Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 ; Kejutan

❤️ Happy Reading ❤️

Cleon Lexander, remaja blasteran Indonesia-Jepang yang berwajah tampan dengan sorot mata setajam elang. Sangat cerdas dan digadang-gadang sebagai pewaris harta serta tahta dari perusahaan yang ayahnya pimpin. Tak heran jika dia lulus lebih cepat dari anak-anak pada umumnya dan selalu mendapatkan nilai sempurna.

Namun, sayang, ambisi untuk membalas dendam lebih besar daripada ikut campur urusan perusahaan. Toh, di keluarga itu masih ada orang lain yang lebih cocok menjadi pewaris tahta, yaitu si sulung. Daripada dirinya yang berperangai buruk, putra sulung Lexander jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan Cleon.

Entah kutukan apa yang keluarga ini dapat, anak bungsu dan tengah dilahirkan penuh cacat dan tidak berguna. Pertama Cleon, dia memang cerdas, tetapi dia berjiwa bebas dan tidak suka terikat dengan hal-hal rumit. Bisnis yang ayahnya operasikan memang bukan bisnis bersih, tetapi dengan sifat seperti ini, Cleon lebih cocok menjadi petualang saja.

Kemudian putra bungsu, Gavin Lexander, dia sama gilanya dengan Cleon. Hanya saja bocah itu terlalu cengeng dan penakut, belum melangkah tapi sudah pasrah dan lagi kenyataan bahwa dia adalah penyuka sesama jenis membuat orang tuanya malu.

Namun, sekeras apa pun orang tua, ketika salah satu putranya mati, kesedihan tetap tidak bisa dihindari. Dan Cleon sebagai salah satu orang sekaligus keluarga yang paling dekat dengannya tidak akan pernah bisa menerima kematian itu dengan mudah. Harus ada bayaran setimpal untuk si pembunuh.

Asap tebal mengepul ke udara ketika sosok tinggi itu menghembuskan napas melalui mulut. Dari balkon apartemen lima belas lantai ini, kerlap kerlip lampu dari penjuru kota terlihat jelas. Ketenangan seperti ini sangat disukai olehnya, pikirannya yang kalut bisa kembali jernih hanya dengan berdiam diri di tempat ini.

"Cle, apa lo beneran yakin dengan langkah ini?" Sebuah suara menginterupsi ketenteraman si pemilik kamar.

"Nggak ada alasan bagi gue untuk merasa ragu," sahutnya tanpa menoleh. Saudaranya ini selalu ikut campur urusannya, menyebalkan. Tidak bisakah dia hanya duduk di tempatnya sendiri?

Pria berahang tegas itu beranjak mendekati Cleon, berdiri di sampingnya lantas ikut menyulut rokok. Lengan kemejanya terlipat hingga siku dan dua kancing teratas baju itu juga terlepas, penampilannya jauh dari kata rapi. Dari sini sudah bisa ditebak bahwa kakaknya ini baru saja selesai menyelesaikan pekerjaan yang membuatnya frustrasi.

"Kita memang terlahir di lingkaran kotor, tapi bukan berarti hati juga keruh. Gue juga merasa kehilangan Gavin, tapi semua bukti sudah jelas kalau itu murni kecelakaan. Kenapa lo ngotot untuk menghancurkan hidup bocah itu? Jangan bikin dendam membutakan matamu," tuturnya penuh ketenangan.

"Hanya karena polisi bodoh menyatakan kalau itu kecelakaan. Lo bisa langsung percaya gitu aja, Kak? Stupid trash like them, will never get my trust." Dari dulu Cleon tidak pernah percaya polisi, di matanya mereka hanya tikus berdasi yang akan melakukan perintah jika ada uang.

Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu Cleon. "I know, tapi bukan berarti kita bisa menyamaratakan mereka. Dunia memang nggak adil, tapi bukan berarti keadilan itu nggak ada. Paham?" Allen kembali menghisap rokoknya.

"Lagian bisnis kita lagi masa sibuk-sibuknya, mending bantu gue. Pusing nih," keluhnya sembari mengacak rambut yang terlihat lepek.

"Itu urusan lo. Gue belum ada mood buat ikut campur, untuk sekarang gue mau main-main dulu. Kalau lagi bosan, baru deh gue bantu ngurus tuh tempat judi," sahut Cleon tanpa minat.

Bisnis kasino yang diolah oleh keluarga Lexander sepuluh tahun terakhir ini mulai mengalami kemajuan pesat. Adapun soal perusahaan tekstil yang dulunya hanya memiliki satu tempat, kini sudah membuka lebih dari lima cabang. Dengan kekayaan seperti ini, semua bisa Cleon miliki. Tidak takut kelaparan apalagi telat membayar biaya sekolah. Namun, apa ia bahagia? Tidak, hanya biasa saja. Bahkan kehidupan remajanya jadi terganggu karena Cleon harus membantu sang ayah mengurus kasino.

Malam semakin larut dan suhu udara menurun, kaus oblong yang pemuda itu kenakan tak bisa melindungi tubuh dari dinginnya angin. Setelah menghabiskan batang ketiga rokoknya, Cleon memutuskan untuk kembali ke kamar. Dilihatnya sang kakak sudah terlelap dengan pakaian semula. Jika Allen datang ke apartemen Cleon saat malam seperti ini, bisa dipastikan bahwa di rumah dia sedang berselisih dengan ayahnya. Orang tua itu, selalu lebih mengutamakan bisnis daripada anaknya.

🌺🌺🌺


"Kamu ada masalah? Kok dari tadi diem aja."

Selvi bertanya demikian karena sejak mereka meninggalkan rumahnya hingga menginjakkan kaki ke dalam pusat perbelanjaan, Arsen hanya diam. Tidak seperti biasanya, cowok ini pasti memiliki banyak hal yang ia jadikan bahan ocehan. Melihat burung bertengger di kabel listrik pun akan dipermasalahkan.

Sosok yang diajak bicara lantas menggeleng. "Enggak kok," Arsen mengedarkan pandangan. "Mau beli es krim nggak? Kalo iya, aku beliin," tawarnya masih memikirkan apa yang akan mereka beli.

Selvi yakin, ada yang mengganggu pikiran kekasihnya ini. Namun sepertinya Arsen mencoba untuk tidak membahas hal tersebut, jadi gadis itu mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh.

"Ya udah, ayo beli es krim. Aku mau rasa red velvet," pungkas Selvi pada akhirnya.

Sebuah tangan menggenggam pergelangan tangan gadis itu kemudian menariknya hingga ke sebuah bangku kosong. "Kamu duduk sini aja. Biar aku yang beli," tutur Arsen lantas berlari kecil ke salah satu kedai es krim.

Keadaan mall cukup ramai, mungkin karena ini adalah akhir pekan. Banyak orang berkunjung, entah itu bersama teman, keluarga atau pasangan. Arsen pun demikian, ia sengaja mengajak Selvi bepergian di hari libur karena sebelumnya tidak ada waktu luang. Dirinya maupun sang gadis sibuk dengan kegiatan dan tugas masing-masing.

Hubungan mereka memang sudah berjalan satu tahun lamanya, dan yang dilakukan hanya hal-hal seperti ini. Urusan pribadi dan asmara terpisah, saling menghargai dan memahami hampir tak ada pertengkaran di antara mereka. Dengan demikian, banyak yang berharap jika hubungan mereka bisa terus berlanjut hingga jenjang lebih serius, yaitu pernikahan.

Sesuatu seperti pernikahan memang sering terlintas di pikiran Arsen. Namun semua tak akan semudah dan seindah yang dibayangkan. Sebagai calon kepala keluarga, Arsen sepenuhnya sadar bahwa menikah bukan hanya cinta. Banyak hal yang harus mereka persiapkan agar keluarga yang dibangun tidak mudah goyah. Hal yang paling Arsen takutkan adalah bila dia tidak matang dalam segala aspek, maka anaknya yang akan terkena dampak. Oh, tidak. Cukup di masa ini saja ia melihat banyak anak terluka karena ketidakcakapan orang tua, di generasi seterusnya jangan sampai hal ini terulang lagi.

"Habis ini, mampir ke toko buku sebentar, ya. Mau cari-cari novel buat dibaca, hehe." Selvi melahap es krim yang Arsen beli tadi dengan lahap. Gadis itu memang sangat menyukai makanan manis.

Perkataan itu hanya dihadiahi anggukan kepala oleh si lawan bicara. Arsen memang mengajak Selvi jalan-jalan, jadi apa yang gadis itu mau akan ia turuti.

"By, aku mau tanya." Arsen tiba-tiba buka suara ketika beberapa saat terjadi keheningan di antara keduanya.

Selvi lantas mengalihkan pandangannya pada Arsen, meski tak begitu jelas namun gadis itu yakin jika memang ada sesuatu yang mengganjal pikiran sang kekasih.

"Boleh, tanya aja. Tapi jangan minta ijin selingkuh, nggak akan aku ijinkan," balas Selvi sedikit bergurau.

Hal itu dibalas dengan kekehan Arsen. "Aku udah punya bidadari secantik kamu, buat apa selingkuh?"

"Seandainya orang yang kamu sayang itu orang jahat, kamu bakal tetap sayang nggak sama dia? Seandainya dia ini pendosa yang nggak bisa dimaafkan, apa kamu masih mau kasih kesempatan kedua buat dia untuk berubah?" lanjut Arsen.

Bukan lagi tatapan jenaka khas Arsen yang terlihat, melainkan keseriusan dalam setiap kata yang terlontar. Membuat Selvi dahi mengernyit.

"Maksud kamu apa? Aku nggak paham, By. Lagian, buat apa kamu tanya hal begituan. Aneh." Selvi kembali memasukkan sesendok es krim ke dalam mulutnya, diam-diam gadis itu merasa was-was dengan apa yang ada di pikiran Arsen.

"Nggak apa-apa, aku 'kan cuma tanya. Jawab dong, By."

"Tapi pertanyaannya aneh. Aku nggak suka, apalagi mukamu serius gitu. Aku jadi nggak tenang liatnya."

Arsen langsung mengembangkan senyumnya. "Hehe maaf. Jadi gimana pendapat kamu?" tukasnya kembali ke topik.

Gadis itu tetap merasa jika pertanyaan Arsen itu aneh. Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya Selvi berbicara.

"Oke aku jawab menurut pendapatku, ya. Itu pertanyaan cukup sulit sih, By. Aku mungkin akan tetap sayang sama dia, tapi untuk kejahatan yang tadi kamu bilang, aku rasa dia tetap pantas mempertanggungjawabkannya dan dihukum. Kalau kamu bilang dia ada keinginan untuk berubah, itu berarti kejahatannya nggak masuk kategori membunuh, 'kan? Soalnya kalau membunuh hukuman terburuk hukum mati, maaf aku nggak terlalu paham tentang hukum." Selvi menjeda kalimatnya kemudian menatap Arsen yang sedang memperhatikannya dengan serius.

"Pada dasarnya manusia itu nggak pernah lepas dari dosa. Kita cuma terlahir suci, tapi seiring usia bertambah itu artinya dosa juga makin banyak. Lantas, kalau ada salah satu dari mereka berniat untuk memperbaiki diri, kenapa enggak? Bukannya itu bagus? Artinya dia mau berubah menjadi versi dirinya yang lebih baik. Soal kesalahan yang pernah dia perbuat, 'kan dia udah dihukum, berarti udah berlalu, dong. Sisanya biar Tuhan yang menentukan. Karena terlepas dari semua itu, cuma Tuhan yang berhak atas makhluk-Nya," tukas Selvi mengakhiri pendapatnya.

"Jadi kamu masih akan terima dia untuk berubah?" Arsen masih belum puas dengan penuturan pacarnya.

"Iya, dong. Udah deh, By. Jangan tanya aneh-aneh lagi, aku nggak suka. Ayo ke toko buku, habis itu kita mau main ke mana aja terserah kamu."

Selvi memang sedikit risih karena Arsen berubah jadi serius seperti ini. Ia bangkit kemudian berjalan lebih dulu menuju toko buku yang diinginkan. Meninggalkan Arsen yang makin diselimuti rasa gelisah. Bagaimana jika setelah Selvi tahu bahwa Arsen adalah seseorang dengan masa lalu buruk, maka gadis itu akan meninggalkannya?

Terkadang perbuatan tidak semudah ketika kita mengucapkan. Arsen itu berandal, dua sahabatnya mati karenanya, kemudian dia punya gangguan mental meski sekarang semua sudah normal. Apa setelah tahu semua kerusakan itu Selvi masih mau menerimanya? Ah, Arsen pesimis.

Sebuah notifikasi pesan muncul pada layar ponsel yang membuyarkan lamunan pemuda itu. Sebaris kalimat cukup untuk membuat jantung Arsen berdegup tak karuan.

[Cleon]

Surprise hari ini semoga cukup untuk bikin lo terkejut. Karena ini memang kejutan hahaha

"Ya Tuhan, dia mau ngapain lagi, sih," gerutunya dengan suara rendah.

Tak mau terlalu pusing dengan pesan teks dari Cleon, Arsen memutuskan untuk menyusul Silvi yang sudah lebih dulu memasuki toko buku. Dilihatnya gadis cantik itu tengah membaca sampel novel yang sudah terbuka bungkusnya, mencari tahu apakah novel ini menarik atau tidak. Kekasih Arsen ini memang sangat gemar membaca, entah itu buku berisi cerita maupun buku pelajaran. Kecerdasannya bisa disejajar dengan Daniel, namun Selvi berada di kelas IPA.

"By, aku harus beli yang ini atau ini, ya? Kasih pendapat, dong, aku bingung mau pilih mana," celetuk gadis itu sembari menunjukkan dua buah buku di tangannya kepada Arsen. Dua-duanya adalah novel romansa, bagi Arsen itu membosankan.

"Emang apa bedanya? Itu sama-sama novel cinta, tuh." Tak mau mengecewakan perasaan kekasihnya, Arsen pun bertanya.

"Yang satu ini romance-comedy terus yang satu ini romance-horror. Aku 'kan jadi bingung." Raut sedih menghiasi wajah putihnya.

"Ya udah, sini aku beliin dua-duanya aja. Biar kamu bisa baca semua, gimana?"

Selvi berdecak kesal. "Jangan, sebenarnya aku mak beli novel ini buat kado ulang tahun temenku. Harus aku yang beli sendiri."

Arsen harus bersabar jika gadisnya mulai menyebalkan. "Jadi kamu mau pilih mana?"

Sejenak gadis itu berpikir sebelum akhirnya berujar, "Hmm, aku beli dua-duanya aja, deh. Nanti satu aku pakai buat kado, satunya aku koleksi sendiri."

Demi kerang di lautan, Arsen ingin membenturkan kepalanya ke dinding sekarang juga! Separuh lebih dari hidupnya, Arsen diasuh oleh mamanya. Namun, sampai sekarang dia masih kesulitan memahami pola pikir perempuan. Mereka itu rumit, tapi di lain sisi mereka juga kreatif untuk beberapa aspek.

"Ah, ya udah, aku setuju sama kamu. Hehe." Oke, lebih baik mengalah daripada gila.

"Aku bayar dulu, kamu tunggu di luar aja, ya?" Tanpa menunggu jawaban dari sang lawan bicara, Selvi lebih dulu berlari kecil menuju kasir dengan dua buku di genggamannya.

Arsen patuh, ia beranjak meninggalkan tempat itu lantas duduk di salah satu kursi yang ada di mall tersebut. Lalu lalang manusia pengunjung pusat perbelanjaan tak bisa menghilangkan kecemasan yang hinggap di benak pemuda itu. Setiap hari Cleon selalu menghantui hidup Arsen layaknya hantu. Bocah bermata tajam itu tak mau memberi celah bagi Arsen untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini secara baik-baik.

Lagi-lagi ketenangan Arsen diusik dengan dering ponsel di saku celananya. Ini aneh, karena setelah nyaris satu tahun menikah dengan Tia, baru kali ini Elan menghubungi Arsen melalui ponsel. Biasanya langsung marah tanpa mau peduli alasan mengapa Arsen pulang terlambat. Apa Elan menyuruhnya untuk pulang? Akan tetapi, ini hari Minggu, dia bebas bermain ke mana saja.

"Halo, kalau nelpon cuma nyuruh aku buat pulang, maaf, Om. Aku belum mau pulang sekarang, masih ada tugas negara," ucapnya begitu panggilan terhubung.

"Bukan soal itu! Mau kamu pulang lusa juga saya tidak peduli, tapi untuk saat ini saya minta kamu untuk kembali, Arsen." Terdengar kecemasan dalam suara Elan, itu membuat Arsen curiga.

"Mama kecelakaan sewaktu hendak pergi ke salah satu salon langganannya. Sekarang Mama sudah di rawat di rumah sakit. Saya harap kamu peduli soal ini, cepat kembali. Nanti alamatnya akan saya kirim melalui pesan," lanjut sosok di seberang telepon.

"Mama ...."

Detik itu juga, dunia Arsen seakan berhenti. Kabar yang Elan katakan tadi tak berselang lama dari pesan yang Cleon sampaikan padanya. Apa ini kejutan yang pemuda itu maksud? Melukai malaikatnya?

"By, kamu kenapa? Hey, Arsen Mahendra ... can you hear me?" Adalah Selvi yang sedari tadi memanggil nama Arsen namun bocah itu seakan tuli. Apa yang membuat kekasihnya ini terdiam dengan wajah pucat begini?

"Arsen! Denger aku nggak, sih?" Lagi, Selvi mencoba membangunkan orang di hadapannya dari kekosongan.

Arsen lantas mengerjap kemudian menggeleng. "By, kayaknya kita main cukup sampai di sini aja. Aku antar kamu pulang, ya?"

Selvi yang masih tidak paham apa yang terjadi melayangkan protes. "Kok tiba-tiba selesai. Arsen, kamu kenapa?"

Panggilan 'By' atau 'Baby' menghilang ketika gadis itu mulai kesal pada sang kekasih. Tentu saja Selvi kesal karena sejak awal, Arsen terlihat aneh dan sekarang secara tiba-tiba cowok itu meminta untuk menghentikan kencan hari ini. Hei, ada apa?

Sebuah tangan menggenggam jemari gadis itu. "Aku belum bisa jelasin, nanti kamu kepikiran. Intinya aku antar kamu pulang dulu, ya? Please, besok janji akan aku jelasin ke kamu," tukas Arsen memohon.

Sebenarnya Tia dan Selvi sudah saling mengenal satu sama lain. Bisa saja Arsen mengajak gadisnya untuk menemui Tia di rumah sakit. Namun, keadaan tak sedamai dulu, Arsen takut jika selanjutnya Cleon akan menjadikan Selvi sebagai target. Tidak, kelemahan terbesar Arsen adalah ketika melihat orang-orang yang dikasihinya terluka. Dan Cleon tahu, bagaimana cara menyiksa dirinya tanpa melukai fisik.

Happy reading, yaa. Dan silakan mampir ke KaryaKarsa buat nggak sabar nunggu update-nya. Bisa pilih beli satuan atau paket baca duluan. Link ada di bio Wattpad. Tinggal pencet aja, nanti langsung ke profilku.


Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro