Bab 1
"Pikiranmu harus fokus agar bisa memusatkan energi sihir di telapak tangan. Setelah itu baru kau bisa merapal mantranya" Ronald menyampaikan instruksi kepada Peter yang sedang berusaha melatih sihir pertamanya.
"Perhatikan baik-baik!" Ia pun berdiri tegak sambil menghadapkan kedua telapaknya sejarak sekitar lima belas sentimeter.
"Invigor das pilia," rapalnya kemudian.
Seketika itu, sebentuk bola bercahaya putih kekuningan pun tercipta. Ronald lalu melemparkannya menghantam sebuah pohon dan menciptakan sebuah ledakan.
"Sekarang kau cobalah. Sebelum mempelajari manifestasi energi yang lain, kau harus bisa mengendalikan energi murnimu dulu," ujar Ronald. Setelah itu, ia duduk di bawah pohon untuk bersantai sambil menyaksikan Peter berlatih.
Sesuai instruksi, Peter menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mengonsentrasikan pikiran dan energinya. Ia menghadapkan kedua telapaknya seperti apa yang sudah diperagakan oleh sang guru lalu merapal mantra. "Invigor das pilia!" serunya.
Namun, sama sekali tak ada yang terjadi. Tak ada sinar atau apa pun yang muncul dari telapak tangannya.
"Invigor das pilia," serunya lagi. Namun tetap saja hasilnya nihil. Anak itu terus mencoba hanya untuk mempertegas ketidakmampuannya.
"Sepertinya kau masih kurang konsentrasi. Latih lagi meditasimu," ujar Ronald sambil mengembuskan napas panjang. Penyihir tua itu tampak kecewa karena setelah beberapa hari, anak didiknya itu tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Ia pun pergi, meninggalkan Peter yang dirundung perasaan kecewa pada dirinya sendiri.
Sambil duduk di atas sebuah batu besar, Peter menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ia mencoba mengosongkan pikiran dan fokus pada energi di dalam diri. Menurut Ronald, latihan meditasi seperti ini dapat membantunya agar lebih mudah berkonsentrasi. Kini waktunya tak banyak lagi. Ketika genap berusia tujuh belas tahun, segel sihirnya akan tertutup seluruhnya.
Meski kedengarannya mudah, tidak demikian halnya bagi Peter. Dalam waktu sebentar saja pikirannya terpecah. Seperti latihan-latihan sebelumnya, ia tak mampu membuang bayang-bayang Anna dari benaknya yang—sementara ia sibuk berlatih—sepertinya semakin dekat dengan Bram.
Memorinya memutar kembali kejadian beberapa hari yang lalu.
Sore itu Peter sedang dalam perjalanan pulang dari latihannya saat menemukan setangkai bunga mawar yang cantik. Ia memetiknya untuk diberikan pada Anna karena merasa bersalah. Sudah beberapa hari ini ia jarang berkomunikasi dengan gadis itu.
Setibanya di kediaman Ronald, Susan yang ada di situ mengatakan bahwa Anna pergi bersama Bram untuk memetik buah dan sayur di hutan.
Peter pun terpaksa menunggu sementara hujan mulai turun membasahi bumi.
Menjelang malam, Peter merasa makin khawatir dan berniat pergi untuk mencari Anna. Namun, belum sempat melangkah jauh, ia melihat perempuan yang ia cari sedang berlari berdua bersama Bram. Daun pisang yang mereka harapkan dapat melindungi diri dari hujan tampaknya sama sekali tidak berguna. Keduanya tampak tertawa-tawa riang dengan seluruh tubuh yang basah kuyup.
Seketika itu Peter merasa hatinya panas.
Anna menceritakan semuanya pada Peter setibanya dia di gubuk. "Tadi, saat mengumpulkan sayuran, kami terjebak hujan dan terpaksa berteduh di sebuah gua. Tapi karena hari sudah semakin larut, kami terpaksa hujan-hujanan," ucapnya sambil menyeka wajah yang basah kuyup. Ia lalu bersin beberapa kali.
"Oh ya, bagaimana dengan latihanmu hari ini?" tanya Anna.
"Latihanku ... umm ... yah, biasa saja ...," sahut Peter sambil tertunduk. Ia malu mengakui kegagalannya.
Anna tersenyum memandang Peter. Tanpa perlu penjelasan, ia sudah paham bahwa pemuda itu belum berhasil. "Tenanglah, suatu ketika kau pasti bisa," ujarnya memberi semangat.
"Terima kasih," sahut Peter lirih.
"Baiklah, aku harus segera mengeringkan tubuh. Dingin sekali ..." Anna memeluk dirinya sendiri lalu pergi. Peter pun tidak sempat menyerahkan mawar yang sudah ia siapkan.
Sejak saat itu, Peter merasa semakin gundah dan pikirannya menjadi liar. Ia membayangkan segala sesuatu yang mungkin terjadi saat Anna berdua bersama Bram di gua. Dan hal itu justru membuatnya semakin kesulitan untuk konsentrasi berlatih.
Peter menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran yang tak diinginkannya itu. Selama beberapa saat kemudian, ia mencoba kembali berkonsentrasi dengan napasnya sendiri. Tarik ... buang ... Anak itu mendesis berulang-ulang.
Semua tampak baik-baik saja hingga tiba-tiba Peter merasa telinganya geli. Seperti ada seekor lalat yang sengaja mengganggu. Ia mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir serangga itu—yang anehnya tak mau pergi.
Peter menengok ke belakang untuk mencari sumber gangguan. Ia begitu terkejut ketika melihat Bram berdiri di situ menggenggam seutas ilalang sambil tersenyum jahil. Rupanya bukan lalat yang membuat Peter merasa geli, melainkan Bram yang telah mengganggunya.
Peter pun murka seketika itu dan langsung bereaksi keras dengan mendorong Bram hingga jatuh ke tanah. "APA MAKSUDMU MENGGANGGUKU!" Peter membentak keras. Hatinya sudah cukup panas, bahkan tanpa gangguan langsung seperti yang baru saja dilakukan Bram.
Terkejut dengan sikap Peter yang mendadak marah, Bram pun terdiam sementara tangannya terluka akibat tergores batu ketika terjatuh. Meski tahu bahwa dirinya bisa menghajar Peter dengan mudah, menurutnya perkelahian tak pernah menjadi jalan penyelesaian yang baik.
Seketika itu juga, Anna muncul entah dari mana dan langsung menolong Bram yang terluka. "Mengapa kau jadi seperti ini? Kau sama sekali tidak seperti Peter yang kukenal." Nada kekecewaan terdengar jelas dari cara bicaranya pada Peter. Perempuan penyihir itu langsung berpaling dan merapal mantra untuk menyembuhkan luka di tangan Bram.
Melihat itu, Peter justru semakin terbakar api cemburu. Dengan gusar, ia berbalik pergi meninggalkan Bram dan Anna yang terheran-heran oleh sikapnya yang kasar. Kecemburuannya, ditambah dengan kegagalannya dalam berlatih sihir, membuat Peter menjadi amat sensitif. Kepercayaan dirinya dirinya kala itu seolah berada di titik nadir. Ia merasa dirinya sangat bodoh karena tak mampu menjaga relasinya dengan Anna. Pun gagal melatih sihir yang paling mudah sekalipun.
Sore itu, Peter memilih mengasingkan diri di sebuah gua di hutan. Ia menghela napas panjang dan duduk sambil memeluk lutut. Setelah apa yang diperbuatnya, anak itu malu untuk menemui Ronald dan yang lainnya. Benaknya dipenuhi keraguan akan diri sendiri.
Benarkah aku memiliki kemampuan sihir? Ataukah sebenarnya aku hanya orang biasa yang kebetulan menjadi anak dari seorang penyihir? Layakkah aku menjadi seseorang yang dapat melindungi Anna? Mungkin Bram memang lebih layak bersanding dengannya. Setidaknya ia memiliki fisik yang lebih tangguh. Pikiran-pikiran itu terus merasuki otak Peter dan membuatnya semakin tidak berdaya.
Tak lama kemudian, matahari mulai beranjak pergi, meninggalkan Peter dalam gelap yang seolah semakin menggerogoti jiwanya. Dalam keterpurukan, bahkan alam enggan membantunya dan justru membasahi hutan dengan hujan yang begitu lebat. Pemuda itu pun kesulitan menemukan ranting kering yang dapat ia gunakan untuk menyalakan api.
Peter memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan lalu beringsut semakin dalam untuk menghindari tiupan angin dingin yang menderu-deru di dekat mulut gua. Ia berusaha menyandarkan kepalanya pada batu keras, yang rasanya sama sekali tidak nyaman.
Tanpa terasa sebutir air mata pun menitik di atas tanah berbatu.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Karena kelelahan bergelut dengan batinnya sendiri, Peter akhirnya tertidur lelap—hingga sayup-sayup terdengar suara Anna memanggil namanya. Peter membuka sedikit matanya dan bayang-bayang gadis cantik itu terlihat samar di hadapannya. Tubuh mungilnya basah kuyup akibat hujan yang mengguyur seisi hutan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Anna terdengar khawatir.
"Ugh ... aku ... maafkan aku ...." Peter memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia tak mampu menjelaskan apa pun, tetapi matanya yang sembap dan basah seolah telah menceritakan semua. "Aku benar-benar tidak berguna," lirihnya sambil menggigil kedinginan. Air matanya pun menetes membasahi pipi.
Tanpa mengucap apa pun, Anna memeluk Peter lembut, membiarkan pemuda itu terisak di bahunya yang basah. Peter sebenarnya malu dengan dirinya sendiri, tetapi saat itu ia benar-benar tak mampu mengendalikan diri. Perasaan minder dan tidak berguna seolah telah menenggelamkan nalarnya.
Anna tetap diam. Menunggu hingga pria itu menumpahkan seluruh emosinya.
"Ma-af ...." Hanya satu kata itu lagi yang sanggup terucap dari bibir Peter, sementara Anna memandangnya lembut. "Katakanlah. Ceritakan kegalauan hatimu. Itu akan membuatmu lega."
Dengan mata sembap, Peter pun balas menatap Anna.
"Ugh ... a-aku ... apakah kita ... hubungan kita ... apakah masih sama?" racaunya sambil mengalihkan tatapan ke dinding gua.
"Err... Maksudmu?" Anna berusaha memperjelas maksud Peter.
"Maksudku ... kau dengan Bram. Kalian sangat dekat. Apakah aku masih memiliki tempat di hatimu?"
Anna tersenyum sekilas. "Dasar bodoh ... tentu saja aku masih menyayangimu." Anna menatap mata Peter lekat-lekat, seolah menegaskan setiap kata yang terucap dari bibir mungilnya.
"Bram adalah temanku sejak kecil. Dulu kami sering bermain-main bersama," ujar Anna lembut. "Dia tinggal kastel sebagai anak angkat dari Tuan Brian Amodeus, penguasa wilayah utara. Sementara aku hanya anak dari seorang pelayan di sana. Meski berbeda kasta, Bram tak pernah malu untuk bergaul denganku. Ia tak peduli meski harus dijauhi oleh saudara tirinya." Anna mendesah pelan. "Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri."
Mendengar penjelasan Anna, Peter merasa hatinya yang tadinya seperti terhimpit mulai melonggar.
"Sudah lima tahun sejak ia ditugaskan ke ibu kota untuk membantu pamannya sebagai seorang gerpa. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi. Kurasa adalah hal yang normal jika aku langsung dekat dengannya," terang Anna.
"Ditambah dengan kesibukanmu berlatih selama ini tentunya membuatku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya." Setelah itu Anna terdiam sejenak, membuat keduanya larut dalam keheningan.
"Jangan bilang ... kau cemburu yaa?" Anna menatap Peter jahil.
"Ti ... tidak ..." Kebohongan itu terdengar jelas di telinga Anna. Gadis itu pun tersenyum sekilas lalu menyandarkan kepala di bahu Peter yang wajahnya mulai memerah.
"Lalu mengapa ia bisa sampai di sini? Bukankah seharusnya ia ada di ibu kota?" tanya Peter berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Yah ... dia membuat kesalahan yang cukup fatal. Ia nekat berhubungan dengan putri raja tanpa restu dari sang ratu. Setelah itu sang raja mengusirnya dari ibu kota."
"Ooh ...," gumam Peter lalu terdiam.
Anna pun tak melanjutkan ceritanya dan memilih membiarkan diri larut dalam keheningan. Berselimutkan udara dingin dan kegelapan malam yang semakin pekat, keduanya duduk semakin merapat, berusaha saling menghangatkan.
"Satu hal lagi yang kurasa perlu kau ketahui. Menurutmu, mengapa ia mengganggumu saat latihan tadi?" Anna bertanya mengakhiri kesunyian.
"Err ... mungkin dia hanya ingin mengajakku bercanda? Tapi waktunya benar-benar tidak tepat saat itu," desah Peter.
"Sebenarnya akulah yang mengizinkannya melakukan itu."
Jawaban Anna itu pun membuat Peter kebingungan. "Maksdumu?"
"Semenjak kau berlatih, kita tak pernah punya banyak waktu berdua. Kau tahu? Aku sangat merindukanmu. Aku pun menceritakan perasaanku pada Bram. Mendengar itu, dia langsung mendapatkan ide untuk mengganggu latihanmu demi mendapatkan waktumu. Dia berharap kau mau meninggalkan latihanmu barang sebentar ... untukku."
"Pada mulanya aku menolak ide itu, tapi hari demi hari kau terasa semakin menjauh. Hingga akhirnya aku pun mengizinkan Bram untuk melakukannya."
"Maaf ... Aku sama sekali tak menyangka kau akan bereaksi begitu keras terhadap Bram." Anna menutup penjelasannya yang terasa seperti sebuah pukulan telak bagi Peter.
"Kau sama sekali tak perlu minta maaf. Aku lah yang salah karena terlalu terobsesi dengan latihan sihir." Peter menunduk malu. "Sejujurnya aku merasa minder. Kau menguasai ilmu sihir sedangkan Bram memiliki fisik yang tangguh. Sementara aku? Aku tak memiliki kemampuan apa pun." Suara Peter terdengar lirih. "Mungkin Bram memang lebih layak bersamamu. Ia bisa melindungimu dengan lebih baik."
"Dasar bodoh." Anna memukul kepala Peter pelan. "Kau pikir aku akan menganggapmu rendah karena kau tak memiliki kemampuan sihir atau bela diri? Bukan itu. Aku menyukaimu karena ketulusan, keberanian serta kebaikan hatimu," jelas Anna.
"Kau yang rela mengorbankan diri demi Borin ketika ia akan tenggelam di laut. Ditambah keputusanmu mendukungku ketika ingin menyelamatkan Gladys. Semua itu tetap kau lakukan meski kau tak memiliki kemampuan apa pun. Justru itulah yang membuatku tertarik padamu. Kau bersedia mempertaruhkan nyawamu demi orang lain."
Mendengar penjelasan Anna, Peter merasa semakin dipermalukan. Ternyata selama ini ia sudah menilai Anna dengan picik. Ia beranggapan bahwa perempuan akan mudah tertarik dengan orang yang dapat melindunginya.
"Maaf ..." Hanya itu yang dapat terucap lirih sebelum hening kembali mengambil alih suasana.
Malam semakin larut dan hujan kini telah mereda. Suara katak bernyanyi bersahutan mengiringi suasana hati Peter dan Anna yang akhirnya mampu bersatu kembali berkat keterbukaan keduanya.
Meski sudah mendapatkan penjelasan apa adanya, seberkas kekecewaan masih menggelayuti hati Peter karena kegagalannya mempelajari sihir. Sebagai seorang pria, bagaimanapun juga ia ingin bisa melindungi wanitanya.
"Malam sudah larut. Apakah kau mau di sini terus? Ayo kita kembali ke gubuk." Anna yang merasa kedinginan menggosok-gosokkan tangan lalu memeluk dirinya sendiri.
Sambil tersenyum kecut, Peter menatap Anna sekilas lalu mengangguk pelan. Keduanya pun berdiri hendak pergi meninggalkan tempat itu.
"Kalian di sini rupanya." Seketika itu, suara Ronald terdengar dari mulut gua. "Apa yang terjadi? Kau tampak kusut," tanyanya pada Peter sambil memperbesar api sihirnya untuk menghangatkan suasana.
Peter terdiam sambil memandangi gurunya dengan sendu. "Apakah aku akan bisa mempelajari sihir?" tanyanya lirih.
"Aku tak tahu ...." Ronald mengelus janggutnya yang telah memutih. "Aku yakin kau adalah seorang penyihir dari tes yang pernah kita lakukan. Tapi, kau tampak sangat kesulitan menyalurkannya. Mungkin usiamu yang telah mendekati tujuh belas tahun membuat segel sihirmu hampir tertutup." Ronald mendesah berat. "Jika analisaku benar, kurasa aku harus mengajakmu pergi ke suatu tempat."
"Ke mana?" tanya Peter seketika.
"Ke Kota Bergstone," sahut Ronald singkat sebelum melanjutkan lagi kalimatnya. "Di sana ada sebuah mata air ajaib yang bisa membantu membuka segel sihirmu. Selain itu, karena dikelilingi padang gurun, di sana akan sangat cocok untuk melatih sihir api dan angin."
Peter terdiam. Meski sejujurnya ia selalu ingin menjadi orang yang bisa diandalkan. hatinya masih dipenuhi keraguan akan kemampuannya sendiri.
"Apakah aku akan berhasil?" lirihnya.
"Jika cara ini gagal, aku tak tahu cara lain lagi untuk mengeluarkan kemampuan sihirmu," sahut Ronald.
Sambil mengembuskan napas panjang, Peter pun menyahut, "Baiklah, kalau begitu kurasa aku akan mencobanya."
"Tapi dengan satu syarat. Kau tak boleh mengajak siapa pun untuk ikut. Termasuk dia." Ronald menatap Anna sekilas. "Selain karena bisa membuat konsentrasimu terpecah, Tuan Edgar, penguasa di sana tidak begitu suka menerima tamu orang asing di dalam kastelnya."
Peter menatap Anna sekilas, seolah bertanya mengenai pendapat dari sang gadis.
"Pergilah, aku akan baik-baik saja di sini," sahut Anna sambil tersenyum. "Aku yakin, kau pasti bisa." Ia menepuk bahu Peter, memberinya suntikan semangat.
"Terima kasih ... Aku akan berusaha dengan keras." Peter membalas senyuman Anna. Setelah itu, ia berpaling pada Ronald. "Kapan kita pergi?"
"Persiapkan segala kebutuhanmu, kita berangkat besok lusa," sahut Ronald sambil berpaling keluar dari gua. "Ayo pulang, hari sudah semakin larut."
Sepasang remaja itu pun berjalan mengikuti Ronald sambil bergandengan tangan. Lalu, dengan suara lirih, Anna berujar di telinga Peter, "Satu hal lagi yang perlu kau tahu. Penyihir atau bukan, aku akan tetap menyukai Peter yang selama ini kukenal."
Mendengar itu, Peter menatap Anna yang kemudian tersenyum malu-malu. Dan seketika itu juga, Peter seperti mendapatkan kembali semangatnya. "Terima kasih," bisiknya.
Setibanya di kediaman Ronald, Peter pun langsung menemui Bram. Ia merasa tak enak hati karena sikap buruknya tadi. "Maaf aku sudah berbuat kasar tehadapmu. Saat itu pikiranku sedang kacau karena tak juga berhasil menguasai sihir," akunya.
"Tak masalah kawan ...." Bram menepuk pundak Peter. "Sebenarnya aku hanya ingin mengajakmu sedikit bersenang-senang. Belakangan ini kau tampak seperti sedang tertekan."
"Yah, begitulah ... latihan sihir sangat menguras pikiran dan tenagaku." Peter tak mau mengakui kecemburuannya.
"Baguslah, kalian sudah berbaikan ..." Anna mendekati Peter dan Bram lalu menggenggam tangan keduanya. "Kalian orang-orang yang sangat berarti bagiku," ujarnya sambil menatap mata kedua pemuda itu bergantian.
"Malam sudah larut, ayo kita segera beristirahat." Ronald menyudahi perbincangan malam itu lalu melangkah masuk ke kamarnya.
Usai mengeringkan tubuh, Peter berbaring di atas dipan. Malam itu ia merasa lega. Hatinya yang selama ini panas seperti baru saja diredam oleh guyuran hujan lebat. Ia beruntung karena memiliki Anna yang sangat baik. Meski rasanya seperti tak ingin berpisah lagi, ia juga tak mau menolak kebaikan Ronald yang telah bersedia membantunya mempelajari sihir. Sebuah kesempatan yang mungkin tak akan terulang kembali.
***
Setelah mempersiapkan segala kebutuhan, akhirnya hari keberangkatan pun tiba. Peter menyempatkan diri berpamitan secara pribadi dengan Anna sebelum pergi meninggalkan gubuk.
"Jaga dirimu baik-baik. Aku akan merindukanmu." Ia berpesan lalu mengecup kening perempuan kesayangannya itu.
Anna balas menatap Peter sambil tersenyum manis. "Kau juga. Jangan sampai terlibat dalam masalah." Keduanya lalu berpelukan hangat selama beberapa saat sebelum Peter pergi menyusul Ronald yang sudah menunggu di atas kuda.
Bersama Susan dan Bram, Anna melambaikan tangan untuk melepas kepergian Peter dan Ronald. Ia tetap memandang ke kejauhan hingga suara ringkikan dan derap langkah kuda pun sirna—terganti kesunyian hutan yang kembali merasuk mendamaikan hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro