15 - Conflicts
"Arah itu..."
Terlihat jelas bahwa energi pekat kehitaman tersebut menuju ke arah yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Daerah yang familiar, tempat dimana dua mantan kepala sekte terdahulu—Jin Guangyao dan Nie Mingjue—disemayamkan dengan ditekan di bawah gunung.
Mereka mendarat di depan kawasan Kuil Guanyin. Tempat tersebut masih sama seperti ditinggalkan. Kelam dan sunyi.
Nie Huaisang memperhatikan segala arah. Tempat tersebut telah terbengkalai dan tak ada yang berani menjamahnya lagi, dimana sangat banyak debu di tangga pijakan yang dihalangi oleh alang-alang yang tumbuh di sekitar kawasan bangunan. Kuil Guanyin tampak tak terurus setelah meninggalkan insiden Hensheng di ingatan para kultivator yang datang ke tempat suci yan ternodai. Masih dia ingat sekali peristiwa berdarah yang membuat Lan Xichen menusuk mendiang Jin Guangyao dengan pedangnya sendiri.
Tragedi ironis yang merenggut dua saudara sesumpah Lan Xichen yang berharga, kini hanya kenangan dan asa dari pembalasan dendam pria Qinghe tersebut.
Sementara itu, rasa duka Lan Xichen kembali menguar, mengingat rasa sentimentalnya yang cukup tinggi hingga menyebabkan dirinya sendiri menjalani pengasingan secara sukarela—bahkan berniat mati di sana saja seperti mendiang ayah dan ibunya.
Lan Xichen terdiam menatap tempat dimana ia menekan kedua mantan rekannya untuk tidak bangun lagi agar tak bereinkarnasi dan dimanfaatkan oleh energi hitam.
Nie Huaisang masih bungkam sambil memperhatikannya yang termenung menatap bangunan tersebut, diam tanpa bergerak bagai patung. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk tegar sebelum menghampiri Jiang Cheng—yang telah menyarungkan Sandu.
"Jiang-Xiong, anda yakin energinya sampai ke sini?"
"Tepatnya ada di depan bangunan ini."
Mata lavender tersebut menajam saat di pintu depan terlihat sekali sebuah bayangan hitam yang pekat, berenergi lebih pekat daripada mayat ganas. Bayangan besar yang ganas dan cukup kuat—bisa membuat sesak siapa pun jika tak memakai tameng dan qi yang kuat untuk mendekatinya.
"Mari kita cepat musnahkan—"
"Apa sebaiknya…"
Mereka berdua menoleh pada yang bersangkutan.
Lan Xichen hendak diam tapi tak bisa mencegah mulutnya untuk melontarkan suatu hal yang tak bisa dipikirkan.
"Apa sebaiknya kita segel saja energinya?"
Pertanyaan Lan Xichen membuatnya hampir naik pitam. "Apa anda sudah gila? Bagaimana bisa kita menyegel hal berbahaya seperti ini?!"
Siapa yang akan tahu kalau saat disegel, energi hitam yang licik ini takkan kabur dan membuat ulah lagi seperti insiden penyerangan murid yang lalu. Bisa saja keponakannya akan mengalami hal yang sama dan dilenyapkan oleh makhluk tersebut!
"Tapi bisa saja kita tak perlu terburu-buru, Jiang-Zhongzhu. Energi itu ada di sini, jika kita membuat array maka energi itu takkan kemana-mana."
"Dan siapa yang bisa menjaminnya? Andakah? Saya? Ataukah Nie Huaisang? Lalu semuanya akan baik-baik saja dan kita mengabaikannya?!"
Sentakan itu membuat Lan Xichen tertegun dan menunduk, perlahan mengerutkan dahi dengan lesu. Dia sungguh bingung karena mengetahui kalau energi tersebut adalah sisa energi yang kabur dari penekanan kuburan Nie Mingjue dan Jin Guangyao. Padahal dia dan Nie Huaisang sudah melakukan upacara penguburan dan menekan mereka di bawah gunung—dan takkan menyangka kalau ada energi sisa yang kabur selama ini tanpa mereka ketahui.
Yang mana artinya aura itu masih berkaitan dengan kedua mendiang saudaranya.
Tentu saja Lan Xichen menjadi sentimental dan sensitif, apalagi adik tiri dari mantan saudaranya ada bersama mereka sekarang ini.
"Jiang-Xiong, tenangkan dirimu… Sabar." Nie Huaisang mengipasi Jiang Cheng yang hendak meledak karena membentak kawan mendiang kakak tirinya, namun tak melepaskan lirikan pada sang pria Gusu yang termenung sedih.
"Zewu-jun. Coba pikirkan lagi. Itu cukup beresiko. Apakah ada alasan lain yang ingin Anda katakan?"
Lan Xichen masih terbungkam akan sentakannya dan bergumam pada dirinya sendiri. Dalam hatinya yang terdalam, luka yang baru saja tersembuhkan akan jahitan mulai terbuka kembali. Sungguh, dia ingin sekali melepas kesedihan ini, yang mungkin akan membuatnya menjalani hidup seperti sebelumnya dan tanpa melihat ke belakang. Namun di sisi lain, bahwasanya jikalau Lan Xichen melepaskan kesedihan dan penyesalan ini, sama rasanya seperti melupakan kedua mendiang yang telah menemui ajal.
Kepalanya makin menunduk, menyendu perlahan dengan nadanya. "Saya tak ada hal untuk berkata apapun… Sudah cukup untuk semua ini."
Lebih tepatnya, hatinya tak bisa berkata apapun untuk diucapkan lagi. Dirinya menyesal karena tak bisa mencegah hal seperti ini.
Masa lalu tak bisa diputar lagi.
"Lebih baik kita kembali saja—"
BUAGH!!!
Sebuah tonjokan keras mendarat di samping wajah sang kultivator nomor satu yang paling tampan seantero negeri. Tubuhnya sedikit melangkah mundur dan terpatung akan gerakan yang tak pernah dia sangka akan mengalaminya kembali.
Nie Huaisang terkesiap saat Jiang Cheng seketika menghampiri dan melukai wajah tampan pemimpin sekte Gusu Lan tersebut.
Jiang Cheng menarik kasar kerah jubahnya yang putih bersih, menatap tajam seperti akan membunuhnya saat itu juga dengan Zidian yang telah berkilat di tangannya.
Siap mencambuk hingga target mati.
Lan Xichen terperangah saat menatap rekan sektenya yang melampiaskan amarahnya. Pipinya berdenyut lagi dengan panas, darah menguar di sekitar dan membuat kulit merah saat itu juga.
"Kukatakan satu hal padamu, Zewu-jun. Kau adalah seorang pemimpin yang lemah!"
Suara tinggi dan penuh emosi itu menghantam dinding harga diri pria Gusu tersebut. Bahasa informal diluncurkan bagai air terjun yang mengalir deras.
"Mau sampai kapan kau mengurusi pikiran negatifmu?! Mau kupukul sekali lagi sampai babak belur, hah?!"
Jiang Cheng meneriakkinya di hadapan dengan melotot, menahan amarah yang membludak dan akan siap meledak kapan saja.
"Kesedihan konyol seperti itu sudah tak ada gunanya dalam hal ini! Kau terlalu banyak merenung akan keadaan yang tak bisa kau ubah. Kau menganggap dirimu yang bersalah! Justru kau yang dimanfaatkan, keparat!!"
Dikatai begitu dengan frontal, makin membuatnya lemas dan menyadari keputus asaannya kembali seperti saat di pengasingan.
Menyalahkan diri sendiri dan merenung akan kesalahan yang lalu—tak bisa diubah jika memang ingin sekali.
Masa lalu memang seperti itu dan tak ada manusia yang bisa mengubahnya.
Tangan tersebut dengan kasar melepaskan jubahnya, membuat Lan Xichen berdiri lemah di tanah meski hampir ingin jatuh ketika dia didorong jauh.
Zidian lenyap disaat Jiang Cheng menatapnya penuh kemarahan. Emosi, kecewa, dan ketidak puasan terpampang nyata di raut wajahnya.
"Kalau begini jadinya, lebih baik Anda mati saja di pengasingan."
Untuk apa ia menyia-nyiakan waktunya saat itu untuk menolong pemimpin tolol seperti Lan Xichen? Jiang Cheng merasa kalau Lan Wangji lebih baik dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin sekte jika bisa memilihnya.
Terkadang, perbuatannya salah selama ini—dengan membuat Lan Xichen dari pengasingan, ia kira telah menambah rekan yang waras dan dunia berjalan lebih baik untuk sekte Gusu Lan dan sekte Yunmeng Jiang.
Namun kenyataan tak seperti pemikiran, dan itulah yang terjadi saat ini.
Bodohnya Jiang Cheng. Itu bukanlah perbuatan seorang lelaki sejati.
Dikeluarkannya Sandu, dan ia mulai menaikki pedang tersebut.
"Jiang-Xiong, anda mau kemana?" Nie Huaiasang menyahut setelah diam menonton drama intens tadi.
"Kembali ke pada bawahan, menengok ular tadi. Tolong kau urus soal ini. Aku akan membayarmu dengan selusin kipas khas Yunmeng."
Akhirnya, pemimpin sekte tersebut meninggalkan mereka berdua di sana, tanpa memperdulikan lagi keadaan dan keberadaan makhluk yang diincar.
Lan Xichen masih terdiam di atas kakinya dan menatap kaku kepergian rekan sektenya.
Melihat itu, Nie Huaisang menutupi sebagian wajahnya sembari berkata, "Zewu-jun, mohon ampun soal tadi. Jiang-Xiong memang begitu orangnya."
Lan Xichen tersadar sesaat dan menyunggingkan senyuman tipis yang sendu ke tanah.
"Ya… Saya tahu itu." Karena yang ia ucapkan memang benar adanya.
Lan Xichen memang seorang pemimpin sekte yang lemah.
Sang pria Qinghe mendekatinya dan berkata tenang, "Jangan khawatirkan perkataannya. Tenang saja. Saya mengenalnya sejak sekolah, jadi tak perlu risau."
Lagipula, Jiang Cheng bukanlah tipe pendendam yang lebih dingin daripada dirinya, dan Nie Huaisang tahu betul akan itu.
"Benar kata anda. Yang penting sekarang mengurus makhluk energi gelap itu dulu."
Saat menoleh pada latar, Lan Xichen membelalakkan mata namun terheran sepersekian detik.
Makhluk yang berdiri tadi menghilang, ditelan api spiritual berwarna biru kehijauan yang membakar seluruh tubuh raksasanya. Bahkan tinggal sisa raungan lirih sebelum akhirnya mulai lenyap.
Lan Xichen menoleh padanya, terheran sejenak. "Anda menyucikannya dengan apa?"
Nie Huaisang tersenyum di balik kipasnya. "Rahasia keluarga Nie tak boleh diungkap, Zewu-jun."
Karena sesungguhnya, ini adalah teknik khas milik Nie Huaisang yang belum pernah ia pakai sebelumnya. Bahkan Nie Mingjue tak tahu soal ini karena dirinya menyukai seni dan literasi saja.
Lan Xichen memandang heran adik dari mendiang saudara sesumpahnya. "Bukankah Jiang-Zhongzhu menyuruh kita untuk mengurusnya?"
Api tersebut semakin lama memakan badan spiritual energi yang meraung samar.
"Lebih baik dimusnahkan karena berbahaya."
Nie Huaisang menoleh padanya, meski rasa sendu ditutupi oleh kipas dan matanya yang tersenyum pada teman mendiang kakaknya.
"Lagipula, saya tak pernah berkata untuk menyegelnya, bukan?"
Energi yang tersisa telah dihancurkan sepenuhnya. Seolah telah terbakar di kehampaan udara menuju ke ozon langit yang sedari tadi gelap dan remang. Yang telah menghilang bagaikan tak berbekas dikarenakan penyucian, sebelum cahaya mentari menembus kabut sekitar kawasan Kuil Guanyin untuk menyambut pagi yang datang.
.
.
.
.
.
Keesokkan harinya, saat malam menjelang dan ketiga grup sekte kembali ke Lotus Pier. Untuk menghargai usaha peserta ekspedisi, sebuah pesta diadakan khusus untuk hal tersebut.
Banyak anak buah bercengkerama dan berceloteh. Bahkan ada yang sampai mabuk karena tak kuat menahan kadar alkohol yang dikonsumsi. Meski begitu, tak membuat para pemimpinnya tumbang begitu saja.
Jiang Cheng sama sekali tak berbicara pada Lan Xichen, bahkan menanggapinya dengan sikap dingin. Hal ini membuat Nie Huaisang sedikit pusing karena tingkah dalam menghindarinya terlihat dengan jelas.
Jiang Cheng marah padanya.
Dia paham sekali kegelisahan yang dirasakan, apalagi menyangkut soal Jin Ling. Pemimpin sekte itu bimbang dalam memilih pilihan sehingga Nie Huaisanglah yang melenyapkan energi tersebut.
Untuk sekarang, masalah terselesaikan. Tinggal melihat proses perdebatan dua kubu ini.
Jiang Cheng masih bungkam padanya, bahkan berinteraksi sedikit sekali saat berpesta dengan para anak buah. Nie Huaisang merasakan sekali kakunya mereka berdua dan mencoba bicara tanpa mengungkit soal tadi dengan Lan Xichen.
Pesta berlangsung ramai dan meriah selama beberapa jam hingga larut. Sudah banyak yang teler dan ada yang telah digotong ke kamar tamu—kecuali anak buah Gusu Lan yang tidur lebih dahulu daripada pemimpinnya.
Jiang Cheng menggebrak kasar meja dengan botol arak yang terbuka. Bau tajam Emperor’s Smile menguar dari mulutnya dan mendecih pelan.
"Bedebah... Dasar—hic!.. Lemahnya..."
Nie Huaisang memandang sambil terkekeh garing karena sahabatnya ini mulai mabuk tanpa melihat keadaan. Hanya ada mereka berdua di paviliun teratai. Lan Xichen sedang pergi mengurus keperluan dengan anak buah untuk pulang besok.
Jika Jiang Cheng stress, maka pelariannya adalah minum dan curhat. Memang begitulah sedari mereka bertiga sekolah dan menyelinap meminum sampai larut hingga dipergokki Lan Wangji.
"Jiang-Xiong, tak ada gunanya anda curhat pada saya. Perlahan saja minumnya."
Dia menatap pria Yunmeng tersebut dengan simpatik sesaat.
"Kau tak mengerti—hic!.. Ergh... Bedebah itu tak tahu diuntung!.."
Sudah bagus ia menolongnya sadar dari pengasingan, namun malah masih bimbang bak gadis perawan yang ingin melepas atau tetap menanti cinta lama yang tak kunjung ada kabarnya.
Dasar labil memang, Lan pertama itu!
Nie Huaisang membiarkannya curhat dulu, deh. Kasihan juga Jiang Cheng sampai mabuk seperti ini.
"Zewu-jun sialan... Beraninya main-main dengan nyawa orang... hic!.. Kalau tak kutonjok tadi.. sudah kubunuh—ugrrh!...~"
Yah, memang kejujuran orang mabuk itu sungguh luar biasa, ya.
"Hmm, hmm. Lalu? Anda tak ingin bicara lagi dengannya? Kasihan sekte kalian."
Jiang Cheng menghela nafas lelah, menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil menelengkupkan badan di meja.
"Aku malas berurusan lagi dengannya. Dia menyebalkan."
Dirinya menutup mata perlahan. "Padahal kukira dia bisa bangkit... tapi masih berpikir begitu... Apa gunanya aku membantunya keluar dari sarang itu?"
Pengasingan yang sukarela, perenungan hingga batin lelah nan sakit akan pengkhianatan, semuanya terjadi bagaikan angin puting beliung yang memporak porandakan hidup.
Nie Huaisang paham rasa itu.
"Saya tahu Anda kecewa. Tapi demi sekte, Jiang-Xiong harus bisa menahan diri. Ingat juga soal hubungan Wei-Xiong dan Han Guang-jun."
Benar, mereka berdua adalah alasan mengapa dia dan Lan Xichen mulai akrab. Sesama ipar.
Fakta itu membuatnya berpikir lagi dan merutuk.
"Aku tahu aku salah... Tapi dia duluan yang membuatku marah, Huaisang..~" rengeknya bak anak kecil, memukul ringan meja teh paviliun.
Yang bersangkutan menghela nafas, menyeruput beberapa tegukan.
"Saya tahu. Sudahlah, Anda lebih baik istirahat. Sudah larut. Besok biar bisa segar mengantar kami pulang."
Mau tak mau karena sebagai pemimpin yang sibuk, Jiang Cheng kembali ke kamarnya.
Nie Huaisang menatapnya pergi sebelum beranjak dan berpapasan dengan Lan Xichen.
"Apa sudah selesai urusannya?"
Pria Gusu tersebut mengangguk. "Kereta akan sampai besok jadi kami akan pulang besok pagi."
Dia mengangguk mengerti dan ditanya lagi.
"Tuan Nie."
"Hm?"
Lan Xichen menunduk pelan. "Menurut anda, bagaimana cara meminta maaf pada Jiang-Zhongzhu?"
Dirinya sadar penuh kalau telah menyakiti pertemanan Jiang Cheng.
"Minta maaflah yang tulus dan dengan barang simbol yang sederhana, hanya itu saja, Zewu-jun. Dia tak suka orang yang berbasa-basi."
Mendengar itu, dirinya paham dan tersenyum tipis sebelum ditanya lagi.
"Mohon maaf lancang. Tapi saya penasaran... Zewu-jun, bagaimana pendapatmu terhadap Jiang-Xiong? Secara pribadi."
"Kami merasa bisa bekerja sama dengan baik. Mengapa bertanya demikian?"
Lan Xichen bingung karena tetiba ditanya begitu.
Nie Huaisang mendesah lelah.
"Anda menganggapnya itu di pekerjaan, bukan di pertemanan."
"Tapi bukankah aliansi itu pertemanan?"
"Zewu-jun, aliansi itu beda tipis dengan pertemanan. Anda harusnya tahu itu."
Sesaat, Lan Xichen terdiam dan menunduk. Kenangan pertemanan dengan dua mendiang teringat lagi.
Nie Huaisang menyela, "Dan kalau anda bertanya untuk pendapat pribadi... Saya malah menganggap kalau Jiang-Xiong itu spesial. Apa ada yang salah?"
Lan Xichen terdiam saat mendengarnya. Bingung kenapa rasanya sedikit kesal namun ia hiraukan.
"Spesial? Apakah sangat khusus untuk Tuan Nie?"
"Mhmm. Karena itu adalah ikatan yang murni. Maka saya diberkahi mendapatkannya."
Nie Huaisang melirik pada Lan Xichen yang seperti bingung akan jawabannya sendiri.
"Begini saja. Bagaimana kalau melakukan pembuktian?"
"Pembuktian?"
Dia mengangguk. "Jika salah satu dari kita bisa membuatnya kembali senang dan membaik perasaannya, maka dialah yang pantas menjadi teman Jiang-Xiong."
Matanya melirik. "Bagaimana, Zewu-jun?"
Lan Xichen berpikir sebelum menjawab dan dipergokki oleh Jiang Cheng yang melihat dari jauh.
"ARGH, KALIAN TERNYATA, YA!!.."
Keduanya bingung menatap Jiang Cheng. Sang pemuda menatap keduanya dengan tajam. Mukanya sedikit merah karena pengaruh alkohol.
"Kalian berdua... Beraninya pamer kedekatan!"
"Jiang-Zhongzhu, ini bukan seperti yang anda pikirkan—"
"Tutup mulutmu!"
Bentakan itu melayang pada Lan Xichen yang membeku.
"Ambil saja semuanya! Temanku, saudaraku, rasa terima kasihku. Semuanya!! Huaisang juga, padahal aku sudah percaya padamu... Kau, dasar bodoh!!"
Ia menatap marah pada keduanya. Karena mengira kalau keduanya akrab dan dirinya seperti ditinggalkan tanpa kawan.
"Aku tak mau tahu, besok kalian harus sudah pergi dari tempat ini. Aku tak ingin ada orang tak berkepentingan di sini lagi! Enyahlah!!"
Jiang Cheng tak memberikan kesempatan keduanya untuk menjelaskan—khususnya klarifikasi Lan Xichen—sebelum melenggang pergi dengan hentakan mabuk hingga menghilang di balik lorong, berteriak marah kepada para pelayan.
Lan Xichen menghela nafas, sembari dilirik oleh Nie Huaisang yang tenang.
"Jadi bagaimana, Zewu-jun?" Senyumannya riang di balik kipas.
Lan Xichen menatapnya dan mengangguk.
"Baiklah. Saya akan ikut mencoba pembuktiannya. Demi membuat Jiang-Zhongzhu memaafkan kita berdua."
Nie Huaisang tersenyum penuh makna tapi terlihat ramah.
"Saya setuju. Mohon bantuannya, Zewu-jun."
Lan Xichen sudah mulai mencari cara untuk berbaikan dengan Jiang Cheng di otaknya. Sementara Nie Huaisang hanya tersenyum penuh arti akan teater yang segera dia tonton kedepannya.
Bertanding dengan adil? Entahlah.
Kesalah pahaman? Mungkin saja.
Keduanya bersalaman sebelum berpisah, sepakat akan pembuktian tersebut dan kembali ke kamar tamu masing-masing.
Tapi yang pasti, siapa pun yang bisa membuatnya bahagia, maka dialah orang yang lebih baik untuk Jiang Cheng.
.
.
.
====================
Misunderstanding and declaration of love war is on. You asked for it, and here it is. NHS vs LXC give attentions to our clueless JC.
Credits to my friend, 'Waesang' and others who helped me to discuss this subplot. This will be one hell of interesting so I hope to see the reactions from you guys about this.
I will try to update weekly for this as I was trying to commit to a writing schedule for a month. So be looking forward for this book!
As usual, thank you so much for the views, votes, and leave the comments so I can know whats on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer.
See you guys next time!~ Adios~
regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro