad Susan. Ia harus melakukan sesuatu atau para penyihir akan selalu mendapatkan citra negatif dan perlakuan yang buruk.  

"Kami yakin!" tegas Susan.

Mendengar itu, Berinon pun mengembuskan napas panjang. "Baiklah, jika kalian bersikeras. Sebagai bentuk terima kasih karena telah membantu anak buahku mendapatkan kembali emasnya, aku akan mengantarkan kalian ke Pulau Barnes. Tapi ingat, aku tak akan ikut turun di sana. Aku tak mau terlibat dalam masalah kalian."

"Baiklah ... terima kasih," sahut Susan dengan seulas senyum tipis. Ia bersyukur karena setidaknya sudah mendapatkan tumpangan gratis untuk menyeberang.

Setelah itu, mereka pun naik ke atas kapal untuk memulai pelayaran ke Pulau Barnes. Angin laut bertiup cukup kencang, membantu kapal untuk melaju lebih cepat. Sang mentari telah tenggelam, tergantikan sinar lembut bulang purnama yang terpantul indah di atas gelombang laut. Debur ombak terdengar bak simfoni ritmis yang terasa menenangkan jiwa. Entah petualangan apa lagi yang bakal menanti, Susan telah bertekad untuk menaklukkannya.

Tunggu aku, Ayah. Kita akan segera bertemu ... gumamnya dalam hati.

***

Sementara itu di kastel Kingsfort, Anna mendapatkan pelayanan yang istimewa layaknya seorang putri bangsawan. Tanpa diminta, Alice selalu datang mengantarkan makanan atau seember air untuk Anna membersihkan diri. Mereka pun mendapat kesempatan untuk saling bertukar cerita satu sama lain. Terutama kisah petualangan Anna yang membuat Alice begitu terpukau.

Sore itu, Alice kembali datang mengunjungi Anna. Namun, bukan makanan yang ia bawa kali itu, melainkan sebuah gaun berwarna merah muda.

"Untuk apa gaun itu?" tanya Anna penasaran, sementara Alice hanya tersenyum penuh arti.

"Bersihkan tubuhmu dan pakailah gaun ini."

"Tapi kenapa aku harus memakainya?"

"Ini dari pangeran," bisik Alice masih dengan senyum tersungging di bibir. Gadis pelayan itu terkikik sambil mencolek pipi Anna. 

"Ini luar biasa. Aku akan berkawan dengan seorang permaisuri." Keceriaan jelas terpancar dari wajah Alice. Ia tak pernah membayangkan hidupnya sebagai pelayan bisa berubah drastis seandainya Anna benar-benar menikah dengan sang pangeran.

"Sudah, berhentilah berkhayal. Mana mungkin seorang pangeran menyukaiku yang hanya seorang gadis biasa," jawab Anna kesal, sementara wajahnya mulai merona.

"Lihat saja, pipimu sudah memerah seperti tomat," goda Alice sambil tersenyum jahil.

"Nakal sekali kau!" Anna pun menghambur pada Alice lalu menggelitikinya gemas. Keduanya pun tertawa-tawa penuh canda.

"Sudah-sudah, kau harus segera mandi dan mengenakan gaun itu, atau ...," Alice menjeda kalimatnya.

"Atau apa?" desak Anna.

"Atau aku tak akan memiliki kawan seorang ratu." Alice tertawa lagi sambil berlari ke sudut ruangan, menghindari Anna yang bermaksud memukulinya.

"Cukup-cukup, kau menyakitiku," pinta Alice. Napasnya tersengal-sengal karena terlalu banyak tertawa. "Lihat ini, aku sampai menangis," ujarnya lagi.

"Huh, baiklah, kali ini aku mengampunimu! Awas, kalau sampai kau berbuat nakal lagi, aku akan memerintahkan pasukan untuk memenjarakanmu!" tegas Anna berlagak seperti layaknya seorang ratu. Mereka lalu tertawa sekali lagi sebelum akhirnya Anna menurut untuk segera mandi. Alice membantu sambil terus menggoda dengan memperlakukan Anna bak seorang ratu.

Usai mandi, Alice membantu sahabatnya mengenakan gaun pemberian sang pangeran, lalu menata rambut Anna layaknya seorang putri bangsawan.

"Kau cantik sekali," gumam Alice sambil mengenakan sebuah tiara di atas kepala Anna. "Baiklah, tugasku sudah selesai. Bersiaplah. Pangeran bisa datang kapan saja. Aku harus pergi, masih ada hal lain yang harus kukerjakan." Setelah itu, Alice pun meninggalkan Anna sendiri dalam kamarnya.

Sepeninggal Alice, Anna terdiam sambil memandangi wajahnya dari pantulan sebuah cermin. Gara-gara Alice, pikirannya kini melayang tinggi membayangkan dirinya duduk di takhta sebagai seorang ratu. Meski bayangan itu sangat indah---setidaknya bagi kebanyakan orang---Anna tak bisa sepenuhnya gembira. Jauh dalam lubuk hatinya, ia masih memendam rasa terhadap Peter. 

Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kau baik-baik saja? batin Anna dalam hati. Kini pikirannya berkecamuk hebat. Bermacam pertanyaan berkelebat di dalam benak. 

Bagaimana jika pangeran benar-benar menyukaiku? Apakah aku harus menerimanya dan meninggalkan Peter? Ataukah aku harus menolak pangeran? Tapi dia sudah menyelamatkan nyawaku? Anna mendesah berat. Ia benar-benar tak tahu bagaimana harus bersikap. 

Di tengah lamunannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar.

Itu pasti pangeran, batin Anna sambil beranjak dari tempatnya duduk. Dan detik itu juga, jantungnya terasa berdebar begitu kencang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro