19 - Ulterior Motive
"Apa? Kau bertengkar dengan Tuan Shen?"
Sebuah fakta yang mencengangkan bagi Jiang Cheng ketika mendengar alasan mengapa Liu Qingge nekat menempuh perjalanan hanya untuk melarikan diri dari Gunung Cang Qiong.
Dan alasannya disebabkan oleh dirinya yang bertengkar hebat dengan Shen Qingqiu, Tuan Puncak Qing Jing yang merupakan teman dekat.
Alasannya juga cukup sepele; yakni karena suatu benda yang ia berikan sebagai hadiah untuk Shen Qingqiu malah diberikan kepada Luo Binghe.
Sebenarnya adalah, Liu Qingge ingin memberikannya secara rahasia bagaikan pengagum rahasia. Ia mendengar kalau cara itu cukup bagus dan 'rekan'nya itu mungkin akan berterima kasih kepadanya.
Sialnya, Shen Qingqiu tak mengetahui kalau itu dari rekan juniornya karena tak ada tanda atau tulisan berarti di hadiah tersebut—apalagi barang yang diberikan ternyata hanya cukup berguna untuk Luo Binghe, jadi ia memberikannya pada sang suami. Naas, sang pemberi melihat dengan kepala matanya sendiri kalau hadiahnya dengan enteng diberikan pada orang lain.
Tak terima, Liu Qingge merasa tersinggung dan langsung menyerangnya dengan kata-kata yang termasuk menyakiti hati. Bahkan di depan para rekan kultivator pemegang jabatan Tuan Puncak juga sama sepertinya. Karena tak tahu, Shen Qingqiu mencoba menenangkannya untuk bicara dengan kepala dingin—bahkan Luo Binghe hendak membela sang guru. Namun karena sudah muak dan lelah berargumen, Liu Qingge pergi dari sana menaikki Chengluan lalu kabur dengan raut wajah yang tampak rumit. Rasa marah, kecewa, sesal, tersakiti—semuanya tercampur di dalam dada di saat pedangnya melaju menjauhi para kultivator yang hendak ingin mengejarnya karena kalah cepat.
Akhirnya, Liu Qingge terpikir ingin kabur kemana—karena tak mungkin kembali ke puncaknya, jadi dia nekat menuju Yunmeng Jiang untuk mencoba menenangkan diri dengan tak mengingat perkara tadi.
Jadi begitulah bagaimana ceritanya seorang Liu Qingge sampai di Lotus Pier.
Jiang Cheng menatapnya dengan heran sambil memperhatikannya yang telah usai bercerita panjang lebar—coretcurhatcoret—padanya.
Liu Qingge menghela nafas kesal. "Sudah kubilang jangan berkomentar apa pun."
"Ah—maaf, maaf. Tapi… Bagaimana bisa? Bukankah kalian berdua itu akrab?"
Ia mendengus dan meminta diisi lagi secangkir penuh, disambut oleh Jiang Cheng yang menuangkan pada tamunya.
"Sebenarnya kami tak dekat. Intinya kami bertengkar. Itu saja."
Jiang Cheng memandangnya heran karena mendengar jawaban yang pasif. Ini sudah tak benar. "Hanya karena itu saja? Bukankah lebih baik kalau anda berdua membicarakannya dengan kepala dingin? Mungkin dia memang tak tahu kalau itu dari anda."
Seperti Jiang Cheng tak pernah mengamuk pada orang saja. Dasar Wanyin.
Tangan kasar tersebut meletakkan cangkir teh yang telah habis diteguk dengan agak kasar. Dengusan arogan keluar dari hidung sang empunya.
"Percuma saja. Itu artinya sama dengan anggapan kalau aku yang salah, padahal dia harusnya yang salah. Jadi orang itulah yang harus minta maaf!"
Uwah, menggebu-gebu sekali Dewa Perang ini. Harga dirinya sungguhlah di puncak.
Memang salahnya kalau tak membuat catatan kecil kalau itu darinya, tapi ‘kan Liu Qingge memberikan hadiahnya dengan rahasia. Mana bisa mencatutkan nama di hadiahnya! Kalau tidak begitu, bukan rahasia namanya.
Intinya harga dirinya terlalu tinggi untuk hal seperti ini.
"Aku tak mau melihat mukanya lagi jadi aku pergi saja dari sana. Lalu aku teringat padamu, makanya aku kabur kemari."
Tak bisa disangka, ternyata itulah mengapa pemilik pedang Chengluan tersebut bisa sampai ke sini tanpa surat pemberitahuan terlebih dahulu. Jika dipikir-pikir lagi, ternyata Liu Qingge jauh lebih kekanakkan dan mengendalikan insting daripada dirinya—mengingat insiden Jin Ling yang kabur ke Cloud Recesses.
Untuk sesaat, ia benar-benar bersyukur kemarin bisa berbaikan dengan Lan Xichen dan Nie Huaisang.
Jiang Cheng menghela nafas singkat, meletakkan cangkir berukiran motif teratai dan menatapnya. "Lebih baik kau kembali."
"Apa? Aku tak mau!"
"Kalau tetap lari begini, takkan ada habisnya. Kau tahu betul soal itu."
"Tentu saja, tapi aku muak melihatnya. Untuk sementara aku ingin di sini saja dulu."
"Kau tak diundang dan memaksa masuk dengan menyerang anak buahku. Yunmeng Jiang tidak memiliki peraturan seperti Puncak Bai Zhan." Lebih tepatnya mirip di peraturan militer sekte Nie Huaisang.
"Biar saja. Toh, aku kesini untuk menenangkan diri."
"Jadi kau mau aku untuk menampungmu sementara?"
Liu Qingge menatapnya diam dengan serius, sebelum pria Yunmeng tersebut menutup matanya sesaat.
Jiang Cheng menghela nafas maklum, meletakkan teko teh berwarna hijau tersebut di atas nampan. "Ya sudah, kalau memang itu yang kau mau. Tapi apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Entahlah, mungkin mencari lawan main. Sudah lama tak bertarung dengan para muridmu yang lemah."
"Teknik Yunmeng Jiang takkan membuat tubuh dan jiwa pemakainya menjadi orang yang lemah. Mohon anda tahan diri jika melakukan latihan tanding dengan mereka."
"Bah. Masih bangganya seperti dulu."
"Tentu saja, mereka itu murid dan bawahanku. Aku tahu kemampuan mereka sampai batas mana."
Keduanya sekedar mengangkat cangkir dan bersulang sesaat, hingga mulai bercakap ke topik yang lebih sejuk sebelum jam makan malam tiba.
Sejak kejadian datangnya Liu Qingge seminggu yang lalu, selama itu juga dia menginap di Lotus Pier dengan santainya, seperti menganggap tempat tersebut adalah rumahnya sendiri. Beberapa murid klan Jiang kerap kali menghindari Liu Qingge dikarenakan pasti akan diajak untuk berduel. Ini lebih buruk daripada saat Wei Wuxian mengunjungi Lotus Pier, seakan Jiang Cheng memiliki saudara kembar saja.
Memang benar, mereka berdua seperti pinang dibelah dua. Tapi tetap saja, Tuan Jiang mereka masih memberi ampun daripada pria bermarga Liu tersebut.
Dan selama itu pula, dua rekan sekte yang tertinggal mengamati bagaimana kehadiran Liu Qingge diantara keberadaan sekitar Jiang Cheng.
Nie Huaisang hanya memperhatikan interaksi keduanya diam-diam. Baik saat bersama atau pun berkumpul berempat, keduanya seakan tak terlalu mempermasalahkan kedekatan, lagipula mereka seperti teman baik.
Tapi masalahnya, setiap kali berpapasan dengan Liu Qingge, dirinya sering ditatap dengan tajam walau ia sama sekali tak ada masalah dengannya. Kenal juga tidak. Maka dari itulah dirinya selalu menunduk agar tak merasakan esensi tatapan tajam Liu Qingge yang menusuk.
Sementara sedikit berbeda untuk Lan Xichen, yang hanya bisa beramah tamah. Dia bukanlah tuan rumah jadi mana bisa memiliki hak untuk menginterupsi jika Jiang Cheng berinteraksi dengan Tuan Puncak Bai Zhan tersebut.
Sebenarnya, dia sendiri sudah memperhatikan keduanya dengan memasang senyum biasa namun dalam hati masih suka bimbang sendiri.
Memang dua orang ini mirip, namun masih berbeda di pandangannya. Walau pun sama-sama menjabat menjadi ketua, rekan sektenya dan Dewa Perang tersebut memiliki perbedaan dari segi watak. Jiang Cheng bermulut kasar namun jujur dengan sarkasnya, berbeda dengan Liu Qingge yang lebih bersikap arogan dan keras pada ucapan.
Jika dilihat baik-baik, keduanya bergaul dengan cukup akrab. Bahkan, ia pernah memergokki keduanya yang bermain dengan anjing piaraan dan duduk di pinggir jembatan kolam Lotus Pier.
Melihat itu, dada bawahnya sedikit memanas. Seakan dibakar.
Ada apa dengannya akhir-akhir ini? Kenapa dirinya jadi panas sendiri?
Lan Xichen masih bimbang akan itu dan mencoba menghiraukannya, mengalihkan perhatian dengan melakukan meditasi untuk menenangkan hati juga pikiran agar tak terbayang.
Dan terkadang itu berhasil atau pun tidak, membuatnya frustasi meski tak bisa mengatakan apa-apa pada orang lain. Harus ia tanggung sendiri.
Untuk sekedar informasi, ketiganya masih melaksanakan lembar dokumen pekerjaan jika Liu Qingge tak ada di area. Nie Huaisang sering ingin bolos kerja namun karena ada Jiang Cheng, terpaksa dia melakukannya.
Hingga setelah 9 hari berselang, seorang bawahan mencari Jiang Cheng yang tengah melakukan latihan di lapangan barak untuk sekedar pertarungan kecil agar kemampuan tetap stabil.
Dirinya bersama kultivator lain—minus Nie Huaisang yang menikmati mengamati latihan, terima kasih—tengah melakukan pemanasan.
"Ketua Jiang! Ada tamu menunggu anda."
Sudah datang rupanya, pikir Jiang Cheng tenang.
"Arahkan dia ke Aula Teratai Raksasa."
Anak buahnya mengangguk dan pergi saat itu juga, membuat keempatnya hanya diam sesaat.
Lan Xichen menyahut kalem pada sang rekan sekte. "Anda sebaiknya bergegas, tak baik membuat tamu menunggu lama."
Benar, tak boleh membuat tamu menunggu terlalu lama. Tidak etis.
"Tentu saja. Tuan Liu, kau ikut juga."
Liu Qingge mengernyitkan dahi. "Lalu mereka berdua?"
"Latihan akan dilanjutkan dengan anak buah yang melawan Zewu-jun. Ikut saja denganku sebentar sebagai pelengkap."
Karena dibilang begitu, maka akhirnya sang Dewa Perang mengikuti kemauan Jiang Cheng, sebelum keduanya merapikan penampilan dan menuju ke tempat pertemuan untuk menemui ‘tamu’ yang menunggu.
"Apakah kau tahu siapa tamunya?" tanya Liu Qingge berbasa-basi sejenak saat masuk ke Aula Teratai Raksasa yang luas. Hanya ada mereka berdua saja di sana dan terasa lenggang.
"Begitulah, dia salah satu dari orang kenalanku. Dia mungkin hendak ingin berbicara sesuatu yang krusial."
Jawaban pasif Jiang Cheng membuat Liu Qingge melontarkan pertanyaan semi-sarkas.
"Memangnya kenapa sampai begitu?"
"Karena hal itu sangatlah penting."
Suara itu!
Saat menoleh, Liu Qingge merasakan darahnya berdesir dengan emosi. Matanya tak mempercayai apa yang ia lihat sekarang.
Tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri, seorang pria bertubuh tinggi penuh aura superior yang halus menampakkan diri.
"Zhangmen-Shixiong…?"
Sang Master Sekte Cang Qiong sendirilah yang telah menemuinya.
Yue Qingyuan hanya menatap mereka berdua, Xuansu masih di sarung dan pinggangnya dengan penuh energi spiritual. Dia berjalan dengan kalem dan penuh wibawa, menghampiri Liu Qingge yang kaget akan kehadirannya yang tetiba.
Matanya sedikit menajam, waspada. "Zhangmen-Shixiong… Sedang apa Anda disini?!"
Penuh kelembutan dan ketenangan, Yue Qingyuan menjawab kepada junior dari trio tuan puncak mereka. "Shixiong ini datang kesini untuk menjemput Liu-shidi."
"Tapi, bagaimana bisa—"
Tunggu. Jangan-jangan…
"Terima kasih kepada Tuan Jiang yang mengirimi surat pada saya, maka shixiong ini tahu dimana shidi berada."
Liu Qingge melirik pada Jiang Cheng yang memberi gelengan kepala sesaat, menunjukkan bahwa kalau tak ada lagi yang bisa ia usahakan selain melakukan hal tersebut. Demi kebaikan bersama.
Teman yang keooperatif.
"Liu-shidi, lebih baik mari kita kembali." Yue Qingyuan membujuk, namun dibalas ketus olehnya.
"Tidak mau."
Tuan Puncak Bai Zhan masih tetap bebal menolak dengan hormat meski merasa kesal, karena jika melihat sang Master Sekte sama seperti membayangkan orang yang ia cerca kemarin.
Sementara itu, dua kultivator lainnya mulai menyusul ke aula secara diam-diam karena merasa ada sesuatu yang tak beres. Dan benar saja, kedua pemimpin sekte tersebut mencoba untuk tidak menyela pembicaraan dan tak bisa melakukan apa pun selain menonton saja dari pintu masuk Aula Teratai Raksasa.
"Liu-shidi, tolong kembalilah bersama saya. Kita selesaikan ini secara baik-baik—"
Yang Qingyuan mencoba menjelaskan dengan pengertian, namun upaya itu disergah oleh Liu Qingge dengan sedikit kasar.
“Untuk apa shixiong membawa shidi ini kembali ke sana, kalau bukan dia sendiri yang minta maaf ke sini?! Kalau pengecut itu tak kemari, berarti dia tak mau membicarakannya!”
Ia terdiam dan mencoba beberapa langkah mendekati Liu Qingge. "Bukannya tidak kemari, tapi Shen-shidi sedang menantimu di pusat Puncak Bai Zhan."
"Apa?! Shixiong membiarkannya masuk ke daerahku?!"
Siapa yang tak marah kalau daerah kekuasaannya dimasukki oleh tamu tak diundang, apalagi orang yang telah membuatnya sakit hati begini.
"Meski sudah ditahan oleh murid-murid Bai Zhan, Shen-shidi terus menyalahi dirinya sendiri dan tetap memaksa masuk ke tempatmu. Sekarang, dia masih berlutut di depan bangunan dan tak mau beranjak dari tempatnya. Shixiong ini sudah membujuknya untuk berhenti, apalagi makan atau minum tapi tak dilakukannya—tidak sama sekali."
Yang Qingyuan menatapnya dengan sedikit sendu dan melanjutkan dengan serius, "Shen-shidi bilang, kalau dia akan tetap di situ sampai Liu-shidi menemuinya."
Liu Qingge terhenyak akan pernyataan yang diberikan oleh Yue Qingyuan yang berwajah seperti itu, sebelum mendecih kesal untuk memalingkan muka ke arah lain.
Kenapa kalau ada saja masalah, selalu saja dia yang harus merasa bersalah?
Dia tak mengerti lagi, di saat perasaannya tersakiti, kenapa rasanya justru seperti dirinyalah yang tersudut saat ini.
Selama mereka berdua berbicara, Jiang Cheng perlahan tapi pasti mundur dari sana dan menuju kedua rekan sektenya yang tengah menyaksikan pembicaraan dari jauh.
Lan Xichen terdiam menyaksikan perseteruan yang tengah berlangsung. Bagaikan melihat dirinya yang berseteru kemarin dengan Jiang Cheng, ia jadi sadar kalau permasalahan bisa mengundang salah paham dan sakit hati yang tak berkesudahan.
Sementara di sisi lain, Nie Huaisang mencium bau tanda akan drama. Sungguh, tujuan awalnya hanya untuk menguji hubungan sahabatnya dengan saudara sesumpah mendiang kakak tirinya, namun dia sendiri tak menyangka kalau ada pemain figuran ekstra menambah bumbu improvisasi kejutan untuk dipentaskan.
Ini terlalu menarik untuk dilewatkan.
Kembali pada Liu Qingge yang masih bungkam, mengepalkan kedua tangan sambil memalingkan wajah. Kenapa Master Sekte Yue Qingyuan yang harus menjemputnya? Padahal jika memang niat, harusnya Shen Qingqiu bisa menyusulnya. Apakah ini artinya hal itu tak bisa diusahakan lagi? Untuk sesaat, Liu Qingge ingin orang sialan itu ada dan menemuinya. Tapi itu tidak mungkin.
Yue Qingyuan masih mencoba membujuknya lagi, menaruh tangan di pundak agar tenang.
Dia menyentakkan tangan Kepala Sekte Gunung Cang Qiong tersebut dengan kasar dari pundaknya, meminta agar tak disentuh meski mulutnya bungkam.
Pria tersebut hanya bisa menatapnya dengan sedikit sedih karena yang termuda dari trio mereka harus bertengkar dengan cara begini dengan Shen Qingqiu. Dia paham perasaan kecewa Liu Qingge makanya dia sendirilah yang menyusulnya.
Lagipula, lebih cepat lebih baik diselesaikan. Kasihan di kedua belah pihak, sama-sama menderita sakit hati.
"Liu-shidi, saya—"
Liu Qingge menghela nafas kasar, menatapnya. "Shixiong terlalu keras kepala, shidi benar-benar salut."
Antara orang ini bodoh atau memang kepala batu untuk terus membujuknya.
Master Sekte tersebut terdiam sejenak, tertegun. "Eh?"
Tuan Puncak Bai Zhan menunduk sesaat, sebelum mendongak malas. "Ayo cepat ke sana, agar dia tak mengusik puncak shidi ini."
Puncak Bai Zhan tak cocok untuk seseorang seperti Shen Qingqiu yang berpendidikan dan anggun.
Merasa lega, Yue Qingyuan tersenyum lembut sesaat dan mengangguk.
Akhirnya, kedua kultivator tersebut mohon pamit pada sang tuan rumah hingga diantar ke gerbang pintu masuk.
"Tuan Jiang, kami permisi dahulu. Maafkan shidi saya merepotkan anda sekalian."
"Zhangmen-shixiong." Liu Qingge meliriknya ogahan, membuat Jiang Cheng hampir memutarkan bola matanya karena sang kenalan diwakilkan oleh seniornya.
"Tak apa. Semoga lancar sampai ke tempat anda, Tuan Yue. Sampaikan salam saya pada tuan puncak lainnya."
Yue Qingyuan mengangguk singkat dan menaikki Xuansu lalu menyusul Liu Qingge yang sudah terbang menjauh dari Lotus Pier, meninggalkan ketiganya yang masih berdiri menatap mereka yang melayang di angkasa.
Lan Xichen tersenyum tenang. "Tuan Nie, sepertinya kita juga harus pulang saja."
Sudah waktunya untuk kembali ke wilayah tempat tinggal mereka masing-masing.
"Zewu-jun tahu soal itu. Saya menuruti." balas Nie terakhir sambil memegang kipasnya di tangan.
Jiang Cheng menahan putaran mata malasnya sebelum menyeletuk, "Tentu kalian harus pulang. Lagipula, kau benar-benar menikmati tontonan tadi, bukan begitu, Nie Huaisang?"
Menutupi sebagian mulut, pemuda Qinghe tersebut hanya bertanya polos. "Saya tak tahu apa yang Jiang-Xiong bicarakan. Saya tak paham, itu urusan mereka."
Tentu Nie Huaisang menikmatinya dengan sangat, apalagi drama adalah salah satu pertunjukan seni favoritnya.
Tapi kalau dipikir lagi, saat Jiang Cheng berjumpa dengan Yue Qingyuan, rasanya seperti melihat seseorang yang dikenalnya. Auranya tenang dan ramah walau superior. Tapi siapa?
Ah, itu tak perlu dipikirkan. Yang terpenting bagi Jiang Cheng adalah semoga masalah Liu Qingge dan Shen Qingqiu terselesaikan dengan baik.
Begitulah, cerita singkat dari tamu tak diundang yang juga pulang tanpa disuruh telah usai dirangkai, ditutupi oleh pemulangan para pemimpin sekte ke wilayah masing-masing dengan selamat sentosa.
.
.
.
====================
Hi, guys, I am back. This is the second part of Bai Zhan Lord Peak Invasion Arc! And Yue Qingyuan appeared to pick his shidi for come back. Such a good senior :")
Yeah they both love Shen Qingqiu but had no hope lmao so sad.
The next chapter, we will back with the Quantraplet Juniors and especially about Jin Ling! Thats a good news and look forward to it, cuz I said so!
As usual, thank you so much for the views, votes, and leave the comments so I can know whats on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer.
See you guys next time!~ Adios~
regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro