30 - Burning Night
Senja mulai membentang. Kala matahari mengistirahatkan diri di peraduannya, bulan dan bintang mulai mengemban tugas untuk menggantikannya.
Setelah berkeliling dari pasar tradisional dan melihat persiapan festival, mereka pun berjalan bersama hari itu sampai kembali ke Lotus Pier dengan membawa beberapa guci arak manis. Sesuai saran Jiang Cheng, keduanya sepakat untuk menonton acara kembang api dari paviliun dikarenakan faktor kejelasan pemandangan nanti malam.
Selagi menunggu Lan Xichen yang memutuskan untuk mandi sejenak, maka yang menyiapkan perjamuan kecil adalah Jiang Cheng.
Ia mendudukkan diri di paviliun yang ada di ujung kolam teratai, dimana biasanya menikmati malam dan pemandangan danau teratai yang harum.
Setelah semua siap, dirinya menunggu Lan Xichen datang.
Panjang umur, yang bersangkutan mulai menampakkan diri tak lama kemudian. Nuansa putih-biru yang dibawa oleh Lan Xichen bercampur aroma cendana dan harus teratai.
Pasti laris manis jika wewangian seperti itu dijual.
Kembali, Lan Xichen melihat lelaki berpakaian ungu yang sudah menunggu sejak daritadi. Dia terdiam sebentar, menikmati pemandangan petang Yunmeng dengan sosok pria tersebut sebagai objek utamanya.
Pemandangan senja terlihat cukup indah saat menatap dengan tenang.
Sudah biasa dirinya melihat senja, tapi sepertinya hari ini sedikit berbeda karena hal yang entah apa itu—dia pun tak tahu.
Setelah puas, barulah Lan Xichen menghampiri sosok itu.
“Jiang-Zhongzhu.”
Tersadar, yang bersangkutan menoleh dan melihatnya menghampiri.
“Ah, Zewu-jun. Silakan, araknya sudah siap. Mari kita minum." ujarnya sembari mengajaknya agar bersantai.
Hendaknya ingin Lan Xichen mengajak para pemimpin untuk minum dan ikut festival bersama, namun hanya ada mereka berdua saat ini pun sudah lebih dari cukup.
Yah, anggap saja bonus santai di kala pekerjaan.
Sebenarnya, Lan pertama sudah terbiasa diajak untuk minum di luar Cloud Recesses. Semuanya dikarenakan alasan kehormatan dan diplomasi, biasanya dia minum bersama ketua sekte lain terlebih saat mengadakan perayaan lokal.
Tapi yang jelas, Lan Xichen tidak membiarkan dirinya untuk mabuk selama menggunakan kultivasinya ketika masih waktu minum.
Tak ingin mengulang insiden mabuk waktu Lan Qiren mengatakan bahwa mereka minum arak dan bukan teh.
Semoga saja Jiang Cheng juga mengaktifkan kultivasinya agar sama-sama tidak mabuk. Itu sudah jadi peraturan tak tertulis bagi para pemimpin sekte untuk tidak mabuk dalam minum-minum.
Lan Xichen duduk di depan Jiang Cheng, merapikan lengan baju panjangnya sebelum memulai acara minum meminum perdananya dengan pemimpin sekte Jiang yang sudah menyiapkan segalanya. Lelaki Yunmeng tersebut menuangkan arak ke dalam cangkir mereka masing-masing.
“Ini pertama kalinya saya meminum arak dari Yunmeng,” ujarnya memperhatikan cairan tersebut menguap hangat dalam cangkir.
“Benarkah? Semoga Anda suka rasanya. Biasanya yang menyantap hanyalah Wei Wuxian.” Ia sodorkan secangkir untuk Lan Xichen agar diminum.
Seperti yang bisa dibayangkan. Lan Xichen mengangkat cangkir dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menahan lengan baju kanannya agar tidak mengenai meja. Anggukan kepala sebagai maksud terima kasih, lelaki Gusu tersebut menerima cangkir berisi arak yang manis.
“Tuan Wei memang kuat dalam minum-minum." balasnya sebelum sedikit mengarahkan cangkir pada Jiang Cheng, menunggu pemiliknya minum terlebih dahulu.
Jiang Cheng juga mengangkat cangkir dengan tangan kanan sebelum menyeruput pelan arak manis yang dituang. Rasa asam manis serta sedikit memabukkan membuatnya mendesah sedikit puas.
Sudah lama Jiang Cheng tak minum. Rasanya cukup menyegarkan jika mengingat dirinya lelah dan penat akan pekerjaan. Terlalu banyak latihan mengerahkan anak buah dan mengajari teknik kultivasi yang aman, membuat sang Jiang terakhir tak ada waktu untuk istirahat. Rasa dari arak manis tersebut membuatnya menjadi sedikit ringan dan lega. Setidaknya Jiang Cheng bisa bersantai.
Setelah itu, Lan Xichen mulai ikut menenggak arak yang diberikan.
Memang manis. Rasanya arak Yunmeng memang manis khas bercampur asam yang alami.
Arak di setiap wilayah dan sekte terbilang berbeda dari segi topografinya masing-masing. Jika di tempat tinggalnya Gusu, arak mereka terkenal netral karena terasa lembut dan manis di saat yang bersamaan—bagaikan meminum air. Arak Lanling terasa mewah dan sedikit lebih asam karena pengendapannya yang cukup memakan waktu lama. Sedangkan milik Qinghe memiliki cita rasa keras yang kuat, kental pahit namun menghangatkan badan. Seingatnya dulu, ada yang menjual arak khas Qishan. Lan Xichen tak sempat mencoba meski yang dikatakan oleh salah satu pengoleksi arak yang dijumpainya, bahwa arak tersebut memiliki khas bau pahit namun encer cairannya memang bercitarasa manis disaat yang bersamaan.
“Ahh… Wei Wuxian memang begitu. Tak ada tandingan jika minum.” Jiang Cheng menambah lagi araknya ke dalam cangkir untuk yang kesekian kalinya.
Sudut bibir Lan pertama terangkat perlahan mendengarkan kalimatnya, ikut menambah arak untuk diminum.
Sampai beberapa teguk kemudian, Lan Xichen menatap wajah Jiang Cheng, seperti memikirkan sesuatu.
Menuangkan arak lagi, ia sedikit heran ketika melihat lelaki Gusu tersebut memandanginya.
“Ada apa, Zewu-jun?”
Lan Xichen meletakkan cangkir yang dipegang sebelumnya lalu menyunggingkan senyuman. “Jiang-Zhongzhu, untuk merayakan festival hari ini, saya ingin memberikan Anda sesuatu.”
Hmm? Sesuatu? Apakah itu?
“Tak usah repot-repot, Zewu-jun.” Jiang Cheng mendongak dan tersenyum tipis sambil meletakkan lagi pot arak yang ada di meja seusai dituangkan.
“Tidak, justru saya ingin memberikannya pada Anda.”
Dia mengambil sebuah kotak kecil yang ada di saku bajunya lalu memperlihatkannya pada Jiang terakhir.
Tangannya menerima kotak yang diberikan sebelum terkejut dengan mata sedikit melebar.
Isi kotak tersebut adalah sebuah jepitan yang dia beli barusan di pasar bersama Jiang Cheng.
“B-Bukannya ini yang tadi…?” Ia mendongak padanya sambil keheranan, “Tapi kenapa memberikannya pada saya?”
Bertanya kenapa?
Mudah saja Lan Xichen menjawab.
Matanya menatap jepit yang dia berikan lalu kembali lagi pada sang pemimpin sekte.
Lan Xichen berpikir bahwa jepit tersebut dan Jiang Cheng adalah perpaduan yang sesuai.
“Saya pikir jepit itu akan sangat cocok dipakai oleh Anda.”
Pernyataan pemimpin sekte Lan tersebut membuat telinganya seakan tuli sesaat.
Apa yang dia bilang tadi? Cocok?
Karena itu, entah mengapa darah mulai berkumpul di wajahnya, menyebabkan rona merah mulai terlihat.
Apa soal efek mabuk karena kultivasi atau memang hanya rona malu—sial, ia pun tak paham!
Tapi yang pasti dadanya sedikit berdebar senang.
Ada apa ini?!
Melihat tulang pipi Jiang Cheng yang mulai memerah, Lan Xichen menduga bahwa sekiranya ia sedikit mabuk.
Atau karena malu? Tidak, tidak. Kalau persoalan malu, Jiang Cheng sudah pasti akan memalingkan wajah atau memunggunginya.
Tunggu, sejak kapan aku hafal dengan pergerakan Jiang-Zhongzhu?
Menyadarkan dirinya, Lan Xichen mencoba tenang dan menawarkan diri, “Jiang-Zhongzhu, bolehkah saya memasangkan jepit itu di rambut Anda?”
Apa lagi ini? Ada apa dengannya? Tak seperti biasanya kalau begini. Biasanya ia memang akan membantah dan membela diri agar tidak malu. Tapi sekarang, dirinya malah merasa tak tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan.
Tak menemukan jawaban batinnya, tubuh Jiang Cheng agak terpaku diam ketika mendengar permintaan sang pemberi jepit rambut tersebut.
Ada gejolak tersendiri di dalam hati, dan ia masih bertanya apakah ini efek mabuk atau dirinya yang menginginkannya sendiri.
“B-Baiklah...”
Mendengar itu, Lan Xichen sendiri pun agak terkejut mendapati respon Jiang Cheng yang langsung menerimanya tanpa ada embel-embel penolakan ataupun pembelaan diri. Mengejutkan memang, namun hasil seperti ini cukup menyenangkan.
Lelaki Jiang tersebut sedikit menunduk dan sedikit mendekati duduk Lan Xichen yang tanpa disadari tengah menatapnya intens. Dirinya juga tak tahu harus apa karena sudah memendekkan jarak duduknya dengan Lan pertama.
Begitu dekat, mungkin sampai terdengar deru nafas yang kadang tak beraturan.
Lan Xichen sebisa mungkin tak menahan nafas karena akan terasa canggung. Ayolah, seorang Lan diwajibkan untuk tenang dan terkontrol diri.
Lain halnya dengan Jiang Cheng, yang hampir bergidik gugup karena disentuh rambutnya. Namun ia mencoba seperti biasa saja. Dengan lembut, bisa dirasakan jemari Lan Xichen bertemu sapa dengan helai demi helai rambut Jiang Cheng saat mencoba memakaikan jepit di rambut hitam legam tersebut.
Halus dan wangi.
Selesai. Jepit terpasang dengan baik di sisi kanan Jiang Cheng. Lan Xichen menatap jepit pemberiannya dengan puas.
Dalam hati, menyerap pemikirannya saat ini sembari melembutkan pandangan.
Memang cocok sekali.
Merasa selesai, Jiang Cheng mulai perlahan mendongak dan tak menyangka kalau akan bertatapan dengan mata kelabu Lan Xichen yang tengah menatapnya balik.
Perasaan menyenangkan selalu bermain dalam diri Lan Xichen kala melihat tingkah laku Jiang Cheng yang semakin lama semakin lucu. Rasanya senang melihatnya salah tingkah namun kembali menatapnya perlahan. Cukup menggemaskan, meski dia tahu bahwa Jiang Cheng adalah seorang pria.
Terasa seperti terkunci dalam tatapan masing-masing. Lan Xichen dapat melihat pantulan dirinya di netra Jiang Cheng. Ia yakin Jiang Cheng juga melihat hal yang sama.
Mereka tak sadar telah bertatapan dengan cukup dekat, suasana hening dengan nyanyian jangkrik jadi simfoni.
Tentu Jiang Cheng merasakan hal yang sama seperti lelaki di hadapannya saat ini. Karena ia juga terpaku akan tatapan Lan Xichen yang entah kenapa membuatnya jadi ingin memandanginya.
Kadang, gejolak batin membuatnya berpikir logika meski ingin mendengar kata bisikan hati. Terlalu lemah akan perdebatan sehingga memutuskan mengabaikannya terlebih dahulu.
Memutuskan keheningan, Lan Xichen perlahan buka suara. “Cantik,”
Wajah Jiang Cheng tertegun selagi makin memerah.
Lalu kemudian dia sadar bahwa perkataannya bisa membuat situasi lebih ambigu.
“—jepitnya.”
Akhirnya tahu apa yang dimaksud.
“A—Ahahaha… Benar. Jepitnya bagus.” Ia langsung menunduk dan mencoba menutup mukanya yang memanas.
Benar, buat apa mengatakan kalau Jiang Cheng cantik? Dia laki-laki! Yang cantik itu jepitnya!
Dasar bodoh!
“Jiang-Zhongzhu sangat cocok memakai jepit itu,” Lan Xichen menatap hiasan rambut Jiang Cheng. Rona tipis agaknya terlihat di tulang pipi meski tak terlihat kala gelap malam, “Indah.”
Lan Xichen merasa malu sendiri memuji Jiang Cheng. Ini pertama kalinya dia merasa berbeda ketika melontarkan pujiannya pada orang lain. Dia adalah Zewu-Jun; orang yang ramah dan murah pujian. Dirinya tidak keberatan untuk memuji orang lain. Senyum dan pembawaan yang tenang merupakan ciri khasnya tersendiri.
Hanya saja, malam ini rasanya dia menjadi Lan Xichen yang agak berbeda.
Jiang Cheng meneguk ludahnya, memerah sesaat sambil memalingkan mukanya yang memanas karena dibilang begitu.
Sialan! Apa yang terjadi padanya? Harusnya ia memang bangga karena dipuji, tapi karena pujiannya konteks begitu, bagaimana bisa Jiang Cheng tenang dan membiarkan dirinya tak terkendali begini.
Tak mau merasa lebih canggung lagi, Lan pertama tersebut kembali ke tempatnya, menuangkan arak pada cangkirnya dan Jiang Cheng.
Yang bersangkutan pun juga duduk di posisi semula, tak sadar kalau masih memakai jepit di kepala.
Dia menyerahkan cangkir milik Jiang Cheng yang sudah terisi arak dengan gestur 'silahkan' sebelu, mengambil cangkir miliknya sendiri dan meneguk cairan hangat asam tersebut.
Tepat ketika mereka berdua mulai membisu canggung karena soal tadi, saat itu juga kembang api mulai terbakar di angkasa.
Meriahnya suara letusan bunga api di malam berbintang, menambah keindahan makin terpancar di langit Yunmeng. Warna-warni yang menandakan semaraknya festival musim panen.
Lan Xichen melihat kembang api cukup lama. Ia tersenyum kala warna ungu muncul di salah satu kembang api terbesar yang meledak. Tak lupa juga bentuk teratai, lambang dari klan Yunmeng Jiang.
Di sela-sela acara menonton kembang api, lelaki tersebut melirik ke arah Jiang Cheng.
Pemimpin Sekte Jiang tersebut tersenyum.
Sudah dia duga. Sesungguhnya Jiang Cheng memiliki wajah yang cantik namun keras di saat yang bersamaan. Hal itu menjadi sempurna dengan sikapnya yang terkenal galak namun menggemaskan di mata Lan Xichen. Sifatnya yang sukar mengalah, ingin terus berusaha sampai mendapatkan apa yang ia inginkan, benar-benar menambah kesan dari seorang Jiang Cheng.
Lan Xichen tak menolak fakta bahwa dirinya mengakui keindahan dari seorang Sandu Sengshou. Hanya saja, mungkin akan jadi canggung jika dia mengutarakan apa yang dipikirkan. Sang Lan pertama tak mau mengulang hal yang sama dan berakhir dengan Jiang Cheng menjauhinya dalam diam seperti kemarin.
Jika Lan Xichen mengenalnya lebih dekat seperti Wei Wuxian atau Nie Huaisang, mungkin ia bisa langsung mengutarakan pemikirannya pada sang pria bermata lavender tersebut.
Sementara itu, Jiang Cheng menatap dengan kagum ketika melihat langit terlukis kembang api. Sebuah senyum tipis mampir di bibirnya yang jarang tersenyum. Ia sudah berusaha keras dan kerjanya terbayarkan oleh festival yang meriah. Cahaya kembang api samar-samar mengenai bayangan mukanya.
Masih dengan sunggingan yang tertarik, ia pun perlahan menoleh dan tak sadar kalau mendapati Lan Xichen meliriknya tadi. Sambil mencoba bersikap biasa saja, Jiang Cheng mencoba menghilangkan canggung tadi. “Sayang sekali Anda besok sudah harus kembali. Padahal puncak festival itu besok.”
Kepergok memandangi, Lan Xichen hampir menjadi salah tingkah. Dia berdeham kecil lalu mengangguk pada kalimat yang terlontar.
“Ya, sayang sekali,” Atensinya kembali teralih pada kembang api yang masih setia menghiasi langit malam, “Saya masih ingin berkeliling Yunmeng dengan Anda.”
Masih saja hendak bermain halus.
“Begitukah... Saya juga ingin bersantai tapi pekerjaan pasti menanti.” Jiang Cheng juga menatap kembang api yang mulai mereda karena sudah 2 menit berlalu tanpa henti.
Keheningan yang nyaman membuat keduanya meminum arak dengan aman malam itu.
Ya, aman. Masih aman. Belum tumbang.
Lidah Lan Xichen mulai terasa manis sekarang. Ia sudah meneguk beberapa cangkir arak khas Yunmeng dan masih kuat.
Matanya melirik padanya sesekali.
Jiang Cheng juga masih bertahan, tapi mulai sedikit sempoyongan akibat kultivasinya yang tak terlalu kuat dibandingkan dengan Lan Xichen. Meski begitu, ia masih menahan diri jadi tak masalah.
Jiang Cheng meneguk lagi dan memakan kuaci yang ada di meja sekarang untuk menghilangkan rasa mabuk.
Masih dengan tata krama yang tertata baik di meja minum, Lan Xichen menuangkan arak untuk mereka berdua. Kali ini tak ada rasa mendesak yang membuat dirinya dan Jiang Cheng harus berbicara. Ia dan kepala sekte tersebut sudah menyamankan diri masing-masing.
Jiang Cheng meneguk dengan sekali gerakan, lalu ia tuangkan lagi untuknya dan Lan Xichen.
Mereka masih diam.
Giliran Lan Xichen menerima cangkir yang sudah terisi lalu menenggaknya lagi sampai habis, lalu menatap Jiang Cheng. Memang sudah kebiasaan lelaki Gusu tersebut kalau memang menatap sesuatu, bisa tatap objek dengan lurus tanpa merasa canggung.
Jiang Cheng juga meneguk dengan sekali tegukan, lalu mengisi lagi kedua cangkir mereka berdua. Ia pun juga menatapnya yang seakan menantang dalam diam.
Tanpa disadari keduanya, acara minum santai berubah haluan menjadi kompetisi kecil.
Lan Xichen masih tahan, meneguk arak dari cangkir yang sudah dituangkan oleh Jiang Cheng. Ia tetap berkonsentrasi pada kultivasinya sembari tetap mengawasi pergerakan Jiang Cheng.
Sementara itu, Jiang Cheng mulai sedikit goyah. Ia meneguk lagi arak dari cangkir dan menuangkannya lagi untuk mereka. Sial, kultivasi yang sedikit lebih lemah daripada Wei Wuxian membuatnya jadi kurang konsentrasi dibandingkan latihan fisik pedang Sandu.
Tapi akhirnya harus ada salah satu yang tumbang.
Perlahan, kepalanya menunduk sesaat.
Menghentikan acara minumnya, Lan Xichen menatap Jiang Cheng yang mulai menunduk.
Wah, wajah dari orang di depannya ini mulai aneh. Firasatnya kurang enak.
“Jiang-Zhongzhu?”
Langsung saja, Jiang Cheng mendongak gontai. Lelaki Jiang tersebut menatapnya dengan tatapan mabuk sayu dan memerah sebab habis dosis ketahanan araknya.
“Haa..?~”
Pemenangnya adalah Lan Xichen.
Namun, justru saat ini pemimpin sekte Lan tersebut merasa kalah karena sosok Jiang Cheng yang tampak begitu… Uhm… Ya, begitu.
Lan Xichen hanya tidak ingin mengutarakannya saja. Tidak pantas.
Melihat kondisi sudah mulai tidak kondusif, saatnya untuk berkemas.
“Jiang-Zhongzhu, mari kita akhiri saja acara minum-minumnya,” ucap Lan XiChen yang mulai membereskan botol arak dan cangkir, dan tak lupa merapikan bekas kuaci yang terkupas.
Sedangkan Jiang Cheng yang mabuk pun masih memegang guci arak yang ada di meja.
“Unngg... Tapi aku mau minyuummm~~..” lanturnya sambil meneguk lagi dengan paksa. Bajunya sedikit basah karena percikan arak.
Dalam hati, sang Lan pertama bersyukur karena bukan dirinya yang mabuk. Jika ia mabuk, bisa berabe.
Mungkin takkan terbayangkan kekacauan yang akan ditimbulkan.
Lan Xichen bangkit dari tempatnya, menghampiri Jiang Cheng yang mulai melantur mabuk.
“Jiang-Zhongzhu, saya antar ke kamar, ya.”
Jiang Cheng yang habis meneguk guci arak manis kosong tadi langsung berontak lemas.
“Aahh~~ Aku tidak mawuu..~”
Sebenarnya, Jiang Cheng tahan untuk mabuk, tapi sekali dirinya mulai mabuk maka ia akan berubah total dari kelakuan biasanya. Kalau sedang mabuk, dirinya jadi malah manja dan makin blak-blakan, tanpa saringandan pemilihan kata juga semakin kasar.
“Jiang-Zhongzhu sudah mabuk, kita akhiri saja dulu hari ini,” Lan Xichen memegang kedua lengan Jiang Cheng untuk membantunya berdiri perlahan, “Mari. Pelan-pelan saja.”
Aroma arak yang manis tercium dari diri Jiang Cheng dan dirinya. Meskipun samar-samar, tetap saja agak memabukkan. Campuran teratai dan air manis yang memanjakan lidah membuat penciuman Lan Xichen sedikit terpengaruh meski dalam lindungan kultivasi.
Jujur saja, dia ingin minum secara nyata tanpa kultivasi. Merasakan rasanya minum yang benar-benar minum. Tapi jangan hari ini.
Lagipula Lan Xichen tidak tahu konsekuensi apa yang akan terjadi jika dirinya mabuk.
Pemuda bermata lavender tersebut sudah terlihat sayu dan dipengaruhi oleh arak manis yang memabukkan.
“Jiang-Zhongzhu…”
Lan Xichen berpikir untuk menggendong Jiang Cheng jika masih ditolak. Kedua lengan Jiang Cheng dipegang oleh yang bersangkutan tengah masih memberontak.
“Tapi, Zewu-jun...~ Aku masyih kuat kokk~~” Lanturan mabuknya kasar meski lirih, sambil mencoba meyakinkan walau dengan tampang mabuk yang dominan.
Mata yang sayu dan wajah memerah mabuk membuatnya jadi sedikit menggoda jika ada yang tak tahan untuk berani menyodorinya.
“Jangan hentikan akwuu~~.. Aku mau minyuum!!~..” berontaknya lemas akan pegangan Lan Xichen meski sempoyongan.
Jujur saja, Lan Xichen tidak bisa mengatakan bahwa saat ini Jiang Cheng terlihat sangat anu. Tolonglah, ini tidak seperti dirinya menyukai Jiang Cheng dalam artian yang lebih dalam. Dia hanya tertarik karena kepribadian Jiang terakhir yang unik dan tingkah lakunya yang lucu.
Bukan dalam artian yang lebih dalam…
Tunggu, artian yang lebih dalam itu maksudnya apa…?
Pertanyaan itu mengiang di pemikiran. Namun, saat ini Lan Xichen merasakan gejolak menyenangkan yang ada dalam dirinya.
Melihat Jiang Cheng dalam kondisi seperti sekarang adalah suatu pemandangan yang tak boleh disia-siakan.
Kemana perginya penahanan dirinya yang sudah dibentuk sedari kecil? Musnah.
Ide tersirat secara tiba-tiba.
Memutuskan untuk menjahili Jiang Cheng, Lan Xichen mendekat, setengah berbisik.
“Kalau Jiang-Zhongzhu tidak kembali ke kamar sekarang, saya akan kembali ke Gusu malam ini juga. Bagaimana?”
Mendengar hal tersbeut, Jiang Cheng jadi menatapnya sedih dan berujar dengan tangan menggenggam jubah putih bersihnya.
“Jangan pergi, Zewu-jun...~~ Temani aku minum.. Akwu kesepian~~...”
Tatapannya jadi seperti tak rela ditinggalkan.
Jiang Cheng memerintah seperti anak kecil, dengan pipi dikembungkan serta bibir maju beberapa mili.
“Baiklahhh... tapi gendong aku.”
Sang lelaki bergelar Zewu-jun tersebut terkekeh. Tentu saja, dengan jarak mereka yang begitu dekat, suara kekehannya yang lembut terdengar begitu jelas di telinga Jiang Cheng.
“Kalau begitu, Jiang-Zhongzhu, pegangan yang erat.”
Tanpa aba-aba, kedua tangannya berpindah posisi dari lengan menuju belakang lutut dan punggung Jiang Cheng. Dalam sekali angkat, Jiang Cheng sudah berada dalam gendongannya.
Ia berjalan menuju ruang pribadi Jiang Cheng.
Jiang Cheng tersenyum puas dengan masih mabuknya dan terpengaruh alkohol, saat digendong pun otomatis tangannya memeluk leher Lan Xichen sambil menyender di dadanya karena berhasil merajuk.
Sesaat, terdengar debaran jantung sang pria berpakaian putih tersebut di genderang telinganya.
Zewu-jun berdebar?
Dalam hati bertanya, apakah Lan Xichen juga sama berdebarnya seperti dirinya?
Degup jantung Lan Xichen sudah jangan ditanya lagi. Dirinya sama seperti Lan Wangji dengan mottonya 'jangan lihat dari wajah, dengar detak jantungnya'. Lan Xichen jarang memperlihatkan emosi yang nyata di wajahnya. Hanya debaran jantung yang dapat mengatakan segalanya.
Sepanjang digendong pun, Jiang Cheng jadi melamun karena berpikir kalau ini sangatlah jarang terjadi.
Akhirnya, mereka sampai di ruangan pribadi Jiang Cheng. Jendela terbuka menampakkan pemandangan kolam teratai yang indah di pancar bulan purnama kala gelap mendominasi ruangan.
Lan Xichen merebahkan tubuh pria dalam gendongannya tersebut di atas ranjang. Seperti ranjang ukuran raja yang biasa, dengan kelambu yang halus.
Sejenak, dia memerhatikan wajah Jiang terakhir yang terkena sinar rembulan malam.
Jiang Cheng yang dibaringkan di ranjangnya pun juga memandanginya sayu, dengan genggaman tangan masih memegang kain baju putih pria Gusu tersebut.
Seakan tak mau Lan Xichen pergi dari sini.
Jantungnya terpacu cepat. Baru menyadari jemarinya yang menggenggam erat kain baju putih bercampur biru khas awan. Dengan lanturan yang meminta untuk ditemani, bagaimana lagi Lan Xichen bisa tenang?
Jantung Jiang Cheng mulai berdebar karena menatap Lan Xichen yang memandanginya. Dirinya sendiri juga merasa tak mau dia pergi secepat ini, jadi Jiang Cheng menahan sebisanya.
“Mngg.. Zewu-jun... Jangan pergi...” lanturnya lemah karena mabuk. Mukanya masih merah bagaikan ronanya di seluruh wajah.
Kuatkan hatinya, astaga.
Terlebih lagi, rupa Jiang Cheng saat ini begitu meningkatkan semangatnya entah darimana.
Perlahan, telapak tangan kanannya yang halus mendarat perlahan di pipi kanan Jiang Cheng. Dia mengelusnya lembut. Lelaki bermata lavender tersebut memejamkan matanya, menikmati sensasi hangat di pipi, lalu dahi, hingga pucuk kepala.
Afeksi yang diberikan membuatnya sejenak terlena.
Terasa nyaman dan normal bagi Lan Xichen. Sehingga tanpa sadar, bibirnya memanggil satu nama lain.
“Wanyin.”
Jiang Cheng perlahan membuka mata, menatap balik lemah. Dirinya tak salah dengar, bukan?
“...Lan Huan...”
Lan Xichen merasa seperti waktu seakan berhenti.
Walau berlebihan, tapi dia benar-benar merasa seperti ada jeda panjang ketika kedua indra pendengarnya menangkap suara yang menyebutkan nama kelahirannya.
'Lan Huan'
Sudah berapa lama jauhnya sejak terakhir kali mendengar namanya dipanggil begitu? Selama ini dia selalu mendengar nama gelarnya, kalaupun tidak, pasti nama kehormatannya.
Dipanggil seperti itu membuat rasa panas menjalar dalam diri Lan Xichen.
Sekelebat pikiran muncul, mendesak dirinya untuk merasakan bibir pria Yunmeng tersebut.
Perlahan, ibu jarinya terhenti di bibir bawah Jiang Cheng, mengusap perlahan.
Dibegitukan, Jiang Cheng sedikit memalingkan pandangan lalu menatapnya malu. Rasa malu tetiba muncul dan membuat berdebar makin cepat entah mengapa.
Apakah ia salah menyebut nama kecilnya? Sepertinya tidak. Karena terlihat dari reaksi serta kilatan tatapan sang pria yang menatapnya pun sudah bereaksi tertentu.
Layaknya ada pengaruh alkohol, rasa irasional dalam batin membuat Lan Xichen tidak dapat mengatur dirinya sendiri. Terlebih di situasi seperti ini.
Bukan, bukan dari arak yang barusan di minum. Melainkan dari Jiang Cheng.
Ya.
Jiang Cheng adalah sebuah candu.
Tak kuasa menahan gejolak dalam diri, Lan Xichen perlahan mendekati wajah Jiang Cheng, menggesek kedua ujung hidung mereka perlahan kemudian mempertemukan bibir dalam sebuah ciuman.
Rasa manis sekaligus memabukkan masih terasa pekat ketika berpagutan.
Sepertinya Lan Xichen akan mabuk malam ini.
.
.
.
====================
Hello the new and old readers. And please enjoy this next inciting incidents while I'm gonna take a break for two weeks until a month in max, because I have to do rapid test and the preparation for graduation. Just hope and cross fingers that I get the job opportunity.
This chapter is about XiCheng, ofc. And their inner conflicts while still trying to figure out what the feelings. Enjoy some drama coming soon on next February, supposed coming soon. Thank you so much for my friends: Wenwen, Waesang, Vall, and Yibro for keep supporting me. I appreciate it and glad to write this.
Btw I had a sudden thought to make an extra chapter about other ships so look forward to it, too Anyway, please looking forward to this book's update weekly or monthly, as usual! Won't promise on the time tho.
The next chapter is the next phase with the double date ft. WangXian! Lots of teasing by the brothers and much more misunderstanding coming right up! ❤💙💜💙
As usual, thanks for the vote and comments. It means alot to me, to improve and practicing my debut novels after finish the loan fics and commissions.
I hope you enjoy this book and keep supporting me!
Adios, amigos!
Regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro