Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 ; Awal Sakit

❤️ Happy Reading ❤️

"Bagi tempenya, dong!" celetuk bocah itu tetapi si pelaku sudah menyambar satu biji tempe goreng dari piring kawannya.

"Ya Tuhan, Arsen! Itu tempe terakhir yang mampu gue beli, anjir!" Adalah Brian yang melemparkan protes ketika salah satu makanannya diambil oleh Arsen. Bocah itu bahkan belum memberi izin ketika separuh bagian dari tempe sudah masuk ke mulut sahabatnya.

Arsen menyodorkan sisa tempe ke depan wajah Brian. "Separuh-separuh kalau gitu. Nggak mau? Ya sudah, berarti ini rezeki cogan."

Saat istirahat selalu saja ricuh ketika Arsen berulah, ia bahkan tak sungkan ketika kelakuannya dilihat oleh Selvi. Gadis itu justru terhibur dengan tingkah Arsen, lagi pula tingkah seperti itu masih wajar daripada merundung siswa lain.

"Eh, denger-denger si Cleon itu anaknya orang kaya, loh. Masa tadi gue lihat, dia datang pakai mobil BMW X6. Gila, tajir banget nggak, tuh?" Usai menghabiskan semangkuk bakso, Sony memulai ocehannya. Waktu istirahat yang terbilang lama memang biasa mereka gunakan untuk sekadar berbincang dan bercanda.

Begitu mendengar nama Cleon disebut, air muka Arsen berubah. Sejak siswa baru itu datang, sekolah selalu heboh dengan pesonanya. Banyak siswa perempuan yang tak segan datang ke kelasnya hanya untuk sekadar tebar pesona. Tak jarang laci meja Cleon dipenuhi dengan coklat serta surat cinta menjijikan. Bukan bermaksud benci, Arsen hanya kesal karena kini kelasnya menjadi lebih ramai dengan gadis-gadis pencari perhatian.

"Yee, malah bengong. Arsen! Kesambet mampus lo," tegur Sony yang merasa kecewa karena ocehannya tidak tidak digubris. Daniel dan Brian juga melayangkan tatapan heran padanya.

"Sorry, sorry. Gue lagi merencanakan rencana liburan semester kita. Kira-kira ke mana ya? Puncak kayak tahun kemarin? Tapi bosen," kelitnya yang terkejut karena ketahuan melamun.

Brian geleng kepala ketika mendengar jawaban Arsen. "Yang bener aja, bro. Tengah semester aja belum kelar, kok, udah mikir libur semester. Hmmm ... macam tak betul otakmu."

Yang dihina hanya terkekeh geli mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Brian. Dengan sekali teguk, es teh dalam gelas habis dan hanya menyisakan bongkahan es batu.

"Mau ke mana?" Ketiganya sontak bertanya ketika Arsen bangkit dari duduknya, membuat si pemilik nama nyaris terjungkal karena terkejut.

"Apa, sih? Bikin kaget aja," sungutnya kesal. Tiga orang yang tadi kompak kini hanya bisa tertawa dan saling melempar tatapan canggung.

"Ya, lo jangan bikin ulah, bentar lagi bel. Katanya mau tobat bolos, buktikan dong, Kanjeng," sahut Sony.

"Nanti ada ulangan juga, btw." Daniel ikut menambahi, dia yang selalu terdepan soal ujian.

Seharusnya dulu Arsen tidak mengumbar janji kalau dia akan berhenti durhaka pada guru. Karena itu tidak mungkin bisa terealisasi, bocah itu bahkan tidak bisa duduk diam di kursinya selama lima belas menit. Bagaimana dia mau patuh dan jadi siswa teladan seperti Daniel?

"Gue ...." Arsen berpikir sejenak untuk mencari alasan yang pas.

"Gue ada kumpul sama tim basket. Iya, bentar doang, kok. Jadi silakan kawan-kawanku sekalian bisa tancap gas dulu ke kelas. Janji deh nanti pas jam ulangan gue udah di kelas."

Tentu saja itu hanya alasan, karena Brian sendiri juga salah satu anggota tim basket sekolah. Tidak ada pengumuman untuk berkumpul dan bocah jangkung ini bilang dia akan bertemu dengan anggota tim. Kebohongan kelas teri yang bahkan bocah SD pun tahu jika Arsen berbohong.

Karena sudah paham tabiat sahabatnya, maka Daniel dan keduanya tak mau memaksa. Alhasil mereka kembali ke kelas tanpa Arsen. Lagi pula para guru juga sudah hafal dengan Arsen serta angkat tangan soal perilakunya. Beruntung tidak ada guru yang benar-benar bisa membenci Arsen karena dia tetap sopan pada yang mengajar.

🌺🌺🌺

"Halo, Ma. Hari ini aku nggak pulang, ya. Mau nginep di rumah Daniel sekalian kerja kelompok," ujarnya pada benda pipih yang tertempel di telinga.

"Apa udah bawa baju ganti? Lagian rumah Daniel 'kan dekat, kenapa pakai menginap segala? Mama sama Papa lagi di rumah, malah kamu yang pergi-pergi," omel sosok di seberang telepon.

Tanpa sadar Arsen mengerucutkan bibirnya dan merengek, "Ayolah, Ma. Cuma sehari saja, kok. Lagi pula Om tuh nggak asik, banyak ngatur aku ini itu. Nggak seru, huh."

"Hush! Nggak boleh gitu. Papa pasti marahin kamu karena kamu nakal, jadi kurang-kurangin dong nakalnya. Ya sudah, Mama izinkan kamu buat menginap di rumah Daniel. Tapi ingat, jangan terlalu bikin repot orang rumah Daniel. Jangan minta jajan ke Tante Reina, mintanya ke Mama aja," tukas Tia mewanti-wanti.

"Iya, iya. Kan ibuku Mama bukan Tante Reina, gimana, sih?"

Lagi-lagi Arsen merengek karena ibunya melebih-lebihkan. Padahal Arsen juga sering menginap di rumah Daniel, dan tak ada satupun dari keluarga Immanuel keberatan soal itu.

"Tuh, 'kan. Dikasih tahu malah ngambek, nanti gantengnya hilang, loh."

"Terserah, deh. Mama mah gitu, suka banget godain anak sendiri padahal udah punya suami. Ya udah, aku tutup teleponnya. Love you."

Panggilan diakhiri dan Arsen kembali pada tujuannya yaitu atap. Sampai siang ini, tidak satu pun batang rokok dia hisap dan sekarang ia merasa kecut. Sembari menanti saat ulangan tiba, maka satu batang rokok sepertinya cukup.

Atap yang biasanya menjadi tempat Daniel menyendiri kini beralih fungsi menjadi markas. Kadang mereka berempat membolos, kadang juga hanya Arsen seorang. Seperti saat ini, karena ketiga kawannya menolak untuk bolos.

Tempat itu selalu sepi karena memang hanya mereka yang mengunjungi. Dan dipastikan tidak akan ada yang datang ke situ selain Arsen serta ketiga kawannya. Sebab bocah jahil itu sudah menandainya sebagai daerah kekuasaan. Memiliki beberapa koneksi dengan geng kakak kelas cukup bermanfaat di kondisi ini.

Anak itu dengan santai mengisap rokok tanpa takut seseorang akan memergokinya. Arsen bukan tipe yang bisa melukai diri sendiri untuk menghilangkan rasa sakitnya jadi satu-satunya hal yang bisa ia lakukan ketika stres hanya merokok.

"Satu, dua, tiga ... sepuluh, sebelas. Kok, banyak banget? Bukannya sembuh malah sakit gigi, nih." Ia menghitung sisa permen yang tersimpan di saku seragamnya.

Makanan manis itu adalah pemberian dari Selvi dengan tujuan agar Arsen mengurangi kegiatan merokok yang tidak sehat menurut gadis itu. Namun, lepas dari benda bernama rokok itu sulit, dan demi membuat hati sang kekasih senang, dengan senang hati Arsen menerima makanan manis itu.

"Bagus juga pemandangan dari atas sini, dan kayaknya ibu kota udah banyak berubah sejak empat tahun lalu. Iya 'kan, Arsen?"

"Astaga!" Seluruh permen yang Arsen genggam jatuh berceceran di lantai karena bocah itu terlonjak kaget.

Tidak ada waktu bagi Arsen untuk memungut permen yang terjatuh, karena benda manis itu sudah lebih dulu diinjak oleh sepatu milik orang yang berdiri di depannya. Arsen meruntuk dalam hati, ia benar-benar tidak berharap berjumpa dengan sosok ini.

Sebuah tangan hinggap di kedua bahu Arsen, membantu bocah itu berdiri tegap sehingga keduanya kini saling berhadapan.

"Wow, ternyata lo udah lebih tinggi dari gue ya? Dulu kelihatannya masih di bawah kuping, sekarang udah setinggi ini," tutur remaja yang tak lain adalah Cleon.

Arsen menyingkirkan tangan Cleon dari bahunya. "Jelas, gue tumbuh normal, nggak kekurangan gizi. Thanks buat pujiannya," balasannya ketika sudah berhasil mengontrol gemuruh di dada.

Cleon tertawa kecil dan menengadah, kemudian kembali menatap Arsen. Postur tubuh bocah ini memang lebih tinggi darinya, tetapi bukan berarti ia tidak bisa mematahkan tiga tulang rusuk Arsen. Ah, membayangkan saja sudah membuat dia senang.

"Bagus, itu artinya selama kurang dari empat tahun ini lo hidup dengan baik tanpa penyesalan. Sedangkan adik gue di sana lagi nangis lihat sahabatnya udah lupa tentang dia."

Cleon dapat melihat dengan jelas perubahan raut wajah Arsen ketika ia menyinggung tentang Gavin. Wajahnya seketika memucat.

Mendengar tuduhan itu, Arsen menggeleng tegas. "Nggak, gue nggak pernah lupa tentang Gavin. Tapi apa yang terjadi saat itu adalah masa lalu, dan gue cuma berusaha untuk menyimpannya di sudut memori. Jangan memojokkan gue seakan-akan gue yang paling berdosa di sini. Karena kenyataannya kalian yang terlalu kejam sama Gavin."

Arsen berujar dengan keringat membasahi dahi, matahari cukup terik dan atmosfer di antara mereka mulai memanas.

"Arsen!"

Cleon menarik kerah baju Arsen dan nyaris melayangkan tinju ke wajah bocah itu. Akan tetapi, urung, pemuda itu justru berjongkok dan mengambil permen yang berceceran di lantai. Menghitung ulang sebelum akhirnya menyerahkan makanan manis itu pada Arsen.

"Huft ... percuma. Pukulan nggak akan bisa bikin lo sakit, bahkan kalau gue taruh racun di permen ini juga cuma bikin mati seketika. Jadi, gimana kalau kita bermain?" Cleon mengambil satu bungkus permen di tangan Arsen lantas membukanya.

Cleon mendekatkan bibirnya ke telinga Arsen. "Permainan yang mungkin bisa bikin lo ngerasain gimana itu sakit sampai mau mati. Hahahaha."

Bisikan Cleon membuat bulu kuduk Arsen berdiri. Perasaan takut dan tertekan bercampur aduk. Apakah bocah itu sungguh-sungguh dengan ucapannya? Bagaimana jika ia benar-benar mati karena Cleon? Ah, tidak, tidak.

Arsen tidak takut soal itu. Yang ia takutkan adalah, orang yang dia sayangi akan terlibat ke dalam malapetaka yang Cleon ciptakan. Kesakitan terbesar Arsen adalah melihat orang-orang yang ia kasihi terluka.

Dering ponsel di saku celana remaja itu memecah ketegangan, tertera nama Daniel di layar benda pipih itu.

"H–halo ...."

"Arsen, Pak Yanto udah masuk kelas. Buruan balik atau lo nggak dibolehin ulangan." Panggilan diakhiri, sepertinya Daniel mendapat teguran ketika bermain ponsel di kelas.

Ditatapnya Cleon sejenak sebelum akhirnya Arsen memberanikan diri berbicara dengannya. "Lo boleh benci gue, tapi sebaiknya kita balik ke kelas sebelum nilai ulangan kita kosong."

Enjoy, dan jangan lupa follow IM_Vha 😘

Buat yang kepo banget dan nggak sabar nunggu update seminggu sekali, bisa cuss ke KaryaKarsa, ya. Link ada di bio.

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro