51 - Flowers from Xian Shu, Swords from Bai Zhan
Puncak Xian Shu khusus kultivator wanita tengah dihebohkan akan pertunangan kepala murid tersohor. Pemuda sekte, pedagang, mau pun orang biasa tua atau muda mengaguminya dari seluruh penjuru mata angin. Khayalak yang selalu bermimpi bisa mendapatkan si bungsu Liu langsung muntah darah mengenai kabar yang terbang hingga sampai pinggiran luar Pegunungan Cang Qiong.
Beragam reaksi dilontarkan, tapi tidak ada yang berani bicara di depan wanita yang tengah diperbincangkan.
Mana ada yang berani mengatakan barang sepatah kata pun kalau calon tunangan Liu Mingyan adalah Jiang Wanyin, sang ketua sekte Yunmeng Jiang yang terkenal kuat sebanding dengan Liu Qingge. Apalagi kalau berurusan dengan sang kakak sulung, lebih baik mereka bisu daripada diserbu memar dan amarah ketua sekte Baizhan. Nyawa jadi taruhannya.
Liu Mingyan mempunyai segalanya; harta benda tidak akan pernah habis, reputasi kemampuan bela diri yang ciamik, terlahir dari keluarga terpandang yang menyayangi, bahkan kecantikan adalah hadiah utama dari Surga.
Tapi manusia diciptakan sebagai makhluk yang tidak sempurna. Sudah tentu Liu Mingyan memilikki kelebihan dan kekurangan dalam dirinya.
Dia adalah seorang penggemar yang tertutup. Rahasianya dalam keahlian tentang lengan potong hanya diberitahukan kepada individual tertentu—bahkan sang kakak pun tak tahu—karena dunia mereka masih shock dengan skandal Luo Binghe dan Shen Qingqiu, menghasilkan kubu debat kusir: pasrah selama tidak membuat masalah, menerima dengan lapang dada, dan yang sinis sindir sana sini.
Maka dengan pertunangan Liu bungsu sebagai cerita mengagetkan di sekitar, perhatian para penyebar berita beralih dalam sekejap pada fakta dan rumor untuk disebar.
Persetan dengan bacotan mereka semua, ia tidak perduli selagi sang adik tidak terganggu.
Pria itu sedikit bersyukur karena sekarang puncak berita Liu Mingyan tengah panas-panasnya bak gunung berapi meledak.
Liu Mingyan tidak masalah akan gosip karena sedang berada di Yunmeng, apalagi Liu Qingge tidak mau ambil pusing daripada makin naik darah. Ini berita yang membahagiakan.
Cheng Luan masuk ke dalam sarung pedang di sisi pinggang.
"Sudah cukup untuk latihannya hari ini."
Para murid yang habis ia hajar dalam latihan terkapar diantara pasir dan debu area khusus pertandingan. Banyak yang mengeluh kesakitan, tapi hanya sebagian murid berusaha duduk atau berdiri meski capek akan baku hantam pedang.
Setelah menjalani misi pribadi membasmi kelelawar asam di sekitar desa perbatasan Cang Qiong dan Tian Yi, Liu Qingge mengajari mereka seperti biasa. Tes khusus setiap minggu dilakukan untuk membiarkan para murid yang belajar dapat mengaplikasikan teknik terbaru atau ciri khas masing-masing. Caranya sangat sederhana: mereka harus mengeroyokki sang guru sampai titik darah penghabisan.
Namun tentu saja Dewa Perang Baizhan tak pandang bulu dalam membalas. Dengan tangan besi dan teknik brutal kultivasi pedang, Liu Qingge membiarkan mereka semua menyerang dan membalas sampai mereka lebam dan pingsan.
Liu Qingge menatap tajam pada seorang pemuda. "Yang Yixuan."
Yang bersangkutan tengah duduk pun langsung berdiri. "Ya, Shizun?"
"Bawa yang pingsan atau terluka untuk diurus. Aku ada urusan ke Puncak Xian Shu."
Yang Yixuan membungkuk hormat dan menuruti perintah, sebelum para murid yang masih sadar mengurus dan membawa murid muda yang pingsan dari area lapangan tarung.
Liu Qingge mengawasi mereka pergi hingga tinggal sendirian di sana sambil menghela nafas gelisah.
"Sial ... masih belum bisa juga."
Bahkan setelah membasmi monster dan menghajar murid, pikirannya masih berkecamuk liar.
Pernikahan Luo Binghe dan Shen Qingqiu akan diselenggarakan dalam beberapa bulan lagi.
Rapat yang diadakan sebulan sekali tersebut tidak diisi dengan gagasan Liu Qingge untuk mengurus akan rajawali magma yang akan menetas, mereka harus dipindahkan dari wilayah sekitar luar pemukiman kota atau nanti akan jadi masalah penghancuran kota. Shen Qingqiu menyatakan bahwa Luo Binghe akan menikahinya secara resmi dalam waktu dekat.
Semua terkejut, apalagi dirinya yang hanya bisa diam dan tidak mau memandang ketua sekte Qing Jing tersebut selama perbincangan berjalan. Bahkan ia cepat-cepat pulang dengan alasan mau mengurus dokumen keluarga Liu. Tentu saja itu kebohongan semata agar segera pergi dari sana.
Tujuh hari berlalu, dan ia masih tidak bisa menghentikan kenyataan yang diutarakan.
Bagaimana bisa Shen Qingqiu menerima murid setengah berdarah iblis jadi pasangan kultivasinya? Anak itu payah, cengeng, lembek, dan hanya bisa jadi budak cinta tanpa logika.
Luo Binghe hanya pandai dalam kemampuan kultivasi menengah keatas karena garis keturunan raja iblis terdahulu. Apalagi bajingan itu tidak pandai menyanyi, bergerak dalam tarian indah, atau membuat puisi menyentuh seperti keahlian utama tiap murid dari kualitas Puncak Qing Jing.
Liu Qingge tidak terima.
Pasangan untuk Shen Qingqiu harus setara dengannya.
Pedang spiritual keluar dengan energi kultivasi tanpa disentuh oleh tangan, dan sang pemilik meluncur ke atas angkasa melesat jauh dari Puncak Baizhan ke Jembatan Pelangi yang menghubungkan setiap sekte. Setelahnya, Liu Qingge turun dari Cheng Luan dan menyarungkannya terlebih dahulu, kemudian berjalan kaki menuju ke arah gerbang padepokan khusus wanita Xian Shu. Tak jauh dari sana, Qi Qingqi sudah menunggu dengan tangan menyilang di depan dada.
Dengan penuh ketegasan disetiap langkah, ia menghampiri adik seperguruan.
"Jadi, bagaimana keadaannya?"
"Dia sudah bilang padaku kalau dirinya baik-baik saja. Tapi wajahnya terlihat lesu."
Dua hari setelah kembali dari Yunmeng, Liu Mingyan menutup diri karena dan hanya mau bertemu dengan Qi Qingqi. Awalnya mereka mengira kalau sang Liu bungsu sedang tidak enak badan akibat perjalanan jarak jauh. Tapi semakin lama dibiarkan, Liu Mingyan dikabarkan kelelahan dan tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasanya.
Liu Qingge menekuk kedua alis, curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan dari sang adik, tapi ia sendiri tidak begitu yakin.
Apa yang sedang kau rencanakan, Mingyan?
"Aku ingin menemuinya."
"Sebaiknya jangan gegabah." Qi Qingqi membalas, "Liu Mingyan sedang demam dan flu, murid-murid lain mengurusnya saat aku pergi ke kota membeli perlengkapan gulungan. Aku takut kau tertular."
Mungkin itu akibat dari perjalanan jauh. Liu Qingge tentu saja tidak terkejut tentang itu, dan wajar saja jika terkena demam.
"Aku hanya ingin bicara dengannya saja lalu pergi."
"Liu-shixiong, sebagai ketua sekte Xian Shu, aku tidak boleh membawamu ke dalam atau membawanya keluar tanpa seizinku mau pun adikmu. Kau tahu maksudku, bukan?"
Liu Qingge tidak bisa berbuat apa-apa selain menggerutu, mau tak mau harus menghormati peraturan sekte khusus wanita tersebut.
Setelah beberapa saat kemudian, sang ketua wanita menatap pergi setelah sang kakak seperguruan pergi pamit untuk berburu lagi. Ia masuk ke dalam gerbang yang menutup dengan energi pelindung.
Qi Qingqi melenggang penuh aura dominan keras berbalut elegannya penampilan dan paras yang tak kalah cantik seperti kepala murid yang diambilnya secara pribadi. Semua yang melawatinya memberikan hormat dalam dan Puncak Xian Shu.
Bila Liu Mingyan adalah bunga Anggrek yang penuh misteri dan tak dapat digapai karena ketinggian, maka Qi Qingqi adalah bunga Mawar yang penuh keindahan dan tak dapat dipetik karena durinya yang tajam.
Setelah beberapa waktu kemudian, Pemimpin Puncak Xian Shu berhenti di depan salah satu pintu asrama senior dan mengetuk beberapa kali.
"Mingyan, ini aku."
"Silakan masuk."
Wanita tersebut membuka pintu dan masuk menghampiri ketua murid perempuan yang sedang belajar menggunakan gulungan. Liu Mingyan berdiri dari kursi kayu dan membungkuk hormat. Pakaiannya santai dan sopan walau tetap memakai tudung wajah.
"Aku sudah menanganinya, kau sudah bisa tenang sekarang." ujar Qi Qingqi.
Ia mengangguk pelan, berterima kasih karena ketua sektenya yang pengertian. "Mohon maaf jika murid ini merepotkan Shizun."
"Aku tahu Liu-Shixiong khawatir padamu setelah perjalanan dari Yunmeng. Tapi harusnya dia tahu kalau kau juga muridku, mana mungkin aku membiarkanmu kecapekan?"
Mendengar gurunya menggerutu, gadis tersebut menatap ke lantai kayu sejenak.
Qi Qingqi menatapnya sesaat sebelum menyahut, "Jujur saja, aku tidak ingin kau pergi, tapi perjodohan keluarga itu lumrah dan kita tidak bisa memutus kecuali ada hal yang tidak adil." Dia melanjutkan, "Kau murid kesayanganku, aku membantu semua wanita agar bisa kuat dan mandiri, termasuk dirimu. Tapi kau yang paling bisa diandalkan. Kau ketua murid, juga orang kepercayaanku. Sayang jika nanti kau turun gunung."
"Shizun terlalu memuji. Murid ini mendapatkan keberkahan karena bisa belajar dari Master yang pandai dan rekan yang selalu menolong."
Wanita tersebut hanya diam menatap sang Liu bungsu sebelum menghela nafas perlahan. Memang tidak bisa dipungkiri lagi, Qi Qingqi ingin ketua murid tersebut tetap di Puncak Xian Shu. Namun apa daya. Jika Liu Mingyan akan menikah, dia harus pergi dari puncak — karena pada dasarnya semua wanita di dalam sekte adalah kultivator gadis dan wanita yang perawan. Kesucian adalah salah satu aspek dari seorang kulivator wanita khusus sekte mereka.
"Beritahu aku dan murid junior jika perlu sesuatu, paham?"
Liu Mingyan menunduk sambil memberi hormat. "Baik, Shizun."
Qi Qingqi mengangguk singkat, sebelum menutup pintu saat sudah keluar dari kamar tersebut.
Langkah menjauh terdengan sampai Liu Mingyan berdiri tegak dan melirik ke arah gulungan yang berada di atas meja. Ia duduk kembali dan membuka halaman yang terbuat dari kayu.
Di dalamnya terdapat undangan pernikahannya dengan Jiang Cheng. Gulungannya juga terukir indah, dengan hiasan bunga kering dan kayu ditulis pinyin dengan tinta pekat.
Ia hanya bisa membisu dan membuka buku di samping sisi pojok meja, yang bertuliskan bermacam kertas dan coretan. Tulisan tradisional pinyin digunakan seluruhnya.
Liu Mingyan menghela nafas dengan lembut.
"Padahal aku sudah memasukkan ide untuk cerita baru ..."
Tulisan tangan khas dirinya yang sederhana dan rapi terlihat jelas dengan beberapa poin plot. Ada gambar bunga teratai dan coretan soal kejadian waktu itu dengan gambar garis-garis.
Meski sudah disuruh istirahat oleh sang guru, tetapi ia masih memikirkan kejadian waktu kunjungan di Yunmeng. Marahnya Ketua Yunmeng Jiang, dua lelaki berpakaian hitam dan putih, dan sikap calon tunangannya.
Liu Mingyah mendesah pelan. Letihnya terlihat bukan karena perjodohan, melainkan tengah sibuk menulis karya baru. Tapi masalah soal perjodohan ini harus diselesaikan secepatnya kalau Liu Mingyan ingin menulis secepatnya dengan rekan senior dan junio
Jika kakak sulungnya sampai berpikir demikian, berarti ini akan merambat jadi masalah.
"Aku harus melakukan sesuatu." Ia menatap dalam-dalam di atas tulisan untuk mahakarya selanjutnya.
Bahkan Trio Biarawati mengirim surat dan bertanya apakah Liu Mingyan sudah menerbitkan buku terbaru di penerbitan kota.
Untuk sekarang, dirinya meski memastikan dulu sesuatu yang akan bergulir menjadi konflik jika tidak digubris.
Liu Mingyan menopang dagu dengan tangan dan sikutnya di atas meja, berpikir sejenak.
"Nama judulnya apa, ya..."
Tanpa sengaja, matanya menangkap ilustrasi bunga yang ada di dalam salah satu gulungan undangan.
***
Angin semilir membawa ketenangan diantara pegunungan, menari untuk iringi lambaian di tengah angkasa yang kelabu. Duduk sendirian di dalam sisi paviliun taman asri keluarga Liu, seorang pria berdiri menghadap ke pantulan air kolam berisikan koi. Terjebak di lamunan, wajah tegas masih kentara, namun hanya mampu membisu mendengarkan tawaan merdu burung yang terbang melewati.
Pandangan air terlihat jelas mencerminkan rupa. Nuansa ungu menyelimuti kain seperti biasa, identik dengan sekte Yunmeng Jiang. Walau harga diri dan keangkuhan sangat kental, tetapi Jiang Cheng menampilkan ekspresi dikala kesendirian.
Menatap perlahan ke langit kelabu, ia terdiam sejenak.
Sebentar lagi akan hujan, meski maksud hati terpaku untuk tetap di sisi paviliun dan membawanya jauh ke ingatan yang lalu.
Bahkan sampai bermimpi seperti itu sebelum berangkat ke Pegunungan. Aneh sekali.
Padahal ia sudah mencoba untuk melupakannya.
Saking asyiknya merenung, Jiang Cheng berhenti berpikir saat langkah sepatu menapak di jalur taman menuju paviliun.
Seorang pelayan laki-laki berhenti di depan paviliun dan membungkuk hormat.
"Ketua Jiang. Tuan Muda Liu memanggil Anda."
Oh, rupanya dia sudah kembali.
"Baiklah, aku akan segera menemuinya."
Jiang Cheng berjalan menyusuri koridor setelah berada di dalam bangunan pribadi keluarga. Baru saja sampai di ruang tamu, ia mendapati bahwa Liu Qingge sudah masuk terlebih dahulu.
"Ada apa? Kau seperti kesetanan saja."
Sang Ketua Puncak Bai Zhan seperti ingin meledakkan energi kekesalan, dan ia bisa merasakannya.
Liu Qingge tidak membalas. Tangan memegang dua pedang dan melemparkan salah satunya kepada sang tunangan adiknya.
Jiang Cheng menangkap Sandu Sengshou dengan mudah sebelum Liu Qingge mengarahkan badan untuk keluar dari rumah. Mereka pergi menuju pekarangan yang lebar di pematang hijau yang berada di sebelah bukit di mana kediaman Keluarga Liu tinggal.
Pedang Cheng Luan menajam ke arah, menunjuk kepada calon adik ipar.
"Jiang Cheng Wanyin, aku mengajukan duel denganmu sekarang juga!"
Sang Jiang terakhir tertegun tidak mengerti, lalu kedua alisnya merengut. "Apa maksudmu, Liu Qingge?"
Dan kenapa mendadak sekali?
Jiang Cheng sedikit berpikir dalam sanubari. Liu Qingge adalah kakak dari calon tunangannya. Sudah pasti tahu seluk beluk, jurus. hingga kelemahan mereka berdua setelah studi banding di Puncak Bai Zhan waktu berkunjung.
Tapi kenapa dia menginginkan duel dan tiba-tiba mengajaknya untuk berkelahi, rasanya aneh.
Liu Qingge bukan orang yang langsung main begitu saja kecuali dirinya atau orang terdekat disakiti.
"Kita bisa bicara tanpa pedang, kau tahu itu."
"Tidak untuk saat ini." Liu Qingge membawa energi spiritual ke dalam Cheng Luan yang perkasa.
Mata sang Dewa Perang menatap sengit. "Aku akan mengalahkanmu kali ini."
Sudah ia duga. Mereka bukanlah tipe diplomatis. Memang lebih baik berbicara dengan tindakan.
Jiang Cheng menatapnya sambil Sandu memancarkan energi, jari mendiang ibunda bekilat sesaat sebagai responnya.
"Aku juga takkan mengalah."
Keduanya sudah siapa siaga untuk memulai duel diiringi pedang yang bersinar terang diantara kabut pegunungan, menyelimuti pertarungan mereka.
Entah siapa yang maju terlebih dahulu, tapi yang pasti para ketua sekte masing-masing beradu jurus dalam perselisihan. Besi memancar tiap kali mereka menembakkan untuk menyerang dan bertahan. Kabut menutupi duel yang sengit antara Liu pertama dan Jiang terakhir. Layaknya gunung pun tak mau membiarkan keduanya untuk dilihat dan membuat kekacauan lebih daripada duel tersebut.
Cheng Luan membabi buta, seperti sedang ingin membantai sang pria bernuansa ungu layaknya monster yang ia selalu incar. Sandu Sengshou bertahan keras dan melayangkan serangan konsisten setelah berhasil menahan sedikit jauh.
"Harusnya kau saja yang datang ke sini terlebih dahulu!!"
Jiang Cheng melompat ke arah Liu Qingge dengan teriakan meninggi. "Itu sudah tradisi daerah kalian, aku hanya menerima sesuai tetua adat!!"
Sandu bersinar keunguan, mulai mengikis Cheng Luan sebelum Liu Qingge menahan dengan gampang dan dua besi penuh energi beradu semarak lagi diantara padang pematang hijau.
Rintik mulai menghujani wilayah pematang walau keduanya tak perduli.
"Mingyan jadi sakit karenamu! Kau harus tanggung jawab!"
"Hah!? Aku saja tidak tahu, lho! Liu Qingge, sialan ... Tenangkan dirimu dulu!! Urgh!"
Untung saja Sandu bisa menghalangi sisi kirinya, kalau tidak maka bisa jadi ia terkena lebih daripada sayatan dalam.
Liu Qingge melompat jauh, makin bersiap siaga untuk menyerang penuh kejengkelan tiada tara. "Aku tidak bisa menemuinya karena dirawat Qi Qingqi. Aku tidak bisa mengetahuinya apa Mingyan sudah baikan atau parah sakitnya. Ini semua karena perjalanan panjang ke tempatmu, brengsek!"
"Oi, tiap orang berbeda kondisi tubuh! Jangan bicara omong kosong!!"Jiang Cheng menyela, walau tahu itu bukanlah fakta palsu tetapi perjalanan dari Pegunungan Cang Qiong bolak balik Yunmeng sebanyak satu kali sama dengan setengah bulan yakni 14 hari.
Ia sedikit paham kenapa pria itu mengamuk. Liu Qingge ingin melampiaskan kekesalannya kepada Jiang Cheng karena khawatir pada kondisi Liu Mingyan.
Liu Qingge melotot dengan ekspresi mengeras. "Omong kosong? Aku tidak mau merestui hubungan pertunangan kalian berdua jika kau masih acuh kepada Mingyan!"
Jiang Cheng sedikit terkejut dan bingung, Sandu sedikit terlepas tapi masih digenggam.
"Apa yang katakan? Aku tidak mengacuhkannya. Dia adikmu, Liu Qingge!"
Liu pertama mendengus sinis, matanya menerawang rupa Jiang terakhir, kedua tangan di pinggang selagi Chng Luan melayang di sampingnya. "Heh. Kau pikir begitu, bukan? Setiap kali kulihat kalian berdua dari jauh, Mingyan yang selalu inisiatif, tapi kau juga malah pasif, lembek, tidak berpendirian seperti layaknya seorang lelaki sejati!" tambahnya, "Sebenarnya aku ragu dengan pertunangan ini. Kita bertiga tahu masing-masing, itu bagus. Walau pun begitu, ini adalah urusan sesama keluarga dan aliansi kita."
Pria bernuansa abu kebiruan tersebut melanjutkan pernyataannya. Mata sedikit memincing, layaknya elang yang menebak harimau tersebut ingin benar-benar mengalahkannya atau hanya membual. Meski nadanya pelan sesaat dibarengi hujan gerimis.
"Apa sebenarnya maksud dan tujuanmu, Jiang Cheng Wanyin?"
Jiang Cheng terhenyak sejenak, mencoba untuk mempross pemikiran rekan sesama ketua sekte. Tubuhnya terpaku dan tak bisa menjawab.
Memori berkelana di masa lalu. Semua ingatan dan kejadian dari penyebab mengapa ia harus menikahi Liu Mingyan.
Semua demi siapa, dan demi apa?
Mata kelabu Jiang Cheng nelangsa, menatap ke rerumputan hijau yang basah.
Mengetahui sang rival hanya membisu, Liu Qingge menghela nafas dan menyahut lagi. "Kita tunda duel lain hari."
Liu Qingge mendekat sampai berada di samping sang Jiang terakhir. Tangan menepuk di pundak. Raut wajahnya pun sedikit suram, tapi pandangan tetap melihat ke depan.
"Aku tidak tahu alasanmu apa. Tapi, jika memang harus dilanjutkan ... Kuharap kau jujur pada A-Yan. Kami percaya padamu."
Liu Qingge menyarankan untuk istirahat dan menyusul ke kediaman sebelum pergi dengan Cheng Luan melesat jauh, meninggalkan Jiang Cheng hanya sendirian di padang hijau kala hujan deras membasahi Bumi.
.
.
.
====================
HELO AI EM BEKKK! Mohon maaf sangat tidak update samsek di akun ini, apalagi saya berhenti jadi guru setelah dapat banyak ilmu di sana. Dan jiwa kreatif saya seperti memfokuskan diri dalam menulis dan membuat karya orisinil sekalian.
Saya nggak bisa janji, tapi pastinya setiap Sabtu dan Minggu malam untuk update. Itu yang pasti. Ada description profil saya soal update fan fiction.
Sehabis NHS konfroktasi, LQG juga curigong dan duel dengan JC plus LMY sibuk brainstorming wkwkwkw
Please wait for the next chapter as usual, and thank you so much who like this fanfiction! XD
As usual, thank you so much for the views, votes, and leave the comments so I know what's on your thoughts about my fan fiction and I can improve to be a better writer.
See you guys other next time!~ Adios~
Regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro