6.5 - Second Life
Gelap.
Semuanya gelap.
Seharusnya begitu.
Setelah hidup bertahun-tahun dalam kegelapan dan penderitaan, di dunia setelahnya juga sama; gelap gulita.
Namun tak lama kemudian, sebuah suara halus, lembut, merintih dengan lemah. Seakan memanggilnya.
Saat hendak mencari tahu, yang terlihat hanyalah setitik cahaya perlahan membesar dan mendekat.
Makin membesar dan silau, semakin nyata hingga—
"...!"
Kelopak mata lentik itu terbuka dengan lebar.
Nafas terengah berat, keringat dingin bercucuran, hawa terasa menusuk ke seluruh tubuh, membuatnya merinding namun lembab.
Sembari menyadarkan diri, ia melihat langit-langit kamar yang sedikit memancarkan aura dingin. Perlahan, ia mencoba duduk dan melihat ke sekitar.
Kamar yang berfunitur kayu mahoni, ruangan pribadi tersebut juga terkesan feminim dan bersih. Beberapa aksesoris rambut wanita di meja rias seperti tusuk konde, bros dan pita rambut berukuran kecil.
Ia terdiam dan menunduk ke badannya sendiri. Menyentuh rambut panjang yang terawat rapi, sembari mengangkat kedua tangannya yang memiliki jari lentik.
Apakah dirinya jadi kurusan?
Ia menatap akan dadanya dan menyentuh perlahan.
Sentuh.
Diam.
Kedua tangannya meremas sekali, dua kali kepada dua gunung yang ada di dada tubuh tersebut.
Hmm. Besar juga.
Tapi ia membuka bawahannya dari jubah tidur yang dipakai saat itu juga.
...Oh tidak. Kebanggaannya tak ada.
Tunggu, dia ada di tubuh wanita?!
Lalu ia mencoba bicara. Suara tubuh tersebut luar biasa lembut. Astaga, kalau bicara pun pasti takkan terdengar.
Ia tes beberapa kali, dan memperbesar volume pita suaranya.
"Aiueo~ Oke, sudah pas. Tunggu, ini dimana? Jam berapa sekarang?"
Ia menoleh ke arah sekitar lagi dan merasakan angin pegunungan masuk ke dalam kamar dari ventilasi yang sedikit terbuka.
Tunggu dulu. Pegunungan?
Pintu terbuka, membuat dirinya refleks menoleh pada sumber suara yang membuka pintu geser ruangan pribadi tersebut.
Seorang perempuan berpakaian khas klan Gusu Lan masuk ke dalam ruangan dan menghampirinya sembari duduk di samping kasur. Nampan berada di tangannya, membawa sarapan sup sayur dan nasi beserta beberapa makanan yang vegetarian.
"Ruhi-Shijie! Syukurlah... Akhirnya kau bangun juga."
Tetiba saja, ia merasa kepalanya berdenyut hebat, membuatnya meringis kesakitan. "Ugh!.."
"Ruhi-Shijie! Kau kenapa??"
Suara panik itu jadi terdengar samar karena ia melihat di penglihatan dirinya tentang sesuatu.
Bagaikan sebuah rol film yang diputar, Rouhan melihat kehidupan seorang wanita yang tumbuh di Gusu. Wanita tersebut bernama Lan Ruhi, ia lahir yatim piatu dan diasuh oleh nenek yang memungutnya dari kebakaran desa di pinggir daerah Gusu, lalu diangkat menjadi cucu. Waktu umur 9 tahun, neneknya meninggal dunia karena usia dan Lan Ruhi mulai menjadi mandiri. Ia menjalani ujian saat berumur 20 tahun dan menjadi seorang guru pengajar murid wanita, yang terkenal cerdas dalam menulis puisi serta seni melukis. Sifatnya lemah lembut namun bertangan dingin serta antisosial ketika mengajar membuatnya disegani dan dirumorkan menjadi perawan tua. Waktu ia umur 25 tahun, Lan Ruhi mulai sakit-sakitan dan tak bisa mengajar selama 3 tahun.
Rouhan jadi mengerti sekarang mengapa dirinya merasa sangat lemas. Ternyata dia berada dalam tubuh seorang wanita yang pesakitan.
"Aku tak apa... Hanya sakit kepala, terima kasih." Ia sedikit memandangnya.
Lan Guihua namanya. Sama sepertinya, Lan Guihua adalah seorang guru wanita Gusu Lan yang memiliki gelar cendekiawan. Dia mempunyai kemampuan spesialis filosofi, fisika, dan matematika, serta adalah satu-satunya kawan seperguruan Lan Ruhi yang merawatnya. Sang sahabat yang berjarak 2 tahun dibawahnya itu selalu membawakan obat dari tabib, keduanya sudah seperti saudari kandung dikarenakan sama-sama yatim piatu dan diangkat oleh klan Gusu Lan untuk menjadi murid.
"Aku sangat mengkhawatirkanmu. Kupikir kau kenapa-kenapa..." ucapnya dengan raut wajah lega.
Wen Rouhan-atau yang mulai sekarang dirinya mau tak mau menjadi Lan Ruhi, mencoba tersenyum tipis. "Aku tak apa, Hua-Shimei. Hanya sakit kepala saja."
Ia menggunakan panggilan yang biasanya Lan Ruhi asli pakai untuk ditujukan pada Lan Guihua.
Padahal sakit kepalanya tadi seperti dibenturkan ke besi yang berat.
Guihua memberikan obat yang harus diminum. "Aku bawakan sarapan dan obatnya. Minumlah dulu, lalu kuantarkan mandi."
Ruhi menerima obatnya. Ugh, pahit!
Tangannya mulai menyumpiti nasi tapi kemudian Lan Ruhi bertanya, "Uhm, sekarang jam berapa? Ini dimana?"
Lan Guihua mengernyitkan dahi dan menjawab, "Ini di kamarmu, Ruhi-Shijie. Dan sekarang sudah jam 9 pagi. Shimei habis melakukan apel pagi seperti biasa bersama Guru Besar lainnya."
Lan Ruhi mengangguk paham, lalu memakan dalam diam. Sekarang ia berada di Cloud Recesses. Tepatnya bagian dari asrama wanita.
Waktu ia masih menjadi Wen Rouhan yang lincah dan nekatan, ia hampir ingin mencoba masuk ke dalam area ini karena penasaran kawasannya dan ciri wanita Gusu Lan. Tapi dirinya hampir tertangkap basah dan kabur, tak pernah tahu penampakan bagian ini lagi.
Namun sekarang, malah dia masuk ke tubuh orang lain dan menjadi guru wanita Gusu Lan yang pesakitan.
Hebat, Wen Rouhan. Sungguh takdir yang menggelikan.
Setelah makan, Lan Guihua membereskan nampan beserta isinya dan hendak mengantarkannya ke tempat mandi.
Lan Ruhi menyahut, "Uhh... Hua-Shimei? Habis mandi... Bisakah aku berkeliling? Shijie ini rindu akan pemandangan sekitar..." Ia mencoba untuk membujuknya agar bisa memberitahu tempat sekitar. Lagipula, ia harus bisa beradaptasi menjadi wanita karena tubuh baru ini.
Lan Guihua sedikit khawatir saat bertanya lagi, "Shijie yakin? Shimei takut nanti Ruhi-Shijie tumbang lagi."
Lan Ruhi menepuk pundaknya, dalam hati merasa ketulusan dari pengurusan sahabat dari mantan pemilik tubuh yang ia tempati sekarang. Mengingatkan dirinya akan seseorang yang dulu sekali pernah peduli padanya.
"Tidak apa. Lagipula aku merasa baik-baik saja. Tolong tuntun Shijie ini."
Akhirnya setelah mengantarkan nampan, Lan Guihua menuntunnya menuju tempat mandi dan mulai berendam di kolam sendiri. Lan Guihua berada di tempat lain untuk mandi juga. Dan tiap tempat dipisahkan oleh sekat kayu untuk privasi.
Lan Ruhi mencoba mandi sendiri dan membasahi semua tubuhnya. Tak terpikirkan olehnya kalau tubuh ini sungguh sempurna, meski terasa sedikit kurus dan dirinya tak punya sesuatu yang tegak lagi.
Sial, ia sedikit merindukan menjadi pria.
Dirinya mencuci wajah dan melihat pantulan wajah dari tubuh yang ia pakai.
"Hmm... Tidak jelek juga. Wanita ini mukanya pucat, tapi masih ayu." gumamnya pelan dan melihat seluruh tubuh, termasuk dada yang ia remas sendiri.
Empuk juga.
Dipikir lagi, kenapa dirinya berada di dalam tubuh wanita malang ini? Wen Rouhan bahkan mengira ia sudah mati dan merasa tak pantas untuk mengotori tubuh suci ini dengan jiwanya yang penuh noda kejahatan.
Dewa sungguh terlalu baik padanya, hingga penjahat seperti Wen Rouhan diberikan kesempatan hidup kedua. Bahkan sampai mengambil jiwa Lan Ruhi asli agar tenang di alam sana tanpa menderita sakit lagi.
"Maafkan aku, Lan Ruhi asli. Aku akan coba menjaga tubuh ini sebisaku. Kalau memang aku disuruh hidup untuk menggantikanmu, akan kulakukan." Dirinya bercakap sendiri dan segera lekas mandi.
Dingin sekali airnya, sialan!
Untung dirinya tidak mengumpat, bisa-bisa nanti orang pada curiga.
Setelah mandi dan ia dituntun kembali ke dalam kamar, dirinya kemudian dipasangkan baju khas Gusu Lan oleh Lan Guihua.
Sembari menatap diam di depan cermin, ternyata penampakan luar dari tubuh ini sungguh mempesona dengan baju mereka yang terkenal sederhana namun sopan.
Wen Rouhan bahkan sedikit terkesima akan penampakan wanita cantik yang tubuhnya ia pakai saat ini berdiri di depan kaca. Tubuhnya begitu manis dengan tinggi yang standar. Memang ada sedikit kesan dingin di garis wajahnya, namun tak menghapus paras ayu yang terukir jelita.
Dengan sanggul atas yang diberikan aksesoris pun juga tak lupa disampulkan di tatanan rambut panjang Lan Ruhi. Jubah luar yang tebal dipasangkan untuk menjaga kehangatan tubuh malang tersebut. Terpikir olehnya jika ia bawa untuk terus bergerak maka kemungkinan sakitnya akan berkurang dan bisa membangun imun yang lebih bagus. Ia akan mencoba mengecek inti emasnya jikalau kekuatan kultivasinya ada atau tidak.
"Baiklah, selesai~ Ruhi-Shijie bisa jalan-jalan sekarang. Bagaimana menurutmu?"
Lan Ruhi menatap penampilannya dengan mencondongkan kepala, mencoba berputar dengan kaku dan tersenyum miring, kedua tangan ada di pinggang dengan bangga. Baju biru dan putih khas wanita Gusu Lan membungkus tubuhnya dengan elok.
Tak pernah ia bayangkan akan memakai baju biru Gusu Lan selain warna merah Qishan Wen.
"Mengesankan. Ini cocok sekali untukku."
Hal itu membuat Lan Guihua jadi sedikit terheran.
Sejak kapan kakak perguruannya ini tersenyum dan bersikap maskulin begitu?
Sadar akan respon sang sahabat mantan tubuh, Lan Ruhi mencoba tersenyum tipis seperti biasa dan menurunkan tangannya.
"M-Maksudku, Shijie ini suka sekali. Terima kasih, Hua-Shimei."
Lan Guihua mengabaikan hal yang tadi dan mengangguk akan ujarannya, membawanya untuk keliling sekitar.
Dituntun oleh sang sahabat, mereka berdua berjalan di lorong koridor sekitar asrama wanita. Sesekali mereka menyapa balik pada beberapa orang yang lewat.
Taman umum asrama, ruangan santai, ruangan musik, kesenian, dan yang lainnya juga ditunjukkan.
Lan Ruhi diajak untuk melihat bangunan sekolah wanita Gusu yang menjadi tempat kerja mereka berdua. Ruang mengajar yang tertata rapi, bangunan terlihat nyaman untuk belajar, tak lengkap rasanya tanpa aroma buku dan pegunungan dingin mengalir menerpa badannya dengan sepoi.
Beberapa murid menyapa sopan pada mereka dan menanyakan kabar Lan Ruhi dan Lan Guihua, yang ditanggapi sesuai sifat Lan Ruhi aslinya. Wen Rouhan tak mau membuat resiko yang berarti. Apalagi dia sekarang menjadi seorang wanita yang bermartabat dari Gusu Lan. Ia harus adaptasi sebisa mungkin dan perlahan mencoba mengeksplor diam-diam sendirian, kalau bisa seluruh bangunan termasuk bagian utama dan wilayah khusus laki-laki.
Saat berkeliling di taman sekolah yang penuh akan kelinci dan batu alam yang mulus, tempatnya cukup jauh dari bangunan sekolah dan hanya beberapa murid junior memberi makan kelinci yang ada.
Dari sudut mata Lan Ruhi, ia melihat sebuah pohon loquat yang rimbun. Pohon tersebut berada di sebelah pinggir pagar bambu rimbun yang setinggi 1,5 meter dan ada sebuah bangunan yang tak jauh dari sana.
"Hua-Shimei, bangunan apa itu?"
Lan Guihua menoleh pada arah yang ditunjuk dan menjawab, "Oh, itu bangunan sekolah murid lelaki di Cloud Recesses yang dibatasi oleh pagar bambu itu untuk penghalang."
"Pohon loquat di sana itu seperti penanda pagar batas saja..." celetuknya heran, disambut anggukan.
"Benar sekali. Pohon itu sudah lama berdiri, itu seperti tanda bahwa kawasan yang boleh dilewati hanya bisa sampai situ. Kita tak boleh melihat atau kontak dengan murid dan guru di sana." jelas Lan Guihua padanya.
Peraturan Gusu Lan tak berubah. Penuh akan larangan, pikir Wen Rouhan dalam hati sembari mengangguk dan pergi ke tempat lainnya.
Setelah berkeliling, Lan Ruhi merasa capek dan ingin istirahat. Tubuh ini sepertinya memang belum terbiasa berjalan karena terus berbaring dan sakit-sakitan, padahal ia masih ingin berkeliling lagi.
Lan Guihua memulangkannya ke kamar pribadi Lan Ruhi.
Ia membuka pintu untuk keluar. "Istirahatlah, Shijie. Kalau ada apa-apa tinggal panggil Shimei ini. Shimei harus mengurus kelas dulu untuk mengajar junior."
Lan Ruhi mengangguk dan melihatnya keluar, menutup pintu dari luar sebelum langkah kakinya terdengar menjauh.
Ia bangkit perlahan dan mengintip keluar, menoleh ke kiri dan kanan. Lan Ruhi memastikan tak ada orang.
Bagus. Sudah sepi. Aman!
Ia tutup pintu dan berjalan mengitari ruangan pribadi mantan pemilik tubuh tersebut.
"Ini benar-benar gila. Aku masuk ke dalam tubuh ini pun juga gila! Berarti ada yang memanggil jiwaku atau Dewa terlalu bodoh memberikanku hidup baru ini." pikir Lan Ruhi menggerutu, mencari petunjuk apa pun yang mencurigakan. Mau itu tentang ritual pemanggilan jiwa atau sebagainya
Namun nihil.
Ini mengherankan sekali. Untuk apa ia hidup lagi?
"Apakah pemilik tubuh ini melakukan ritual kultivasi hitam? Tunggu, ini sudah berapa tahun?"
Menghitung lagi tentang kejadian dirinya mati di perang para klan, dan sesudah kampanye Sunshot.
"Ini dia!"
Dia mengambil buku kertas kalender yang sudah dicoret oleh tinta dan bertuliskan agenda apa saja yang ada.
Manik rubinya membesar, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dirinya menghitung dengan antisipasi.
"5, 8... Tidak. Sudah 17 tahun..."
Tak terbayangkan kalau dirinya telah mati dan 17 tahun sudah berlalu, dan jiwanya dimasukkan ke dalam tubuh ini untuk hidup lagi. Apalagi ia harus hidup sebagai wanita Gusu Lan yang penuh disiplin dan tata krama.
Sama sekali bukan seperti dirinya, berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.
Ia letakkan lagi buku kertas tersebut dan mencoba mengecek inti emas tubuh tersebut.
Wen Rouhan memejamkan mata dan berkonsentrasi pada pengumpulan energi. Ada sensasi mengalir di seluruh tubuhnya, dan merasakan kekuatan dari inti emas milik tubuh tersebut.
Ia membuka matanya setelah selesai mengecek. Intinya sedikit lemah seperti yang sudah diduga... tapi mungkin dia bisa kuatkan lagi dengan kultivasi lanjutan, dan menyeimbangkan kekuatan tenaga dalamnya.
"Mulai sekarang aku harus beradaptasi menjadi Lan Ruhi, wanita Gusu Lan. Tak ada cara lain selain itu."
Maka dari itu, dimulailah Wen Rouhan menjalani kehidupan keduanya sebagai seorang Lan Ruhi.
.
.
.
Beberapa minggu telah berlalu, dan Wen Rouhan mulai beradaptasi dengan cepat untuk menjadi seorang Lan Ruhi.
Ia sudah mencoba untuk mematuhi segala kegiatan wajib yang ada di tempat tersebut, motifnya hanya karena penasaran dan adaptasi.
Bahkan saat ia meminta untuk ikut apel pagi, Lan Guihua terkejut bukan mainnya—dalam arti senang sebelum berdo'a bersama dengannya. Hal itu juga membuat beberapa penghuni terheran. Karena sejak terbaring sakit selama tiga tahun, Lan Ruhi tak pernah ikut apel pagi. Pertama yaitu sifat antisosialnya dan dingin, dan yang kedua adalah kondisi tubuhnya yang lemah jadi terpaksa ia diberi ijin khusus untuk tidak ikut apel pagi.
Dan para guru besar wanita pun mulai menyambutnya dengan tangan terbuka untuk berdo'a bersama lagi.
Menurut agenda buku harian mantan pemilik tubuh, Lan Ruhi mulai mengajar di kelas pada hari tertentu saja dan memiliki kegiatan yang cukup padat; kelas syair puisi, kelas sejarah, latihan kaligrafi, pelatihan kultivasi standar, bahkan latihan musik ada di dalam daftarnya.
Namun, karena kondisi badannya, maka seluruh kegiatan batal dan dirinya tak ada jadwal sama sekali berhubungan dengan dirinya yang pesakitan.
Badan ini lebih lemah dan merepotkan, tapi bisa lebih ringan dalam melakukan apapun. Walau kehilangan penegak di bawah selangkangannya, Wen Rouhan merasa terobati karena dada yang montok dimiliki olehnya sekarang.
Hitung-hitung sebagai pengganti yang hilang.
Selama beberapa minggu berlalu juga, ia mengitari seluruh wilayah Cloud Recesses khusus wanita tersebut dengan penuh minat. Ternyata sungguh berbeda.
Seingatnya dulu, jika berada di bagian wilayah lelaki, semuanya tampak sopan dan penuh budi pekerti yang mumpuni. Bahkan terlihat kaku serta penuh taat dengan peraturan.
Tapi kalau di wilayah perempuan, jika ada yang seumuran pasti suka bercanda dengan suara kecil—karena peraturan Gusu Lan yang tak boleh berbicara ribut di tempat itu. Seluruh perempuan juga menaati tata krama yang membuat mereka menjadi sosok yang lembut dan seperti wanita terhormat. Namun kalau bercakap akrab pasti lebih santai.
Intinya, sama-sama menaati aturan tapi lebih bebas wilayah wanita untuk bercengkerama dan sosialisasi.
Selama menjadi Lan Ruhi, ia sangat santai untuk menelisik seluruh kawasan wanita dan mulai punya kebiasaan untuk bermain dengan kelinci yang ada di taman sekolah yang berpita Gusu.
Berbekal pengalaman sosialnya, mata para penghuni mulai terbuka. Mereka berpikir, kalau sosok Lan Ruhi yang dingin bisa perlahan ramah dan mampu diajak berbincang setelah 3 tahun melewati sakit kritis.
Seperti melihat orang lain saja.
Tak terkecuali pada Lan Guihua juga yang merasa demikian. Memang benar yang ia lihat itu Lan Ruhi, kakak seperguruannya. Tapi semakin hari, ia semakin curiga karena Lan Ruhi yang dingin dan lembut perlahan mulai berubah.
Ada saat dimana ketika keduanya tengah berjalan di sekitar pohon apel yang berada di teman dekat gudang makanan asrama, Lan Ruhi mengajaknya untuk mengambil apel.
Namun bukannya memanggil orang agar mengambilnya, malah Lan Ruhi sendiri yang memanjat ke atas dan menjatuhkan apel ke keranjang yang dibawa oleh Lan Guihua.
Seumur hidupnya menjalani persahabatan dengannya, dia tak pernah mengetahui atau melihat sekali pun Lan Ruhi memanjat dengan lincah seperti itu.
Seakan setelah perlahan sembuh dari sakitnya, Lan Ruhi juga mulai berubah. Dari yang dingin dan lembut, menjadi lebih ramah dalam sosial dan... nekatan.
Lan Guihua seakan tak mengenalnya lagi, namun ia berpikir dua kali.
Lan Ruhi mulai sembuh dari sakitnya dan menjadi lebih suka beraktivitas.
Kalau sahabatnya memang berubah begitu positif setelah sehat, berarti do'anya selama ini telah tercapai.
"Setidaknya aku senang kalau Ruhi-Shijie lebih bisa aktif. Syukurlah... Terima kasih, Dewa." Ia tersenyum polos, sambil membuat teh Ceracus di ruangan pribadinya sendiri setelah capek mengajar matematika dari sekolah.
Ia meminum dengan lega, tanpa mengetahui kalau Lan Ruhi yang sekarang bukanlah yang dulu ia kenal.
.
.
.
Bayangan bulan yang masih menerangi terlihat diselubungi mendung yang menguar. Seorang pria berjubah putih biru duduk di beranda ruangan pribadinya, hanya terlihat diam mematung menatap langit luas tanpa bintang.
Raut wajah yang keras tapi dilembuti dengan janggut serta kumis tersebut hanya bungkam. Di depannya hanya secangkir teh melati yang mulai mendingin, sementara teko kaca ada di meja, tetap menjaga kehangatan cairan yang berada di dalam.
Malam ini seperti biasanya, ia akan merefleksikan dirinya sendiri akan apa yang telah terjadi.
Bahasa kerennya introspeksi diri.
Masih terbayang akan memori yang dahulu kala pernah terjadi di ingatannya.
.
"Qiren,"
Pria dengan julukan Qingheng-jun—kakaknya—memanggil pada suatu hari, samar sekali hingga hanya terdengar seperti gumaman.
Qiren langsung menoleh.
"Mencintai dan dicintai; menurutmu bagaimana?"
Qiren menatap kakaknya lekat-lekat, agak heran atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan olehnya.
"Maaf, dada, aku tidak tahu." Ia menggeleng pelan.
Qingheng-jun menghela nafas, kedua ujung mulutnya terangkat sedikit.
"Mencintai tanpa dicintai, akan terasa perih. Dicintai tapi tanpa mencintai, akan terasa sepi. Sebuah tragedi kecil akan terjadi kalau kedua hal itu tidak saling melengkapi, bukan begitu, menurutmu?" jelas kakaknya itu, separuh tertawa.
"Tragedi kecil?" Lan termuda itu mengangkat kedua alis.
Tak ia sangka kakaknya akan coba menggunakan pilihan kata yang begitu puitis dan terkesan dilebih-lebihkan.
"Tapi," Kakaknya melanjutkan lagi, "Aku pernah membaca di suatu buku. Mencintai memberikanmu keberanian, dicintai memberikanmu kekuatan. Karena cinta sendiri adalah konotasi yang positif, aku rasa penjelasan barusan lebih masuk akal, Qiren."
.
Saat itu, ia hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan kakaknya, kini Lan Qiren menyesal tidak bersikap lebih atentif.
Setidaknya, ia bisa bertanya akan perasaan yang kian hari kian menggebu dan menyayat sukmanya pada seorang pemuda serba merah.
Teringat akan perasaannya yang termakan perih dan tak kunjung pulih.
"Dada," bisiknya lemah, lindap dalam keheningan malam.
"Mencintai dan dicintai, tapi tak bisa berkata apa-apa tentang itu, menurutmu bagaimana?"
Seperti biasa, sepi yang menjawabnya.
Takkan ada yang bisa menjawabnya kecuali suara jangkrik dan serangga malam yang menyanyi diikuti keheningan malam yang menusuk tulang.
.
.
.
Lapar.
Perutnya keroncongan, padahal sudah makan siang. Ia juga tak bisa tidur siang seperti jadwal mantan pemilik tubuh.
Ingin meminta sesuatu seperti cemilan tapi tak mungkin, karena disini peraturan Gusu sungguh ketat. Meski pun di asrama wanita, tapi menyuruh Lan Guihua juga tak sopan.
Pantas wanita di Gusu kecil dan kurus, mereka makan dengan diet ketat. Semuanya serba sayuran alias vegetarian. Beda dengan Wen yang mengutamakan daging sebagai pokok utama.
Bahkan kadang Lan Ruhi harus mengambil cemilan dari dapur asrama saat tak ada penjaga.
Ia bosan juga berada di dalam kamar.
"Tak ada kelas... Latihan kultivasi juga sudah kulakukan..." gumamnya menopang dagu sambil duduk segitiga siku-siku ala lelaki.
Salah satu kebiasaannya ini hampir tak bisa ia tinggalkan. Duduk sopan bukanlah gayanya.
Matanya hanya memandang pemandangan pegunungan yang dingin dan sejuk.
Tetiba pikirannya mengambang pada pohon loquat yang pernah ia lalui kemarin waktu berjalan-jalan.
Akhirnya setelah mengendap keluar, Lan Ruhi pun pergi berlari mencari pohon loquat tersebut.
"Ah. Ketemu!"
Ia mendongak pada pohon rimbun yang menjulang melawan gravitasi di dekat pagar batas.
Sekolah sedang libur dan sekitar area sungguh sepi selain hanya ada kelinci yang berkeliaran.
Setelah menoleh ke sekeliling, ia menyingsingkan lengan dan mulai memanjat dengan lincah bak monyet.
Jangan salah, salah satu keahliannya memanjat tak bisa ia hilangkan meski sudah menjalani peraturan Gusu Lan dan bersikap layaknya seorang wanita.
Meski tubuh wanita yang ia pinjami ini kurus, tapi cukup ringan saat ia coba menaikkan badannya ke atas.
"Wah. Sudah matang. Harus kuambil sebelum ada yang datang."
Diambilnya sebuah, dua buah ia kantongi di kantung lengannya karena lapar. Ia memikirkannya sebagai cemilan di kamar, sebelum tak sadar akan hal fatal.
Dahan yang dipijak ternyata cukup kecil, dan tak mampu menampung tubuh barunya hingga akhirnya membuat dirinya terjatuh dari atas.
Ia terlalu kaget dan berpikir akan menghantam tanah, jadi dirinya memejamkan mata.
Namun tak terjadi apapun.
Malahan, ia merasa ada yang menangkapnya.
Perlahan ia membuka mata dan terhenyak menatap pada sosok yang menangkapnya.
Wajah yang keras namun lembut, dengan pita dahi khas Gusu, serta kumis jenggot yang senantiasa menemani ciri khas wajahnya.
Lan Qiren, sang mantan kepala sekte Gusu, membuat jantungnya berdebar setelah sekian lama meninggalkan perasaan menggantung di masa lampau.
Terdiam sesaat dengan posisi picisan itu, angin sepoi menerpa keduanya sembari berpandangan.
"Qiren...?"
Tersadar akan ucapan lembut tersebut, sang pria langsung menurunkan perlahan tubuh sang wanita yang ditolongnya. Lan Qiren mengambil buah loquat yang jatuh dan mengembalikannya padanya.
"Hati-hati. Anda bisa terluka nanti."
Wen Rouhan ternyata memang tak bisa dikenali jika berada di dalam tubuh wanita.
"Terima kasih atas pertolongannya, Guru Besar Lan Qiren. Saya berhutang nyawa pada Anda." ujarnya memberi hormat ala wanita.
Hampir saja ia mau menyebut Lan Er Gege.
Tangannya menerima buah tersebut, sengaja membuat sentuhan sesaat ketika jari mereka bersentuhan.
Dari ujung mata lentiknya, ia melihat Lan Qiren menahan diri saat bersentuhan begitu dan menarik tangannya kembali, sebelum berdeham lagi seperti biasanya.
"Kalau begitu permisi."
Sang lelaki berlalu menjauh dengan anggun, meninggalkan sang wanita yang ditinggalkan di bawah pohon loquat.
Lan Ruhi berkacak pinggang sambil memakan buahnya.
"Kau tak pernah berubah, Lan Qiren."
Seulas senyuman tipis menghiasi bibir ranumnya ketika punggung sosok yang dibaluti jubah putih tersebut mengecil di pandangan mata. Lan Ruhi kembali ke kamarnya, menjauh dari pohon loquat yang ia panjat.
Hatinya merasakan hangat sekali setelah penderitaan lampau.
Ya, Lan Qiren adalah orang yang telah mengambil hatinya sejak dahulu kala.
.
.
.
"Lan Er Gege~"
Panggilan yang penuh ejek itu sudah terlalu akrab di telinga sang Lan kedua. Bukan main, rasanya seperti mau meledakkan gunung berapi saja ketika mendengar nada yang tak pantas untuk menyebutkan nama marganya tersebut.
Masih Lan Qiren ingat, saat pertama kali mereka bertemu di pembelajaran antar klan berpuluh tahun yang lalu.
.
Dirinya tengah berdiri dengan siaga, untuk berjaga-jaga.
Tak jauh di depannya, seorang pemuda berjubah lambang Qishan Wen membuat kekacauan dengan berkelahi karena ditantang oleh beberapa murid yang mengganggu.
Ia mengira itu kesalahan sang Wen muda, namun ternyata hanya salah paham dan hanya pertahanan diri karena dirundung.
Namun karena keduanya tak mau mengalah, maka mereka berkelahi dengan kekuatan yang ada. Semuanya disaksikan oleh awan yang menutupi purnama dan para murid klan lain yang dihajar kabur begitu saja, meninggalkan keduanya yang berkelahi.
"Pulang. Gusu Lan tidak menerima seseorang dengan ego tinggi sepertimu."
Namun sang pemuda juga membalas ucapan dengan ejekan. "Qishan Wen juga tidak menerima robot peraturan sepertimu."
"Kalau begitu pergilah."
Sang Wen muda membuat mulut 'oh' dengan nada kalimat pernyataan.
"Oh, sekarang klan Lan yang terhormat mengusir orang yang membela dirinya habis dirundung? Sangat tidak terhormat, ckckck."
"... Kau..."
"Lan juga tidak bagus-bagus amat, ya."
"...."
.
Lalu sejak saat itu, Lan Qiren mencoba menghindar dari seorang yang bernama Wen Rouhan sekaligus Tuan Muda klan Wen tersebut.
Namun nasib berkata lain.
Semakin mereka berinteraksi, semakin mereka tahu sifat satu sama lain.
Bahkan mereka pernah saling membantu ketika perburuan malam tiba.
.
"Kau tak buruk juga, Lan Er Gege."
.
Sejak saat itu, mereka makin akrab. Bahkan Lan Qiren sendiri tak paham kenapa bisa betah bersamanya.
.
"LAN QIREEEEENNN!!!"
"WEN RUOHAAANNN!!!"
Untuk pertama kalinya, Lan Qiren bersuara keras karena menjawab sahutan bangsat si pemuda Wen yang nekat mengganggunya itu. Bahkan ada Jiang Fengmian, Jin Guangshan, dan Nie Mingjue yang paling muda dari mereka pun hanya bisa memandangi teriakan dan perdebatan keduanya dalam diam.
Dan untuk pertama kalinya lagi, Lan Qiren dihukum menyalin 500 peraturan Gusu Lan.
.
Sering kali ia diganggu belajar dan dipaksa untuk ikut pergi kemana pun tuan muda itu sesuka hati. Tak luput juga sering dijahili dengan sekenak jidatnya.
Pernah suatu ketika mereka berargumen.
.
"Kita tak berteman lagi." Lan Qiren berkata dengan mangkel.
Namun Wen Rouhan hanya santai menanggapi. "Ya sudah, terserah. Aku juga tak mau ketemu kau lagi." Lalu ia meniup kelingkingnya.
Hal itu membuat Lan Qiren hampir menangis karena shock tapi kemudian ditenangkan olehnya, tertawa sambil meminta maaf.
Lan Qiren menggetok kepalanya dengan kekesalan akibat kebangsatannya yang bangsat.
.
Kadang dia diajak berkeliling wilayah untuk menemaninya, bahkan pernah sampai tersesat di air terjun kolam dekat taman umum yang jauh dari Cloud Recesses.
Kedekatan mereka sedikit membuat Lan Qiren mempertanyakan sensasi aneh yang muncul dari dalam dadanya tiap bersama pemuda berlambang merah itu.
Pernah suatu ketika, Lan Qiren diganggu saat tengah mengurus tugas dari pengajar.
.
Wen Rouhan duduk di sampingnya dengan muka bete.
"Qiren, aku bosan, ayo lihat bintang."
"Tidak bisa, ada tugas."
"Qiren."
"Nanti."
"Qiren."
"Nanti."
"...Ya sudah, tidak jadi."
Lan Qiren lantas menurunkan pandangannya dari buku pusaka tua yang ia teliti, sedikit meneleng heran. Tumben sekali pemuda Wen ini menyerah, dia jadi penasaran.
"...Ada apa, Ruohan?"
Ah, lihatlah, senyum itu. Cengiran khas pria serba merah itu muncul lagi.
Dadanya berdesir nikmat.
"Kau lebih indah dari bintang manapun."
Kini, ganti merah yang mewarna wajahnya. Lan Qiren menyesal sudah bertanya, menanggapi dengan getokan keras.
.
Bahkan Lan Qiren baru mengetahui bahwa Wen Rouhan memiliki kemampuan bernyanyi, dan selalu merasa bisa tidur nyenyak jika dinyanyikan olehnya.
Namun akibat kakaknya yang meninggal dunia, ia hanya bisa berduka dalam dan mulai menjauh dari Wen Ruohan. Tapi dia ditahan olehnya dan memeluknya tanpa kata. Lan Qiren menangis di dekapan sang Wen dan tertidur.
Sejak saat itu, tak ada lagi Wen Rouhan yang menyanyikan lagu tidur untuknya—bersamaan dengan kesibukan dan jauhnya jarak untuk bersama.
Berganti tahun, mereka putus kontak dan seakan tak saling mengenal.
Perang antar klan juga membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa selain melindungi sekte Gusu Lan dan kedua keponakannya yang berharga.
Setelah berbagai macam peristiwa yang bisa membuatnya sakit jantung, Lan Qiren sudah pasrah dan membiarkan segala hal.
Meski kadang merasa tak rela, karena hal itu membuatnya teringat lagi akan masa mudanya bersama si pemuda merah Wen.
Kabar kematiannya juga beredar, setiap malam ia petik dengan mantra untuk mencari jiwanya.
Akan tetapi tetap saja...
Harapan mulai sirna. Ia mencoba hampir merelakannya.
Sebelum ia bertemu dengan seorang wanita yang jatuh dari pohon kala itu dan menolongnya.
Ia tak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Mungkin karena ia tak berminat akan mengunjungi atau tahu tentang para wanita di sisi lain asrama lelaki.
Namun batinnya seakan mengatakan untuk menemuinya.
Tapi ia tak mengenalnya.
Jadi ia mencari tahu segala hal tentang dirinya.
Lan Ruhi. Guru wanita Gusu spesialis puisi dan melukis kaligrafi. Rumornya beredar di kalangan pada junior perempuan bahwa dia pesakitan yang tetiba sembuh dan mulai berubah.
Penasaran, ia pun mencoba meminta seseorang untuk memanggilkan Lan Ruhi agar datang ke paviliun Cloud Recesses yang berada di dekat taman bunga edelweiss yang tumbuh. Bahkan kalau bisa, dapat ijin dari guru besar perempuan dari sana.
Mendiskusikan soal pendidikan dan pekerjaan sebagai alibinya.
Kabar tersebut menyebar pada seluruh asrama wanita, senior maupun junior dan guru.
Mereka seperti tak percaya kalau Lan Qiren akan memanggil seorang wanita.
Tak terkecuali Lan Guihua yang memberitahukan ini pada Lan Ruhi.
"Apa? Dia ingin mau bertemu denganku?"
Lan Guihua mengangguk padanya dengan cepat.
"Iya! Aku tak berbohong! Shimei ini kaget sekali karena pesan ini diumumkan oleh junior lelaki yang menyerahkan pengumuman ini pada Guru Besar wanita lainnya."
Semua orang mulai tahu desas desusnya dan mulai mempertanyakan kenapa sampai dirinya dipanggil meski tentang pekerjaan sebagai gurunya akan diaktifkan mulai bulan depan.
Gawat, apakah sifatnya mulai ketahuan berbeda dari Lan Ruhi yang aslinya? Ataukah dia akan dikeluarkan lagi dari tubuh ini dan mati?
"Ruhi-Shijie, kau tahu? Kau beruntung bisa berkontak dengan Lan Qiren. Jujur Shimei ini iri."
Lan Ruhi menatap bingung dengan muka lempeng.
Hah?
"Maksudnya?"
Lan Guihua menghela napas dan duduk bersamanya mengemil kacang di ruangan pribadi Lan Ruhi.
"Mungkin Ruhi-Shijie tidak tahu, tapi Guru Besar Lan Qiren itu cukup populer di kalangan para senior. Bahkan beberapa guru besar wanita ada yang naksir padanya."
Dalam hati, Wen Rouhan ingin tertawa terbahak-bahak. Bingung mengapa orang seperti Lan Qiren yang kaku bak balok kayu malah disegani oleh para perempuan.
Selera wanita Gusu hebat sekali.
Yah, dia memang manis dari dulu. Untuk ukuran lelaki dan seleraku, pikir Wen Rouhan dalam hati.
Tapi sampai ditaksir oleh perempuan lain, hatinya sedikit tak rela.
Cemburu, ya?
Sudah sekian lama tak ia rasakan perasaan seperti itu.
"Begitukah? 'Kan cuma bertemu saja. Tak melakukan apapun." ucapnya enteng dan kalem.
Lan Guihua memanyunkan mulutnya dan menyergah, "Justru itulah masalahnya, Shijie! Kau itu tak ingat? Sebentar lagi, tepatnya lusa, akan ada festival perayaan tradisi Gusu menerbangkan lampion. Biasanya para perempuan dan lelaki mencari pasangan di perayaan itu. Dan kalau beruntung, bisa saja mendapatkan pasangan dan berjodoh! Dan baru pertama kali ini setelah sekian lama, Guru Besar Qiren ikut ke dalam perayaan. Makanya asrama wanita jadi sedikit ribut."
Seperti pesta mak comblang, pikirnya menyimpulkan.
"Oh, begitu... Yah, aku takkan macam-macam juga. Aku ingin tidur saja di kamar dan makan cemilan." Lan Ruhi memakan kacangnya.
"Itu wajib hadir, jadi Shijie harus datang. Temani aku, ya~ Ya, ya, ya??" Lan Guihua menggoyangkan lengannya dengan manja.
Lan Ruhi tertawa kecil dan mengelus kepalanya. "Tentu. Apa pun untuk sahabatku yang manis ini." Ia cubit pipinya, membuat Lan Guihua mengaduh tapi tertawa. Keduanya makan lagi kacang sambil bercerita panjang lebar sepanjang malam hingga jam tidur tiba.
.
.
.
Festival Perayaan Tradisi Gusu Lan.
Beberapa hari telah berlalu dan inilah saatnya perayaan.
Para murid kultivator dari seluruh angkatan datang untuk meramaikan perayaan yang dipersiapkan.
Adat istiadat bernama do'a umum dilakukan di kala pagi hari menjelang siang hari.
Lan Ruhi berangkat bersama Lan Guihua ke tempat berdo'a. Muda dan tua, lelaki dan perempuan bercampur jadi satu.
Semuanya berbaris rapi dan tertib.
Di depan sana, ada seorang pria muda yang memimpin do'a. Tubuhnya proposional, dan diatas sanggulnya terselip sesuatu, yang seperti menandakan kalau dirinya menjabat sebagai sang pemimpin sekte Lan.
Di sisi samping, ada Lan Qiren yang juga membaca do'a dengan khusyuk.
Tak jauh di sana, sudut mata Lan Ruhi menangkap penampakan seorang pemuda yang berpakaian hitam di samping seorang lelaki Lan, yang berpakaian putih juga seperti yang lainnya.
Mirip dengan Wei Wuxian, pikir Wen Rouhan dalam hati.
Ia melihat ke arah dua pria Lan tadi.
Lan Wangji, sang anak kedua yang cerdas dan berdedikasi.
Serta Lan Xichen yang diandalkan serta berwibawa, menggantikan Lan Qiren sebagai kepala sekte.
Ia masih ingat wajah mereka berdua saat berperang.
Lan Ruhi menutup matanya, mendengar do'a mantra yang dilakukan.
Untuk pertama kalinya, Wen Rouhan berdo'a pada Sang Pencipta.
O Dewa, jika Engkau menghendakki diriku untuk hidup sebagai wanita Gusu Lan untuk tobatku, maka aku rela dan mengasingkan diri. Tapi tolong, jangan buat Lan Qiren menderita lagi. Sudah cukup akan kejahatanku di masa lalu, biarkan dia bahagia dengan keponakannya tanpa beban karena kematianku...
Do'a sudah dipanjatkan dan dilaksanakan sampai selesai, dan semua menuju ke ruang makan, dimana semuanya makan siang bersama.
Benar yang ia lihat, itu adalah Wei Wuxian. Menurut Lan Guihua, dia menikah dengan Lan Wangji, keponakan dari Lan Qiren.
Benar-benar deh, Dewa membuat hidup para manusia jadi menarik untuk Mereka saksikan.
Setelah itu, mereka minum teh bersama dan bercengkerama hingga sore hari.
Malam harinya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lan Qiren ikut pada perayaan sesi malam.
Bahkan pria tersebut hanya diam kalem ketika kedua sejoli bermesraan ria, ditemani kakak pertama yang menuangkan teh pada sang paman.
"Paman, mau mendekatinya sekarang?"
Lan Xichen berbisik pelan, melihat Lan Qiren yang memandang lirik pada arah Lan Ruhi yang minum dengan anggun.
Sang pria melirik. Dia takut kalau akan bersikap aneh.
Keponakan keduanya mengisyaratkan lirikan yang berarti pada bisikan kakaknya, membuat Lan Xichen tersenyum saja seakan berkata tak ada apa-apa.
"Paman bisa, tenang saja. Kami disini."
Lan Qiren menghela napas dan kemudian berangkat dari duduknya, membuat kedua keponakannya memperhatikannya saja, sementara Wei Wuxian meminum arak Gusu seperti biasa, menggelayuti suaminya.
Para perempuan mulai berdebat, berbisik halus ingin mendekatinya atau tidak.
Namun sepertinya mereka langsung mengurungkannya.
Lan Ruhi yang menyemil makanan dan mengambil minuman teh pun melihat bayangan yang menaungi dari belakang. Lan Guihua juga diam memperhatikan, bungkam seketika.
Ia menoleh dan mendapati Lan Qiren menatapnya dengan mata tenang, meski ia merasakan kegugupan dari sikap kakunya.
"Permisi. Bisakah anda ikut saya? Ada yang ingin mau saya bicarakan."
Untuk pertama kalinya, Wen Ruohan melihat Lan Qiren sangat... bold sekali.
Di depan banyak orang pula. Seperti menyatakan perasaan di depan umum.
Wen Rouhan salah kira. Ternyata Lan Qiren sudah banyak berubah.
Tersadar dengan muka lembut seperti biasanya, Lan Ruhi mengangguk dan berdiri, melirik pada Lan Guihua yang menyemangati.
Kemudian ia mengikuti Lan Qiren yang berjalan dahulu.
Mereka menyurusi beberapa lorong dan sampai di sebuah tameng sebuah paviliun.
Lan Qiren membuka tameng dan menyuruhnya masuk.
Menurut, Lan Ruhi masuk dan melihat paviliun yang ditanami oleh bunga edelweiss di sekitarnya. Semuanya tengah bermekaran diterangi bulan.
Lan Qiren menutup tameng, membuat mereka hanya berada di tempat itu dan tak ada yang bisa mendengar atau melihat.
Lan Ruhi masih memandangi bunganya, menyadari kalau tameng ditutup dari belakang.
"Apa ada masalah, Guru Besar Qiren?" tanyanya dengan lemah lembut, menghadap padanya.
Lan Qiren menatapnya lekat, entah kenapa merasakan perasaan membuncah.
"Ya. Andalah masalahnya, Guru Lan Ruhi,"
Ia hendak bertanya sesuatu sebelum kemudian tertegun sejenak akan lanjutan sang lelaki.
"Atau biasa saya panggil... Wen Ruohan."
Mata rubi tersebut terbelalak dengan kagetnya. Rautnya mungkin sekarang seperti melotot padanya.
Bagaikan terhenti waktu, keduanya bertatapan dengan rasa yang tak dapat dideskripsikan.
Tak hanya dia, Lan Qiren terhenyak pula akan reaksi sang wanita di hadapannya.
Tak disangka, ternyata selama ini instingnya benar.
Dirinya mengira sudah rela melepas untuk cinta baru, namun ternyata di hadapannya adalah jiwa yang ia cari bertahun-tahun selama ini.
Dalam wujud seorang wanita, Wen Rouhan muncul di depannya.
Seperti Wei Wuxian, dia datang kembali ke dunia ini dalam bentuk berbeda.
"Qiren... Kau sudah tahu?"
Lan Qiren sedikit terhenyak dan mengangguk pelan.
"Dari sejak aku menangkapmu dari atas pohon, aku merasakannya. Hanya kau, wanita yang bisa memanjat seperti monyet di Cloud Recesses."
Lan Ruhi menunduk, memalingkan wajahnya. Ia tersenyum sedih. "Guru Besar Qiren memang hebat."
Lan Qiren mendekatinya perlahan, "Kenapa..."
Ia mendongak perlahan, menatap sang pria yang ia kenal setelah sekian lama tak bersua.
Oh, sial. Ia tak berani menatapnya dengan raut apapun.
"Kenapa... Kau bisa begini?"
Lan Ruhi menunduk lagi. "Aku... tak tahu. Aku hanya terbangun dan sudah berada di tubuh ini. Tak ada tanda diriku dipanggil dengan kultivasi hitam, aku sudah mencarinya."
Berarti Dewa menghendakkinya bertemu dengan Lan Qiren di kehidupan ini.
Benar-benar, deh.
Ia mendongak pelan, "Tapi aku tak mau memberitahumu, karena nanti kau akan marah—"
"Tidak."
"Eh?"
Lan Qiren menatapnya dalam pandangan yang tak bisa diartikan.
Dada Lan Ruhi sakit melihatnya, tak tega.
"Aku... Selama ini mencarimu. Sejak hari itu, aku mencoba mencari kebenaran. Aku mencoba memanggil dengan inquiry untuk mencari jiwamu. Namun selama belasan tahun, tak ada tanda. Kupikir kau sudah tak bisa kutemukan..."
Keduanya berhadapan, satu sama lain mendengarkan yang berbicara.
"Tapi kemudian, kutangkap kau yang jatuh dari atas. Seperti malaikat... dalam wujud seperti ini." Lan Qiren memperhatikan Wen Ruohan yang menjadi Lan Ruhi.
Bahkan berganti kelamin.
Mendengar itu, Wen Ruohan mengerti.
Tatapan itu... Ternyata selama ia tiada, Lan Qiren terus berduka untuk mencarinya hingga hampir muak.
"Maafkan aku, Qiren... Aku tak bermaksud begitu."
Andai waktu bisa diubah, mungkin ia bisa memilih jalan yang lebih baik lagi.
"Sudah terlambat berkata seperti itu. Tak ada gunanya."
Lan Ruhi menunduk, menatap kakinya yang lebih terlihat menarik di balik jubah.
"Iya... Aku tahu. Katakan saja apa hukumannya."
"Menikahlah denganku."
...
Hah?
Lan Ruhi mengangkat kepalanya, mengira ia salah dengar.
Namun wajah Lan Qiren yang memerah dan memandangnya lekat, menusuk sampai ke jiwa terdalamnya, itulah buktinya.
Bahwa dirinya tak salah dengar.
"Qiren... Kau—"
"Aku tak mengulanginya dua kali. Terima lamaranku sebagai hukumannya."
Aku sudah kehilanganmu sekali, sekarang aku takkan melepaskanmu untuk yang kedua kalinya, ucap Lan Qiren dalam sanubari. Karena ia terlalu malu.
Untuk pertama kalinya, senyum lebar dan rona merah di wajah Lan Ruhi tersungging manis.
Beginikah rasanya ketika dinyatakan cinta?
"Lan Ruhi ini menerima hukumanmu, Lan Er Gege... Qiren-ku."
"D-Diam saja."
Air mata menetes dengan pelan sambil menerima uluran tangan Lan Qiren yang memerah.
Keduanya bersatu dalam pelukan rindu yang membuncah, dengan perasaan yang meledak dalam detak jantung yang berdebar.
Tangan hangat Lan Qiren mengelus pipinya dan menatap intens.
Lan Ruhi tahu tatapan itu.
Manis sekali kekasihnya ini.
"Jangan ragu dan cium aku, sayang." ejeknya seperti dulu.
Lan Qiren tersenyum kecil, rindu akan ejekan itu. Dadanya menghangat. "Sudah kubilang diam saja."
Tawa lembut keluar dari bibirnya sebelum menyatu dalam ciuman lembut nan kaku sang tercinta.
Ciuman kedua setelah dilakukan di kehidupannya yang pertama, ketika memandang kunang-kunang di hutan waktu masih muda.
Bulan dan taman bunga paviliun edelweiss menjadi saksi bisu pertemuan cinta lintas kehidupan kedua sejoli tersebut.
Akhirnya mereka bisa bersatu, meski dengan cara yang menarik seperti ini, namun Dewa sudah terlalu baik dan membuat takdir seperti ini pada Ruohan dan Qiren.
Untuk pertama kalinya, Wen Ruohan bersyukur dilahirkan sebagai wanita di kehidupan keduanya.
.
.
.
Extra
.
.
.
Denting nada inquiry yang dimainkannya tak pernah mendapat jawaban.
Dan dengan hari, bulan, tahun—dekade, bahkan—yang berlalu, Lan Qiren berhenti berharap. Nada-nada yang tadinya menyimpan harap, perlahan berubah menjadi rutinitas. Ia tak lagi mengharapkan apapun. Bagus jika ia menemukan yang dicari, namun jika tidak pun ia tidak kecewa.
Karena, apa yang diharapkannya?
Musim demi musim berlalu. Dunia berubah, keponakan-keponakannya berubah, dan bahkan Wei Wuxian telah kembali dari kematian.
Namun diantara segala perubahan yang seakan terjadi begitu cepat, ada satu hal yang sama.
Denting guqin itu, nada inquiry yang dimainkan, tidak pernah mendapat jawaban.
Hingga pada suatu senja, Lan Qiren bersumpah dalam hati.
Malam ini ia akan memainkan inquiry untuk terakhir kali. Jika masih tak ada respon, mungkin memang jiwa yang dicari telah lenyap seutuhnya.
Namun belum sempat ia selesai mengucapkan sumpah itu, derak ranting di pohon yang menaungi mengalihkan perhatiannya. Disusul sosok yang jatuh kedalam pelukannya—ia refleks menangkap tubuh itu dan dengan sukses melanggar peraturan yang melarang pria Gusu Lan berkontak dengan wanita Gusu Lan tanpa ikatan perkawinan.
Cuping telinga memerah dan jantung berdebar ketika wanita itu memandangnya terkejut dan berujar halus.
"Qiren...?"
Suara dan tubuhnya berbeda, tapi debar jantungnya—
—sepertinya ia benar-benar tidak perlu memainkan inquiry lagi.
Lan Qiren bermonolog dalam hati.
Karena dirinya, Wen Ruohan, seseorang yang telah mewarnai kehidupannya—yang dulunya mengabu, menjadi berseri kembali.
.
.
.
Fin
====================
Hi guys. Maaf lama update. Lagi leha-leha dan kena penyakit malas. Normal ini mah so yeah. Maaf.
Btw ini adalah cerita bonus dimana sebelum terjadinya pernikahan antara Lan Qiren dan dengan seorang guru wanita yang diumumkan di bab pertama buku ini.
Dan tada~ Wen Rouhan bertransmigrasi jadi wanita Gusu, bernama Lan Ruhi. Namanya murni saya buat agar lebih feminim saja tapi tetap saja Rouhan ada di dalam diri tubuh wanitanya. Untuk Lan Guihua, dia hanya OC lewat saja. Untuk memberikan guide di cerita bonus ini.❤💙
Kenapa pakai pair RouRen? karena saya dan teman-teman cukup ship mereka sih dibanding RouMian. Tapi saya personally suka semua pair sih, penganut anyone x anyone jadi cukup terbuka untuk kemungkinan pair lain nyelip
Saya hanya mau menambah esensi ke dalam cerita agar lebih menambah cerita kenapa Lan Qiren sampai bisa menikah, mengingat kalau dia kan bujang coughlapukcough uvu
Here are the Young Rouren~
Everyone deserves their own happy ending.
Sekian dari saya, semoga menghibur. Leave vomments if you like. See you soon!
Regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro