31 - Dripping Liquor
WARNING: Semi-M Rated Scene!!! Please skip to the next chapter if you are 18 or below, so you can enjoy the story in much more comfortable. But if you are above it, then it’s up to you to read. Just some hot scenes, but not too obvious. Please enjoy some scattered candies, everyone.
.
.
.
Pagi menjelang di ufuk timur, layaknya rutinitas mentari yang kembali menerangi setelah berganti tugas dengan bulan nan bintang. Burung menyanyi diiringi suara gemericik perairan di sekitar wilayah kediaman Lotus Pier. Bagai sebuah hari yang cerah dengan kemungkinan akan lancar sampai rembulan kembali menemani, pertanda kedamaian hal tersebut membuat yang merasakannya jadi tenang.
Tapi tidak ada yang menyangka kalau sebuah bencana akan terjadi dalam waktu dekat.
Setidaknya sebelum yang bersangkutan mulai menyadari.
Di sebuah kamar yang dimana sinar terik mulai masuk, seorang pria tersadar dari alam mimpi. Silau mentari membuat kedua mata almond jadi mengedip ditemani kantuk yang kentara, sebelum mengusap kembali agar tidak lengket dengan punggung tangannya.
Ketika ia mencoba bangun untuk duduk, sakit denyut di kepala menyerang secara tetiba. Rasa pusing akibat seusai mabuk kemarin menyerang dalam sekejap.
“Argh.. kepalaku..” gumamnya lalu melihat ke sekitar.
Sekarang, Jiang Cheng berada di kamar pribadinya sendiri.
“Kemarin apa yang terjadi…?” Sang Jiang terakhir memikirkan dan mencoba mengingat, tapi yang ditahunya hanyalah saat mereka berdua kompetisi minum di pavilion.
Kepalanya menunduk dan mengedip perlahan, masih agak mengantuk. Ia masih memakai setelan pakaian kemarin. Hanya saja rambutnya tergerai berantakan. Jepit ungu sudah bertengger di samping kasurnya dengan rapi.
Kecuali satu hal yang menjadi pertanyaan: Di mana Lan Xichen berada?
“Apakah dia tidur di kamar tamu…?” Jika iya, maka mereka berdua pasti mulai mengantuk dan tidur di kamar masing-masing.
Ya, pasti begitu.
Berusaha mengecek supaya memastikan keadaan yang sebenarnya, Jiang Cheng keluar dari kamar dan melihat sekeliling. Dirinya berjalan di koridor dalam keadaan gontai yang kentara. Dengan menaruh jepit rambut di dalam saku dan rambut hitam eboni tersebut disanggul seperti biasa, Jiang Cheng telah mandi dan memakai setelan baru.
Saat mendekati lorong di wilayah lain, telinganya mendengar suara lantunan seruling yang khas.
“Liebing…?”
Irama dan nada harmoni tersebut sudah sangat cocok di kala pagi hari, membuat suasana menjadi tenang meski kumpulan tumbuhan teratai telah lebih dahulu menyemangati yang memandang di sekitar.
Jiang Cheng tidak terlalu paham nada seperti orang Lan dan Wei Wuxian, namun terasa ada irama yang menggambarkan sesuatu yang dalam.
Entah apa itu, yang jelas intuisinya mengatakan begitu. Tapi ia bisa saja salah, jadi takkan diperdulikan lagi. Prioritasnya saat ini adalah mencari pemimpin sekte Gusu Lan.
Pria tersebut mengikuti alunan irama dan mulai mendekat ke lokasi, di mana Lan Xichen berada saat ini.
Kepalanya menoleh dan mendekati dinding luar, dan melihat yang bersangkutan duduk di sebuah paviliun kecil sambil memainkan seruling spiritual di tangan.
Singgah dengan anggun, Lan Xichen sudah rapi dan bersiap untuk berangkat kembali ke Gusu. Dalam hati sebenarnya sedang sedikit berdebat; apakah harus pulang tanpa kabar atau menemui Jiang Cheng terlebih dahulu setelah kejadian tadi malam.
Pada akhirnya, dia memilih opsi kedua. Tidak sopan jika pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Saat ini, Lan Xichen memainkan Liebing dengan alunan yang lembut tanpa mengetahui kalau ada penonton gelap. Dirinya sendiri sedang sibuk menenangkan pikirannya dalam nada, terselip kegundahan namun mencoba optimis akan harapan yang ada.
Berdo’a akan keajaiban datang membawa kegelisahannya untuk terbang bersama angin sejuk di pagi hari.
Jiang Cheng hanya diam terpaku sejenak.
Tiupan angin dari bibir Lan Xichen terlihat stabil. Dengan kelopak mata tertutup, pria Lan tersebut memainkan sebuah lagu klasik khas Gusu, yang sering sekali digunakannya untuk mengobati mendiang saudara sesumpahnya dulu. Desiran angin pagi menyapa rambutnya yang terurai indah, pita dahi khas relung awan mengudara menari dibawa angin sesaat ketika berhembus.
Dari kejauhan, mungkin Lan Xichen terlihat seperti sebuah permata langka yang dipoles dengan kualitas terbaik—atau diibaratkan oleh Jiang Cheng, lelaki serba putih di sana bagai giok yang indah di kala pagi hari.
Bersinar terang dan cerah, membangkitkan semangat di jiwa.
Dirinya hanya bisa melihat dari sudut, hening yang bermain dengan irama Liebing menjadi saksi dimana Jiang terakhir tersebut menyimpan rasa hormat meski akhir-akhir ini banyak yang terjadi diantara mereka berdua.
Ikatan antar ipar, menjadi sesama rekan sekte, tumbuh dalam kekacauan dunia kultivasi tanpa ampun; semua itu merupakan serpihan yang mulai terbentuk jadi suatu hubungan antar mereka berdua sebagai manusia. Kehidupan memang kejam, tapi mereka mulai belajar kalau hidup itu tidak selamanya sendirian.
Jiang Cheng tidak hidup sendiri, begitu pula Lan Xichen.
Memori membawanya untuk melihat kilas balik kejadian yang bersangkutan dengan lelaki Lan tersebut. Dari yang tak mengenakkan sampai memalukan, bahkan saat keadaan tenang nan damai diantara keduanya.
Melamun sembari memandang, tak sadar kalau yang memainkan seruling memergoki dan menghentikan permainannya.
Lan Xichen menyadari kehadiran Jiang terakhir tersebut, sebelum bibir tipisnya tersenyum seperti biasa.
“Jiang-Zhongzhu.”
Ketika ketahuan melihat, Jiang Cheng terhenti dalam lamunan. Dalam hati kaget namun kontrol muka tak terlihat begitu.
Sembari menenangkan diri, Jiang terakhir pun mulai menghampiri seperti biasa. “Selamat pagi. Maaf mengganggu permainan Anda.”
Senyumnya makin teduh ketika yang bersangkutan mendekati.
“Selamat pagi. Tidak sama sekali. Saya kebetulan sekedar ingin bermain, itu saja.”
Jiang Cheng hanya mengangguk paham sebelum ditanya olehnya.
“Apakah Anda tahu lagu yang saya mainkan?”
Jiang Cheng mengernyitkan dahi, nadanya kurang yakin pula. “Lagu klasik dari daerah Anda?” Ia tak terlalu paham akan syair dan musik seperti sahabatnya.
“Kurang lebih begitu.” Lebih tepatnya lagu penyembuhan untuk menenangkan hati yang mulai panik secara psikologis.
Jiang Cheng serasa melihat kegundahan dibalik senyum itu, tapi tetap saja takkan ia indahkan insting aneh dalam pikiran. “Mari sarapan dulu sebelum Anda pulang, Zewu-jun. Hari akan semakin siang.”
Setelah meletakkan Liebing di dalam saku jubah, Lan Xichen mengangguk patuh dan berjalan menyusul dengan tenang. Bahasa tubuhnya seperti biasa saja, tidak menginisialkan kegelisahan atau apapun. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Namun dalam hati, dia mencoba menenangkan diri agar tidak semakin lepas kendali.
Ingatan Lan Xichen beralih ke kejadian semalam.
Dimana keduanya mulai melakukan hal yang sebenarnya tak pantas untuk disimak.
Malam itu memang menjadi rahasia kecil bagi Lan Xichen seorang.
Jika bisa dilupakan, pasti dia telah menggunakan mantra penghapus ingatan—sayangnya tak bisa dilakukan. Itu berbahaya dan dilarang.
Gegara itu pula, ingatan semalam berputar sesaat di memori.
Dimana semua kegundahannya dimulai.
Suara nafas yang saling mengejar memenuhi ruangan, begitu pula dengan decitan ranjang yang samar-samar karena belum ada pergerakan yang lebih jauh.
Rasanya Lan Xichen seperti tak puas hanya merasakan bibir seorang Jiang Cheng. Apalagi mengingat bahwa mereka baru saja menghabiskan waktu bersama dengan dua botol arak khas klan bersimbol teratai tersebut. Dalam keadaan mabuk, Jiang Cheng yang tak sadar pun membiarkannya untuk menghapus jarak dengan sebuah ciuman lembut. Matanya terpejam, menikmati waktu dan momen yang terjadi malam kala itu bersama Lan Xichen.
Bibirnya terasa kenyal dan hangat. Lembut sekali.
Manis memberikan dampak.
Bagai madu yang meleleh dalam tekanan.
Ujung lidahnya perlahan keluar, bertemu dengan bibir bawah dan atas Jiang Cheng, merasakan lebih banyak lagi perasaan manis bercampur panas.
Tak kelewatan sedikit pun, Lan pertama menggigit kecil bibir bawahnya begitu telah selesai 'mencicipi' bibir ranum sang Jiang terakhir.
Tapi saat digigit ia mengeluarkan desah yang tak biasa. Suaranya manis dan tak terkendali.
“Nh—”
Ini tidak bagus. Lan Xichen serasa dirinya tidak memiliki kontrol penuh atas keinginan dan nafsunya sendiri. Apakah dengan sendirian selama hidupnya saat ini, membuatnya begitu ingin menjamah seseorang? Tanpa seizin resmi dari lawan main?
Lan Xichen memperdebatkan pikirannya sendiri karena mendengar desahan pelan Jiang Cheng.
Gairahnya meningkat.
Dia ingin mendengarnya lagi.
Seorang Zewu-jun ingin merasakan bagaimana rasanya ‘bermain’ dalam mulut sang Sandu Shengshou dengan melakukan ‘bersilat lidah’ yang sebenarnya.
Sementara itu, Jiang Cheng tak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Mendesah di bawah Lan Xichen adalah hal tak disangka.
Bagaikan dihipnotis oleh pandangan mata kelabu Lan Xichen, dirinya tak berdaya untuk ditatap terus menerus dan diserang begitu agresifnya. Seakan tenaga tak ada lagi ketika diambang mabuk.
Dan sayangnya, memang takkan bisa ingat apa yang dilakukan oleh mereka berdua kala malam itu.
Maka begitu ada kesempatan, Lan Xichen seketika tanpa sadar memasukkan lidahnya ke dalam mulut Jiang Cheng, mengabsen isinya satu persatu.
Menantang untuk mengajak lidah yang bersangkutan agar ikut berdansa, melumat dalam selagi yang bersangkutan kaget akan pergerakan.
Tak ada pilihan lain, akhirnya sang pria Yunmeng dibawahnya pun mengikuti dengan lemah.
Kecupan dan decapan saat bermain perang antar lidah membuat mereka berdua sedikit terengah, merasakan hawa deru panas di mulut dan seluruh wajah.
Jemari Lan Xichen menelisik ujung ikatan rambut eboni yang mulai longgar, mengusapnya perlahan seakan sedang memanjakan yang dibawah. Dengan kedua tangan, Jiang Cheng juga mulai memegang pipinya yang terus menyantap—tetap merasakan suasana keromantisan dadakan mereka berdua yang tiada tara.
Seakan momen tersebut harus diresapi supaya tak hilang dalam genggaman, atau akan hilang selamanya layaknya debu.
Selagi terus melakukan aksi panas bersama, Lan sulung mendapati leher jenjang Jiang bungsu ada di penglihatan untuk sejenak.
Sungguh menggoda untuk dilahap.
Benang saliva terhubung diantara kedua mulut yang berpagutan selama beberapa saat. Bibir Jiang Cheng sedikit bengkak dan basah karena dilumat dengan kelembutan yang stabil oleh Lan pertama, sebelum dirinya menengadahkan kepala dan memiringkannya akibat serangan lanjutan.
Sekarang Lan Xichen mulai benar-benar kehilangan akal sehatnya.
Dia mulai menyerang bagian leher kanan sang pemimpin sekte Jiang tersebut. Mulai dari menjilat hingga menyesap pelan kulit putih yang ternyata sangat lembut.
Leher jenjang tersebut seperti berteriak memintanya untuk dijamahi.
Ciuman di leher membuat Jiang terakhir menggelinjang sesaat, menghasilkan desah kaget ketika dihisap bagaikan monster.
“Ahh..—” Nafasnya tercekat sembari merasakan disesap oleh Lan Xichen.
Permainan mereka mulai memanas setelah kelembutan berlalu begitu cepat, digantikan dengan gairah yang mulai sedikit memuncak dan rasa frustasi ingin mendekap.
Masalahnya, pria Gusu tersebut lupa bahwa yang dia jamahi saat ini adalah seseorang dengan kesadaran yang tidak penuh. Dia menjamahi orang yang sedang mabuk.
Sungguh sangat tidak terhormat dan memalukan.
Pikirannya menolak keras perbuatannya. Namun apa daya, karena semuanya sudah terjadi.
Bahkan Lan Xichen tidak melihat tanda-tanda Jiang Cheng akan mengamuk, malah justru semakin membiarkannya menjajah dan menyentuh dengan sensual.
Menjadi seorang Lan merupakan keuntungan sekaligus kerugian bagi dirinya sendiri.
Alih-alih menyudahi perbuatan yang tak pantas tersebut dengan cepat, sang Zewu-jun yang terkenal sopan justru menggigit pelan kulit lehernya.
Gawatnya lagi, dia semakin tidak ingin berhenti.
Meninggalkan sebuah bekas kemerahan yang meliar, telah tampak jelas apalagi dengan paduan kulit putih milik yang bersangkutan setelah dilepas.
Sebuah bekas gigitan tanda erotisme muncul tak lama kemudian.
Kontras dengan kulit pucat sang empunya.
Jiang Cheng semakin tak berdaya ketika dijamah oleh pria klan Lan tersebut. Pikirannya sudah tak bisa dikendalikan lagi, pengaruh arak membuat mabuk berat dan tak sadar telah melakukan apa yang diperbuat sekarang.
Tangannya tak sengaja memegang pita dahi putih yang menjuntai perlahan. Dirinya menggumam sambil memegang pundak Lan sulung.
“Mnggh... Ah... Lan Huan...”
Lan Xichen merasakannya; pita dahi sakralnya menjadi agak renggang dan akan lepas.
Tak masalah. Bukan saatnya memikirkan penampilan atau apapun itu.
Persetan akan semuanya.
Dia sudah terkena candu akan Jiang Cheng—sudah terlalu manis dan hangat, seperti dengan berada di dekatnya saja sudah membuat dirinya penuh akan semangat.
Apalagi mendengar desahan serta namanya dalam nada yang tak beraturan seperti itu—sial, benar-benar menguji gairah.
Maafkan kegundahan yang berteriak dalam jiwa Lan Xichen.
Lelaki tersebut semakin terus menggigit sampai dirasanya puas. Sekiranya dia sudah membuat dua kissmark.
“Wanyin,” Dia kembali melahap bibir Jiang Cheng sementara tangannya mulai kehilangan kehormatan, dengan perlahan menyusuri dada sang pemimpin sekte Jiang yang masih tertutup kain baju.
“Nhh… A-Ahh!.. Mnnn...~”
Desahan pelan keluar dari mulut Jiang Cheng, membuatnya tak bisa menahan lagi akibat sentuhan tangan yang lebih besar mulai menggeranyangi. Ia hanya bisa melenguh pelan diiringi hawa kamar pribadi yang perlahan menjadi hangat dan panas. Rasanya ingin sekali membuka baju.
Lan Xichen mengumpat dalam pikirannya.
Sial. Sial. Sial.
Kemana pertahanan diri Lan Xichen? Mengapa bisa begitu lemah?!
Tangannya tetap menelusuri inci demi inci tubuh yang masih berbalut kain ungu tersebut. Tidak mengenai kulitnya secara langsung, namun Lan Xichen dapat mengukur bahwa lelaki di bawahnya ini lebih kurus dari yang diduga.
Apakah ia sempat sakit? Mengurusi sekte sendirian adalah tugas yang berat. Apalagi Jiang Cheng adalah tipe pekerja keras dan tidak memperdulikan hal lain selain kewajiban pekerjaan.
Karena otaknya berpikir demikian, Lan Xichen perlahan mulai tersadar akan keadaan.
Oh. tidak...
Matanya sedikit terhenyak menatap yang berada di bawahnya saat ini sembari tubuhnya terpaku diam.
Keadaan mereka berdua—khususnya Jiang Cheng yang diserang—terlihat cukup berantakan.
Lan Xichen tengah melakukan hal yang sangat tidak senonoh. Dia telah melanggar norma dan aturan serta ruang gerak orang lain.
Pria Gusu Lan tersebut kemudian berhenti.
Netranya menatap Jiang Cheng yang sudah tidak layak begini; tak lain dan tak bukan olehnya sendiri. Dia sungguh hampir tidak percaya bahwa telah melakukan banyak hal dalam waktu yang terhitung singkat.
Ia panik walau wajahnya seperti membeku kaku.
Melihat kembali wajah Lan Xichen yang menatapnya saja, tangan kanan Jiang Cheng menggapai pelan pipinya. “Ngg.. Jangan berhenti...”
Mukanya memerah mabuk, bagai mawar mekar.
Sontak saja, Lan Xichen meneguk salivanya sendiri dengan susah payah. Dia berusaha mengontrol nafas kemudian menatapnya dengan rasa bersalah.
Andai saja dia tidak memulainya, maka Jiang Cheng tidak akan seperti ini.
Apa yang harus Lan Xichen katakan jika besok ia tersadar dari pengaruh mabuk?
Mereka bahkan tidak saling menyukai satu sama lain.
Ah, entah mengapa dadanya terasa sedikit sakit.
“…Jiang-Zhongzhu, istirahatlah.” pintanya sambil merapikan rambut Jiang Cheng yang agak kusut.
Menatap manik kelabu sang pemimpin sekte Lan, dirinya hanya bisa menatap dalam diam dan lemas karena efek arak.
“Mngg.. Tapi aku ingin kau menemaniku...” lanturnya saat dirapikan begitu. Jepit rambut tadi juga hendak dilepas tapi ditahan oleh tangan Jiang Cheng.
Ia sangat menyukai jepitnya. Ia juga menginginkan sentuhannya.
Rambutnya tergerai menyebar untuk dirapikan diatas bantal.
“Saya temani sampai tidur.” Lan Xichen mencoba berucap lembut, sekali lagi mengelus rambut Jiang Cheng yang halus.
Hanya sampai Jiang Cheng tertidur lelap.
Setelah selesai memperbaiki keadaan sang pemilik kamar dan menyelimutinya, Lan Xichen mengambil kursi lalu menempatkannya di samping ranjang.
Jiang Cheng yang mulai mengantuk pun menurut saja, dan tertidur karena lelah. Ia jadi terlihat sungguh lemah tak berdaya, bahkan lebih daripada ketika dirinya sakit. Sekarang Jiang terakhir tersebut harus istirahat. Tanpa disadari, tangannya menggenggam pria Gusu yang menemani.
Lan Xichen yang sudah selesai membenarkan posisi pita dahi sebelumnya, pun tanpa kata balas menggenggam tangannya yang kasar. Banyak yang berkelibat di pikiran kala itu.
Besok dia harus kembali ke Gusu dan meninggalkannya.
Malam yang sekilas manis terasa agak pahit begitu dirinya menyadari fakta yang tak terelakkan: bahwa dia dan Jiang Cheng tak mempunyai hubungan apapun.
Mereka bukanlah apa-apa.
Mereka hanya sesama kepala sekte.
Bukan yang lain dan tidak ada yang lain.
Tapi malah dirinya yang melakukan ini itu pada Jiang Cheng yang mabuk—
Sungguh tidak bisa ditoleransi.
Memalukan. Apa yang sudah kulakukan padanya?
Hanya karena dilanda mabuk serta lelah, dia tak menyangka akan jadi seperti ini kejadiannya.
Lan sulung sudah merenggut ciuman pertama dari Jiang terakhir. Apalagi mereka berdua sesama lelaki. Mereka bahkan tidak memiliki perasaan khusus pada diri masing-masing, jadi bagaimana bisa tindakannya dibilang benar?
Memikirkan hal seberat itu, Lan Xichen menghela nafas panjang dan lelah. Satu tangannya yang bebas mengusap wajah putihnya, terlihat bagaikan seperti menyesal melakukan hal tak bermoral.
Sungguh tidak beretika sekali dirinya ini. Lan Xichen merutuk diri sendiri, sangat sukarela untuk menempuh hukumannya nanti sekembalinya ke Gusu.
Pengasingan selama beberapa bulan sepertinya bisa menjernihkan pikirannya kembali dari hal tak bermoral.
Untuk pertama kalinya, Lan Xichen merasakan rasa asing melebihi sakit yang lumrah didapatnya dalam batin.
.
.
.
====================
...I didn't know what is going on in this fic anymore. The ship is building by itself and I'm just being a spontaneous pantser writer.
Hi, guys, I am finally back. Sorry for late update and as the promised, I'm back in the end of Feb.
First! Happy birthday for the MDZS characters that had the birthday on February.
Yeah. Once again. But I forgot to say hbd to our Lan Wangji boi in January, too, cuz been busy. 💙
And second! I was busy trying to finish the loan fic docs and paid commissions, so forgive me. Happy Chinese Valentine's Day!
For this chapter, I wanted Lan Xichen as the main pov, so we can see how many depresso doses and anxiety he got after the act, especially for his inner repressed side taking over him. On the next chapter, I will bring up our main legend pair aka WangXian, so maybe will be lots of misunderstanding coming soon.
As usual, thank you for the views, votes, and leave the comments so I an know whats on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer. Check out my other fanfics stories on the profile, too!
See you guys next time!~ Adios~
regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro