Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 - Siren Lament

Setelah kejadian itu, ia tak pernah kembali lagi ke Gusu maupun membalas surat Lan Xichen. Persetan dibilang pengecut atau apa pun, Jiang Cheng tidak perduli!

Dengan mata sembab dan memerah, hal itu sangat memalukan sehingga harus pulang diam-diam untuk menuju ke ruang pribadinya. Hanya di situlah, ia memasang mantera bisu suara dan mulai menangis untuk sekali lagi dalam tiga puluh tahun lebih hidupnya. Jujur saja, ia tidak suka menangis tapi dadanya sesak setelah dari perpisahan mereka sehingga jika tak dikeluarkan, maka harus membutuhkan orang untuk jadi pelampiasan emosinya. Akhirnya pada saat menjelang subuh, Jiang Cheng bersikap seperti tidak ada kesenduan dari kemarin malam dan menjadi Ketua Sekte Jiang yang bertangan besi seperti yang seharusnya.

Keesokkan hari, beberapa minggu, hingga tiga bulan berlalu dengan mengetahui kalau besok sama saja dengan hari lain yang akan datang. Temperamennya semakin memburuk, para anak buah juga semakin kewalahan akan kemarahan sang pemimpin kalau bersantai sedikit saja, dan mulai semakin gila bekerja untuk mencoba ambisius di batas. Meski sekarang musim panas, ia tetap bekerja sampai gulungan harian selesai dibaca olehnya. Hal itu berulang terus menerus hingga wakil tangan kanannya pun juga mulai mengkhawatirkan kelakuan workaholic sang ketua.

Sekarang, Jiang Cheng tengah mengurus dokumen di ruang kerja seperti biasanya pada jam tiga sore kala itu. Ia mencoba fokus membaca laporan yang baru datang kemarin. Bukan hal besar, hanya soal laporan pembangunan renovasi dermaga yang sudah mulai berkembang pesat untuk bagian pariwisata.

Tangannya kanannya mencoba mengambil kuas tapi lengannya tersenggol tumpukan gulungan doumen yang sudah dia susun tadi, membuatnya jatuh dari meja ke lantai kayu.

Lelaki Yunmeng itu mendecih sambil merunduk untuk mengambil serta menyusun kembali gulungan yang berantakan. Namun, sebuah benda jatuh ke lantai dari balik saku lengannya.

Jiang Cheng terdiam sesaat dan perlahan mengambil barang tersebut, duduk perlahan sembari memandangi sebuah jepit.

Ya, jepit berwarna ungu yang dihadiahkan padanya oleh Lan Xichen waktu itu. Mengingat memori yang beraangkutan di otaknya membuat sang ketua klan Jiang sedikit mengeratkan pegangan jarinya di aksesoris tersebut.

Ah, rasa sesak itu datang kembali. Dirinya menahan perasaan serta wajahnya yang sedikit merona ketika memandang jepit yang bersinar ketika cahaya mentari senja yang diam-diam masuk dari pintu.

Sudah semenjak kejadian itu, Jiang Cheng tak pernah kembali mau pun membalas surat Lan Xichen.

Bukannya apa, tapi ia sadar diri, kalau mereka hanyalah rekan semata. Mana ada rekan sekte yang berkunjung membawakan makanan kesukaannya dan berharap akan ekspresi kebahagiaan saat memakan makanan buatan sendiri? Itu sudah aneh.

“Hanya rekan... Oh, Dewa. Kenapa aku harus merasa tersinggung seperti itu?”

Ia menunduk sambil membenamkan wajahnya di atas meja dan menoleh ke tangan yang memegang jepitnya, menatap dengan buram sesaat.

Jiang Cheng bertanya dalam hati dan kebungkaman.

Apa yang ia harapkan selama ini?

Aneh jika meminta keakraban dari kultivator yang lebih senior daripada dirinya.

Perasaan apa yang sebenarnya dia punya sekarang ini untuk Lan Xichen?

Ia bingung untuk persoalan seperti menyangkut perasaan.

Ini sudah tidak masuk diakal.

“Argh…” Kepalanya berdenyut, dipegang oleh tangannya yang satu lagi dan menyangga dengan sikut. Jiang Cheng memejamkan mata lalu membukanya lagi.

Ada rasa berkecambuk. Ia ingin melihat Lan Xichen, tapi ia juga marah karena itu hanya akan membuat dirinya sendiri terlihat bodoh ketika tahu bahwa mereka berdua hanyalah rekan sekte.

Lalu ciuman dan tanda sakti itu artinya apa?

Jiang Cheng mencoba duduk dengan tegak dan menatap ke arah jepit yang dipegang. “Rekan, ya…”

Hanya senyum miring penuh ironi yang disunggingkan dan mendengus singkat dengan ekspresi tegas.

“Kali ini, aku takkan bergantung pada siapa pun lagi.”

Muak akan semua hal tak jelas itu, Jiang Cheng menyimpan jepit itu di laci meja kerja saja.

Biarkan ia ingat akan benda itu sampai nanti mati.

Sekarang, Jiang Cheng harus melupakan semua hal yang tak penting.

Demi Yunmeng dan klan Jiang, dan demi menjahit lagi hatinya yang sudah retak dihantam keras dengan pilu.

Beberapa hari berganti begitu cepat, Jiang Cheng masih saja begitu. Bangun, mandi, latihan pagi, melatih para murid, berkeliling patroli di wilayah Yunmeng, mengerjakan bagian gulungan dokumen, memarahi beberapa usul yang membuat darah tinggi dan menolaknya mentah-mentah, latihan malam stidur.

Hanya itulah yang ia bisa lakukan demi meningkatkan kegiatannya. Bahkan Wakil tangan kanan Jiang mencoba membuatnya untuk istirahat selama beberapa jam, namun kembali setelah tiga puluh menit karena tidak melakukan apa-apa. Jiang Cheng bosan jadi minta gulungan untuk dilihat. Wakil dan para anak buah hanya bisa mengelus dada karena ketua mereka terlalu rajin.

Saat tengah mengurus beberapa dokumen untuk dibedakan, salah seorang penatua Jiang memberi hormat di depan pintu ruang kerja Jiang Cheng.

“Ketua Jiang.”

“Masuklah, Penatua.”

Setelah diijinkan masuk dan duduk di seberang meja olehnya, Jiang Cheng menatap pada sang lelaki tua tersebut.

“Ada masalah apa sampai datang kemari?”

Penatua tersebut berperawakan layaknya orang tua yang bisa dibayangkan. Rambut uban, berkumis tipis, dan memakai pakaian rapi yang sesuai. Meski dimakan umur, tapi pria tua di hadapan Jiang Cheng ini tidak bungkuk, malah justru tegak dan beraura bijak akibat sering mengajari para murid senior.

“Penatua ini ingin menemui Ketua Jiang untuk memberitahu keputusan kami sebagai tetua klan.”

Jiang Cheng hanya diam membiarkannya bicara lebih gamblang daripada basa-basi.

“Dengan segala pertimbangan dan keadaan klan Jiang, kami sudah memutuskan untuk meminta Anda, ketua dari sekte Yunmeng Jiang, untuk segera mencari calon pendamping.”

Kilatan ungu di jari telunjuk mulai nampak saat selesai dikatakan. Tentu saja, orangtua tersebut mengetahui betapa marahnya jika keturunan terakhir di hadapannya meledak marah. Tapi ini masih lebih baik daripada dua minggu lalu; ketika salan satu murid senior membujuk Sandu Shengshou menerima proposal yang ditolak mentah-mentah, alhasil murid tadi tidak bisa ikut latihan selama seminggu.

Jiang Cheng yang menatap tajam bagaikan jarum medis pun bertanya dengan nada agak dalam. “Apa Anda berpikir kalau saya tidak bisa sendiri, Penatua Jiang Jun?”

Meski dipanggil dengan nama panjang, lelaki tersebut hanya memejamkan mata dengan tenang seperti tanpa tekanan. Dialah yang peling bisa diandalkan di antara penatua lain yang takut berbicara gamblang pada Jiang Cheng. Selain karena tertua, bijak dan hati-hati dalam bertindak, Penatua Jun juga sudah ada sejak Jiang Fengmian naik tahta dan menikahi Nyonya Yu sebagai pengantin wanita dari klan Yu.

“Tentu tidak, Ketua Jiang. Saya tahu Anda kompeten dan bisa memimpin baik,” penatua tertua itu menatap dengannya, karena itu penatua rendahan ini hanya menyarankan untuk Ketua Jiang memikirkan masa depan klan Yunmeng Jiang.”

Perlahan mengambil dari dalam saku baju panjangnya, Penatua Jun mengeluarkan sebuah benda.

Sebuah gulungan rapi berkertas tebal diletakkan di atas meja kerja.

Tatapan tajam Jiang Cheng beralih ke gulungan yang bagus tersebut.

Melihatnya begitu, Penatua Jun berpikir kalau bisa-bisa gulungan itu berlubang karena pelototan laser amarah sang pemimpin sekte Jiang.

“Setidaknya dilihat, Ketua Jiang. Ini adalah beberapa kandidat yang berada di luar wilayah.”

Sedikit bingung meski ada raut kesal, Jiang terakhir tersebut menatap Penatua Jun. “Luar wilayah, katamu?”

Penatua Jun menyeplos tenang dan enteng, duduk kembali dengan sempurna. “Karena Anda sudah di daftar hitamkan oleh para pencomblang di Yunmeng, jadi kami semua mencari kandidat dari wilayah lain.”

Jiang Cheng tahu setelah Bibi Yu mengomelinya; kalau ia takkan diberikan kesempatan oleh penduduknya karena catatan hitam sebagai kandidat yang tidak pernah diharapkan. Mungkin saja lelaki itu berpikir kalau dirinya adalah kandidat calon suami terburuk seantero dunia kultivasi. Jujur, ia tak perduli akan itu dan menganggap itu merepotkan saja. Tapi karena itulah makanya Jiang Cheng masih lajang.

Karena penasaran mengalahkannya, maka Jiang Cheng membuka gulungan yang cukup panjang tersebut.

Ternyata di luar wilayah, pilihan perempuan lebih banyak dan berbagai karakter daripada di wilayah kultivasi mereka. Ada yang beberapa dari pegunungan, savanah, dan lembah yang cukup jauh dari wilayah empat sekte besar. Beberapa diantaranya ada yang cukup menarik perhatian dengan biodata, sekte, status keluarga, dan sifat yang tercatat di gulungan. Tapi satu kesamaan mutlak di kandidat tersebut adalah menjalin aliansi dengan Yunmeng Jiang.

Jiang Cheng masih saja diam membanca selagi Penatua Jun mulai menyampaikan lanjutan. “Anda sudah menolak sebanyak 4 kali. Sekte Anping usulan keluarga Yu adalah sekte yang mulai berkembang, tapi Anda berdua tidak cocok jadi kami ingin menyarankan kandidat calon di luar lingkungan.” orang tua itu menghela nafas sejenak, “dan jarang seorang ketua sekte terus menerus memimpin sendirian tanpa pasangan. Itu sudah ratusan tahun yang lalu terjadi.”

Penatua Jun tahu kalau anak ini tak bisa dipaksa jadi hanya bisa membujuk sehalus mungkin. “Ketua Jiang, seorang perempuan dapat mengayomi dan membantu Anda dalam pekerjaan, sekaligus menghasilkan penerus klan.”

Jiang Cheng masih konsentrasi diam ketika matanya terbelalak sesaat walau orang tua itu coretmengocehcoret.

“Anda juga sudah cukup umur, bahkan ketua sekte Jin juga akan segera dewasa. Kalau terus seperti ini—”

Jiang Cheng menyahut cepat. “Baiklah. Kuterima.”

Sahutan sang pemimpin sekte membuat kerut Penatua Jun muncul sesaat.

“Hmm? Maksud Ketua Jiang?”

Lelaki Yunmeng tersebut menurunkan gulungan untuk dibeberkan di meja. Jemari telunjuknya yang bercincin ungu di salah satu biodata.

“Saya akan mengambil wanita ini.”

Penatua Jun terpatung beberapa detik.

Kenapa rasanya seperti menunjuk barang yang akan dibeli?

Pikiran itu teralihkan karena Jiang terakhir menggulung lagi gulungan tersebut. “Saya ingin bertemu dengan calon ini. Lakukan semua yang diperlukan untuk mengundangnya ke sini.”

Ketika diberikan kembali, penatua tertua hanya bisa menerima dan memasukkan ke dalam saku tangan, sebelum bertanya sekali lagi untuk pemastian. “Anda sungguh bersedia untuk memilihnya?”

Jiang Cheng menatap dengan duduk sempurna nan tegas. “Saya bersedia.”

Sesaat, rasa lega menguar pada Penatua Jun yang menunduk paham. “Baiklah, akan kami undang secepatnya, Ketua Jiang.”

Setelah keduanya berdiri dan tukar hormat di depan ruang kerja, Penatua Jun pergi berlalu. Saat sadar kalau diskusi mereka selesai, senja sudah mulai padam diganti oleh langit biru malam yang gelap menemani hari.

Setelah menutupi pintu ruang kerja, lelaki Yunmeng tersebut menghampiri batasan pagar. Kolam penuh teratai sedang mekar untuk mengagumi bulan purnama yang malu-malu di balik awan. Aroma ini menenangkannya setelah bekerja bagaikan monster.

Jiang Cheng hanya bisa diam sejenak dengan wajah tanpa wajah emosi yang kentara, hanya ada sekelibat rasa mencubit rasa meski akhirnya rupa itu menekuk dengan alis menekuk bagai ingin menyatu jadi satu.

Mata almond miliknya memandang jauh ke cakrawala. Beberapa baris murid tengah berlarian dan hendak menuju ke kafetaria Lotus Pier untuk makan malam setelah selesai latihan hari ini. Ada yang berjalan santai, bahkan beberapa ada yang bersenda gurau.

Jiang Cheng hanya mendengus singkat namun mengalihkan pandangannya untuk berjalan menuju kediaman pribadi. Para pelayan kediaman menundukkan kepala dengan hormat selagi ia berjalan menuju ke arah kamar tidur pribadi.

Sepanjang jalan, lelaki itu hanya bisa diam memikirkan kata-kata keputusan yang cukup krusial tadi.

Calon istri.

Masa depan.

Keturunan.

Semuanya bergema di dalam otak untuk sebagai alasan utama supaya Jiang Cheng bisa berfungsi dengan baik dalam menjalani kewajibannya.

Aku harus bertahan untuk sekte Jiang.

Ya. Demi Yunmeng, Jin Ling, dan dirinya sendiri.

Dengan perjodohan, Jiang Cheng bisa mendapatkan keturunan, jaminan aliansi dengan sekte kuat, dan seseorang sebagai pasangan sekaligus bibi Jin Ling.

Itu sudah cukup baginya.

Dalam hati sudah mantap; jika Jiang Cheng menemukan orang untuk menjadi calon istrinya, maka dirinya siap untuk meninggalkan perasaan menyakitkan ini demi kemakmuran Sekte Yunmeng Jiang. Maka dari itu, ia harus meninggalkan rasa egois dalam hati daripada berpikir logika demi kebaikan dimasa yang akan datang.

Di depan kamarnya ada dua pelayan membuka pintu. Saat itu juga terlihat sebuah kesempatan untuk kembali menjadi waras mulai kokoh dalam ingatan.

Seiring sang pewaris utama berjalan masuk ke dalam, seraya itu pula pintu kembali ditutup oleh kedua pelayan—menandakan bahwa penerimaan akan kegilaan harus diakhiri detik ini juga.

.
.
.

====================

Alright I made JC got decision to leave his feelings and keep going in his life as a sect leader. On the next chapter, there’s LXC turn after this! Stay tune!

As usual, thank you so much for the views, votes, and leave the comments so I can know what's on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer.

See you guys next time!~ Adios~
Regards,

Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro