12 - Seclusion
Ini adalah cerita sampingan sesaat setelah kejadian di cerita utama ini.
Setelah pertemuan tadi, Lan Wangji dan Wei Wuxian kembali ke Jingshi, sementara Jiang Cheng menumpang ke kamar tamu, maka dirinya juga kembali ke Hanshi.
Kalau dipikir-pikir lagi, ada alasan dibalik setujunya Lan Xichen dalam membantu Jiang Cheng dalam ekspedisi perburuan malam.
Pertama, karena monster berbahaya itu. Kedua, karena hutang balas budi.
Apa? Lan Xichen berhutang pada orang?
Jangan menyalahkan dirinya, bahkan seorang Lan seperti Lan Xichen juga tak sesempurna seperti yang dilihat orang lain dari sekilas.
Lembut namun tegas, berwibawa dengan tutur kata halus, sopan dan berbekal budi pekerti, diberkahi keelokkan hingga dijulukki sebagai pria tertampan seantero dunia kultivasi, membuat Ketua Sekte Lan tersebut hanya membawa semua itu dengan rendah diri dan penuh senyum.
Namun ada kalanya kelebihan tersebut membuatnya terjerembab ke dalam permainan orang lain, membuatnya yang tak bersalah jadi ikut masuk ke dalam sarang permasalahan.
Kenyataan pahit harus ditelan penuh sukarela ketika mengetahui bahwa Jin Guangyao yang membunuh Nie Mingjue, membuatnya terpukul hebat.
Ia tak habis pikir. Ketiganya sudah menjadi saudara sesumpah, jadi sudah seharusnya saling melindungi satu sama lain.
Tapi kenapa... Kenapa malah harus saling membunuh satu sama lain?
Nie Mingjue dibunuh oleh Jin Guangyao, lalu Lan Xichen pun yang membunuhnya.
Siklus persaudaraan yang mengerikan.
Masih terngiang pernyataan orang itu di pikiran. Perasaan bersalah yang menyedihkan berkabung di dalam dada. Sesak yang tak bisa dikeluarkan dengan benar lagi.
Penderitaan di jalan hidup ini telah pahit sudah.
Apakah karena dirinya yang mudah terpengaruh atau memang bodoh dalam menilai orang, ia tak tahu lagi mana yang benar.
Tapi yang pasti takkan menghapus efek yang ada: Lan Xichen merasa bersalah atas kematian kedua saudara sesumpahnya.
Akibatnya, Lan Xichen hampir membunuh dirinya sendiri dengan memainkan lagu kematian yang terlarang.
Betapa payah dirinya. Mencoba untuk bunuh diri tapi tetap tak bisa mati semudah yang dipikirkan.
Ternyata, ajal tak bisa diraih sebegitu gampangnya.
Hanya adiknya dan sang suami yang tahu mengenai upaya percobaan tersebut. Bahkan pamannya sendiri mungkin akan jantungan jika mengetahui soal ini.
Setelah percobaan bunuh diri, Lan Xichen pergi mengasingkan diri di Menara Paviliun terjauh dari Cloud Recesses.
Menenangkan diri dan merenungkan semuanya. Introspeksi diri akan penyesalan hidup yang mendalam. Semuanya telah lelaki Lan tersebut lakukan agar memperoleh secercah harapan-untuk hidup demi dirinya sendiri dan sekte yang ia naungi.
Namun nihil.
Bahkan walau Lan Wangji mencoba menghiburnya sekali pun, perasaan bersalah itu masih menghantui walau dia mencoba untuk memejamkan mata.
Dan begitu seterusnya, bayangan kesedihan dan melankoli tertancap di dalam hati Lan Xichen yang menjauh sejenak dari dunia.
Tanpa diketahui oleh yang bersangkutan, sang adik khawatir dan diam-diam sedih dengan keadaan kakaknya yang terpuruk.
Wei Wuxian, sang suami tercinta yang menyadari kalau dia terlihat lebih diam dan melamun dari biasanya pun mencoba bertanya dengan lembut.
"Lan Zhan. Apa ada masalah? Lan Wangji~ Lan Er Gege, jangan sedih, dong~"
Awalnya dia hanya diam sebelum merespon pelan.
"Xiong Zhang..."
"Hm? Ah, Zewu-jun... Kenapa memangnya?"
Lan kedua terdiam lagi, menunduk pelan meski ada tersirat kesedihan di matanya.
"Menara Paviliun. Mengasingkan diri."
Ternyata begitu. Sekarang ia mengerti.
Lan Wangji khawatir akan keadaan kakaknya yang masih merasa bersalah dalam pengasingan.
Wei Wuxian perlahan merangkulnya ke dalam dekapan, mengelus punggung lebar suaminya yang perkasa.
"Lan Zhan, jangan bersedih. Zewu-jun itu orang yang kuat, kok. Pasti dia bisa mengatasinya. Percayalah, dia akan keluar sebentar lagi. Kakak ipar hanya perlu waktu untuk menenangkan diri."
Ucapan Wei Wuxian membuatnya diam dalam anggukan, memeluk balik dan mencium dahinya.
Di saat seperti ini, dukungan Wei Wuxian membuatnya kuat dalam menjalani hidup sehari-hari.
"Nah, begitu, dong! Baru ini Lan Zhan yang kucintai~" Cengiran nakalnya disertai kerlingan mata membuat Lan Wangji terhibur.
"Mn."
Keduanya saling berpelukan dengan mesranya, tak menyadari kalau Jiang Cheng yang baru tiba telah menyaksikan adegan seperti itu.
Dasar tak tahu malu, pikir Jiang Cheng menahan diri untuk mengumpat dan tak mengaktifkan Zidian yang sudah berkilat.
"Oh, A-Cheng~ Maaf ya kalau mengganggu~ Tadi aku tidak melihatmu!" Wei Wuxian menyengir kuda ketika dipeluk suaminya sambil menyapa tuan rumah.
Keduanya sedang berpetualang di dekat Yunmeng jadi mereka memutuskan untuk melepas penat di Lotus Pier, dengan tujuan untuk berkunjung melihat keadaan Jiang Cheng dan Jin Ling.
"Kalian benar-benar bebas sekali sampai tak tahu tempat. Cepat pergi dari sini kalau hanya cari tempat untuk bermesraan!"
"Oh ayolah~ Kau hanya iri saja."
"Siapa yang iri?!"
"Aku tahu kalau kau takkan mengusirku. Lagipula aku juga penghuni rumah ini."
"Kau sudah menikah dengan Lan jadi rumahmu itu ada di Cloud Recesses dengannya!"
"Intinya aku punya dua rumah. Titik!"
Jiang Cheng memutar bola matanya malas sebelum duduk di kursi ruang tengah. Pelayan sudah menghidangkan kue beras dan teh hangat.
Wei Wuxian menoleh ke segala arah. "Dimana A-Ling?"
"Sedang pergi ke Carp Tower untuk membawa main Fairy dengan anjing-anjing lain. Kau mau bertemu mereka?"
"Tidak mau! Kau buat takut saja!" protesnya tak diindahi karena Jiang Cheng tak perduli.
"Terserah. Pasti tadi kalian membahas tempat bertualang lagi."
"Sebenarnya bukan itu yang tadi kami bicarakan." Wei Wuxian berucap dengan mulai nada serius.
Hal itu membuat Jiang Cheng mencoba mendengarkan. Ia melirik pada Lan Wangji yang cuma diam sambil memegangi tangan suaminya.
"Lan Zhan sedih karena Zewu-jun tak kunjung kembali ke Cloud Recesses."
Jiang Cheng tertegun sejenak. "Tunggu. Dia belum kembali juga?"
Bukankah peristiwa itu sudah lewat selama 16 bulan? Memangnya mau sampai berapa lama Ketua Sekte Lan mengasingkan diri?
Sang kultivator hitam menggeleng pelan. "Zewu-jun mengasingkan diri dengan sukarela dan masih belum juga keluar. Kurasa dia masih terpuruk akan kematian Chifeng-zun dan Jin Guangyao."
Setiap minggu, Lan Wangji mengecek keadaan sang kakak agar tidak ada masalah yang serius. Tapi semakin ke sini, bahkan Lan Xichen tak kunjung membaik dalam perenungan kesedihannya.
Bahkan Lan kedua tersebut tahu, senyuman yang ditunjukkan hanyalah tameng dari kesedihan dan penyesalan mendalam.
"Ini sudah tidak benar."
Kedua orang tersebut mendongak saat Jiang Cheng menyahut dan berdiri dari kursinya.
Wei Wuxian mengerjap bingung. "Eh? Jiang Cheng??"
"Ini sudah tidak benar. Aku akan pergi menemuinya."
Geram akan situasi yang diceritakan, maka Jiang Cheng memutuskan untuk menemui rekan sesama pemimpin sekte tersebut.
"Eh?! Tapi-"
"Tolong."
Lan Wangji berucap dengan raut serius dan seperti berharap, menatap pada Jiang Cheng.
Hal itu bahkan membuat kedua saudara Jiang Yunmeng terdiam.
Lan Wangji meminta tolong pada Jiang Cheng untuk mengeluarkannya dari pengasingan diri-yang akan perlahan tapi pasti membunuh Lan Xichen dengan hukuman itu.
"Lan Zhan..."
Wei Wuxian merasakan kekhawatirannya dan mendukung suaminya tersebut. Ia menoleh pada Jiang Cheng. "Kami akan tunjukkan tempatnya."
"Ya."
Pada akhirnya, pasangan itu menunda petualangan mereka demi membantu Ketua Sekte Lan keluar dari rasa bersalah.
Menara Paviliun yang bercat putih dan biru terlihat megah di elemennya tersendiri. Sebagai bangunan yang paling jauh dari jarak bangunan inti Cloud Recesses, tempat tersebut tak tampak seperti tertinggalkan.
Jiang Cheng menatap menara tersebut dengan mata almondnya. "Dia ada di sini?"
Lan Wangji mengangguk singkat dalam diam.
Wei Wuxian menoleh pada sang saudara angkat. "Hanya ada Zewu-jun yang menempatinya. Kau yakin mau menemuinya sekarang?"
"Tentu saja. Aku tak tahan melihatnya begini lagi. Kalian tunggu saja di sini, aku akan menemuinya."
Jiang Cheng melangkah memasukki bangunan dan menaikki tangga yang mengarahkannya pada ruangan atas, yang mungkin disitulah Lan Xichen berada.
Sementara itu, yang bersangkutan tengah memandang diam buku yang berada di atas mejanya.
Tormenting Turmoil.
Buku tersebut berjudul demikian karena berisikan filosofi kehidupan keseharian manusia dalam perasaan sakit yang mendalam. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan, penyesalan, dan sebagainya-tertulis rapi dan puitis bagaikan syair yang menyayat hati.
Lan Xichen sudah membacanya namun tertinggal beberapa halaman lagi agar selesai tamat membaca karena tertidur kemarin siang. Ya, ia mengalami insomnia setiap minggunya meski sudah berusaha mencoba untuk terlelap. Bahkan wajah yang sehat memucat dan sedikit tirus.
Sebelum ia menyentuh buku tersebut untuk dibaca kembali, suara menggelegar berupa gedoran pintu sebanyak tiga kali mengudara.
Dalam sekejap, pintu didobrak diiringi suara bantingan, menampakkan seseorang yang melakukan perbuatan tersebut.
Lan Xichen terkejut kala saat yang berada di ambang pintu adalah Jiang Cheng, Ketua Sekte Yunmeng Jiang.
Dan wajahnya kelihatan marah sekali.
"Jiang-Zhongzhu? Apa yang Anda lakukan disini?"
Jiang Cheng berdiri dan memberi tatapan geram. Ia menghampiri dan melayangkan tinju di wajahnya, membuat yang bersangkutan tersungkur di lantai kayu.
Sambil merasakan denyutan pelan di pipi, Lan Xichen mendongak pada yang menonjoknya saat ini-Jiang Cheng menatapnya marah dengan muka merah dan geram.
"Apa yang saya lakukan di sini?? Anda masih bertanya kenapa saya berada di sini?!"
Bentakan tersebut membuatnya menurunkan kepala perlahan, tersenyum tipis dengan sedih.
"Maafkan saya."
"Siapa yang butuh maafmu?! Dasar kau pecundang!!"
"Ya, saya memang pecundang."
Ah. Dia memang sedang terpuruk.
Sial, lelaki Yunmeng mengumpat dalam hati karena sudah meneriakki dan menonjok rekan sektenya sendiri.
Jiang Cheng terdiam dan memalingkan muka, sebelum duduk di hadapannya dan melihat buku yang masih berbaring di atas meja tersebut.
Mengetahui arah tatapannya, Lan Xichen yang berusaha untuk duduk kembali pun menyahut sambil mengelus pipinya yang ditonjok. "Ah, itu belum selesai dibaca."
Jiang Cheng mengambilnya dan melihat beberapa baitnya. Sungguh mengerikan.
Ia menengok pada Lan pertama dengan kerutan di dahi. "Anda membaca hal seperti ini di pengasingan diri? Anda sudah gila?"
"Mungkin bisa dibilang begitu. Tapi syairnya benar-benar cocok dengan pembacanya, jadi saya ingin membaca sampai habis."
Dilihat-lihat lagi, semuanya bercampur aduk dalam hal umum. Seluruh bait dan perumpamaan dalam tulisan buku tersebut bisa diterjemahkan menjadi apa saja yang diinginkan pembaca dalam membayangkan penderitaannya.
Jiang Cheng mendengus singkat dan menutup buku rapat-rapat, sebelum perlahan meletakkannya lagi di meja dan menatap yang bersangkutan.
"Zewu-jun, Anda benar-benar tak ingin keluar dari sini?"
Ditanyai begitu, Lan Xichen hanya tersenyum sendu dan menatap ke arah jendela. Pemandangan luar terlihat begitu asri dan serasi. Ditemani cabang pohon bunga yang bertengger dekat balkon kamarnya, sepertinya hidup mengasingkan diri bukanlah hal yang buruk bagi sang ketua sekte Lan.
"Suasana di sini sepi. Saya sudah mulai akan terbiasa akan itu. Kadang keramaian juga tak bagus untuk saya."
Ia tersenyum tipis saat menoleh padanya. "Jiang-Zhongzhu mungkin perlu ketenangan juga."
Jiang Cheng tahu arti sorot itu. Sepertinya, Lan Xichen memang berniat untuk menarik diri dalam waktu yang lama.
"Tapi jika tak ada keramaian, ketenangan akan merasa kesepian."
Frasa sederhana yang mereka pelajari saat masih menjadi murid di sekolah Gusu memang benar-benar berguna di saat seperti ini.
Lan Xichen terkekeh pelan. "Ya, itu benar. Anda tahu soal itu."
Dimana ada suka, disitu ada duka. Dimana ada kehidupan, disitu pula ada kematian.
Kehidupan adalah kebohongan yang indah sementara kematian adalah kenyataan yang mengerikan.
Dirinya masih benar-benar terpuruk dan mungkin saja akan membusuk di sini dalam penyesalan abadi.
"Menurut saya, keramaian itu sudah tak ada bagi saya lagi."
Perkataan penuh ironi penyenduan tak terhingga. Menganga tanpa niat untuk ditutupi, seakan dibiarkan membusuk bersama penyesalan keluar dari mulut Lan pertama.
Jiang Cheng hanya menatapnya dalam diam sedari tadi sebelum menyeletuk enteng. "Maaf saja, Zewu-jun. Tapi bagi saya perkataan Anda itu hanyalah omong kosong belaka."
Diserang begitu, Lan Xichen tercekat karena terpatung diam membisu.
Ketua sekte Jiang tersebut melanjutkan, "Tak ada yang namanya manusia yang tak punya keramaian dalam hidupnya. Kalau pun ada, dia adalah mayat hidup seperti yang kita buru setiap saat."
Lan Xichen terdiam sesaat. Tunggu, perumpamaannya kenapa jadi seperti itu?
Ia mendengus singkat. "Lagipula untuk apa kita hidup kalau bukan karena tujuan yang dibawa sejak lahir, bukan? Seperti kita yang menjadi ketua sekte."
Lan Xichen menunduk pelan. Ya, ini sudah tugas yang mereka emban sebagai pewaris garis keturunan di anak pertama dan kewajiban berat di pundak. Ekspetasi mengantarkan segala sisi yang kasat mata mau pun tidak.
Namun... Hati orang mana ada yang tahu.
"Walau tak sesuai rencana, kehidupan kita sudah diatur oleh garisnya. Jadi tak ada yang bisa kita lakukan selain berjalan terus."
Matanya terpejam sesaat. Kalimat selanjutnya seperti berkata pada dirinya sendiri juga.
"Tak ada gunanya menangis dalam waktu yang lama. Menangislah secukupnya, setelah itu tegakkan pandangan untuk kembali berjalan."
Memang benar. Menangis saja takkan membawa nyawa kembali ke dalam tubuh dingin seseorang yang telah menemui ajal.
Lan Xichen tahu akan hal itu, hanya saja ia terlalu terpukul dengan rasa bersalah yang dalam atas kematian dua saudara sesumpahnya.
"Rasa duka ini terlalu dalam, saya tak kuat menahannya-"
"-Meski Anda memang berduka, tapi Anda tak pantas untuk menjadi lemah di saat sedang memimpin Gusu!"
Lan Xichen terdiam karena potongan kalimat lembut namun tajam rekan sesama sektenya tersebut. Harusnya dia bisa lebih kuat lagi dalam menjalani tugas sebagai pemimpin sekte.
Kenapa dia bodoh sekali?
Memang mungkin metode ini kejam, tapi Jiang Cheng tak ada pilihan lain lagi.
"Sebagai ketua sekte, harusnya Anda juga berpikir dua kali dalam melakukan hal ini. Hanya karena Anda dihantui oleh penyesalan, bukan berarti anda harus sampai berlari dari kenyataan. Anda masih resmi menjadi ketua sekte, punya tanggung jawab besar, dan banyak tugas yang masih harus dikerjakan." Tangannya dilipat di depan dada, berwajah tak puas. "Jangan bilang kalau selama Anda disini, tugas anda dikerjakan oleh Guru Besar Qiren dan Lan Wangji?"
"Haha... Anda tajam sekali, Jiang-Zhongzhu."
Dugaannya memang tepat sekali. Selama ini, Lan Wangji menemuinya dengan tugas-tugas sekte untuk melapor sambil menjenguk keadaan Lan Xichen.
"Ini bukan saatnya untuk tertawa. Zewu-jun, pikirkan sekali lagi. Tegakkan kepalamu dan lihatlah sekitar! Lan Wangji dan Guru Besar Qiren masih hidup denganmu! Buat apa kau mengasingkan diri hanya karena kedukaan orang yang sudah tak ada lagi!!"
Panah imajiner itu mengenai titik sentimen Lan Xichen.
Ah... Mengapa dia sebodoh ini?
Bahkan orang yang lebih menderita dari dirinya mengatakan hal seperti ini padanya.
Sang ketua sekte Lan perlahan menatap ketua sekte Jiang yang memasang wajah serius.
Lan Xichen merasa kalau mereka berdua begitu mirip.
Dikhianati saudara, kehilangan rumah dan sekte, menjadi ketua dalam waktu yang cepat, serta kebetulan menjadi saudara dari ipar masing-masing...
Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dirinya tak sendiri dalam nasib nestapa yang telah terjadi.
"Terlalu berbeda namun jika dipoles terlihat mirip."
"Hah?"
Jiang Cheng tak mengerti akan perkataannya. Frasanya terlalu sulit untuk ukuran otaknya yang hanya tahu seni bela diri.
"Maaf, Anda bilang apa tadi?"
"Bukan hal yang penting, tolong lupakan saja."
Pria tersebut berdiri tegak dengan tenang.
"Jiang-Zhongzhu,"
Jiang Cheng yang melihat itu pun beraut muka penuh tanda tanya sambil berdiri juga.
Lan Xichen menyunggingkan senyum simpul. "Saya memutuskan untuk keluar."
Jiang Cheng terkejut, mengerjapkan mata dengan ekspresif. "Hah?"
"Ya. Saya memutuskan untuk keluar dari pengasingan. Saya akan kembali memenuhi tugas saya sebagai ketua sekte." jelasnya pada Jiang Cheng.
Dia sungguh keluar dari pengasingan?!
"Tunggu, Anda serius? Anda mau keluar dari sini?" kagetnya dengan nada tanya.
"Bukannya kalian menginginkan saya untuk keluar? Saya bisa tetap di sini kalau mau."
"B-Bukan begitu! Maksud saya, Anda benar-benar akan keluar dan aktif kembali?"
Lan Xichen mengangguk mengkonfirmasi.
"Benar. Saya juga tahu pasti Paman, Tuan Muda Wei, dan Wangji khawatir pada saya. Maaf sudah merepotkan Anda dengan jauh-jauh datang ke sini, Jiang-Zhongzhu."
Jiang Cheng menggeleng cepat. "Tidak apa-apa. Yang terpenting adalah Anda sekarang tak gundah lagi. Jika memang itu keputusan Anda, maka saya menyambut baik juga. Semuanya khawatir pada Zewu-jun."
"Ya, Anda benar."
Terima kasih pada Jiang Cheng, sekarang lelaki Lan itu sadar kembali.
Menetap di satu tempat dalam waktu yang lama takkan baik untuk hati dan pikiran jika hendak menghilangkan keraguan serta jiwa yang patah.
Membusuk dalam kesengsaraan.
Raut lega tergambar dari paman dan adiknya saat mengetahui bahwa Lan Xichen telah keluar secara resmi dari pengasingan sukarelanya. Dia sudah banyak merepotkan semua orang, dan tak mau membuat yang lainnya makin bersedih.
Jiang Cheng telah menyadarkan dirinya yang terjebak dalam depresi berkepanjangan.
Dari mulai saat itulah, Lan Xichen merasa telah berhutang budi Jiang Cheng dan akan membantunya sebisa mungkin jika ada masalah.
Seperti sekarang ini.
Insiden monster misterius tersebut membuat mereka kewalahan jadi keduanya sepakat untuk membentuk kelompok agar bisa bekerja sama dalam menumpaskan teror perburuan malam yang melukai banyak murid.
Ini kesempatannya untuk membalas hutang budi pada rekannya yang juga adalah saudara iparnya.
Lan Xichen yang sudah sampai di Lotus Pier pun duduk di bawah batu pohon dekat taman teratai. Sambil menunggu Jiang Cheng yang sibuk dengan pekerjaan, ia mencoba untuk memainkan Liebing di luang waktunya.
Di waktu yang sama, Jiang Cheng baru keluar dari ruang kerja dan berjalan di lorong sambil merapikan jubah ungunya akibat habis duduk lama.
Sebelum ia menuju taman teratai dan melihat yang menantinya.
Dari kejauhan, Jiang Cheng hanya bisa diam memperhatikan seorang pria Lan berpakaian jubah putih yang tengah menyalurkan nada lewat seruling putihnya.
Bagaikan disinari oleh aura yang murni, Lan Xichen memainkan Liebing dengan tangannya yang lembut dan halus. Lantunan melodi yang ada membuat siapa saja yang mendengarnya ikut terbawa suasana damai nan sejahtera. Permainannya yang apik serta tenang telah menggoda angin untuk menyepoi diri, melambaikan jubah dan pita dahinya. Bahkan ikatan biru Gusu miliknya bergerak menyelaraskan pergerakan si empunya.
Lagu yang menenangkan tersebut seakan menyatu dengan alam hingga nada akhir seruling dihembuskan.
Selesai memainkan Liebing, Lan Xichen membuka kedua matanya dan melihat bahwa Jiang Cheng memperhatikannya dari atas.
Sang lelaki Lan turun dan memberi hormat. "Jiang-Zhongzhu. Saya ke sini untuk menjemput Anda. Mari kita pergi bersama."
"Baik. Kita berangkat sekarang."
Dengan menaikki Shoyue dan Sandu, keduanya melesat menuju tujuan.
Kota dimana sekte berkekuatan militer berpusat, Qinghe yang dikuasai oleh Nie.
.
.
.
====================
Welp. The reason for Lan Xichen helping him has other motives. Helping to solve the nighthunt and a payback in a secret. How kind of him :')
Even though the author described him as a dumb one lol he is just a pure man who got advantaged on cuz too kind I suppose.
The next chapter will be showing our Nie Huaisang, so stay tune!~
There will be some hints ;)
As usual, thank you so much for the views, votes, and leave the comments so I can know whats on your thoughts about my fanfiction and I can improve to be a better writer.
See you guys next time!~ Adios~
regards,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro