5 - Apologize
Malam yang menusuk tulang tak menghentikan Jiang Cheng untuk menyusuri seluruh wilayah terdekat Yunmeng agar bisa menemukan jejak keponakan, yang keras kepalanya kabur dari rumah begitu saja.
"Dimana anak itu..."
Matanya fokus mencari sembari menjelajahi bagian hutan yang cukup rimbun. Namun nihil, tak ada yang bisa ia rasakan selain udara dingin malam dan sinar purnama yang menembus ke permukaan bumi.
"...!"
Sekelebat gerakan terlihat dari pandangan jauhnya. Tak menunggu lama, ia menukik menuju arah tempat dimana ia melihat sesuatu.
Jiang Cheng turun ke tanah setelah turun dari Sandu, menyarungkannya. Ia melihat ke sekeliling.
Sepi.
Sunyi.
Matanya melirik ke setiap jengkal wilayah pandangan yang bisa disisiri.
Tak ada tanda aneh.
Jiang Cheng perlahan melangkah ke arah depan. Tanpa disadari sekelebat sosok meloncat ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Tapi bukan Jiang Cheng namanya kalau tak waspada. Ia langsung mengaktifkan Zidian di tangan dan memecut keras sang pengganggu.
Benda hitam tersebut terlempar cukup jauh hingga menabrak pohon.
Pemuda tersebut berbalik menatapnya, dalam posisi siap bertahan jikalau makhluk tak jelas apa itu akan menyerang.
Benar saja, benda seperti sosok yang besar dan tinggi menyerang dengan kecepatan tinggi.
Pertarungan terjadi cukup sengit. Jiang Cheng jujur baru melihat sosok yang seperti ini. Karena dari energi, bentuk fisik, dan pergerakan yang dilihat...
Ini bukanlah manusia biasa mau pun energi negatif semata, pikir Jiang Cheng sembari membalas serangan.
Zidian yang ia lontar dan pecutkan memercik bagai petir yang berkilat nyala di gelap malam mencekam.
Sosok tersebut meluncurkan serangan dan mencoba membenturkan energinya pada Jiang Cheng.
"Khh!!.."
Punggung tangan kanannya tersabet oleh energi negatif yang melesat, membuatnya mengucurkan darah. Efek bau darah bisa memanggil mayat hidup yang ada di hutan.
Jiang Cheng menjilat lukanya sendiri. Rasa besi berkarat menghampiri indera penciuman.
Sial, ini tak bagus.
Niat mencari keponakan yang kabur, yang ada malah mendapatkan serangan dari makhluk tak jelas!
Haruskah ia kabur? Tapi itu takkan terlihat seperti lelaki sejati. Mau ditaruh dimana harga dirinya kalau mundur dari sebuah pertarungan.
Tak ada cara lain, ia akan melawan dengan Sandu.
Tak ada gunanya gelar yang didapat jika bukan dari keahlian bela diri senjatanya.
Sandu yang bersinar di tengah malam pun memancarkan warna putih dan ungu yang kontras.
Lembut namun tegas.
"HYAAA!!!"
Akhirnya ia maju menyerang sosok tersebut. Pertarungan cukup mendebarkan, karena selain dirinya terluka, beberapa mayat hidup mulai muncul karena terundang bau amis darah.
Ia meloncat tinggi dan menebas beberapa mayat dalam sekali gerakan.
Tak ada yang kaku, semuanya alami.
Darah petarung tumbuh di dalam dirinya yang dibesarkan untuk menjadi pemimpin sekte suatu saat nanti.
Namun, itu tak berlangsung lama. Serangan dari sisi lain mulai memojokkannya ke pohon terkecil yang ada disana.
Bagaimana sekarang?
Sekelebat sinar putih menembus tubuh beberapa mayat hidup yang merintih lirih hingga meledak lenyap.
Jiang Cheng terbelalak.
Energi siapa itu?
Tak menyiakan kesempatan, sosok tersebut menghilang di balik kegelapan semak-semak ketika pria tersebut mencoba mengejarnya.
"Hei, kembali kau—"
Merasa ada yang mendekat dari belakang, Jiang Cheng berbalik dan langsung menghunuskan pedang ke arah lawan.
Dua buah metal besi berwarna ungu dan perak keputihan beradu, sama-sama berjarak 3 sentimeter dari wajah masing-masing lawan.
Jiang Cheng tersebut menatap tajam meski ada ekspresi kaget keheranan, karena melihat di depannya adalah seseorang yang sangat disegani di tingkatannya.
"Zewu-jun...?"
Sang pemimpin sekte Lan, Zewu-jun, Lan Xichen yang terhormat berada di hadapannya.
Keduanya kembali menyarungkan pedangnya dan berhadapan dengan jarak aman.
"Jiang-Zhongzhu. Sungguh kebetulan berada di hutan wilayah perbatasan Gusu. Ada apa gerangan?" sahutnya ramah dengan senyum seperti biasa.
Tunggu, apa?
Sekarang sudah perbatasan Gusu? Berarti dia sekarang sudah berada diantara wilayah Qinghe dan Gusu. Ia tak sadar sudah mencari di luar wilayah.
"Ya. Kebetulan saya juga ingin bertanya sesuatu pada Anda." ujarnya tanpa berbasa-basi.
Lan Xichen mengangguk.
"Saya mencari keponakan saya, Jin Ling. Apakah Anda tahu dimana dia berada?"
Mendengar itu, Lan Xichen tetap tersenyum kalem. "Tuan Muda Jin? Saya tak tahu soal itu. Ada perihal apa sampai mencarinya kemana-mana?"
Dihantam pertanyaan begitu, sang pria berambut hitam pekat tersebut hanya membalas singkat dengan ekspresi tegas. "Dia sudah tak pulang ke rumah selama 3 hari. Saya hanya ingin mencarinya saja sampai ketemu."
Dia tak mau masalah personal sampai bocor.
Mengelus dagu sesaat, pemimpin sekte Lan tersebut mengangguk saja. Diam sejenak.
Terbesit suatu pikiran di kepalanya, sebelum akhirnya ia menawarkan bantuan.
"Sepertinya itu cukup gawat. Bagaimana kalau saya bantu carikan?"
Jiang Cheng mengerjapkan mata sesaat. "Tapi nanti merepotkan Anda. Saya harus mencarinya sendiri."
"Tapi kalau lebih banyak orang mencari, lebih baik, bukan?"
Mulutnya jadi sedikit bungkam ketika Lan Xichen membalas seperti itu.
Jujur, semenjak mengenal Lan Xichen dan beraliansi dengannya menjadi sekutu sekte—karena faktor kedua saudara mereka yang menikah dan hubungan wilayah—dia merasa kalau pria ini sungguh disegani banyak orang. Tak ada yang bisa memahami pemikiran tenang dan strategi pria Gusu yang murah senyum tersebut, apa lagi Jiang Cheng.
Tak mau ia bayangkan sama sekali karena bukan urusannya juga.
Sambil berpikir sejenak, akhirnya ia mendongak dan mengangguk.
"Baiklah. Saya setuju."
Lan Xichen tersenyum simpul mendapatkan respon yang positif dari sarannya.
"Kalau begitu mari kita kembali saja. Tak baik untuk berlama di sini, dengan tangan Anda yang sedang terluka."
Tersadar kalau tadi terluka, Jiang Cheng segera bertindak biasa menengoknya. "Ini hanya luka kecil. Akan saya obati nanti saja."
Pedang dikeluarkan lagi lalu dinaikki oleh Jiang Cheng.
"Silakan tunjukkan jalan ke sana, Zewu-jun." Ia menutupi lukanya dengan tangan lain agar segera kering.
"Baiklah, Jiang-Zhongzhu."
Lan Xichen hanya memaklumi keobjektifan dan ketegasan Jiang Cheng sebelum meluncur bersama ke Cloud Recesses ketika waktu menunjukkan langit subuh.
.
.
.
"Uhh..."
Perlahan kelopak mata sang empunya bergerak, membuka untuk melihat terangnya dunia.
Berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya menatap langit-langit kamar yang sungguh tenang dan sunyi.
Ia mencoba menggerakkan badannya, menolehkan kepala ke seluruh arah kamar. Bagaimana ia bisa sampai di sini?
Yang terakhir kali diingat adalah ia dan pamannya berdebat lalu setelah itu kabur menjauh masuk ke hutan, saat mulai gelap ternyata mayat hidup mengejarnya. Karena kelelahan, dirinya tak ingat apa pun dan berakhir jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Hanya ada satu pertanyaan yang terbesit di benak.
Dimana ini?
Pintu kamar yang ia tempati tergeser, membuatnya menolehkan kepala perlahan.
"Wah. Kau sudah bangun!"
Lan Jingyi adalah pelaku pembukaan pintu dan saat ia terkejut melihat Jin Ling bangun, dirinya langsung menghampiri.
Melihat yang bersangkutan, ia mencoba bangkit dari tidurnya, tetapi dihentikan.
"Jangan bergerak dulu. Hati-hati, kau masih sedikit lemas."
"Aku... ada dimana ini?" tanyanya sembari meringis.
Ia perlahan berbaring dan memegangi kepalanya sendiri.
"Di kamar tamu Gusu. Aku dan Sizhui menemukanmu di depan halaman. Kau kenapa sampai pasokan spiritualmu sedikit begitu? Apakah kau melawan sesuatu? Atau ada bandit dan perampok?"
Diberondong berbagai pertanyaan membuat Jin Ling mengerang. Ia langsung mencubit lengan kawannya tersebut dengan kesal dan Lan Jingyi mengaduh kesakitan.
"Bisa tidak kau bertanya nanti saja?! Kepalaku sakit ditanya beginian, dasar bodoh!"
"Cih... Sudah bagus kami menolongku, oi! Kau sudah tidur tiga hari tanpa terbangun sedikit pun!" cibirnya memanyunkan bibir.
Fakta itu menbuatnya sedikit terbelalak kaget.
"A-Apa kau bilang?? Tiga hari?"
Lan Jingyi mengangguk sembari mulai mencoba mengecek pergelangan tangan dan energi spiritual sang rekan. Jin Ling menurut saja.
Berarti dia sudah kabur dari rumah selama tiga hari?
Pamannya pasti mencari. Ah, tidak! Mana mungkin. Kenapa juga dia mengurusi pamannya itu!
Biar saja dia mencarinya sampai seluruh negeri. Biar tahu rasa.
Ketukan terdengar dari pintu mengalihkan perhatian keduanya, dan terlihat Lan Sizhui membawakan sebuah nampan berisi sarapan.
"Ah, Tuan Muda Jin. Ternyata sudah bangun. Syukurlah." Senyum ramah terukir dan menghampiri tempat tidur yang dipakai oleh sang kawan.
"Benarkah aku sudah tidur tiga hari tanpa bangun?" Jin Ling bertanya lagi pada Lan Sizhui yang memberikannya sarapan setelah tangannya diperiksa oleh Lan Jingyi.
Yang bersangkutan mengangguk untuk merespon. "Betul. Badanmu kelelahan sekali dan kekuatan spiritualmu terkuras sangat banyak sewaktu kami periksa. Mungkin itu penyebabnya Anda tidur tanpa terbangun, untuk mengisi ulang energi."
Penjelasan salah satu murid Gusu tersebut dibenarkan oleh rekannya juga.
"Tadi sudah kucek. Kekuatan spiritualmu sudah pulih dan tinggal pegal tubuh saja. Pantas bisa mencubitku tadi."
Lan Sizhui menyodorkan sarapan sembari tersenyum, "Makanlah dulu. Baru kita bicara nanti soal kenapa Anda sampai begitu."
Keduanya menemani sang tuan muda duduk di sisi kasur saja.
Jin Ling yang masih sedikit lelah pun mulai memakan sarapannya. Baru satu sendok ia cicipi dengan nasi beserta sup, tangannya menghentikan aktivitasnya.
"Aku... bukan dikejar oleh rampok." ucapnya sambil menatap makanan dengan layu.
Dua murid Gusu tersebut terdiam dan saling pandang.
"Jadi apa masalahnya?" tanya Lan Jingyi yang menoleh pada sang Jin muda.
Jin Ling berkata, "Aku berdebat hebat dengan Paman. Karena itu aku kabur."
Keduanya terkaget dalam diam.
Lan Jingyi berkelebat dalam hati. Keponakan melawan pamannya sendiri yang mengerikan itu? Dia sudah gila, ya?!
Sementara Lan Sizhui menyentuh dagunya sendiri. "Hmm... Begitu, ya... Lalu Anda kabur dari sana?"
Jin Ling mengangguk pelan. Sebenarnya dia tak ingin menceritakan masalah ini pada siapa pun, tapi karena sudah di sini dan ditolong temannya, maka mau tak mau ia harus mengatakan intinya.
"Aku kabur ke hutan, maksudku untuk sementara saja. Tapi kemudian mayat hidup mengejarku. Aku tak bawa busurku dan sudah kelelahan. Aku mencari tempat tinggi sebelum akhirnya aku pusing dan tak sadarkan diri." jelasnya.
Keduanya menyimak dan akhirnya mengerti kenapa bisa menemukannya di halaman depan bangunan utama.
"T-Tapi jangan kasih tahu pamanku kalau aku ada di sini, ya!" peringatnya pada kedua kawannya.
Lan Jingyi memaklumi sikap taun muda Jin yang satu ini dengan muka malas. "Iya, iya. Dasar kau ini."
Lan Sizhui tertawa kecil. "Terima kasih sudah mau menjelaskannya, Tuan Muda Jin. Makan sarapannya dan istirahatlah. Kami harus pergi ke Han Guang-jun dulu untuk do'a apel pagi."
Akhirnya kedua murid Gusu tersebut keluar dari kamar tuan muda Jin.
Jin Ling hanya menatap sambil memakan sarapan perlahan, sebelum melihat ke arah pemandangan dari jendela kamar.
Naiknya mentari menunjukkan tampak sinarnya dengan gagah.
.
.
.
Perjalanan menuju Cloud Recesses berakhir ketika mereka sampai saat mentari sudah mulai menunjukkan diri di ufuk timur sejak 3 jam yang lalu. Lumayan jauh jarak dari perbatasan Gusu menuju bangunan yang berada di sekitar lingkaran pegunungan tersebut. Mereka memutuskan untuk turun di halaman depan bangunan utama Cloud Recesses.
Jiang Cheng melompat turun dari Sandu dan menyarunginya, disusul Lan Xichen yang juga melakukan hal yang sama.
Tangannya sudah kering karena ia jilati dan sedot sendiri, dikatakan kalau air liur dapat menyumbat pendarahan kulit.
Dan tak menyadari kalau Lan Xichen memperhatikannya meski dari depan menuntun selama perjalanan.
"Mari silakan masuk."
Sang pemimpin sekte Lan menuntun rekan sesama sektenya untuk memasukki bangunan besar utama yang terlihat megah tapi sederhana. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Angin gunung menemani tiap langkah keduanya menyusuri lorong, sebelum melihat beberapa orang tengah bersantai di taman dengan para kelinci.
Wei Wuxian yang tengah duduk di bawah pohon bersama Lan Sizhui pun melihat kalau ada keduanya tengah lewat.
"A-Cheng!~ Kakak ipar!~" Wei Wuxian melambai dengan riangnya ke arah mereka, membuat yang bersangkutan jadi menoleh.
Jiang Cheng menoleh dan menghampiri keduanya, disusul oleh Lan Xichen.
"Tumben kau ada di sini. Mencari Jin Ling ya?"
"S-Senior Wei, sudah dibilang jangan berkata begitu!" Lan Sizhui panik otomatis ketika orang tersebut bertanya.
Wei Wuxian menutup mulutnya sendiri sembari melihat Jiang Cheng melotot.
"Dimana anak itu?! Aku tahu kalau dia pasti akan kesini!"
Sang murid makin panik. "T-Tunggu dulu, Jiang-Zhongzhu. Biar kami jelaskan.."
"Akan benar-benar kupatahkan kakinya habis ini!! Lihat saja nanti!"
"A-Cheng," Ia menariknya duduk. "Tunggu saja di sini. Tenangkan dirimu. Jangan lepas kendali begitu."
Jiang Cheng memegang kepalanya. "Aku bisa stress mengejarnya..."
Lan Xichen yang hanya melihat pemandangan ceria tersebut bertanya pada Lan Sizhui.
"Yang penting sekarang dia sudah ditemukan. Dimana dia berada?"
"Di kamar tamu bangunan lain, Zewu-jun."
Ia mengangguk pelan. "Akan saya bawa dia. Tuan Muda Wei, tolong tenangkan Jiang-Zhongzhu. Dan obati luka tangannya."
"Apa?! Luka?!"
"Tidak! Biar saya saja!"
Jiang Cheng ditahan oleh Wei Wuxian yang panik dan berontak.
Lan Xichen tersenyum. "Jiang-Zhongzhu. Menjadi terlalu keras kepala itu tak baik. Sesekali bergantunglah. Akan saya bawa Tuan Muda Jin kemari."
Mau tak mau, Jiang Cheng hanya bisa terdiam dan duduk diobati oleh Wei Wuxian dengan energi spiritual meski agak lemah. Lan Sizhui pergi demi privasi.
"Katakan semuanya. Mumpung hanya ada kita berdua." Nada Wei Wuxian sudah serius, jadi akhirnya dia beberkan semuanya.
Mendengar dua sisi dari Lan Sizhui dan Jiang Cheng, sang kultivator hitam tersebut menghela napas.
"Aiyah... Kalian sama-sama keras kepala sekali. Berbaikanlah dan jangan saling menyalahkan. Dia masih muda, sama seperti A-Yuan dan anak-anak yang lain."
"Ugh.. Terserah. Harusnya dia tak main kabur. Dan juga... Salahku menyebut klan Jin. Tapi aku tak tahu kalau dia mendengarnya saat itu. Sungguh, aku tak mau mengungkitnya."
Selesai mengobatinya menjadi tak berbekas, Wei Wuxian menatap saudaranya.
"A-Cheng, aku tahu kau tak bermaksud. Aku mengerti. Jadi berbaikanlah. Shijie menitipkan A-Ling padamu untuk menjadi seorang yang besar nantinya. Jangan kecewakan dia di atas sana dan orang tua kita."
Jiang Cheng terdiam menunduk, sembari memainkan cincin Zidiannya dan menghela napas.
Para kelinci yang mengelilingi keduanya pun mencoba menghibur mereka yang dalam lara.
"Baiklah. Aku akan bicara dengannya."
Wei Wuxian tersenyum dan menepuk-nepuk pundaknya. Mereka bermain dengan kelinci sembari menunggu yang bersangkutan datang.
Sementara itu, yang dibicarakan malah pikirannya tengah mengawang tak terkira. Jin Ling terduduk diam melamun sambil memegang pedang bersarungnya yang ia pakai untuk kabur. Tak ada yang bisa ia peluk selain benda panjang berbahan metal besi tersebut. Dirinya duduk di depan jendela yang membuka pemandangan indah dari sana.
Antara merefleksikan diri akan kejadian beberapa hari yang lalu, atau tengah merajuk ingin berharap seperti tak terjadi apa-apa.
Kabur dari rumah begini sungguh merepotkan, pikirnya.
"Tapi ini 'kan bukan salahku. Paman yang salah, mengatakan klan Ayah yang berpengaruh buruk..."
Walau pada kenyataannya, mendiang kakek dan pamannya yang berasal dari klan Jin juga tak punya catatan yang bagus. Dalam sepengetahuannya, mereka melakukan hal yang cukup tak terpuji hingga kehilangan nyawa.
"Ah... Aku baru ingat."
Hanya ayahnya saja yang lebih waras dan lebih baik dalam menjalani pekerjaan sebagai pemimpin sekte klan Jin dahulu.
Tapi ia juga berpikir, kalau Jiang Cheng sudah berusaha keras dalam memimpin wilayahnya sendiri sembari mengurusnya semenjak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil.
Ia merasa bersalah karena berdebat bodoh begitu dan kabur layaknya pengecut. Bahkan meneriakkinya.
Jin Ling menatap menerawang pada pemandangan pegunungan, lalu menghela nafas dengan panjang.
"Sepertinya ada yang dilanda kemurungan di sini."
Jin Ling dengan cepat menoleh pada yang berbicara seperti itu.
Tak lain dan tak bukan, ialah Lan Xichen; sang pemimpin sekte Lan itu sendiri.
Terkaget, sang Jin langsung berdiri dan memberi hormat. "Zewu-jun. kenapa Anda ada disini?"
"Burung kecil memberitahu saya kalau ada yang tersesat kesini. Ternyata itu Anda, Tuan Muda Jin."
Pemuda tersebut hanya bisa tertunduk tak berani melihatnya, sehingga Lan Xichen yang bertahun-tahun mempelajari ekspresi orang pun dapat membaca gerak tubuhnya.
Sang Zewu-jun tersenyum ramah, "Saya ingin ke suatu tempat. Keberatan jika Anda menemani?"
Karena diminta begitu, maka Jin Ling mau tak mau menuruti dan berjalan dengannya menyusuri lorong Cloud Recesses bersama-sama.
"Dulu ada beberapa pepatah."
Jin Ling meliriknya sembari berjalan.
"Jika kau melihat seribu kejahatan, ingatlah satu kebaikan dalam diri orang tersebut."
Argh, ia tak mau mengungkitnya. Tapi karena Jin Ling merasa bersalah pada Jiang Cheng maka hatinya teriris sakit, mengigat wajah pamannya yang terdiam saat ia teriakki.
"Apa Tuan Muda Jin tahu? Pengorbanan tak semudah yang dilihat secara kasat mata. Maka hargailah tiap sekon." lanjutnya dan tersenyum.
"Saya yakin masalah Anda dengan Jiang-Zhongzhu akan terselesaikan."
Jin Ling makin menunduk. "S-Saya hanya..."
Mereka sampai dan tak jauh di sana terlihat Jiang Cheng sendirian di bawah pohon.
Telapak tangan Lan Xichen menepuk punggung sang remaja. Seakan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Tak apa. Majulah."
Mendengar itu, ia mengangguk cepat, hampir meneteskan air mata tapi dihapus cepat-cepat.
Ia takkan cengeng lagi di depan siapa pun.
Jin Ling akan jadi pria sejati di mata Jiang Cheng.
Sementara itu, Jiang Cheng hanya bisa diam mengelus kelinci dan memainkan Zidiannya yang bertengger. Masih mencoba membuat dialog perminta maafan di dalam otaknya.
Tak menyadari kalau Wei Wuxian sudah menyingkir dari tadi dan ditinggal sendirian.
Hingga suatu suara familiar menyapa indera pendengarannya.
"Paman..."
Ia perlahan mendongak ke arah yang menjadi sumbernya.
Jin Ling, maju perlahan sembari merasa bersalah pun mendekat pada sang paman. Jiang Cheng berdiri dari tempatnya, menyingkirkan para kelinci.
"Jin Ling."
Keduanya menikmati keheningan yang menyanyi merdu.
Karena memang Jin Ling mulai menunduk, maka dirinya pun mulai buka mulut sembari mendongak lagi.
"Paman... A-Aku—"
"Jangan katakan apa pun."
Jin Ling membungkam dan terdiam menatap Jiang Cheng menatap tegas namun ada raut sedih di ekspresinya.
Dia membuka lebar kedua tangannya.
"Jangan banyak bicara dan peluk pamanmu ini, A-Ling."
Saat itu juga, Jin Ling melanggar janji untuk tidak menangis lagi.
Secepat kilat, ia lempar pedangnya ke tanah dan melompat ke pelukan Jiang Cheng. Pundak sang pria Yunmeng langsung basah karena keponakan yang menangis di sandarannya.
Isakan kecil terdengar sembari Jin Ling memeluk erat pamannya yang mengelus punggungnya dengan sayang.
"Maafkan aku... Maafkan aku, paman... Hiks..."
"Mhmm."
Hanya gumamanlah yang bisa mewakili balasannya saat ini, karena jika ia bicara, pasti akan tumpah ruah seperti keponakannya.
Ia elus tenang kepalanya sembari mencoba menghapus air mata remaja lelaki itu.
Lalu ia pukul kepalanya.
"Jangan menangis. Kau lelaki sejati atau bukan?"
"Aduh!.. M-Maaf..."
"Dasar lemah."
Tapi senyuman tipis terpasang singkat dengan lembut, sebelum menghilang karena dihampiri oleh para penghuni yang membantu mereka tadi.
Setidaknya sekarang masalah terselesaikan. Namun tetiba terbesit suatu pemikiran.
Makhluk yang ada di hutan sebenarnya itu... apa?
Pemikiran Jiang Cheng yang melayang kesana seakan memberinya firasat aneh, yang mengartikan kalau akan ada yang sesuatu terjadi ke depannya.
Namun apakah benar atau tidak, ia pun tak tahu sama sekali.
Dan hanya misteri ilahi yang menjawab pertanyaannya tersebut sampai dia pulang kembali ke Yunmeng.
====================
Hi, guys, I am back. You fcking know why. Dare to say my story chapters are so short? Then think again. I had written 12k words of a chapter and this one is more than 3k alone. Be fcking glad. :)))
Okay whatever. Don't mind about my ramblings.
First! Happy birthday for the grumpy man, the uncle, the tsundere boi in MDZS universe, Sandu Sengshou, Jiang-Zhongzhu, Jiang Cheng Wanyin! 💜💜💜
Wow, guess I incidentally just update if there is a character have the birthday. Sorry about that facts. I will try to update on daily week, maybe. If my lazy ass side didn't hold me back or someone made my day so messed up.
And second! I kinda teased you guys with the hints. Not sorry tho. I know most of you guys ship XiCheng, but tbh this is just a Jiang Cheng fanfiction so imma just drop the hints and bromance inside. Maybe I will consider something for a certain ship to sail in the end. ^^
Look forward for the other characters who wanna (reach) this grumpy man down soon enough.
I love the fanarts for our tsun boi here, so many purple and appreciation because he need deserves love too, just like other characters i.e. Jin Guangyao or When Chao. They appeared for a reason ffs.
And yes, Jin Ling and Jiang Cheng is reconciled. Normal situation once again. But as usual, I already prepared something and the shits about to go down really hard.
I mean, really hard.
Leave in the comments if you can guess what is the situation that will be appeared soon based on the hints above. Maybe there will be a suprise for get it right :>
And don't you dare make your own plot for this story in my comments, go make yourself a story for that. Thank you very much.
Sorry for the long ramblings. Again.
As usual, thank you so much for the views, votes, and leave the comments so I can know whats on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer.
See you guys next time!~ Adios~
regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro