Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 ; Mengunjungi Sahabat

❤️Happy Reading❤️
.
.
.


Arsen menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan menghela napas lelah. Sekolah hari ini benar-benar membuat tubuh maupun otaknya bekerja sangat keras. Bagaimana tidak? Hari ini ada ulangan mendadak sebanyak tiga kali dan Arsen harus menggunakan otaknya untuk menemukan jawaban. Daniel enggan membantu dengan alasan bahwa Arsen sudah pernah diajari, tetapi bocah itu tak mau fokus belajar. Dan Arsen pun tak bisa mengelak dari tuduhan itu.

Dia melihat jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul empat sore. Masih ada banyak waktu sebelum makan malam, dia bisa menggunakannya untuk memejamkan mata sejenak. Ya, sedikit tidur mungkin bisa mengurangi letih baik tubuh maupun pikirannya. Namun, baru saja ia memejamkan mata, dering ponsel membuat Arsen kembali membuka mata.

Bocah itu mendengkus, kesal karena seseorang mengganggu waktu luangnya. Akan tetapi, meski bibirnya mengumpat, Arsen tetap meraih ponsel di atas nakas dan melihat siapa yang telah menghubungi. Alisnya bertaut begitu nama Cleon terpampang jelas di layar benda pipih itu.

“Cleon?” gumamnya heran.

Tanpa berpikir dua kali, Arsen lantas menerima panggilan itu dan langsung mendengar suara Cleon yang berdeham.

“Kenapa, Cle? Tumben nelpon,” tanya Arsen lebih dulu.

“Bisa datang ke apartemen gue nggak? Ada yang mau gue tunjukin ke lo,” sahut Cleon di seberang.

Sebenernya gue ngantuk, pengin tidur,' batin Arsen.

Namun, bibirnya berkata lain. “Tunjukin apa? Kayaknya serius banget,” tanyanya lagi.

Terdengar decak kesal dari lawan bicara. “Udah, tinggal dateng aja apa susahnya, sih? Nggak usah banyak tanya!” balas Cleon kemudian.

Meski tak bertatap muka, Arsen bisa membayangkan betapa kesalnya raut wajah Cleon sekarang.

“Iya, iya. Dua puluh menit lagi gue berangkat. Ini mau mandi dulu. Jangan lupa share lokasi apartemen lo!” Tak mau membuat suasana hati Cleon memburuk, Arsen berhenti bertanya.

Bocah itu mematikan sambungan dan bergegas masuk ke kamar mandi. Impian untuk bergelung nyaman di kasur kini sirna. Ia harus menemui Cleon, semua ini Arsen lakukan demi pertemanan mereka yang baru saja dibangun.


🌺🌺🌺

“Loh, kamu mau ke mana?” tegur Elan yang kebetulan tengah mencuci mobilnya dan melihat sang putra mengeluarkan motor dari garasi.

“Mau main,” jawab Arsen singkat sembari memasangkan helm ke kepala.

Elan geleng kepala. “Baru juga pulang, udah mau pergi lagi,” ujarnya tak habis pikir.

Urgent, Pa. Nanti sebelum makan malam aku pulang, deh. Tapi itu pun nggak janji.”

“Jangan pulang larut, atau gerbang akan Papa kunci,” ancam Elan yang nyatanya tak digubris. Arsen itu sibuk membuka gerbang dan menuntun motornya keluar.

“Arsen!” tegur Elan lagi, pria itu lantas bergegas mendekati gerbang sebelum Arsen menutupnya.

Bocah itu mendengkus kesal. “Iya, Pa, Iya! Aku pulang sebelum makan malam. Lagian aku cowok, bukan anak perawan. Papa kenapa ribet banget, sih?” protesnya kemudian menyalakan mesin motor.

Elan berkacak pinggang. “Iya, kamu anak perawan Papa. Jadi harus dirawat baik-baik,” balas pria itu setengah meledek.

Suara Elan yang cukup keras membuat Arsen celingukan, dia was-was jika saja ada tetangga yang mendengar percakapan mereka. Beruntung kondisi jalan dan kompleks di sekitar rumah sepi, Arsen bisa bernapas lega.

“Papa bener-bener hobi bikin anaknya malu, ya?! Udahlah, aku mau berangkat, bye!

Tak mau mendengar ejekan Elan selanjutnya, Arsen langsung menancap gas motornya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan Elan yang masih mematung di tempat dan geleng kepala dengan tingkah anaknya.

Mendengar Cleon memintanya untuk datang ke apartemen yang bocah itu tinggali sebenarnya membuat Arsen sedikit kesulitan. Sebab ini adalah kali pertama ia datang ke kediaman pemudah itu dan ia tak memiliki gambaran tentang apa yang ingin Cleon tunjukkan padanya.

Perjalanan berdasar peta di ponsel menghabiskan waktu sekitar lima belas menit, dan Arsen tiba di depan sebuah gedung apartemen mewah nan menjulang. Padahal Daniel juga pernah menyewa apartemen, tetapi tak semewah ini. Bocah itu berdecak kagum, entah sekaya apa Cleon sampai mampu tinggal di tempat ini. Tak mau terlena memandangi kemewahan orang lain, Arsen mengambil ponsel dari saku celananya dan mengirim pesan teks pada Cleon.

Selang lima menit usai pesan terkirim, Cleon muncul di hadapan Arsen dengan wajah sedikit memerah. Alis Arsen bertaut, padahal dia tidak meminta Cleon berlari, kenapa napas bocah ini kembang-kempis?

“Lo sehat?” tanya Arsen keheranan.

“Lo tolol?! Udah gue bilang, naik aja langsung. Kenapa gue yang harus jemput?!” sentak Cleon dengan tangan terkepal. Dia sangat ingin memukul bocah di hadapannya ini jika saja mereka tidak sedang di tempat umum.

Arsen meringis saat Cleon membentaknya. “Sorry, deh. Habisnya ini apartemen gede banget. Gue takut nyasar,” kilahnya beralasan.

“Kampungan,” cerca Cleon masih dengan nada kesal.

“Karena lo udah di sini, kita langsung berangkat aja. Itu motor biar di sini,” imbuh pemuda bertindik itu.

“Hah?” Lagi-lagi alis Arsen bertaut. “Mau ke mana? Bukannya lo mau nunjukin gue sesuatu? Kirain ada di apartemen ini, tahu gitu kita ketemu di tempat tujuan aja. Buang-buang bensin, njir. Mana—“

“Lo kalau banyak bacot, gue gampar!” sela Cleon dengan penuh tekanan di setiap kata. Dia sudah tidak tahan dengan kecerewetan Arsen.

Arsen refleks mengatupkan bibir dan menggeleng. “Iya, gue diem, nih,” sahutnya singkat lantas kembali bungkam.

Setelahnya, Arsen mengekor di belakang Cleon dan duduk di samping kemudi. Dia tidak memiliki gambaran tentang tujuan Cleon, tapi melihat keseriusan di wajahnya, Arsen menduga tujuan Cleon adalah sebuah tempat penting.

🌺🌺🌺

Hell ....” Arsen ternganga usai mobil Cleon berhenti di sebuah tempat parkir.

Dia pikir bocah ini akan mengajaknya melihat barang antik atau sebagainya. Namun, semua di luar ekspektasi Arsen, bukan semacam museum atau gedung megah yang mereka kunjungi. Akan tetapi ...,

“Pemakaman?” tanya Arsen masih tak mengerti.

Arsen menatap Cleon penuh tanya. “Kita ngapain ke sini, Bang?”

Mengabaikan pertanyaan Arsen, Cleon berjalan ke arah bagasi mobil dan mengambil satu buket mawar putih dan berjalan tenang memasuki area pemakaman. Sementara Arsen hanya bisa mengekor karena tak kunjung mendapat jawaban. Melihat banyaknya jumlah makam dengan bermacam model membuat Arsen merinding. Dia bukan penakut, tapi jika dihadapkan pada banyak makam yang sejatinya dihuni oleh orang mati mau tak mau ia bergidik ngeri.

Arsen semakin memangkas jarak antara dirinya dan Cleon begitu imajinasinya semakin liar. Dalam hati ia mengutuk, kenapa Cleon membawanya ke tempat para orang mati terkubur? Apa tidak ada destinasi lain yang lebih memiliki nilai estetika?

Bocah itu terus menggerutu dalam hati hingga tulisan di atas batu nisan membuat ia tercengang. Dilihatnya Cleon meletakkan buket bunga itu ke atas makam dan mengusap perlahan tanah yang tertutup rerumputan hijau itu.

REST IN PEACE

Gavin Lexander

⭐ 31 Desember 20xx
✝️ 1 Agustus 20xx

Tuhan mematikan dan menghidupkan, Ia menurunkan ke dalam dunia orang mati dan mengangkat dari sana.
(1 Samuel 2:6)

.


“Cle, ini ...” Arsen kehilangan kata-kata.

As you can see, ini makam adik gue, Gavin Lexander,” sahut Cleon tanpa menoleh.

“Makam Gavin ....” Arsen bergumam.

Sudut hati bocah itu merasakan sakit yang luar biasa begitu melihat gundukan tanah di depannya. Empat tahun sosok itu pergi, dan kali ini Arsen baru bisa melihat tempat peristirahatan terakhirnya. Ia berlutut di samping Cleon, tangannya yang bergetar perlahan bergerak mengusap tanah berlapis rumput itu. Tidak ada kalimat yang muncul dari bibirnya, tetapi setetes cairan bening meluncur bebas dari kedua netranya. Cleon melihat tangis dalam diam itu, tetapi dia enggan berkomentar.

Sorry, ya. Kakak baru bisa mampir sekarang. Gue di sini oke, dan semoga lo di sana juga baik-baik aja,” ujarnya pada sosok yang tertidur di dalam sana.

“Oh, ini gue bawa temen lo. Masih inget Arsen, ‘kan? Iya, bocah yang banyak bacot,” lanjut Cleon diiringi tawa kecil.

Entah apa yang menggerakkan hati Cleon untuk membawa Arsen ke makam adiknya. Tentu saja dia tidak bermaksud untuk menyakiti bocah itu, justru Cleon merasa bahwa Arsen harus tahu di mana Gavin dimakamkan.

“Nangis aja sepuas lo. Gue nggak akan nge-judge hanya karena lihat lo cengeng.” Cleon mengusap nisan di depannya. “Yang tahu makam ini cuman keluarga kita, orang luar nggak bakal bisa nemuin.”

“Kenapa?”

Masih dengan air mata yang membasahi pipinya, Arsen menatap Cleon penuh tanda tanya. Pantas saja empat tahun ini sekeras apa pun dia mencari lokasi di mana Gavin dimakamkan, dia tidak mendapatkan hasil.

Cleon berkata, “Keluarga kita keras, Sen. Yang ada di otak orang-orang itu cuma bisnis, persetan soal keluarga dan darah daging. Kakak, adik, ayah, ibu ... kalau mereka mati, ya, mati aja. Kalau kematian mereka karena musuh, maka kita balas dendam. Tapi kalau kematian karena kecelakaan apalagi kecerobohan diri sendiri, itu bukan urusan kita.” Pemuda itu tersenyum miris.

“Dan kasus Gavin ada di nomor dua. Dia mati karena kecerobohan dia sendiri. Makanya keluarga kita nggak ambil tindakan apa-apa, cuma gue yang dengan bodohnya nyalahin lo,” imbuhnya dengan tawa sumbang.

Arsen menghapus sisa-sisa air mata di pipi dan kembali menatap tanah di depannya.

“Tuh, lo udah dengar alasan kenapa gue nggak berkunjung, ‘kan? Jadi jangan marah, ya? Setelah ini gue janji bakal rutin mampir, deh,” tutur Arsen berusaha untuk tersenyum.

“Siapa bilang lu boleh mampir lagi ke sini?” sela Cleon membuat Arsen kembali menatapnya.

“Lah, emang nggak boleh?”

“Boleh, sih.”

Andai Cleon tak lebih tua darinya, mungkin saat ini Arsen sudah memukul kepala pemuda itu. Namun sayang, dia juga takut dengan Cleon beserta kemarahannya. Jadi Arsen memilih untuk mengalah.

Setelah puas dengan acara berbincang dengan ‘adik’ dan ‘teman lama’, dua remaja itu akhirnya keluar dari area pemakaman dan kembali ke mobil. Awalnya Cleon ingin mengajak Arsen mampir ke salah satu restoran karena dia sudah sangat lapar, tetapi Arsen menolak. Dia sudah berjanji pada Elan untuk pulang sebelum jam makan malam.

“Enak, ya, punya orang tua perhatian kayak gitu. Lapar dimasakin, luka dikit langsung dirawat, setiap hari ditanyain ini dan itu. Beruntung banget hidup lo, Sen,” ungkap Cleon begitu mobilnya berhenti di depan rambu lalu lintas yang menyala merah.

“Uhm ... nggak juga. Kadang udah gede gini masih diawasi dan diperlakukan kayak anak kecil, tuh, agak annoying. Tapi gue bersyukur punya ortu kayak mereka. Karena tanpa mereka, mungkin gue nggak bisa bertahan sampai sekarang. Mereka orang hebat,” balas Arsen.

Namun, tak lama kemudian, bocah itu menatap ke luar jendela dan memukul mulutnya pelan.

Goblok! Ngomong apa, sih, gue? Malah pamer!’ runtuknya menyesali kebodohan.

Yeah, you should feel blessed. Karena nggak semua orang bisa ada di posisi lo,” timpal Cleon dengan senyum miring.

“Anu ... sorry, Cle. Gue nggak bermaksud buat pamer.” Arsen semakin merasa tidak enak hati.

Melihat gerak-gerik Arsen membuat Cleon tertawa lepas. “Pamer aja. Kenapa harus disembuyiin? Lagian kapan lagi orang nggak berbakat kayak lo bisa pamer?” lontarnya dengan nada meledek.

Mendengar hal itu, Arsen mendengkus dan berkata dengan kesal, “Emang harusnya gue nggak usah sungkan sama manusia modelan begini.”

Enjoy dan silakan mampir ke KaryaKarsa untuk baca duluan~

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro