-03- Selepas Kau Pergi
Laluna - Selepas kau pergi
✩★✩★✩★✩★✩★✩
Semuanya berubah.
Sakti tak lagi ada untuk sekedar meluangkan waktunya bagi Myra. Apalagi setelah ia mendengar jika Sakti sudah resmi berpacaran dengan Airin. Semua tentang Airin.
Perlahan tapi pasti, Myra mencoba menarik diri dari Sakti. Ia tak mau bergantung pada sosok sahabat masa kecilnya.
Dari yang biasanya selalu diantar jemput ke sekolah, kini Myra lebih suka menggunakan angkutan umum untuk pulang pergi. Myra juga mengurangi itensitas berkunjungnya ke rumah Sakti.
Tak ada dering telepon di malam hari, dimana itu suatu keharusan bagi Myra untuk selalu bertukar cerita dengan Sakti. Gadis itu memilih mengabaikan beberapa kali panggilan dari Sakti, walau ia teramat ingin mengangkatnya dan bilang bahwa ia begitu merindukan Sakti.
Myra mencoba menekan perasaannya, meski ia tahu bahwa tingkat keberhasilannya tak lebih dari lima puluh persen.
Beberapa kali Myra tanpa sengaja melihat interaksi mesra Airin dan Sakti, membuat gadis berpenampilan tomboi itu merasakan nyeri di dada. Ia masih tak mampu merelakan sahabatnya bahagia.
Semua bukan lagi tentang Myra dan Sakti, tapi kini hanya ada Sakti dan Airin.
Ada tatapan mencemooh yang disematkan pada Myra ketika ia melewati kerumunan siswi di kantin, tak jarang juga tatapan kasihan juga dilemparkan padanya.
"Duuh, kasihan ya ... Sakti kan cinta matinya sama Airin sekarang. Makanya tersingkir dia."
Dan ucapan lainnya membuat telinga Myra berdenging.
Myra tersisihkan. Jadi sebelum pada akhirnya ia terbuang, Myra memilih untuk mundur dan pergi dari Sakti.
"Kamu ada berantem sama Sakti?" Pertanyaan Amira membuat Myra menghentikan kunyahannya. Matanya menyorot langsung pada sang mama yang tengah asik memasak.
"Enggak," jawab Myra pendek. Kembali ia melanjutkan mengunyah makan siangnya.
Ini hari minggu, dan ia masih di rumah. Amira bingung dengan rutinitas putrinya beberapa bulan ini. Karena biasanya setiap minggu Myra dan Sakti akan menghabiskan waktu bersama. Entah maraton film atau hanya sekedar hang out. Asal berdua mereka menghabiskan waktu di hari minggu.
Tak biasanya di tengah hari minggu seperti ini, Myra masih anteng duduk santai di kursi ruang makan memakan sarapannya yang terlambat.
Mungkin mereka sama-sama sibuk, apalagi ujian nasional sudah di depan mata.
"Kamu yakin sama keputusanmu, My?"
"Yakin, Ma."
"Jauh banget sih, sayang? Nggak kasihan sama mama?"
Myra kembali memperhatikan Amira yang kini sudah duduk berseberangan. Ada perasaan takut meninggalkan mamanya sendirian, tapi di sisi lain ia juga ingin menjaga hatinya agar tak selalu digerogoti perasaan iri dan cemburu yang menjadi satu.
Ia hanya ingin berusaha merelakan.
.
.
.
Beda Myra, beda Sakti.
Sakti begitu menikmati euforianya kasmaran di masa putih abu-abunya dengan Airin. Sehari tanpa Airin bisa membuat Sakti gelisah.
Semuanya tentang Airin. Lambat laun Myra mulai terkikis demi sedikit, bahkan Sakti seolah lupa akan kehadiran sosok sahabat masa kecilnya. Airin selalu mendominasi ruang dan waktu Sakti, tanpa mau membaginya dengan Myra barang sedikit saja.
"Tumben kamu ada di rumah? Biasanya ngelayap?" Pertanyaan ayahnya sukses membuat Sakti tersedak minumannya.
"Capek ya, habis ngerjain tugas," jawab Sakti sekenanya.
Hampir saja ketahuan.
Iya, ketahuan. Semenjak berpacaran dengan Airin, waktu Sakti hanya berkutat menemani Airin dan menghabiskan waktu berdua. Entah hanya sekedar apel di malam minggu, atau hanya sekedar makan siang atau makan malam.
Yang tidak kedua orangtuanya tahu, adalah Sakti mempunyai pacar. Lalu menganggap jika selama ini Sakti keluar pastilah bersama Myra.
"Gimana persiapannya Myra, Sak? Udah semuanya, kan?" Pertanyaan ibunya sukses membuat Sakti tersedak minumannya lagi.
"Per-siapan a-apa?" Sakti menoleh cepat ke arah orangtuanya yang masih memakan sarapannya.
"Ck! Kebiasaan banget kamu. Ini udah jam berapa Sakti?"
Sakti mendongakkan kepala, jam dinding tepat berada di atasnya.
"Jam sepuluh, Bu."
"Cepetan mandi, Sak. Kita itu mau nganterin Myra." Sakti semakin mengernyitkan dahi.
Persiapan apa?
Nganterin Myra?
Emang Myra mau ke mana?
Jiwa Sakti seolah-olah di tarik paksa dari raganya. Apa yang sudah ia lewatkan selama ini? Apa?
Sudah berapa lama ia mengabaikan Myra dan lebih memilih Airin. Hanya beberapa kali ia menelepon Myra dan ditanggapi seperti biasa oleh sahabatnya.
Lalu kenapa ia menjadi sahabat yang lupa dengan sahabatnya sendiri?
"Cepetan mandi, Sak. Ntar Myra ketinggalan kereta. Kan kasihan. Udah jauh-jauh hari dia nyipain kuliah di Jogja, masa gak jadi berangkat.
Prang!
Sendok yang berisi nasi goreng tergelincir dari tangan Sakti, menimbulkan bunyi nyari ketika berbenturan dengan lantai keramik dan membuatnya berceceran.
"Kamu tuh gimana sih, mas. Makan gitu aja sanpe jatuh. Lantainya kan habis ibu pel juga." Telinga Sakti mendenging hebat, bahkan omelan ibunya saja seolah tak masuk ke dalam gendang telinganya. Hanya ada kalimat Myra kuliah di Jogja, yang berputar-putar dalam kepalanya.
Myara kuliah di Jogja.
Kenapa bisa? Bukankah mereka sudah berjanji akan kulia di UI, lalu kenapa tiba-tiba sahabatnya itu memilih kukiah di Jogja.
Sesaat Sakti merasa linglung drngan sekitarnya, namun detik kemudian Sakti berlari keluar rumah. Menghiraukan Menyebrang tanpa melihat kiri kanan menuju ke rumah seberang.
"Apa maksudmu kuliah ke Jogja!" Myra menghentikan kegiatannya memasukan buku novelnya ke dalam kardus, begitu melihat Sakti berada di depan pintu kamarnya.
Myra menoleh sebentar lalu kembali menumpuk buku novelnya, kemudian duduk di pinggiran ranjang.
"Apa maksudmu kuliah di Jogja, bukannya kita udah sepakat ngelanjutin ke UI?" Sakti mengulangi pertanyaannya, seraya menghampiri Myra ikut duduk di sampingnya.
"Kenapa, My?"
Myra memilin ujung kaosnya, mengigit bibir bawahnya. Tak mungkin dia mengatakan hal yang sesungguhnya. Jika alasan utama ia mengambil kuliah di Jogja adalah karena dirinya.
"Nggak ada!" jawab Myra pendek.
"Bohong!" hardik Sakti kali ini meraih bahu Myra agar menghadap ke dirinya.
Myra menatap sendu ke arah Sakti, jujur saja ia tak bisa berjauhan dengan lelaki inin hanya saja ia berusaha menyelamatkan hatinya agar tak terlalu sakit rasanya. Apalagi begitu mengetahui jika Sakti dan Airin akan kuliah di universitas yang sama, dan Myra takkan pernah sanggup menghadapinya.
"Hanya ingin suasana baru, Sak."
"Itu bukan alasan, My." Sakti menguncang bahu Myra agar gadis itu kembali menatapnya.
"Lepas!" Myra menghempaskan kedua tangan Sakti dan berdiri. "Lalu kenapa kalo aku pergi ke Jogja. Itu terserah aku, nggak ada urusan sama kamu."
"Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku?" Perkataan Sakti membuat Myra tertawa hambar.
"Kenapa aku harus ngomong ke kamu?"
"Harus, My. Kamu sahabat aku," pekik Sakti bernada frustasi.
"Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu bersama? Kapan kita ngobrol-ngobrol seru lagi? Kapan terakhir kita kamu tanyain keadaanku?"
Sakti tercenung mendengar pertanyaan Myra.
Kapan?
Sakti terdiam meresapi pertanyaan Myra, ia sendiri juga lupa kapan terakhir berinteraksi sedekat ini. Karena sejak ia bersama Airin, Sakti seolah lupa jika ada satu hati yang menahan luka dengan kebersamaan mereka.
"Bahkan kamu lupa, hari ulang tahunku," lirih Myra berbalik memunggungi Sakti, dan membersit airmatanya yang sudah menganak.
✩★✩★✩★✩★✩★✩
Surabaya, 01-02-2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro