Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Wanyin & Rulan

Upacara di aula utama Carp Tower terasa khidmat. Para saksi dalam upacara penobatan ketua sekte berkumpul dengan rapi demi melihat yang bersangkutan telah bersiap dalam adat yang ada.

Para tetua sekte Jin yang telah hadir pun juga wajib mengikuti adat istiadat peresmian penobatan ketua sekte. Salah satu dari yang tertua pula tengah memantrakan do'a untuk mempersiapkan segala pemberkatan yang diperlukan dalam upacara.

Pria berjenggot tebal dan panjang tersebut membungkukkan badan tiga kali di hadapan altar leluhur. Beberapa belas lilin merah sudah menyala sebagai simbol persembahan dan kehormatan. Setelah itu, sang tetua menoleh pada sang penabuh musik.

"Bunyikan."

Mengerti akan aba-aba, para musisi bersiap dan seorang pembicara mengatakan dengan nyaring.

"Kepada Tuan Muda, dipersilakan jalan."

Saat itu juga, semua orang diam khushyuk menyaksikan upacara adat sekte Jin.

Bunyi gendang yang pelan namun tegas bertabu setiap lima detik dan bunyi lonceng-lonceng kecil kuil yang terdengar suci, Jin Ling yang memakai baju formal dan jubah kuning ukuran khas klan Jin bermotif peony pun berjalan perlahan memasukki pintu ruangan. Sambil kedua tangannya tetap menyatu menjadi sikap hormat, kedua kakinya tetap berjalan dengan pelan namun tegap.

Posturnya hampir sempurna, rautnya serius dan dirinya sendiri berharap dalam hati kalau tak ada halangan sama sekali dalam upacara penobatan.

Sang tetua perlahan mundur menyingkir di samping altar, mempersilakan Jin Ling untuk menghampiri altar leluhur yang telah berada di hadapannya.

Saat Jin Ling sampai, saat itu juga musik dihentikan.

Jin Ling perlahan menegakkan badan dan memberikan hormat yang dalam di depan altar satu kali.

Seorang pelayan khusus membawa nampan emas dan kain merah tebal. Diatasnya adalah tiga lilin berwarna kuning keemasan bermotif lambang sekte, khusus hanya untuk dibuad dan dipakai dalam upacara penobatan.

Jin Ling perlahan mengambil ketiganya dan menancapkan di bagian depan tengah.

Tiga lilin kuning emas memimpin para belasan lilin merah yang berada di belakangnya.

Lilin tengah yang pertama dilambangkan sebagai harapan kepemimpinan. Lilin kedua yang kiri dilambangkan sebagai harapan keadilan. Lilin ketiga yang kanan melambangkan kesejahteraan.

Jin Ling memasangkan api pada ketiganya sebelum mundur dua langkah dan berhenti.

Manik madunya melirik pada papan kayu panjang berbahan jati. Dipermukaannya berukir nama para leluhur yang menjadi pendahulu ketua sekte.

Termasuk ayah dan pamannya, Jin Zixuan dan Jin Guangyao.

Kelopaknya perlahan menutup bola matanya. Mulutnya menyatakan dengan lantang.

"Atas nama saya, Jin Ling, putra dari Jin Zixuan, bersumpah di depan leluhur dan seluruh saksi, bahwasanya akan melakukan kewajiban, membawa kebajikan, serta kemakmuran untuk mengayomi sekte saya, sekte Jin. Dengan ini saya menyerahkan seluruh hidup saya untuk keluarga saya."

Ia mulai memberi hormat dalam sampai bersujud sembah di hadapan altar leluhur yang dihormati. Gerakan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali.

Lalu akhirnya ia berdiri lagi.

Sang tetua yang berdiri di samping altar mulai mendekati Jin Ling, mengambil posisi. Bersama pelayan khusus lain yang membawa yang sama seperti tadi, hanya saja bedanya adalah benda dan jumlah yang berada di atasnya.

Yang pertama adalah sebuah ukiran berbentuk bunga peony yang tengah berkembang, dilapisi emas dan berkilau. Peony Emas Agung adalah nama benda tersebut.

Benda lainnya adalah sebuah pedang kecil yang tegas, sarung dan gagangnya bertatahkan permata beraneka ragam dengan giok di tengah gagangnya. Ukirannya juga berbunga peony.

Serta satu benda lagi adalah tinta merah penanda titik dahi khas para keturunan sekte Jin.

Jin Ling memberi hormat pada sang tetua tersebut sambil menerima kedua benda yang ada; pedang di tangan kanan dan ukiran bunga emas di tangan kiri, sebelum berlutut di lantai dengan kedua kakinya.

Tetua tersebut membacakan do'a pemberkahan dan kemudian membuat tanda titik di dahi polos Jin Ling yang bersih seperti porselen.

Setelah itu Jin Ling disuruh berdiri dan menghadap ke depan dengan kedua tangan memegang dua benda tadi di sisinya. Sang tetua berdiri di sampingnya dan mengucapkan pernyataan akhir.

"Para hadirin sekalian, marilah kita dengan suka cita menyambut ketua sekte kita yang baru. Hidup ketua sekte Jin."

"Hidup ketua sekte Jin."

Para tetua dan semua yang berada di dalam aula luas tersebut membungkuk berjamaah, memberi hormat pada Jin Ling yang telah resmi dilantik.

Sedikit jauh dari sana, ada seorang pria berpakaian formal dengan nuansa ungu, sendirian memandang dari jauh upacara yang diselenggarakan.

Momen seperti ini sangatlah langka, namun ia tahu diri untuk sedikit menyingkir demi membuat upacara penobatan resmi Jin Ling menjadi sukses.

Gelombang nostalgia perlahan mendobraknya setiap detik ketika menyaksikan sang keponakan resmi mendapatkan gelar kepemimpinannya yang diselenggarakan di Carp Tower, Lanling Jin.

Dia sudah bertumbuh besar, namun aku masih merasa harus menjaganya, pikir Jiang Cheng demikian.

Pikirannya sedikit melayang ketika ia pertama kali membawa Jin Ling ke Yunmeng untuk tinggal di Lotus Pier.

Saat itu adalah waktu lampau, dimana Jiang Cheng mulai merawat Jin Ling yang masih sangat kecil.

Masa-masa itu sangatlah berat baginya. Ia kehilangan kakaknya yang tersayang, Wei Wuxian yang ia usir dan musuhi, serta tengah pontang-panting membangun kembali Yunmeng yang hancur dibantai oleh klan Wen dari Qishan.

Ia membawa Jin Ling setelah mendapatkan persetujuan sekte Jin dari Lanling untuk mengurusnya, dikarenakan pihak terkait tengah sibuk mengurus pemakaman Jin Zixuan dan Jiang Yanli.

Sebenarnya Jiang Cheng yang membujuk ingin merawatnya dan tidak diperbolehkan, namun dengan alasan pemakaman maka ia akhirnya diperbolehkan.

Kalau tidak diperbolehkan, bisa-bisa ia semakin gila.

Jiang Cheng pulang ke Yunmeng setelah usai mengikuti pemakaman keduanya, sebelum sampai di Lotus Pier.

Jiang Cheng membawa sang ponakan yang masih balita di gendongan. Meski sedikit canggung, tapi rasa protektif kentara dari dekapan tangannya.

Ia berlutut sambil menggendongnya yang tertidur. Dengan pakaian putih formal penuh nuansa kesedihan, mata almondnya menatap altar leluhur Jiang dengan penuh lukisan serta ukiran nama para pemimpin terdahulu.

Mata sang pemuda terlihat sembab, sampai-sampai tak bisa menangiskan air mata lagi. Bahkan, dengan darah pun bisa saja ia lakukan. Serasa habis tak tersisa, terlihat bola matanya memerah dan bengkak. Wajahnya lesu dan nelangsa, sangat bertolak belakang dengan dirinya yang biasanya terlihat kuat dan tegas.

Penyesalan dari kejadian lalu sungguhlah membekas di hatinya. Sungguh, nestapa ini mau sampai kapan lagi terjadi?

Kenapa orang-orang yang ia sayangi selalu saja meninggalkannya?

Dari sektenya, orang tuanya, kakaknya, dan bahkan saudara angkatnya sendiri meninggalkannya sendirian disini.

Pikirannya sudah sangatlah mentok dan bahkan mencapai ke tingkat depresi. Hanya dua benda yang ia miliki, Zidian dan Sandu, yang menemaninya sampai sekarang.

Rasa sepi yang merelung di hati tak lupa menyayat sangat jauh di dalam dirinya.

Matanya bagaikan orang mati. Tak ada tanda positif yang terlihat. Bagaikan mayat hidup, bisa saja Jiang Cheng bunuh diri dan menghancurkan sektenya sendiri.

Saat ia membayangkan hal tersebut, sang keponakan membuat gerakan di gendongannya.

Jiang Cheng menoleh ke arahnya, memperhatikan Jin Ling yang menggeliat pelan dan ingin menangis.

Ia menimangnya perlahan dan menepuk pelan sang bayi yang dibaluti kain tebal kuning campur ungu, menenangkannya.

"Ssshh... Anak baik. Tidurlah dengan tenang."

Perlahan karena itu, tangisannya yang hampir pecah pun mereda. Tangan mungilnya memegang lonceng pinggang yang berbunyi di dekapan, dan juga menggenggam baju pria Yunmeng tersebut.

Gerakan sederhana seperti itu sudah sangat membantu Jiang Cheng untuk sadar kembali.

Kembali mencoba mengumpulkan akal sehatnya yang hilang.

Kedua tangan Jiang Cheng mendekap erat namun lembut pada sang balita yang mulai tertidur lagi, menempel padanya dengan sangat nyaman.

Benar. Akal sehatnya harus kembali demi sang keponakan.

Jin Ling adalah hidupnya saat ini. Ia harus kuat demi anak kakaknya yang ditinggalkan.

Jiang Cheng harus hidup demi Jin Ling.

Hanya itu caranya agar ia bisa bertahan hidup di dunia yang penuh kekejaman ini.

Saat air matanya menetes untuk yang terakhir kalinya, saat itu juga Jiang Cheng berjanji di depan altar leluhur keluarga Jiang: bahwa dirinya takkan pernah menangis lagi di masa yang akan datang.

.
.
.

"HUWEEEEHHHHH!!!!!"

Lotus Pier yang biasanya sepi jadi sedikit berisik dikarenakan pecahnya jeritan tangis Jin Ling yang menangis keras.

"T-Tuan Jiang, Tuan Muda Jin menangis lagi!"

Jiang Cheng yang tengah menulis laporan di ruang kerjanya menghela nafas. Ia meletakkan kuas tintanya dan berdiri, berjalan keluar mengikuti pelayan wanita yang terengah karena panik.

Ini sudah yang kesekian kalinya setelah tiga hari pulang dari Lanling. Kemarin saja ia harus bangun di tengah malam karena memberi susu pada Jin Ling yang terbangun dengan menangis.

Alhasil, ia tidur hanya tiga jam saja selama beberapa hari ini.

Saat masuk ke dalam kamar sang keponakan, terlihat beberapa pelayan wanita yang mengurus sedikit kewalahan karena sang bayi yang memberontak. Bagaikan tak mau diurusi oleh mereka, sang Jin Ling kecil makin menangis dengan menjerit keras.

Suaranya memekakan telinga orang-orang yang berada di ruangan. Bahkan dua pria penjaga pintu kamar Jin Ling saja sampai menutup telinga mereka. Ingin pergi sungkan, tetap disitu juga cari tuli.

Jiang Cheng mendapati situasi seperti ini cukup membuatnya stress.

Sepertinya ia harus mencari buku-buku tentang pendidikan orang tua pada anak sehabis ini. Khususnya tentang menangani bayi yang rewel.

"Akan kuurus dia sendiri. Kalian ambilkan baju baru, susu hangat, dan kain. Keperluan apa saja untuk bayi mandi. Untuk kalian, jaga di halaman depan saja."

"B-Baik!!"

Seluruh pelayan dan penjaga yang ada di sana langsung pergi dari tempat, membiarkan Jiang Cheng sendirian di kamar dengan sang keponakan yang tetap masih menangis.

Jiang Cheng menoleh dan melihat pada Jin Ling kecil yang terbaring sambil menahan tangis.

Ia menghela napas singkat dan mengangkatnya.

"Kau kenapa, hm? Masih tak nyaman? Rindu ibumu, ya?"

Jin Ling kecil yang diangkat pun hanya menahan tangis sambil menggeliat dengan gerutuan bayi yang tengah rewel.

"Huweehh... Hiks...Uunngg..~"

Mendengar itu, Jiang Cheng sedikit tersenyum sedih. Ia mendekapnya sambil menepuknya dengan tenang di dekapan.

Pasti Jin Ling sangatlah merindukan kakak dan iparnya.

Tidak. Mereka hidup di hati Jin Ling dan Jiang Cheng. Pasti keduanya ada di surga dengan kedua orang tuanya, mengawasi dari atas.

Ya, pasti begitu.

Perlahan Jin Ling kecil sudah mereda rewelnya dan menggerutu saja, mengemut pakaiannya yang dipakai oleh Jiang Cheng. Merasakan sesuatu yang basah di bahunya, ia mengangkat badan dan kepala Jin Ling yang masih mengemut pakaian ungunya.

"Oi, oi. Jangan makan pakaianku. Hm, sepertinya kau lapar."

Jin Ling kecil memberontak dan mulai merengek dengan jeritan.

"Jangan berteriak, tenanglah." Ia mencoba menghentikan rengekannya, tapi malah bajunya ditarik-tarik dan rambutnya juga mulai diberantakki.
Penampilannya sungguh kacau.

Astaga, ia jadi stress lagi.

Tak lama kemudian, beberapa pelayan masuk membawakan keperluan dan baju ganti untuk anak bayi. Susu yang hangat juga sudah disediakan di nampan dalam beberapa botol.

Para pelayan terdiam melihat penampakannya yang berantakan dan tak berani komentar, langsung pergi menyelamatkan diri mereka.

Jiang Cheng meminta sebotol dan memberikannya pada Jin Ling yang meraih-raih sebelum meminum dengan lahap.

Mata Jiang Cheng melembut sambil menatap sang keponakan yang kehausan dan butuh asupan susu.

Tapi baru 2 menit mengedot susu, Jin Ling kecil melepas dan mendorong botol susunya, membuat Jiang Cheng mengambil botol tersebut.

"Ada apa?? Kau tidak haus lagi?? Mau ngapain lagi, hm?"

Nadanya sedikit melembut meski ada kesan kerasnya, matanya tetap memperhatikan Jin Ling yang menggeliat ingin membuka bajunya sendiri.

Ah, dia ingin mandi. Kode yang tak ia sangka.

Lalu Jiang Cheng membawa Jin Ling kecil ke kolam mandi khusus miliknya. Disana ada seember air yang sudah dihangatkan oleh pelayan.

Ia membuka baju Jin Ling kecil meski ada sedikit penolakan dan geliatan menahan tangis, tapi kemudian ia perlahan mencelupkan sebagian badan sang keponakan dan membilasnya dengan pelan. Astaga, celananya penuh dengan kotoran dan bekas urin. Yah, namanya juga bayi sih tapi agak canggung juga harus begini.

Ia menyuruh pelayan mencucinya dan kembali memandikan Jin Ling kecil.

Dengan mainan mengapung, ia membiarkan Jin Ling kecil memegang dan bermain sejenak agar rileks saat ia memandikannya dengan bersih nan harum.

Jiang Cheng tak terbiasa dengan kegiatan seperti ini, tapi mau tak mau ia harus melakukannya. Jin Ling kecil sepertinya tak mau patuh pada orang lain selain dirinya saja. Karena ia adalah adik ibunya atau karena memang nyaman, ia pun tak tahu.

Tapi kesempatan ini tak bisa dilewatkan, jadi Jiang Cheng mencoba menikmatinya.

Walau nyatanya stress juga.

Jin Ling kecil sudah dimandikan dan mulai capek habis bermain di air pun diangkat oleh Jiang Cheng. Ia menghandukkinya menjadi bola dan membawanya ke kamar lagi.

Jiang Cheng mencoba memakaikan baju ganti pada Jin Ling kecil. Kadang ia menggelitikinya sambil menaburkan bedak, membuat Jin Ling kecil mengeluarkan tawa yang sangat polos dan bersin sesaat. Hatinya sedikit melembut untuk sang ponakan yang tak berdosa di hadapannya ini.

Setelah harum dan wangi oleh wewangian lembut, Jin Ling kecil diberikan susu lagi. Kali ini dihabiskan sampai habis.

Jiang Cheng mencoba menepuk punggungnya perlahan dan menimangnya, tapi entah mengapa malah sang keponakan menggeliat ingin menangis.

"Hiks... Huweeh... Hoeee...~~"

"J-Jangan menangis! Diamlah, A-Ling! Jangan menangis, ya... Sshhh..."

Jiang Cheng mencoba menimang sang bayi, sambil mengelus serta menepuk dari kepala hingga punggungnya agar bersendawa dan cepat mengantuk.

Tiga puluh menit terasa sangat lama bagi Jiang Cheng hingga akhirnya Jin Ling perlahan mengantuk dan tertidur di dekapannya, menyender di bahunya yang bidang.

Jiang Cheng menghela nafas dan mencium kepala Jin Ling kecil yang mulai terlelap.

Ah, sudah jam berapa sekarang. Bahkan ia sampai lupa akan laporannya.

"Aku harus bagaimana sekarang..." gumamnya pelan lalu menatap bayi yang tertidur pulas di gendongannya.

Ia keluar dari kamar sang ponakan dengan membawa satu botol susu, menuju kamar tidurnya untuk beristirahat bersama Jin Ling kecil.

Sepertinya ia menemukan jawabannya malam ini.

.
.
.

Beberapa tahun tak terasa berlalu dengan berbagai musim bergantian. Semakin hari, Jin Ling kecil mulai tumbuh menjadi balita yang sehat dan aktif. Kadang Jiang Cheng membawanya ke Lanling agar Jin Guangyao bergantian menjaga Jin Ling kecil.

Namun, karena Jin Guangyao yang semakin sibuk juga maka Jiang Cheng yang lebih diandalkan dalam urusan merawat Jin Ling kecil.

Jin Ling kecil yang dulu hanya bisa menangis jerit dan berguling seperti bola, kini sudah bisa merangkak cepat dan hampir bisa berdiri.

Setiap harinya, Lotus Pier sungguh berisik karena tingkah Jin Ling kecil yang ingin mengikuti Jiang Cheng ketika akan berangkat bekerja.

Para pelayan saja juga kadang panik dan lelah karena mengejar sang balita yang merangkak cepat.

Kebanyakan, akhirnya Jiang Cheng mengalah dan hanya bisa menggendongnya di dekapan. Dirinya bekerja sambil membiarkan sang keponakan memainkan rambutnya dari belakang dengan pita dan karet, kadang membuat beberapa anak buah yang memperhatikan pun agak canggung kalau membahas sesuatu di depan sang ketua sekte Jiang tersebut.

Selama beberapa tahun kemudian, pekerjaannya juga semakin menumpuk sembari mengurus keponakannya yang mulai aktif. Saat di usia yang cukup, Jiang Cheng mengajarkan Jin Ling untuk memakai senjata.

Dan senjata yang dipilihnya adalah panah.

Pernah ada insiden suatu kali Jin Ling hendak membidik papan target.

Namun bukannya mengenai sasaran, malah mengenai paha Jiang Cheng. Alhasil, Jiang Cheng memarahinya dengan galak.

Hal itu membuat Jin Ling menangis sampai memeluk pinggang sang paman karena merasa bersalah, Jiang Cheng terdiam dan tak jadi memarahinya.

Masa-masa penuh kepolosan kala itu memang sangatlah berharga di setiap detiknya. Bahkan ia menyimpan album potret Jin Ling saat masih kecil. Jiang Cheng takkan menyia-nyiakan kebaikan Dewa agar dirinya bisa mendidik Jin Ling sampai besar seperti sekarang ini.

Kenangan seperti itulah yang akan ia jaga. Bisa saja ia tanpa malunya menyatakan kalau ia akan selalu menjaga Jin Ling jika mabuk disuguhi arak.

"Ketua Sekte Jiang."

Tersadar dari lamunan akan masa lalu, Jiang Cheng melihat pelayan dari sekte Jin membungkuk hormat.

"Anda disuruh oleh Tuanku untuk menghadapnya."

Sekarang posisinya sedikit berubah, hm?

Langkah kakinya mengikuti tempat meja makan dimana para tamu dan sesepuh duduk bersama di meja makan.

Jin Ling mendapati pamannya yang baru masuk dan membuatnya duduk di sebelahnya.

Jiang Cheng duduk dan menatapnya dengan tegas. "Tuanku."

"Paman, ayolah. Tak perlu kaku begitu. Lagipula, sekarang aku resmi anggota sekte Jin."

Jiang Cheng tak mau bertengkar jadi hanya berkata singkat saja. "...Bersikaplah baik. Memimpin itu sulit."

Mendengar itu, Jin Ling mengerucutkan mulutnya. "Hmph! Paman seperti meragukanku. Aku ini bisa, kok! Tapi... Itu masih terlalu lama."

"Hm. Kita lihat situasi dan kondisinya saja."

Jin Ling menuangkan arak Lanling Jin yang bernuansa mewah nan asam. Sementara dirinya sendiri meminum teh ginseng yang sedikit manis.

Malam ini, perayaan penobatan Jin Ling adalah salah satu dari bibit yang ditanam oleh Jiang Cheng sebagai paman yang seharusnya.

.
.
.

====================

Hi, guys, I am back.

First! Happy birthday for our Lan Shizui, Wen Yuan~ 💙❤💙
I think its 15th Jan huh... wow, time flies fast.

And second! Happy new year. Sorry for late reminder but here. Enjoy the fluffness and angst. Welp.

For this chapter, I showed you guys about Jiang Cheng if he take care of his nephew from zero to hero. Imma so proud of him *wipe tears*

Here is jc being tired taking care of baby jl

And I will reappear the shadows along with fierce corpses soon on several chaps soon. Please looking forward to it!

As usual, thank you for the views, votes, and leave the comments so I can know whats on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer.

See you guys next time!~ Adios~

regards,

Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro