Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian empat

Rin menghitung tanggal dengan cemas. Seharusnya dia sudah datang bulan, tapi ini sudah lewat satu bulan, dan tanda-tanda tersebut belum menampakkan diri. Apalagi akhir-akhir ini dia sering mual di pagi hari.

Rin menggeleng, menolak pikiran buruk tentang kehamilan. Dia teratur minum obat, dan lagi, dia yakin Samudera sangat hati-hati saat menyentuhnya. Mereka sepakat tidak memiliki anak, agar bisa berpisah baik-baik. Waktu setahun hanya tinggal empat bulan.

"Ya, ini cuma masuk angin biasa, aku telat karena banyak pikiran," hibur Rin pada dirinya sendiri.

Alih-alih tenang, Rin justru semakin cemas. Bagaimana jika dia benar-benar hamil? Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana tanggapan Samudera terhadapnya? Bagaimana kalau dia dituduh sengaja melakukannya demi menunda perpisahan?

Dilihatnya sekali lagi kalender, benar-benar dia telat dari kebiasaan.

...

Sementara di jalan, Samudera juga sedang gelisah. Namun alasannya berbeda, kenapa dia belum melihat tanda-tanda kehamilan pada Rin. Segala upaya sudah dia lakukan, bahkan dengan mencurangi sang istri.

Samudera mengganti pil KB yang diminum Rin dengan vitamin. Kemudian sering mengunjunginya ke Jogja---alasan pekerjaan digunakan, padahal niat sebenarnya demi bisa menanam benih.

Seperti yang dilakukannya sekarang, dia rela menempuh perjalanan tiga jam lebih hanya untuk memastikan sendiri, benarkah tanda-tanda itu belum hadir?

Jika belum, dirinya akan berjuang lebih keras lagi. Samudera diburu, tinggal empat bulan dari waktu yang disepakati.

...

"Suamimu, Rin." Bayu menunjuk laki-laki yang bersender pada mobil hitam di parkiran.

Keduanya---Bayu dan Rin---tengah berjalan ke arah parkiran untuk pulang bersama. Kebetulan perempuan dua puluh enam tahun itu tidak membawa mobil dan berencana diantar sang sahabat.

"Dah lama, Bro?" Bayu menjabat tangan Samudera, hal yang sering mereka lakukan saat bertemu.

"Lima belas menit," jawab Samudera sembari menoleh ke arah istrinya yang membuang pandang. Menolak bersitatap.

"Kebetulan nih, jadi aku bisa balik ke atas, nyelesein kerjaan." Bayu menarik Rin agar mendekat.

"Bawa pulang, gih!" perintah Bayu yang disambut senyum Samudera.

"Thank's, Bro." Samudera mengucapkannya tulus. Bayu satu-satunya orang yang dia percayai untuk mengawasi Rin. Meski laki-laki itu adalah sahabat istrinya, dalam urusan memata-matai, Bayu selalu bisa diandalkan.

Setelah Bayu berlalu, Rin segera masuk ke mobil tanpa sepatah kata pun diucapkan. Dia sangat lelah dan ingin segera tidur di ranjangnya yang empuk. Samudera juga tidak keberatan dengan sikap dingin istrinya, yang penting perempuan itu mau pulang bersamanya.

"Minggu depan ada acara, kita diminta Umi untuk datang. Ini penting, Mas Hisyam akan ditunjuk sebagai pengganti. Ya, semacam pengenalan gitu-lah." Samudera menoleh ke arah Rin yang terlihat tidak antusias dari tadi. Dia ingin mengelus pucuk kepala perempuan itu, tapi sayang harus fokus menyetir.

"Kamu jauh-jauh ke sini cuma buat bilang itu?" Rin sama sekali tidak menoleh. Entah kenapa rasanya kesal sekali. Hampir tiap pekan laki-laki itu datang dan ada saja alasannya. Dari yang paling absurd sampai tidak masuk akal seperti barusan. Padahal mereka bisa membicarakannya lewat telepon.

"Bukan itu saja, alasan sebenernya aku kangen kamu." Samudera tidak kehabisan kata. Masa bodo dianggap lebay, sama istri sendiri juga.

Rin memilih diam dan tak menanggapi. Dia tengah dilema karena merasa aneh dengan dirinya sendiri. Sekarang kesal tapi nanti saat diajak 'bermain' tidak menolak. Bahkan antusias, benar-benar murahan.

"Kamu sakit?" Bukan Samudera jika menyerah.

"Tidak," jawab Rin cepat. Dia tidak ingin ketahuan sedang banyak pikiran.

"Keliatan pucat," ucap Samudera sambil menunjuk bibirnya sendiri sebagai isyarat agar Rin memeriksa bagian tubuhnya tersebut.

"Lipstik-ku habis, belum sempat beli jadi hari ini enggak pake. Kelihatan pucat ya?" Rin pura-pura mengambil kaca dari tas, memeriksa bibirnya.

"Mo mampir ke mana gitu buat beli?" tawar Samudera.

"Langsung pulang aja!"

"Nggak nyesel, aku berbaik hati menawari?"

"Enggak." Rin sedang malas ke mana-mana. Dia ingin segera tidur. Meski nanti saat sampai rumah dia tidak yakin bisa langsung istirahat. Samudera pasti tidak membiarkannya. Seperti yang sudah-sudah. Mereka akan bermain sepanjang malam. Laki-laki tidak akan puas jika hanya sekali.

...

Dan benar seperti dugaannya, Samudera tidak membiarkannya istirahat. Laki-laki itu langsung membawanya ke kamar dan meminta jatah seperti biasa. Namun aneh, rasa lelah dan ngantuk sirna begitu saja. Dia turut dalam permainan, seolah mendamba sentuhan atas tubuhnya.

...

"Mau ngapain?" Samudera menahan Rin yang berusaha kabur dari kamar. Setelah bermain, perempuan itu merasa lapar.

"Ke dapur nyari makan." Rin tidak berbohong. Diraihnya gaun tidur yang selalu dia gantung dekat ranjang. Sebuah antisipasi. Seperti saat ini, dari pada harus meraba-raba dalam kegelapan?

"Biar aku ambilkan." Samudera ternyata lebih gesit, laki-laki itu melompat dari tempat tidur karena sudah mengenakan celana pendek, selanjutnya menyambar kaos dan bergegas meninggalkan Rin yang masih sibuk mengikat tali gaunnya.

...

Rin menuju dapur. Tidak seperti di rumah laki-laki itu yang tempatnya di lantai bawah, Rin hanya perlu keluar kamar dan melewati ruang keluarga saja, sudah bisa dicapai.

Di sana, Rin dimanjakan oleh pemandangan yang amat langka. Seorang Samudera melakukan pekerjaan dapur. Meski tinggal menghangatkan, tetap saja itu sebuah keajaiban. Laki-laki itu lebih banyak mengandalkan orang lain, apalagi saat sakit kemarin. Sangat bergantung.

"Duduk di sana!" Samudera menunjuk kursi. Dia tidak membiarkan Rin mendekat.

Rin menurut, dia juga ingin bersantai-ria. Tubuhnya mengajak untuk bermalas-malasan.

"Jadi gimana, minggu depan kamu pulang kan?" Samudera sudah selesai, ditaruhnya piring berisi mangut ikan yang sempat dibelinya tadi.

"Memang bisa, aku menolak?" Rin menunjuk penanak nasi, minta sekalian diambilkan. Sesekali dia ingin dilayani.

Samudera tidak terlihat keberatan, diambilkannya sepucuk centong nasi kemudian dia taruh di sebelah ikan. Rin tidak menawari, karena sudah sangat kelaparan.

Sambil memperhatikan Rin makan, Samudera berpikir apakah ini waktu yang tepat untuk bertanya perihal kehamilan itu? Meski dia kurang yakin, tapi ada satu fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Bulan ini dia belum mendapati Rin menstruasi. Itu kenapa dia mengunjunginya setiap pekan, Samudera ingin memastikan. Dia hapal jadwal kedatangannya.

"Kamu hamil?" Ucapannya ternyata membuat Rin tersedak, buru-buru Samudera mengambil minum, menyodorkannya pada sang istri yang terlihat kesusahan.

Rin menatap Samudera tajam, apa laki-laki itu menyadari sesuatu?

"Aku hanya menebak dari perubahan tubuhmu, beberapa tampak berbeda dari sebelumnya." Samudera mengarah pada bagian yang dimaksud, Rin mengikuti arah pandang tersebut.

Benarkah dia hamil? Jika Samudera saja bisa menyadari perubahannya, kenapa dia mati-matian menyangkal?

***
Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro