Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih seminggu, pasukan Eric akhirnya tiba di hutan perbatasan wilayah Kilead. Karena hari sudah mulai gelap, sang kesatria pun memerintahkan pasukannya untuk mendirikan tenda di situ.

Sementara itu, Borin yang berniat buang air pergi meninggalkan perkemahan untuk mencari tempat sepi di dalam hutan. Sinar lembut sang rembulan menembus celah dedaunan, menggantikan terik mentari yang baru saja lingsir ke peraduannya. Suara binatang-binatang malam pun mulai terdengar. Ditambah gemeresak daun kering yang tertiup angin, suasana jadi terasa agak mencekam bagi Borin. Entah mengapa, ia merasa ada sosok lain yang sedang mengawasi. Bulu kuduknya sontak terasa meremang.

Usai menyelesaikan urusannya, Borin berniat untuk segera pergi. Namun, baru saja hendak melangkah, ia dikejutkan oleh sesosok serigala besar berbulu keperakan yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Sambil menggeram, binatang itu memamerkan taringnya yang tajam berliur.

"T-TOLOONG!" Borin sontak berteriak dan segera mengambil langkah seribu. Sementara itu, sang serigala mulai melompat menerkam.

Diselimuti kegelapan malam, Borin lari pontang panting menerobos rapatnya ranting pohon dan melompati akar-akaran. Dalam waktu singkat, wajahnya yang bulat pun basah bercucuran keringat. Bayangan dirinya saat dikejar harimau beberapa bulan yang lalu di pulau Amui terlintas kembali dalam benaknya. Namun, kali ini ia sendiri. Tak ada Peter, Anna, Susan, apalagi Pogna yang dapat membantu.

Apakah aku akan mati sekarang? pertanyaan itu seketika terlintas dalam benaknya.

Ketika seekor serigala saja sudah membuat Borin ketakutan setengah mati, kini malah muncul dua ekor lagi dari sisi kiri dan kanannya. Borin pun tak memiliki pilihan selain berlari sekuat tenaga, masuk lebih dalam menembus rimbunnya hutan.

Setelah berlari begitu jauh, Borin merasa staminanya terkuras habis. Kedua kakinya pun terasa kebas. Namun anehnya, ketika kecepatan larinya sudah begitu pelan, serigala-serigala itu tidak menerkam, bahkan justru ikut melambat. Hingga akhirnya Borin tak kuat lagi dan jatuh tersungkur ke tanah. Anak itu tak sanggup berpikir apa pun lagi. Ia pasrah.

Serigala-serigala itu mendekati tubuh Borin yang tergolek lemah di tanah. Namun, alih-alih menerkam dengan cakar dan taring mereka, ketiganya justru menjilati tubuh Borin dan melompat-lompat seperti kegirangan. Borin hanya bisa melongo tak mengerti.

"Borin? Kau kah itu?" Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Borin yang masih terduduk keheranan. Anak itu pun menoleh ke arah sang sumber suara.

Sesosok wanita paruh baya berambut cokelat bergelombang tampak berdiri di sana, bersama dengan seorang lelaki cebol berjenggot di sampingnya. Tanpa menunggu lama, sang wanita segera berlari menghambur ke arah Borin lalu menangkupkan kedua tangan di pipi pemuda itu. Sang wanita lalu menggerakkan kepala Borin ke kanan, kiri, atas dan bawah, seperti sedang menyelidiki dengan seksama.

"T-tu-nngh-u, s-sia-ph-a kh-au?" Suara Borin terdengar tak jelas karena pipinya yang tertekan.

Alih-alih menjawab, wanita itu justru tertarik ketika melihat sebuah sapu tangan yang tersembul dari balik baju Borin. Matanya berbinar ceria.

"Lihat sapu tangan ini?! Dia memilikinya! Dia Borin! Dia benar-benar Borin! Dia anak kita!" Wanita itu berseru memanggil sang pria cebol, yang langsung berlari tergopoh menyusul istrinya.

Mendengar itu, Borin sontak terkaget-kaget. Wanita yang memelihara serigala, beserta seorang pria cebol berjanggut tebal adalah orang tuanya? Sebuah fakta yang tak mudah diterima dengan akal sehatnya.

"Ayo, ikutlah ke rumah." Sambil tersenyum, sang wanita mengulurkan tangannya untuk membantu Borin berdiri.

"Perkenalkan, namaku Wanda Alona, ibumu. Dan ini Glarmarck Durdoir, ayahmu," ujar wanita itu memperkenalkan diri, sementara Borin berjalan sambil melongo keheranan.

"J-jadi, kalian orang tuaku?" tanya Borin lagi.

Wanda mengangguk-angguk bersemangat. Senyum lebar terus tersungging di bibirnya yang tebal. Secara fisik, Borin memang memiliki kemiripan dengan keduanya. Anak itu memiliki hidung Wanda yang agak pesek, sementara rambut pirang bergelombangnya persis dengan yang tumbuh di kepala Glarmarck.

Rupanya postur tubuh Borin yang agak pendek juga adalah perpaduan unik dari kedua orang tuanya. Meski heran, Borin pun tak bisa membantah fakta mengejutkan yang baru saja ia terima.

"Masuklah ... anggap saja rumah sendiri," ucap Wanda setibanya mereka di sebuah gubuk kayu sederhana. Tak ada yang istimewa dari bangunan itu. Dinding dari papan kayu dan genteng yang terbuat tanah liat.

"Tunggu sebentar, aku akan mempersiapkan makan malam untuk kita semua!" Wanda tampak begitu bersemangat menyambut kembalinya sang anak.

Sementara itu, Glarmarck mengambil sebuah gentong berisi bir putih lalu menuangkannya ke dalam gelas besar. "Minumlah! Ini lezat." ujarnya. Suaranya terdengar serak dan berat. Pria cebol itu kemudian menenggak bir itu langsung dari gentongnya, membasahi jenggot panjangnya yang tampak kusut.

Borin mendekatkan hidung ke ujung gelasnya yang berbuih. Aroma manis bercampur bau khas alkohol menyapa penciumannya. Penasaran, anak itu menyecapnya sedikit. Rasanya agak unik, tetapi ... lezat.

"I-ini enak. Meski agak aneh, tetapi aku menyukainya." Senyum lebar kini terkembang di bibir Borin.

"Bagus sekali! Kau benar-benar anakku!" Glarmarck terkekeh. "Habiskan semua!"

Borin pun menenggak kembali minumannya hingga hampir tandas.

Namun, sesaat berikutnya, tiba-tiba terdengar jeritan Wanda yang baru saja kembali dari dapur. "Kau mencoba meracuni anakmu?! Dia masih di bawah umur!"

"Ti-tidak ... s-sama sekali tidak. Dia keturunan seorang dwarf. Toleransinya terhadap alkohol lebih baik daripada manusia biasa." Glarmarck berusaha berkelit. Terlihat lucu ketika seseorang dengan jenggot lebat dan wajah sangar menciut di hadapan seorang wanita.

"Tetap saja ini buruk!" sergah Wanda. Ia menyerobot gelas bir itu dari tangan Borin, lalu meletakkan sepiring kentang tumbuk dan semangkuk sop di hadapannya. "Lebih baik kau makan ini saja ya, Sayang?" Wanita itu tersenyum pada Borin lalu mendelik ke arah Glarmarck sebelum melangkah kembali ke dapur.

"Jangan kaget, dia memang begitu. Bicaranya saja keras tapi hatinya lembut." bisik Glarmarck pada Borin yang hanya bisa terbengong-bengong. "Jika kau ingin meminumnya lagi, ambil saja dari gentong itu," lanjutnya lagi, lebih lirih.

Tak lama kemudian, Wanda kembali dari dapur membawa makanan untuk dirinya dan Glarmarck. Mereka pun duduk bersama mengitari sebuah meja kayu bundar.

"Makan yang banyak ya, Sayang? Katakan saja jika kau masih lapar." Wanda tersenyum manis pada Borin.

"I-iya, Bu," sahut Borin ragu. Meski suasananya memang terasa seperti 'rumah', ia masih merasa canggung di situ.

"Err ... bolehkah aku bertanya sesuatu pada kalian?" tanya Borin di sela-sela makan.

"Tentu saja boleh," sahut Wanda lembut. Seulas senyum senantiasa tersungging di bibirnya. "Setelah sekian lama, kau pasti punya banyak sekali pertanyaan."

Borin mengangguk pelan, lalu dengan kepala tertunduk ia melontarkan pertanyaan yang sudah sejak lama mengganggu pikirannya.

"Mengapa kalian membuangku?"

Mendengar itu, Wanda pun memaksakan senyumnya. Sebuah pertanyaan---yang meski sudah ia antisipasi sejak lama---tetap saja memunculkan sebersit lara kala terucap langsung dari bibir sang anak yang sangat ia sayangi.

Wanda menjawab sambil meneguk ludahnya susah payah. "Kami terpaksa melakukannya ...," lirihnya. "Sebenarnya kami tidak membuangmu. Kami menitipkanmu pada Muriel."

"Tapi Bibi Muriel bilang kalau ia menemukanku hanyut di sungai?" cecar Borin.

"Itu memang permintaan kami. Kami khawatir kau akan pergi mencari kami," sahut Wanda pelan.

"Tapi kenapa? Kenapa kalian harus menitipkanku pada Muriel?"

Wanda terdiam sambil menatap mata Glarmarck. Mereka tampak seperti sedang berdiskusi tanpa suara. Hingga sejenak kemudian, Glarmarck pun menganggukkan kepala.

Wanda mendesah sebelum mulai berbicara, "Itu karena kami memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kitab yang menjadi incaran banyak penyihir. Kau akan berada dalam bahaya jika tinggal bersama kami."

Mulut Borin ternganga mendengarnya. "M-maksudnya, kalian adalah penyihir? La-lalu kitab itu? Apakah yang kalian maksud adalah kitab Tebro?"

Mendengar itu, kedua orang tua Borin ganti ternganga keheranan. "Kau tahu mengenai kitab Tebro?" tanya Glarmarck. Matanya membulat tak percaya.

Borin mengangguk sebagai jawaban. "Ceritanya panjang ...."

"Kau memiliki seluruh waktu kami," sahut Wanda.

"Tapi Paman Eric akan mencariku jika aku tak kembali ke tenda para pasukan."

"Kau bisa menuliskan sepucuk surat. Serigalaku akan mengantarkannya ke perkemahan."

"Baiklah kalau begitu." Borin pun setuju dan segera menuliskan surat. Ia menyampaikan bahwa malam itu dirinya tak akan kembali ke perkemahan karena bertemu dengan orang tuanya.

"Canigo Viscerati!" seru Wanda sambil menyatukan kedua kepalan tangannya lalu memukul tanah. Saat itu juga, seekor serigala besar berbulu keperakan pun muncul dari udara kosong. Wanda mengelusnya pelan, lalu memerintahkannya untuk segera menyampaikan surat itu pada Eric.

"Ya, aku adalah seorang penyihir. Seorang factrum lebih tepatnya." Wanda menjelaskan tanpa diminta. Ia bisa mengartikan tatapan Borin yang penuh tanya. "Sekarang ceritakan, bagaimana kau mengetahui tentang kitab Tebro," pinta Wanda.

"Semuanya bermula dari beberapa bulan yang lalu ketika kami pergi ke ibu kota ...." Borin mulai menceritakan petualangannya di Pulau Amui. Ia menyampaikan semuanya. Mulai dari bagaimana kapalnya karam diterjang badai, pertemuan dengan Susan sang antorum, hingga keterlibatannya dalam petualangan mengalahkan seorang penyihir jahat. Dari sanalah dia mendapatkan informasi mengenai kitab Tebro beserta seorang penyihir bernama Hans Cornell yang merebutnya dari tangan Victor.

Wanda dan Glarmarck terdiam beberapa saat, terpukau akan petualangan luar biasa yang dialami Borin.

"Jadi, kalian mengenal Hans? Bagaimana kitab itu bisa sampai ke tangan kalian?" tanya Borin memecah keheningan ruangan.

"Y-ya, dia kawan kami," sahut Wanda tergagap. Ia masih tenggelam dalam ketakjubannya akan petualangan yang telah dilalui Borin.

"Sebenarnya saat itu, kami ada di sana juga bersama Hans. Kami yang mengalihkan perhatian para kobold, sementara dia menghadapi Victor," sambung Glarmarck kemudian.

"Lalu mengapa kalian harus merebut kitab itu?" tanya Borin penasaran.

"Ya, kami terpaksa merebutnya karena kitab itu juga menjadi incaran dari Lily Aldrin, seorang penyihir yang berniat menggulingkan takhta Raja Agra. Kami beruntung berhasil mendapatkan kitab itu. Jika tidak, Agra pasti sudah terguling dari takhtanya."

Wanda lalu menjelaskan perpecahan yang terjadi di antara para penyihir pada waktu itu. Kedua orang tua Borin berada dalam satu kubu bersama Ronald dan Hans yang mendukung Agra tetap duduk sebagai raja. Mereka berpandangan bahwa Agra adalah raja yang sah karena merupakan anak tertua. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap para penyihir juga masih kurang baik. Penyihir yang duduk sebagai raja akan berpotensi mengakibatkan keresahan di masyrakat.

Sementara itu, di kubu seberang, Lily Aldrin, kekasih Stevan, dan Jack Halley, seorang Loctrum, memiliki agenda untuk mendorong Stevan mengambil alih takhta dari sang kakak. Mereka berpendapat bahwa kerajaan akan lebih kuat jika dipimpin oleh seorang penyihir. Selain itu, nasib mereka juga akan lebih baik di tangan Stevan.

Borin hanya melongo mendengar penjelasan mengenai konflik politik yang terjadi kala itu. Otaknya masih terlalu muda untuk memahami semua itu. "Err ... lalu apa yang terjadi setelah kalian mengambil kitab itu dari tangan Victor?"

"Kami membawanya kembali ke Fortsouth. Karena Hans masih bertugas menjaga Tuan Gilbert Fernir, ia pun menyerahkan tanggung jawab untuk menjaga kitab itu pada kami." Wanda mendesah. "Karena itulah, kami terpaksa menitipkanmu pada Muriel dan pergi bersembunyi di hutan. Semua ini kami lakukan agar kitab Tebro tak jatuh ke tangan yang salah."

"Ya, kami juga melakukan ini agar kau memiliki masa kecil yang normal. Bukannya hidup dalam keterasingan bersama kami," tambah Glarmarck.

"Kau bersedia memaafkan kami?" tanya Wanda beberapa saat kemudian.

Borin terdiam sejenak. Ia bisa memahami alasan yang disampaikan oleh Wanda. Menjaga kitab Tebro dari para penyihir yang mengincarnya sama sekali bukan tanggung jawab ringan. Setelah beberapa saat, ia pun menganggukkan kepala lalu bangkit untuk memeluk Wanda. "Ibu sama sekali tidak bersalah, tidak perlu meminta maaf," bisiknya lembut.

Mendengar itu, Wanda pun menitikkan air mata haru. "Terima kasih," ujarnya. Sebuah senyuman lembut kembali tersungging di bibirnya. Hatinya terasa menghangat setelah tahu bahwa Borin tidak menyalahkannya.

"Baiklah, ayo kita minum untuk merayakan ini!" sambut Glarmarck bersemangat, sementara Wanda justru menatapnya tajam.

"Oh, ayolaah ... ini momen yang bersejarah," ujar Glarmarck. Ia memahami maksud tatapan tajam istrinya.

"Huh, baiklah. Tapi hanya untuk sekali ini saja!" tegas Wanda sambil tersenyum. Mereka akhirnya makan dan minum dengan gembira. Atmosfer kekeluargaan seketika terpancar dari gubuk itu, menghangatkan hutan yang semula terasa begitu dingin dan kelam. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro