Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 - Quality Time

Sementara kedua pemimpin sekte sedang menikmati aura-aura penuh nuansa romantis menyenangkan, Wei Wuxian mengintip dari balik pintu.

Dirinya sendiri cukup terperangah karena menyaksikan adegan yang jarang dilihatnya.

Astaga. Kapan terakhir kali Wei Wuxian melihat saudaranya semerah itu?

Tidak pernah!

Niatnya mendatangi Jiang Cheng untuk mengemis makan pun ia urungkan. Biarlah, ia tidak terlalu lapar. Lagipula bisa menikmati waktunya bersama Lan Wangji lebih lama.

Senyum tipisnya muncul di bibir kala memperhatikan dari jauh. Saudara angkatnya dibuat kikuk di depan iparnya sendiri.

Pertanyaan beberapa waktu yang lalu menyangkut kembali di pikiran.

Apakah kejadian di taman keluarga Gusu Lan waktu itu hanyalah kecelakaan semata, ataukah ada hal lain seperti dugaannya?

Apakah mereka memang saling menyukai?

Jika iya, maka itu bagus dan tidak bagus.

Dengan berbagai faktor yang ada, kepala Wei Wuxian diisi dengan kemungkinan mengenai kedua saudara dan iparnya.

Tapi tetap saja, hal itu memberatkan pemikiran sehingga pemuda itu membuyarkannya dan tak mau memikirkan hal seperti itu.

Terserah saudaranya mau berbuat apa dengan kakak ipar. Yang penting mereka bahagia.

Sementara itu, Lan Wangji meminum arak manis yang dibeli tadi. Dia sudah sedikit mabuk dan menemani suami manisnya untuk bersantai di malam hari. Padahal dirinya ingin minta jatah hariannya, tapi karena ini di rumah iparnya maka dia akan mencari kesempatan untuknya bersama Wei Wuxian tanpa melakukan hal intim.

Saat itu juga, dia diterjang dari belakang oleh sang suami. Ia dengan pakaian nuansa hitam merahnya sudah kembali ke kamar tamu setelah jalan-jalan tadi, menerjangnya dengan suasana hati yang sangat membaik.

“Lan Zhan, aku sangat mencintaimu!”

Dia menoleh, menatap penuh sayang sang suami manisnya yang tiada tara untuknya ini. “Wei Ying...”

Mendengarnya berkata begitu dan menatapnya dengan tatapan manis, jadi membuat gejolak batinnya menggugah. Dia perlahan menarik Wei Wuxian dan memangkunya, sebelum mencium kepala sang lelaki manis tersebut.

“Aku juga. Selamanya.” Lan Wangji menyunggingkan senyum tipis legendarisnya, yang hampir tak pernah terlihat oleh kebanyakan orang.

Bersama Wei Wuxian sampai mati adalah tujuannya.

Wei Wuxian tertegun dan memerah melihatnya tersenyum, sebelum makin melebarkan senyuman sebagai balasan dan meraup bibir Lan kedua.

Keduanya sangatlah melengket satu sama lain, bahkan meski sudah lama berpisah namun masih saja mesra.

Baru saja mau memulai adegan everyday, sudah ada pelayan yang mengetuk pintu dan memanggil nama mereka jikalau makan malam sudah siap. Perintah dari Jiang Cheng adalah mutlak di Lotus Pier.

Wei Wuxian menatap Lan Wangji, posisi masih di pangkuan.

“Bagaimana? Kau mau makan? Atau ‘makan’?” tanyanya bernada jahil.

Masih di pendirian awal, Lan Wangji menghela napas. “Makan. Kau lapar. Ipar menunggu.” ujar sang pria Gusu tanpa ekspresi tersebut.

Wei Wuxian mengembungkan pipinya.

Baiklah. Ia kasihan karena seharian ini Lan Wangji menurutinya terus. Saatnya menjadi istri yang berbakti.

Setelah mengecup pipi sang suami, ia bergegas membuka pintu kayu kemudian mengajaknya berjalan ke ruang makan utama.

Akan mereka tunda kegiatan mereka sampai makan malam selesai.

Di sisi lain itu, Lan Xichen tidak tahu bagaimana perasaan yang saat ini ia rasakan. Namun jelasnya, ia tidak ingin jauh-jauh dari Jiang Cheng. Dia tak tahu apakah ini termasuk dalam rasa suka yang dalam karena Lan Xichen tak bisa jamin.

Jiang Cheng mencoba menyadarkan diri sendiri dan menarik kembali tangannya yang dicium tadi. Rasa geli dan hangat bekas ciuman tadi sangatlah terasa meski sekilas saja.

Setelah melepaskan, Lan Xichen kembali menuangkan teh untuk pemuda di depannya seperti tidak melakukan hal apa pun yang aneh.

“Bersama dengan Jiang-Zhongzhu sangat menyenangkan,” ucapnya, tersenyum hangat.

“A-Ah, begitukah... Syukurlah kalau Anda senang, Zewu-jun.” Dia berbicara mencoba biasa saja sambil menyeruput teh lagi.

Sial, bisa mati jantungan kalau berada dekat Lan Xichen.

Seorang pelayan perempuan mendekati keduanya dan membungkuk hormat.

“Ketua Jiang, makan malam sudah siap.”

Jiang Cheng mengangguk dan berterima kasih, menyuruhnya untuk memberitahukan Wei Wuxian di kamarnya sekarang sebelum pelayan itu mundur pergi dengan hormat dan melakukan tugas.

“Jiang-Zhongzhu, apakah Anda juga lapar?” tanyanya.

Jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Antara Lan Xichen harus makan malam baru tidur, atau sekali lagi melanggar aturan Gusu.

“Begitulah. Mari kita makan dulu, Zewu-jun.” Ia berdiri perlahan dan menuntun jalan menuju ruang makan utama.

Lan Xichen hanya mengangguk lalu mengikuti Jiang Cheng dari belakang.

Selama mereka berjalan, hening melanda tapi tak terlalu kentara saat awal pergi minum teh di Paviliun. Dan selama itu juga, matanya hanya melihat apa yang ada di depan. Pemandangan nuansa pakaian ungu serta aura tegas namun lembut Jiang Cheng memanjakan matanya.

Timbul rasa ingin memeluk dari belakang, namun apa daya niat hati tak bisa selaras dengan gerak logika.

Sementara yang diperhatikan pun tidak merasa kalau dirinya dilihat, karena sibuk memikirkan menu makan malam yang dihidangkan.

Sesampainya di ruang makan, Jiang Cheng belum duduk di tempatnya dan mengecek hidangan yang ada. Barangkali ada yang kurang untuk para tamu.

“Hmm. Sudah lengkap.” gumamnya pelan.

“Apa menu kita malam ini?” Lan Xichen menatap meja makan, masih berdiri.

Sebenarnya dalam aturan Gusu, ia tak boleh berbicara seperti itu. Keluarga Lan diharuskan menerima apa pun hidangan yang telah disajikan, terlebih oleh orang terhormat. Hanya berniat berbasa-basi, lagipula pamannya sedang tidak ada di sini, bukan?

Pemimpin sekte yang terkenal disiplin tersebut kadang suka melanggar, apalagi saat dirinya masih pelajar muda bersama kedua mendiang terdahulu.

Apalah peraturan bila sudah bersama orang yang membuat nyaman.

“Oh, seperti biasa ada sup iga babi akar teratai, sayur asam manis, tahu goreng, telur rebus,” Jiang Cheng menanggapi sambil menunjuk singkat hidangan yang ada di meja satu persatu.

Raut wajah Xichen terlihat cerah, senang sekali dapat memakan sup iga babi akar teratai untuk yang terakhir kali ia di Yunmeng. Besok dia sudah harus kembali ke Gusu pagi-pagi sekali.

“Saya sangat suka,” Lan Xichen menatap Jiang Cheng.

“—sup iga teratainya.”

Dikira apa.

Jiang Cheng mulai duduk di tempatnya. “Baguslah. Makanlah sepuasnya, lagipula ini untuk kita semua.” ujarnya sebelum melihat kedua pasusu datang ke ruangan.

Lan Wangji masuk ke dalam ruang makan utama, dituntun oleh pemuda Wei yang hafal akan tempat yang menjadi rumah baginya ini.

“SHIMEEII~~~” Wei Wuxian ‘bergelantungan’ di saudaranya tersebut sementara kakak iparnya mengambil tempat duduk di depan sang adik. Ruang makan Lotus Pier memang didesain seperti yang sudah ada di film. Jadi tempat duduknya seperti ini :

Π                   Π
Π                   Π

Lan Wangji duduk di tempat yang disediakan dengan tenang, duduk menghadap sang kakak sementara suaminya tengah mengobrol.

“Lama sekali kalian berdua.”

“Kami lama karena ada ‘urusan’! Yang penting tidak merugikanmu, bukan~” goda pemuda itu pada saudara dan kakak iparnya.

“Ugh, menjijikan. Sudah kubilang aku lelaki, jangan panggil begitu lagi,” Ia mencoba melepaskan diri dari ‘gantungan’ sang saudara, “cepat duduk lalu makan, habis itu tidur.”

“Aku rindu~ kenapa kau tidak suka kupeluk, sih? Malu dengan kakak ipar? Dia kan sudah— mmpph—!” Wei Wuxian seketika bergumam tak jelas. Rupanya ia terkena silencing spell.

Namun jika dilihat, bukan Lan Wangji yang melakukannya.

Lan Xichen yang menggunakan mantra tersebut!

“— phuah!” Tak lama, Wei Wuxian akhirnya terlepas dari mantra itu. Tak sampai dua puluh detik.

Ia menatap takut-takut sang Zewu-jun. “Ehe, maaf, maaf, mari makan dulu.”

Lan Xichen hanya tersenyum biasa.

Jiang Cheng mengerjapkan mata dan menoleh pada kedua Lan yang melakukannya—khususnya dari Lan Xichen.

Sial, muka senyumnya seperti benar-benar mengintimidasi saudaranya ini. Bahkan dia pun mundur!

Tapi untung saja dibegitukan, kalau tidak maka akan dia panggil anjing piaraannya untuk menakuti Wei Wuxian.

Jiang Cheng dalam hati berterima kasih.

Lan Wangji tak berkomentar apapun, ya mau bagaimana lagi karena kakaknya yang murah senyum itu ada di sini.

Apalagi ketika mulut bacot suaminya dibegitukan, sudah mampus. Dia hanya bisa mengambil lauk pauk untuk mereka berdua agar bisa makan.

Lan Xichen mengambil nasi dan lauk seperti yang lainnya. Padahal sebenarnya dia tak bermaksud membuat suasana menjadi kembali canggung. Pria itu hanya tak ingin Wei Wuxian dan mulut licinnya mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat Jiang Cheng malu.

Meski wajah malu-malunya itu sungguh enak dilihat, tapi itu tidak sopan.

Sebenarnya tidak canggung juga, sih. Lagipula untung saja dihentikan, kalau tidak nanti bisa kacau ruang makannya dia gebrak.

Wei Wuxian duduk di dekat Lan Wangji, menarik mejanya sendiri ke dekat sang suami.

Lan Wangji meliriknya dan membiarkannya mendekat dan mulai makan tanpa suara. Terlihat elegan saat makan.

Jiang Cheng memakan sambil memikirkan besok persiapan keberangkatan Lan Xichen ke Gusu. Mereka akan bisa berkirim surat, sepertinya akan menarik. Serasa Jiang Cheng punya sahabat pena.

Setelah yang tadi, mereka berempat langsung memulai makan malam.

Suasana jadi tenang. Normal-normal saja kelihatannya. Namun, sesungguhnya Wei Wuxian lagi-lagi mengalihkan perhatiannya pada kakak ipar.

Wajah Lan Xichen begitu tampan. Apalagi dihiasi senyum mengembang. Tambah sempurna saja kakak dari suaminya itu.

Lalau ditatapnya Lan Wangji, yang notabenenya adalah seorang wajah tembok.

“Coba saja Lan Zhan juga bisa tersenyum seperti Zewu-jun,” ucap Wei Wuxian cemberut.

Lan Xichen yang mendengar dari seberang hanya bisa tersenyum, ditambah dengan lengkungan di mata.

Lan Wangji tentu juga dengar. Memang, dia tak bisa tersenyum seperti kakaknya dan tak ramah di luar penampilannya. Namun dia berpikir kalau itu tak sebanding dengannya yang bisa memuaskan batiniah sang istri. Hei, dia suaminya. Kenapa dibandingkan dengan kakaknya? Andai bisa tersenyum begitu.

Lan Wangji jadi sedih dalam hati.

Jiang Cheng menatap saudara angkatnya dengan malas, mendecih pelan. “Kau ini, tidak sopan sama sekali. Han Guang-jun itu suamimu. Hormat sedikitlah. Kenapa kau menikahinya kalau hanya membandingkannya dengan Zewu-jun soal senyuman?”

Omelannya sangatlah menusuk. Ingin dia getok kepala Wei Wuxian dengan palu, biar sopan sedikit. Bagaimana pun juga, keduanya adalah orang terhormat.

“Aku tidak membandingkan! Hanya saja Lan Zhan pasti saaaangat tampan kalau tersenyum!” sangkal Wei Wuxian cepat.

“Bukankah senyum manis Tuan Muda Wei sudah cukup? Wangji tentu ingin tersenyum juga hanya untuk Anda." ucapnya memuji sekaligus menghibur secara tidak langsung sang adik yang mengkerut.

Wei Wuxian tergelak ringan. “Zewu-jun sangat tampan! Kata-katanya juga sangat menyenangkan hati!~”

Mereka berdua saling memuji diri masing-masing. Entah kenapa tapi sepertinya pemikiran Wei Wuxian senada dengan sang Zewu-jun.

Mereka saling tersenyum penuh arti.

Jiang Cheng tak bisa berkata-kata apapun lagi melihat transfer energi mereka berdua di meja makan. Saudara angkatnya dan rekan sektenya ini benar-benar halus sekali dalam mengobrol.

Ia jadi sedikit melirik akan Lan Wangji yang terlihat tenang dan kalem, walau dirinya mungkin berfirasat kalau malam ini pantat Wei Wuxian takkan selamat.

Jiang Cheng akan menyalakan lilin untuk pantat saudaranya kali ini.

Lan Wangji ingin meminum cuka sebanyak yang ia mau. Tapi ini benar-benar diluar kendalinya. Istrinya malah berpuji ria dengan kakaknya sendiri. Dia memang tenang dan kalem, tapi auranya terlihat tak baik.

Dia sudah putuskan akan meminta jatah lebih malam ini, tak perduli akan pendiriannya tadi.

“Hehe! Tapi tetap saja Lan Zhan yang paling tampan!” Bergelayut manja di lengan kanan Lan Wangji, ia menempel erat dengan suaminya tersebut.

Baru setelah ditempeli, dirinya malah senang. Auranya berbunga walau wajahnya tanpa ekspresi.

Lan Wangji hanya melihatnya saja dalam diam, mengagumi Wei Wuxian yang manis.

Sang kakak pun juga ikut tersenyum lega, karena melihat adik dan istrinya yang kembali begitu mesra. Sekilas ada keinginan juga untuk seperti itu, tapi dia yakin akan menemukan waktunya sendiri kelak.

Pemimpin sekte biru-putih tersebut menyelesaikan makan malamnya lalu mendengarkan semua celoteh adik ipar dan saudara angkatnya. Kadang dia juga sedikit tertawa mendengar lelucon Wei Wuxian sambil meminum Emperor’s Smile yang disediakan para pelayan.

Wei Wuxian yang terkenal memang tak bisa diam mengoceh tanpa henti, menaikkan suasana menjadi ramai dan riuh. Jiang Cheng menghela nafas akan usaha sang saudara angkat yang berceloteh dengan konyolnya. Tak sedikit dirinya berkomentar pedas dengan argumen lebih konyol lagi karena sedikit pengaruh alkohol.

Hari makin malam dan larut tanpa mereka sadari. Keempatnya sudah mulai lelah dan sedikit mengantuk. Pengaruh alkohol tidak terlalu menumbangkan kesadaran kali ini karena memakai kultivasi.

Lan Wangji yang tadi sudah tertidur di pangkuan Wei Wuxian pun terbangun perlahan dan melihatnya mulai oleng.

“Wei Ying. Istirahat.” Pria berjulukan Han Guang-jun tersebut menyahut saat menatap istrinya yang minum banyak arak sehabis makan malam.

“Mmmm, Han Guang-jun, aku masih kuat!~” Wei Wuxian yang masih setengah sadar karena kebanyakan minum arak mulai menunjukkan wajah merahnya. Ia menuangkan lagi botol kosong yang dipegangnya pada sebuah cangkir kecil. “Ughhh… Sudah habis. Jiang Cheng, sudah habis—!~” rengeknya.

Jiang Cheng hanya meminum sedikit dari yang dihidangkan—karena tak mungkin mabuk lagi. Ia menelan biji teratai yang disuguhkan dan mendelik, agak mengantuk pula. “Kau sudah minum dua botol, dasar rakus!”

Di sisi lain, Lan Xichen hanya menyeruput beberapa cangkir saja sambil sesekali melirik ke arah jendela besar yang memperlihatkan keindahan malam Lotus Pier hari itu.

“Tuan Muda Wei, ada baiknya Anda langsung kembali ke kamar tamu.” saran kakak iparnya yang menoleh pada mereka.

“Uuuh! Iya, iya, aku juga tahu kalau Lan Zhan sudah tidak sabar untuk menghukumku~” mulai meracau lagi, Wei Wuxian memeluk suaminya.

Jiang Cheng memutar bola mata.

Lan Xichen ingin menutup mata.

Wei Wuxian sudah sangat mabuk berat.

“Lebih baik kau pergi ke kamar dan istirahat. Mabuk begitu malah masih lanjut. Han Guang-jun, silakan bawa dia pergi dari sini.” Dengan senang hati, Jiang Cheng membiarkannya untuk minggat.

Lan Wangji yang dipeluk hanya mengelus kepala sang suami. “Mn. Kami permisi. Selamat malam, Jiang-Zhongzhu, Xiong Zhang.” Dia perlahan berdiri dan mengangkat Wei Wuxian di dekapannya, bagaikan menggendong bayi dan menjauh dari ruang makan untuk kembali ke kamar tamu.

Setelah pasangan adik dan iparnya berlalu, akhirnya Lan Xichen mendapat waktu berdua kembali dengan Jiang Cheng.

Jiang Cheng yang menyaksikan tadi pun menghela nafas lelah. “Argh... Maafkan saudaraku. Dia selalu membuat masalah untuk Anda berdua.” Ia memegang kepalanya sendiri dan mengusap muka dengan lelah.

Seperti biasa dia tersenyum maklum. “Tidak, tidak. Jiang-Zhongzhu, justru dengan kehadiran Tuan Muda Wei, Wangji bisa kembali seperti sediakala.”

Dia sangat bersyukur karena Wei Wuxian hidup kembali dari kematiannya, karena tak perlu lagi melihat wajah kosong sang adik yang menyiratkan kesedihan tak terkira.

Selama 13 tahun menunggu dan meratapi keputus asaan, mungkin itu yang dirasakan oleh sang Lan kedua.

Bisa ia sangat pahami.

“Sudah larut, mari kita juga kembali ke ruangan, Zewu-jun.” usulnya singkat.

“Baiklah. Mari kita istirahat.”

Lan Xichen bangkit perlahan sembari membenarkan posisi pakaian yang dikenakan dan mengikuti Jiang Cheng keluar dari ruang makan.

Angin malam lagi-lagi bertemu sapa ketika keduanya menginjakkan kaki di koridor luas. Tak sedingin Gusu, tapi menenangkan batin.

Hening diantara keduanya juga nyaman, entah mengapa.

Banyak hal yang berkelibat di pikiran, namun bibir tipis Lan Xichen kelu untuk mengatakannya.

Akhirnya, Jiang Cheng mengantar sampai ke kamar tamu yang ditempati oleh sang pemimpin sekte Lan lalu memberhentikan diri.

“Baiklah kalau begitu, semoga istirahat Anda nyenyak dan tak terganggu.”

Bagaimana ini? Dia belum ingin sepenuhnya lepas apalagi berpisah.

Apakah dia harus memintanya melakukan itu?

Tapi itu tidak sopan, bukan? Masa harus menuruti gejolak saat ini?

“Jiang-Zhongzhu.”

Jiang Cheng yang merapikan jubah luar bawahnya pun mendongak padanya saat disahut. “Hmm?”

Wajah tenang Lan Xichen jadi tampak sedikit malu-malu, malah terlihat manis dengan sedikit rona merah di tulang pipi.

Jiang Cheng bingung, mengerjap pelan.

Diam-diam pasrah, Lan Xichen mencoba untuk memberanikan diri. “Bolehkah saya memeluk Anda?”

Hening melanda.

Hanya satu kata bergema di kepalanya.

Hah?

Apa? Apa ini? Kenapa situasi mereka jadi begini lagi?

Jiang Cheng baru mau menyahut tapi terdiam lagi, dikiranya menggodai saja seperti tadi. Tapi terlihat bahwa yang bersangkutan sendiri juga malu, maka ia ikut bungkam.

Canggung mengudara diantara keduanya.

Lan Xichen yang mendapatkan diamnya itu jadi menyesali tindakan impulsif tadi. “Maaf, Jiang-Zhongzhu, lupakan—”

Perkataannya tercekat karena melihat Jiang Cheng yang memerah padam.

Melirik ke arah lain, lelaki Yunmeng tersebut juga mulai memanas.

“Uhm... Silakan.”

Matanya terbelalak.

Diizinkan!

Pria bernama lahir Lan Huan tersebut tak tahu harus mengatakan apa, selain menuruti gerak tubuhnya saat ini. Dengan perlahan namun pasti mendekati Jiang Cheng, yang kini sudah mulai memerah.

Keduanya semakin canggung, dengan wajah bagaikan tomat.

Saat dia mendekat, jantungnya sudah seperti mau copot lagi. Tenggorokannya serasa sulit untuk menelan ludah karena gugup.

Kedua tangan sedikit direntangkan, selangkah kecil dipijak, disertai dorongan lembut untuk membuat Lan pertama mendekap Jiang terakhir dalam pelukannya.

Debaran sangat cepat, serasa meledak. Kedua tangan Jiang Cheng diselipkan perlahan dibawah bahu belakang dan punggung lebar Lan Xichen. Kepalanya disenderkan di atas bahu dengan malu.

Merasakan balasan, degup jantung Lan Xichen seperti sedang berkompetisi—saling mengejar satu sama lain. Kalau saja diperbolehkan untuk melakukan hal yang lebih, akan ia lakukan saat itu juga.

Bau tubuh dari Lan Xichen anehnya terasa sangat menenangkan untuk lelaki bernama Wanyin tersebut, entah kenapa dan bagaimana.

Jiang Cheng seperti aman selama di pelukan pria itu. Aneh sekali.

Rambut hitam halus Jiang Cheng bergesekan pelan dengan wajah Lan Xichen, sebelum sejenak dia mengecup kepala bagian samping pemuda bernuansa ungu tersebut.

“Saya akan sangat merindukan Anda,” bisiknya.

Bergidik pelan akan pernyataan halus itu, wajah Jiang Cheng semakin memerah malu.

Lidahnya kelu, serasa ingin menyahut juga tapi tak bisa. Tapi kedua tangannya sedikit mengerat pelukan juga tanpa banyak waktu terbuang.

Perasaan janggal namun menyenangkan ini terasa di hati keduanya, yang makin membingungkan.

Hakikatnya, sesuatu yang bersama pada akhirnya harus berpisah.

Tapi, tak ada yang melarang seseorang untuk menunda perpisahan tersebut.

Masih dalam ayunan perasaan yang naik turun, keduanya tak ingin lepas.

Padahal mereka berdua adalah laki-laki.

Jiang Cheng dan Lan Xichen adalah orang dewasa.

Keduanya sama-sama pemimpin sekte sendiri.

Tapi kenapa mereka jadi dekat satu sama lain?

Apa pemicunya?

Karena saudara sintingnya? Atau karena sering terbiasa bertemu?

Semuanya membingungkan.

Lucu dan menggelikan, namun membuat kecanduan. Rasa demi rasa hangat yang menjalar di nadi terasa seperti membuka luka lama, karena si putih juga pernah melakukannya dengan sang mendiang.

Akhirnya karena tak ingin menekan waktu istirahat Jiang Cheng, dia melepaskan pelukan tadi. Andai saja Lan Xichen terlahir sebagai orang yang egois. Tentu lelaki itu sudah merengkuhnya kembali dalam dekapan, takkan mau melepaskan sampai kapan pun.

Hangat itu terbekas sekali rasanya meskipun mereka terpisah lagi. Hawa yang bersangkutan sangatlah menempel entah mengapa.

Jiang Cheng juga mundur selangkah dan menatapnya lagi.

Senyum sumringgah namun tenang terpatri di wajah yang kalem.

“Terima kasih, Jiang-Zhongzhu. Selamat malam.”

Ia mencoba biasa dan mengangguk. “Ya, Zewu-jun. Selamat malam.”

Dengan pertukaran ucapan, maka berakhirlah malam canggung yang membekas manis di dalam lubuk hati.

Keesokkan harinya, mentari menyinar cerah perairan sekitar Yunmeng.

Persiapan untuk sarapan dan keberangkatan untuk pemimpin sekte Gusu Lan telah disiapkan oleh para bawahan.

Lan Xichen sudah bangun jam lima pagi seperti biasanya. Dirinya sama seperti Lan Wangji yang dijuluki jam weker oleh sang istri. Anak Lan, tentu saja harus begitu. Dia sudah rapi dengan pakaian putih-biru dan menatap kedatangan adik dan iparnya sementara Jiang Cheng sudah ada di sampingnya.

Jiang Cheng sudah bangun dan memakai pakaian formal seperti biasa, tertutup dan sopan. Akan tidak sopan kalau lebih telat daripada tamunya.

Sementara itu, Lan Wangji membantu Wei Wuxian berjalan. Mereka habis 5 ronde kemarin malam akibat mabuk beratnya sang kultivator hitam.

“Aiyah, Lan Zhan, pelan-pelan!” Wei Wuxian mengaduh sembari mengelus pingangg bawahnya sendiri.

Lan Wangji mengangguk. “Mn. Lebih pelan.” Dia takkan mengurangi jatahnya sedikit pun.

“Kau tidak tahu sakitnya pinggangku sekarang— Zewu-jun!” Sahutannya nyaring saat melambai riang.

Jiang Cheng yang menunggu mereka berdua bersama Lan Xichen hanya bisa menatap maklum, walau menghela napas lelah.

Dia sudah tak bisa berkata apapun selain membiarkan Wei Wuxian berbuat begitu bersama Han Guang-jun.

Senyum Lan Xichen merekah. “Tuan Muda Wei seharusnya beristirahat saja.”

Wei Wuxian malah menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Aku harus mengantar kepulangan kakak iparku, bukan? Lagipula aku ingin melihat wajah kesepian Jiang Cheng~”

Jiang Cheng mendecak lidahnya, makin memasang wajah malas. “Kalau kau berpikir begitu, jangan harap ya.” ucapnya ketus.

Lan Xichen hanya bisa tersenyum maklum, namun banyak artinya bersama dengan godaan yang diluncurkan oleh Wei Wuxian, lalu dia menatap sang adik. “Wangji,”

Hanya dengan tatapan mata, mereka dapat berkomunikasi dengan lancar. Sang kakak tengah mengatakan dalam isyarat ‘aku pulang dulu’ pada adiknya.

Lan Wangji menganggukkan kepala. “Mn.”

Lan Xichen menyunggingkan senyuman lembutnya pada Jiang Cheng. Senyuman yang bermakna bahwa mereka pasti akan bertemu lagi. “Kalau begitu, saya berangkat. Sampai jumpa di lain waktu, Jiang-Zhongzhu.”

Sekaligus dengan arti ‘aku tunggu surat darimu’.

Jiang Cheng tahu soal itu. Tentu saja ia peka.

Kepalanya hanya mengangguk. “Ya. Sampai jumpa lagi, Zewu-jun.”

Dan akhirnya dalam diam pun, hanya bisa menatap mereka yang naik pedang berjamaah yang menjauh. Para pengiring Gusu Lan mengikuti Lan Xichen. Waktu demi waktu, rombongan biru-putih tersebut perlahan menghilang dari pandangan.

Ketiganya melihat mereka menjauh dalam diam pun diputuskan oleh protes Wei Wuxian.

“Yah!~ Sayang sekali! Harusnya Jiang Cheng bilang ‘Zewu-jun jangan pergiii! Aku tak mau sendiri~~’ harusnya begitu!” godanya pada sang saudara, cemberut manja disaat bersamaan.

“Butuh seribu tahun untukmu membuatku mengatakan seperti itu, dasar sinting.” Dia menoleh sebal, pelipis berdenyut.

Tengah berpikir akan menulis surat awalan apa, malah mendengar saudara angkatnya yang menggodanya terus.

Lan Wangji cuma bisa menopang sang suami yang beradu mulut.

Hari itu ditutup dengan Wei Wuxian yang cemberut sembari mengeluh karena pinggangnya yang teramat sakit. Belum lagi malamnya ketika sang suami kembali meminta jatah hariannya. Makin menjeritlah sang kultivator iblis tersebut. Untung saja Jiang Cheng membuat mantra pelindung suara agar orang-orang tidak mendengar kegiatan menumbuk mereka berdua pada malam hari terakhir.

Keesokkan harinya, kedua sejoli tersebut bertolak ke Gusu untuk pulang sekaligus melaporkan perjalanan mereka dari desa yang meminta bantuan.

Selama itu pula, keadaan Yunmeng dan Gusu baik-baik saja, hingga tak terasa beberapa bulan lebih telah berlalu.

.
.
.

====================

I'M SO SORRY IF ITS TOO LATE. I just got done with Camp Nanowrimo. Yay me~

Its the continuation from the previous chapter about the night after festival so yeah. The upcoming conflicts will arrive soon after a few chapters later.

Please prepare the tissue. Double tissues. Cuz its gonna be a wild ride and hurt in the butt, I dun wanna you all to get mad at me lol

Bonus here is jc tried to hold back from lxc hugging lol

Just some sweets before the storm coming. :)))

Btw happy second weeks fasting! I kinda regret to write mature scenes in other fics somehow cuz it's still Ramadhan lol silly me.

Anyways thank you so much for the vote and comments. I still cannot believe this hits 25k view lol I really appreciate your love and support for me. Please comment down below so I know what's your thoughts about this fanfic wait for the story progress!

See you soon!

Regards,
Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro