
15 ; Curiga
❤️ Happy Reading ❤️
Menjelang siang, suasana di lapangan upacara semakin ramai dengan kerumunan siswa-siswi yang mengantre untuk membeli aneka jajanan. Stan yang dijaga Arsen juga cukup ramai, sampai-sampai remaja itu harus memanggil bala tentaranya untuk membantu.
"Sabar, Bos. Semua pasti kebagian. Yang penting bayar, ya." Arsen menggunakan toa agar para pelanggannya bersabar.
Padahal mereka hanya menjual risoles dan kue tradisional, tetapi pelanggan sudah mengular sedemikian panjang. Sial! Semester depan, Arsen lebih baik membersihkan kelas atau ikut menata panggung daripada harus berjualan seperti ini.
"Arsen, aku beli risoles dua sama kue lapis dua, ya. Cepet nggak pakai lama!"
"Aku klepon 10.000 sama lumpia 5.000. Please, cepet ya, temenku udah nunggu."
"Gue nasi jagung dan kue mendut lima." Salah satu pelanggan laki-laki menyela. Hal itu membuat Arsen semakin keteteran. Remaja itu sampai salah memasukkan jumlah kue karena terlampau bingung..
"Nggak jual nasi jagung, di sini kue manis semua, bego! Kalau mau nasi bawa dari rumah! Jangan buru-buru, dong, tangan gue cuma dua!" geram remaja itu karena semua pelanggan ingin didahulukan.
Di sampingnya, Brian dan Daniel juga membantu. Tetapi sepertinya tenaga mereka masih kalah jauh dengan jumlah pelanggan. Meski mendapat umpatan, para pelanggan tak ada yang protes. Mereka sudah terlampau kebal dengan mulut pedas Arsen.
Meski sembari mengeluh ini dan itu, Arsen tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Hingga tumpukan kotak yang tadinya penuh dengan kue dan risoles kini habis tak bersisa. Tiga bocah yang tadinya bekerja seperti dikejar setan kini dapat bernapas lega.
"Argh ... anjing! Tahun depan gue nggak mau jual ginian lagi! Capek banget, sialan!" Teriakan Arsen begitu keras hingga beberapa siswa kelas satu yang lewat berlari menjauh usai mendengar umpatannya.
Di sisi lain, Daniel dan Brian merapikan kotak dan meja dalam diam. Bersahabat dengan Arsen sekian tahun, membuat mereka terbiasa dengan kegilaan bocah itu. Jika sedang dalam suasana hati buruk seperti ini, lebih baik diamkan. Toh, mau dihibur atau apa pun, Arsen tak akan peduli dan tetap mengoceh layaknya beo.
Sekitar sepuluh menit berlalu, Arsen mulai diam. Sepertinya dia lelah karena terlalu banyak bersuara. Dengan malas bocah itu menjatuhkan diri di kursi samping Daniel. Timbul niat licik ketika melihat sahabatnya yang sedang fokus menonton video berisi materi pelajaran di ponsel.
"Niel, gue haus. Beliin minum, dong, udah lemes banget, nih." Arsen melancarkan aksinya. Dia tidak akan membiarkan Daniel tenang belajar di waktu liburan seperti ini.
Daniel merogoh kantong seragam sekolahnya dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah, kemudian menyerahkan benda itu pada kawannya.
"Nih, beli sendiri aja. Di sebelah ada stan minuman, sekalian beliin Brian juga nggak apa-apa. Kembaliannya ambil aja," tukas bocah berkacamata bulat itu tanpa menoleh.
Gagal! Daniel tidak goyah karena keisengannya. Meski begitu, Arsen tak menyerah. Remaja itu berbalik arah dan menatap Brian dengan semangat.
"Brian—"
"Nggak usah usil. Gue udah kebal sama sifat setan lo, ya."
Belum usai Arsen bercakap, Brian lebih dulu memotong pembicaraan. Pemuda berbandana hitam itu sedang fokus memainkan game secara online, tidak mau diganggu.
Mendapat jawaban seperti itu, Arsen mendengkus gusar. Hari ini semua orang sangat menyebalkan di matanya. Tidak ada satupun kesenangan yang ia dapat.
Bosan, satu kata yang dapat menggambarkan seluruh keadaan. Bila terus-menerus seperti ini, Arsen akan kehilangan kewarasan. Maka dengan sedikit paksaan, bocah itu bangkit dari duduknya.
Ini waktu istirahat, seharusnya Selvi juga sedang tidak ada kegiatan. Jadi dia akan mengajak kekasihnya itu untuk makan siang bersama.
"Heh, mau ke mana? Ini stan belum di rapiin, Sen!" tegur Brian ketika si jangkung mulai melangkah menjauh.
Arsen melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang. "Urusan orang gede, jomblo nggak boleh ikut campur. Bye."
🌺🌺🌺
"Gimana urusannya, By? Lancar? Kamu jaga stan apa, sih? Kok aku cari-cari kamu nggak ada di lapangan?" celetuk Arsen begitu keduanya duduk berhadapan di bangku kantin.
"Aku nggak jaga stan, dari pagi diem sambil nonton drakor di kelas sama temen-temen, kok." Selvi menyahut setelah meneguk jus buah yang tadi dibelinya. Gadis berkuncir kuda itu tampak begitu cantik di mata Arsen.
Suasana kantin pun cukup sepi karena anak-anak lebih suka membelanjakan uangnya untuk jajan di stan-stan makanan yang menyediakan jajanan beraneka ragam. Arsen sendiri lebih suka berteduh di kantin sekolah. Bisa memesan es teh sesuka hati dan duduk santai di bawah embusan kipas angin.
Selvi menyadari jika bulir keringat menempel di dahi serta badan kekasihnya, gadis itu menyadari bahwa Arsen baru saja menyelesaikan sebuah tugas.
"Kamu habis ngapain aja, sih? Kok keringetan gitu, seragamnya juga basah. Kayak habis main bola aja," sergahnya memastikan.
Mendengar kritikan halus dari sang kekasih, Arsen hanya mengeluarkan cengiran. Sebenarnya dia tidak terlalu berkeringat, hanya saja tadi dia mampir ke salah satu kelas dan ikut bermain bola di dalam. Alhasil seragamnya menjadi sedikit basah akibat keringat.
"Kamu beneran nggak mau ikut camping minggu depan, By? Seru loh, sekali-kali bergaul dengan alam. Temen kelasku banyak yang ikut." Mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, Arsen lantas mengganti topik.
Mendengar ulasan penuh antusias dari Arsen, Selvi sangat paham bahwa kekasihnya ini sangat menyukai hal-hal berbau alam. Akan tetapi, dalam topik ini mereka memang bertolak belakang. Gadis itu lebih suka berkunjung ke berbagai macam cafe untuk mencicipi makanan daripada bergelut dengan alam.
"Kapan-kapan aja, deh. Liburan ini aku mah ke habisin waktu sama keluarga ke Bogor. Kamu kalau ikut camping, jaga diri baik-baik, dan jangan manja. Suka alam, kok, injak lumpur aja males," sindir gadis itu secara halus.
Arsen tertawa lepas ketika sang gadis secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya manja. Dia tak akan mengelak, kepada beberapa orang, Arsen memang sering menunjukkan sifat manjanya.
"Sore ini aku mau belanja kebutuhan camping, mau ikut nggak? Tapi langsung dari sekolah ke toko, nggak pulang dulu."
"Aku ikut juga nggak apa-apa. Nanti kita mampir ke toko buku sekalian, aku pengen beli novel." Gadis itu menyantap potongan terakhir dari siomay di dalam mangkuk.
"What? Novel? Kamu mau beli lagi? Bukannya dulu udah? Baru juga dua bulan lalu, By. Boros banget, itu bukunya kamu makan apa gimana?"
Sedikit kesal, Selvi mencubit lengan Arsen. "Ish, kamu mana paham sama pencinta novel kayak aku. Dua bulan ini aku juga udah beli lima buku, kok, masih kurang."
"Iya, deh. Terserah, asal kamu bahagia aja aku udah bahagia kok, hmm."
"Nah, gitu dong. Kan pacarku jadi makin ganteng, uwu ...." Merasa gemas, Selvi refleks mengacak surai Arsen.
"Ciee ... bucin. Ekhem ... ekhem ...."
Tak ada angin tak ada hujan, datanglah Leo yang tiba-tiba mengambil tempat duduk di samping Arsen. Mengacau momen indah saja.
"Please, deh, Bang. Mengganggu kesejahteraan rumah tangga gue aja. Kenapa di antara tiga kantin di sekolah ini, lo harus ada di samping gue? Coba jelaskan." Arsen bertanya dengan nada sedikit kesal.
Tidak peduli dengan kekesalan adik kelasnya, Leo justru menyambar sebuah sandwich milik Arsen yang baru saja dibuka. Menyantap roti isi dengan santai dan menyapa ramah sosok Selvi yang hanya tersenyum menyambut kedatangannya.
"By, pindah, yuk. Di sini nyamuknya mulai dateng. Ayo, aku beliin kamu es krim atau apa, deh. Yang penting nggak di sini." Arsen menyindir.
"Heh! Lo nyindir gue apa gimana, nih, Dek?"
"Menurut Kakak, saya nyindir siapa? Pacar saya?" sarkas Arsen yang membuat Leo mendengkus kesal.
"Adek kelas babi."
Sudah beberapa kali Selvi berada di situasi seperti ini. Jika diteruskan, Arsen dan Leo mungkin akan mengibarkan bendera perang. Ini tidak boleh terjadi, atau suasana kantin akan menjadi ricuh.
"Nggak sopan. Besok pas camping, gue nggak akan bikin lo satu kelompok sama bocah-bocah itu," ancam Leo tak mau kalah.
"I don't care. Aturan nggak akan menghalangi jalan gue, hahaha." Lagi pula, Arsen mana pernah taat aturan?
"Anak ngen—"
"Udah ... udah. Jangan berantem. Arsen, kita beli takoyaki aja, yuk. Temen kelasku yang jualan. Kak Leo, kita pergi dulu."
Tak memberi kesempatan kekasihnya untuk berdebat lebih banyak, Selvi menarik lengan Arsen dengan sedikit paksaan. Gadis itu tidak akan membiarkan mereka menghancurkan kantin.
Semua berakhir ketika dua remaja kasmaran itu menghilang di koridor. Tersisa Leo yang kini menatap sendu ke arah gelas kosong di atas meja. Pikirannya melayang pada sebuah kejadian sekitar tiga minggu lalu.
Saat itu, dia sedang mengambil jaketnya yang kebetulan tertinggal di kelas. Secara tak sengaja, Leo berpapasan dengan Cleon. Teman sekelas Arsen sekaligus junior di klubnya itu datang dari sudut sekolah dengan senyum tak lepas dari bibirnya. Seakan ada sesuatu yang membuatnya begitu bahagia.
Tak berselang lama, Arsen menelponnya, meminta pertolongan atas kondisi yang mengenaskan. Entah ini firasat Leo saja atau memang Arsen dan Cleon memiliki hubungan.
'Harus dipastikan,' batin pemuda berambut gondrong itu sebelum ikut hengkang dari kantin.
🌺🌺🌺
Di sinilah Leo, duduk berhadapan dengan Cleon di sebuah coffee shop tak jauh dari sekolah. Secara gamblang Leo mengutarakan kecurigaan pada sang lawan bicara, hal itu tentu membuat Cleon sedikit tersinggung.
"What? Are you kiddin' me? Bang, lo seriusan tuduh hal begini ke gue? Yang bener aja." Cleon berujar tak percaya.
"Hei, hei. Bukan begitu. Gue bertanya baik-baik ke lo. Karena dari apa yang gue amati, Arsen sering diem kalo ada lo. Dan lagi, tiga minggu lalu, gue lihat lo jalan dari arah gudang, di mana Arsen dipukuli. Apa—"
"Intinya lo nuduh gue, 'kan?" Remaja bermata tajam itu memotong pembicaraan seniornya.
Awalnya Cleon menyetujui ajakan Leo untuk nongkrong dan berbincang, karena pemuda itu mengatakan bahwa dia hanya ingin membahas soal basket. Namun, sepertinya Cleon mengambil keputusan yang salah, topik kali ini sungguh memperkeruh suasana hatinya.
"Lebih tepatnya, gue mau memastikan. Apa bener, lo yang udah bikin Arsen akhir-akhir ini sering luka? Apa ada masalah internal di antara kalian?"
"Nggak ada." Cleon menyedot Iced Americano dengan sedikit gusar. Biasanya dia menikmati minuman pahit ini, tapi entah kenapa sekarang ia jadi kesal dan ingin menumpahkan isinya ke wajah Leo.
"Bukannya gue mau ikut campur urusan kalian. Tapi tolong, jangan gunakan kekerasan untuk mengatasinya. Cara lo udah terlalu ekstrim. Gimana kalau sampai Arsen terluka parah?"
Leo berujar dengan penuh kehati-hatian. Dia berusaha untuk tidak membuat Cleon tersinggung, namun pada dasarnya itu justru membuat si junior murka.
"Gue bilang kalau nggak ada masalah di antara gue dan Arsen. Tapi lo masih kasih nasehat begituan. Sama aja nuduh, Bang. Maaf, pembicaraan kita sampai di sini aja."
Cleon menyambar tasnya dan bangkit.
"Thanks buat kopinya. Next time, biar gue yang traktir balik karena gue nggak suka berhutang sama orang," tukasnya sebelum benar-benar meninggalkan cafe itu.
Leo tak mencegah kepergian Cleon. Cukup melihat respons yang bocah berikan ketika membahas Arsen saja, dia sudah bisa menyimpulkan bahwa hubungan keduanya memang jauh dari kata baik.
Enjoy yaa. Seperti biasa, jangan lupa follow IM_Vha dan buat yang mau baca lebih awal bisa mampir ke KaryaKarsa ku. Link nya ada di bio 😗
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro