38 ; Tuan Muda Terpojok
❤️Happy Reading❤️
.
.
.
Jam berganti hari, dan hari merangkak ke minggu. Genap tiga minggu remaja penyuka warna putih itu terbaring di ranjang tanpa ada niat untuk segera membuka mata. Pengunjung datang silih berganti. Orang tua, teman, dan kekasih seakan tak lelah meski terus berbicara dengan sosok yang senantiasa terpejam.
Lelah? Tentu saja, mereka lelah menunggu. Namun, setiap mendengar kabar bahwa luka di tubuh Arsen kian membaik, semangat menunggu mereka juga kembali naik. Tidak ada yang lebih indah daripada kabar baik usai bencana, ‘kan?
Hari ini seperti biasa, ketiga sahabat Arsen dan juga sang kekasih menyempatkan diri untuk singgah ke rumah sakit dan menemui sosok yang tiga minggu ini ditunggu. Mereka bukan lagi kumpulan bocah usil dan banyak bicara, melainkan sekelompok orang yang tampak lelah dan tidak bersemangat.
Brian melemparkan tubuhnya ke atas sofa yang tersedia di ruang rawat dan mengembuskan napas lelah. Tak lama kemudian, Sony menyusul duduk di sampingnya. Mereka bertiga langsung bertolak dari sekolah ke rumah sakit demi mengunjungi teman ajaib ini. Namun, lagi-lagi hanya kecewa yang mereka dapat, karena Arsen masih setia dalam lelapnya.
“Gue bukan yang luka, tapi ngelihat dia kayak gini lama-lama gue frustrasi. Mana pelakunya nggak meninggalkan jejak sama sekali. Sampai sekarang pihak kepolisian sama sekali nggak dapet petunjuk.” Sony berujar sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Tahu dari mana kalau pelakunya nggak ada jejak?” Brian menatap Sony penuh tanya. Padahal mereka nyaris setiap hari bertemu, tapi dia tetap kalah cepat dengan bocah ikal ini jika menyangkut informasi.
Dengan penuh kesombongan Sony menjawab, “Nguping omongan Tante Tia sama Om Elan.”
Bersamaan dengan itu, sebuah pukulan ringan mendarat di lengannya. Brian memang sudah menduga, meski Sony cepat dalam mendapat informasi, terkadang remaja itu suka menggunakan cara yang tidak benar. Beruntung Sony tidak berjiwa kriminal, sehingga kecil kemungkinan dia akan menjadi seorang penjahat.
Daniel juga ada di sana, tetapi dia memilih untuk diam dan terpaku pada sosok di atas ranjang. Padahal baru saja ia melihat sifat asli bocah ini kembali seperti dulu, tapi sebuah musibah tak terduga menimpa.
Mengingat cerita tentang hidup yang Arsen jalani membuat Daniel sadar satu hal, bahwa yang terluka bukan hanya dirinya. Dia yang sempat berpikir jika dirinya adalah manusia paling malang ternyata salah. Daniel akhirnya tahu, semua orang punya masalah. Namun, dibanding dengan apa yang sudah Arsen jalani, masalah Daniel masih jauh lebih ringan. Dengan banyak bekas luka seperti itu, Arsen bahkan mampu membuat orang lain bangkit dari keterpurukan.
“Ini mungkin kedengeran geli, sih, tapi gue kangen lo. Cepet bangun, Sen.” Sony kini berdiri di samping Daniel. Sama seperti bocah berkaca mata itu, dia menatap sosok Arsen dengan raut sendu.
“Lo juga, jangan merasa paling sedih. Yang kangen dan deket sama bocah ini bukan lo doang,” timpal Brian yang ditujukan pada Daniel.
Sindiran Brian sama sekali tidak dibantah oleh bocah berkaca mata itu. Dia memang jadi lebih diam dan tidak bersemangat sejak Arsen dirawat. Jika dipikir-pikir ini aneh, karena Daniel terlalu mengkhawatirkan orang luar yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Akan tetapi, itu juga cukup masuk akal. Sebab bagi Daniel, Arsen sudah menjadi malaikat penolongnya. Fakta bahwa Arsen juga memiliki masalah mental membuat Daniel merasa bersalah. Semenjak kenal Arsen, dia jadi selalu mengandalkan bocah itu tanpa mau mengubah diri.
“Mending kita balik, deh. Ini Selvi chat gue, dia mau jenguk bareng Bang Leo. Takutnya kalau kita masih di sini, nanti ruangannya malah jadi rame. Kasihan Arsen pasti keganggu,” lanjut Brian lantas menunjukkan layar ponselnya ke depan wajah Daniel dan Sony.
Tujuan mereka datang memang hanya untuk melihat kondisi Arsen sebentar, kemudian kembali ke rumah masing-masing. Pesan dari Selvi cukup untuk membuat ketiganya meraih tas yang diletakkan di atas sofa. Meninggalkan sosok yang masih setia lelap, seolah tidur lebih baik daripada berhadapan dengan dunia yang kadang kejam.
🌺🌺🌺
“Harusnya tadi Kak Leo nggak usah boncengin aku. Tinggal lima menit lagi sopirku datang, kok. Kalau gini malah jadi ngerepotin.” Gadis berseragam SMA itu membenarkan tatanan rambutnya usai melepas helm yang tadi ia gunakan.
Leo tersenyum simpul. “Nggak usah sungkan, Vi. Lo ‘kan pacarnya si Arsen, dia udah gue anggap kayak adik sendiri. Jadi lo juga udah kayak adik ipar, hahaha,” balasnya kemudian menerima uluran helm Selvi.
Pemuda itu juga ikut menata rambut gondrongnya dan melepas almamater sekolah, kemudian menggantikannya dengan jaket berwarna hitam. Selvi yang melihat Leo mengubah penampilan, sedikit terheran. Padahal mereka hanya menjenguk pasien yang masih berada di bawah alam sadar. Apa gunanya tampil modis?
Mengabaikan rasa penasarannya, Selvi memilih untuk menyejajarkan langkah Leo dan bergegas ke tempat tujuan. Brian dan yang lain mungkin sudah pergi ketika mereka sampai, jadi ruang rawat tidak akan ricuh karena terlalu banyak orang yang berkunjung.
Di depan pintu kamar Arsen dirawat, ada orang lain yang lebih dulu tiba. Sosok itu hanya mematung di depan pintu tanpa ada niat untuk menerobos masuk. Dari kejauhan, Leo sudah mengenali siapa orang itu. Dan hatinya merasa kesal tanpa sebab karena dia muncul di hadapannya.
“Cleon baru sampai juga? Kirain tadi dateng bareng Brian dan yang lain,” sapa Selvi begitu tahu Cleon berdiri di depan pintu.
Sosok yang tengah tenggelam dalam pikirannya itu sedikit tersentak. Dia menatap Selvi dan membutuhkan beberapa waktu untuk menyadari jika gadis itu adalah orang yang tidak asing baginya.
“Oh, S–selvi, Bang Leo. Iya, gue nyusul, tapi mereka malah udah pulang duluan,” sahut Cleon tergagap. Kehadiran keduanya sungguh membuat ia terkejut.
Selvi mengangguk paham. “Oh, kalau gitu kita sekalian aja masuk. Mumpung Tante Tia sama Om Elan belum dateng,” ajaknya lantas meraih ganggang pintu. Namun, gerakannya tertahan oleh ucapan Leo.
“Anu ....”
Baik Selvi maupun Cleon kompak menoleh dan menatap Leo penuh tanya.
“Gue mau ngomong sebentar sama Cleon,” Leo melirik Cleon sejenak kemudian beralih menatap Selvi, “lo masuk duluan nggak masalah, ‘kan?”
Cleon sebenarnya tidak mengiyakan ucapan Leo, tetapi pemuda itu sudah mencengkeram erat lengannya. Seolah memberi kode bahwa ia harus menuruti ucapan Leo.
“Oh, oke. Aku masuk dulu, ya.”
Ketika dirasa pintu sudah tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda bahwa Selvi akan keluar, Leo melepaskan cengkeramannya. Sementara Cleon yang tidak tahu apa maksud dari ketua basket ini hanya bisa terdiam dan menunggu penjelasan.
Leo menepuk pelan bahu Cleon. “Ikut gue,” tukasnya kemudian melangkah menjauhi ruang rawat.
Cleon mengutuk dalam hati. Bocah gondrong itu suka sekali memancing emosinya. Jika bukan demi peran yang ia mainkan, Cleon mungkin sudah memukul bocah ini sampai dia memohon ampun.
“Lo mau ngomong apa?”
Cleon mengernyit heran. Bocah ini membawanya ke salah satu sudut rumah sakit yang sepi. Sepenting apakah hal ingin dia bicarakan sampai menyeretnya ke tempat seperti ini?
“Itu lo, ‘kan?”
“Hah? Gue kenapa?” Lagi-lagi Cleon menautkan kedua alisnya, tak paham maksud ucapan sosok di hadapannya.
“Kejadian penculikan Arsen tiga minggu lalu, itu ada campur tangan lo, ‘kan?” Masih dengan raut seriusnya, Leo memperjelas maksud dari ucapannya barusan.
Rona wajah Cleon berubah drastis begitu mendengar tuduhan yang Leo lontarkan. Dia tak bisa mengontrol raut mukanya, sehingga Leo dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa ucapannya benar. Dugaan dan kecurigaannya terhadap Cleon selama ini ternyata tidak meleset.
“Lo diem begini, berarti tuduhan gue nggak salah," desaknya ketika tak kunjung mendapat jawaban.
Leo memijit pelipisnya, dia mungkin lebih senang jika Cleon menentang tuduhannya. Namun, dengan melihat reaksi bocah ini saja, semua sudah terlihat jelas.
“Kenapa? Kesalahan apa yang udah Arsen perbuat sampai lo tega bikin dia kritis tiga minggu? Kasih tahu gue!” Pemuda itu menarik kerah seragam Cleon dan kembali menuntut jawaban dari si lawan bicara. Napasnya kian memburu, sebagai pertanda bahwa ia tengah berusaha keras untuk menekan emosinya.
Bocah bertindik itu menggeleng. “Dia nggak salah ... gue yang salah,” lirihnya yang masih terdengar jelas oleh Leo.
“Fuck!” Leo melepas cengkeramannya dan mendorong tubuh Cleon hingga pemudah itu terjatuh.
Cleon meringis, telapak tangannya tergores oleh kerikil tajam karena ia menggunakannya sebagai tumpuan ketika terjatuh. Jika di situasi biasa, mungkin dia akan sangat murka karena seseoang telah menginjak-injak harga dirinya. Namun, sekarang dia hanya bisa pasrah, bahkan meski Leo akan memukulnya, Cleon tak akan memberi perlawanan. Rasa sakit yang diterima tak sepadan dengan kejahatannya selama ini.
Sementara itu, Leo berdiri membelakangi Cleon beberapa saat. Lagi-lagi dia berusaha untuk meredam amarahnya, karena baru saja dirinya nyaris menghajar Cleon. Ketika merasa sudah lebih tenang, Leo kembali menatap Cleon. Bocah bertindik itu sudah kembali berdiri dan menatap telapak tangannya. Dalam hati, Leo berasa bersalah karena sudah berlaku kasar. Akan tetapi, sekarang rasa kecewanya lebih besar daripada iba.
“Gue nggak tahu apa yang ada di pikiran lo sampai bisa berbuat segila ini. Kalian cuma bocah SMA. Masalah apa, sih, yang bikin nyawa seseorang jadi permainan?” Leo tak habis pikir.
“Beberapa bulan ini, gue bener-bener lihat Arsen berubah drastis. Awalnya gue sama sekali nggak curiga sama lo, apalagi lo murid pindahan. Tapi semua itu berubah pas gue lihat dia dengan kedua mata gue sendiri, dia dapet luka sulutan rokok dan badannya memar-memar.”
“Menurut gue ini aneh banget, bocah itu bahkan punya hubungan baik sama berandal sekolah. Mana mungkin dia digebukin sama mereka? Dan sebelum itu, gue lihat lo muncul dari jalan menuju gudang.”
Leo tiba-tiba tertawa ketika teringat percakapannya dengan Arsen usai ia mengobati luka bocah itu. Namun, tawa itu terdengar sumbang di telinga Cleon.
“Bagian paling lucu adalah, pas gue bilang kalau lo itu orang yang bersalah, dia malah marah. Dia bilang, atas dasar apa gue bisa tuduh lo itu salah? Like ... hell, bisa-bisanya dia belain orang yang udah bikin dirinya babak belur. Bocah gila emang,” cibir Leo yang lagi-lagi dibuat tergelak mengingat kebodohan Arsen.
Cerita Leo membuat Cleon kembali mengingat peristiwa itu. Dulu dia memang sangat terobsesi untuk menghancurkan Arsen. Sehingga banyak cara lakukan untuk membuat bocah itu menderita. Bahkan dia pernah mencelakai Tia, dan membuat seolah-olah itu adalah kecelakaan biasa.
Jika ditanya apakah dia menyesal? Tentu saja Cleon sangat menyesali perbuatan itu. Dia sudah membuat Tia celaka, tetapi wanita itu justru memperlakukannya dengan begitu baik.
“Gue nggak tahu dan nggak mau tahu tentang alasan lo berbuat kayak gitu. Karena mau apa pun alasannya, gue rasa kekerasan bukan cara yang tepat untuk dijadikan jalan keluar. Dan sebagai orang berakal, harusnya lo tahu itu,” tutur Leo penuh penekanan.
Tangan Cleon terkepal, sekarang dia sangat marah dan tersinggung dengan ucapan Leo. Akan tetapi, dia juga tidak bisa membalas kalimat itu. Sebab semua yang dikatakan bocah itu benar adanya. Fakta bahwa kekerasan bagian dari jalan keluar sudah tertanam dalam diri Cleon sejak kecil.
Pada akhirnya dia hanya bisa bungkam dan tertunduk, menanti cercaan Leo selanjutnya. Lagi pula dia tahu, jika memberi pembelaan maka Leo akan semakin membencinya. Cleon hanya ingin menyelesaikan masalah tanpa harus meninggalkan masalah lain.
Bibir Leo terbuka dan hendak mengucapkan kalimatnya. Namun, dering ponsel di saku jaketnya membuat ia urung. Nama Selvi tertera sebagai sosok yang melakukan panggilan.
Leo melirik Cleon sekilas sebelum kemudian menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
“Halo, Vi. Ada apa?”
Pemuda itu mengangguk dan wajahnya berubah antusias. Cleon menduga-duga, apa yang didengar Leo sampai wajah masamnya kini berbinar.
Usai mengakhiri panggilan, Leo kemudian berbalik dan nyaris berlari jika saja Cleon tidak menahan langkahnya.
“A–ada apa?” Cleon memberanikan diri untuk bertanya.
Akibat terlalu antusias, Leo sampai lupa jika dia tidak sendirian. Ada Cleon yang sedari tadi menjadi sasaran kemarahannya. Namun, itu tidak masalah, karena panggilan dari Selvi mengikis habis kemarahan itu.
Ia menepuk-nepuk bahu Cleon dan berseru, “Arsen udah sadar!”
Adakah yang sekarang ngerasa kasian sama Cleon padahal dulu sebel banget?
Begitulah kehidupan, salah dan benar itu terkadang tergantung pada sudut pandang. Eaakk ( ꈍᴗꈍ)
Oke, enjoy dan silakan mampir ke KaryaKarsa ImVha (link di bio) untuk baca bab selanjutnya. Plislah, lariskan lapakku, biar aku cepet kaya 🤣🤣
Sekian, see you next part~~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro