Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 09

Waktunya sudah dekat. Kalimat yang amat sederhana. Sayangnya tidak diikuti oleh penjelasan, membuat Ryanne penasaran bukan main.

Setelah berkata demikian, Qert pamit dan kembali menyatu dengan danau, tak lagi dapat dijangkau. Di sisi lain, Mizu bungkam. Si remaja laki-laki enggan memberi kejelasan akan hal yang agaknya hanya diketahui oleh Qert dan dia.

"Ada pekerjaan yang harus kulakukan di pemukiman. Kau pulang saja duluan. Atau jalan-jalan, terserah," ujar Mizu begitu mereka melangkah keluar dari Hutan Nyth.

Ryanne mengangguk. Gadis itu bergeming di tempat, menatap punggung Mizu yang kian jauh dan mengecil hingga lepas dari pandangan. Saat menunduk, dia dapati tangannya melambai rendah dengan kaku. Gerakan spontan yang aneh, pikirnya.

Dia kemudian memutar langkah, kembali masuk ke dalam Hutan Nyth. Ada jawaban yang perlu dia cari.

××

"Ah, Mizuric. Lama tak jumpa," sapa seorang wanita. Rambut panjangnya yang bergradasi putih ke hijau dikucir rendah, melambai-lambai di udara. "Kabar baik?"

"Umn, ya. Nona Frian sendiri?" tanya Mizu. Sedikit kikuk tingkahnya.

Frian tersenyum lantas menoleh ke samping, katanya, "Baik, selalu baik." Tangannya memainkan sulur penuh daun-daun kecil yang menjuntai dari dahan pohon. "Ada apa gerangan dirimu datang kemari? Pohon Jiwa jarang sekali mendapat kunjungan jika bukan hari perayaan."

Langkah Mizu yang sempat terhenti kembali membawanya maju, menaiki bukit hingga tiba di bawah naungan Pohon Jiwa. Remaja laki-laki itu menoleh ke kanan dan kiri, perlahan mengamati sekitar. Tepatnya dia mengamati sulur-sulur yang ditumbuhi buah-buahan. Ada yang besar berwarna kuning-oranye dan yang sudah keriput berwarna ungu.

"Tempat ini selalu membuatku merinding...," Mizu berkomentar.

Pohon tersebut tidak tumbuh tegak ke atas, melainkan terbelah jadi dua bagian dan tumbuh ke samping. Masing-masing bagian ramai cabang serta ranting-rantingnya. Dedaunan berukuran separuh telapak tangan berkerumun di atas sana, membatasi sinar mentari yang menyusup.

Mizu tidak pandai berbasa-basi. Frian juga demikian setahunya. Karena itu, Mizu pikir lebih baik langsung pada intinya saja.

"Nona Frian," panggil si remaja, "Apa kemarin atau hari ini ada buah baru yang tumbuh?"

Langsung Frian menggeleng. "Tidak. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak ada buah baru yang tumbuh." Wanita itu memasang pose berpikirnya. "Kamu masih mengkhawatirkan orang itu?"

Mizu mendekati batang pohon yang begitu besar, lantas duduk dan bersandar di sana. "Kali ini bukan dia."

"Oh? Lalu siapa? Apa ada yang sedang sakit berat?" Frian menghela napas panjang terus mengembuskannya dengan gusar. "Tugas sebagai penjaga di tempat ini membuatku jarang mampir ke pemukiman."

Sedikit enggan, tetapi akhirnya Mizu memutuskan untuk bercerita. Mulai dari pertemuannya dengan si anak perempuan berdarah campuran di kaki gunung, kejadian lepas makan malam, sampai pada yang belum lama berlalu.

Kalau dihitung, ini sudah kali kedua Mizu melepas keluh kesah di hadapan Frian. Malu juga. Namun, adakalanya Mizu memerlukan tempat untuk bercerita. Bagaimanapun juga, dia masihlah anak-anak dalam masa pertumbuhan.

"Anak berdarah campuran yang mendapat Anugerah Qert juga dua sigil," gumam Frian yang mulai tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Yang paling bikin aku khawatir itu suhu tumbuhnya yang kelewatan dingin," aku Mizu. Di balik sorot mata redup itu, bersembunyi pikiran yang kalut bukan main. Dia kemudian menambahkan. "Dan ... waktu kugendong hari itu, jantungnya nggak berdetak."

Raut wajah Frian berubah sendu. "Apa kamu sudah membicarakan hal ini dengan Fask?"

Mizu mengangguk. Wajahnya jadi ketus saat mengingat sosok arch-nyth tersebut. "Sudah, tapi dia cuma bilang kalau dia bukan makhluk yang tahu segalanya."

Frian tertawa kecil. "Karakter Fask memang begitu, ya. Tapi dia tidak salah. Kasus anak bernama Ryanne ini lumayan ... unik."

Meski sejak awal Mizu tahu betul kalau dia tidak akan mendapat jawaban di sini, tetap saja dirinya digerogoti rasa frustrasi. Tangannya seperti bergerak sendiri mengacak-acak rambut. Dia kemudian mendongak menatap Frian dan sekali lagi bertanya, "Benaran nggak ada Buah Jiwa yang baru tumbuh di pohon ini? Nona Frian nggak bohong supaya aku nggak tambah khawatir, 'kan?"

"Tentu tidak, Mizuric." Wanita itu menggelengkan kepala. Dia kemudian mulai berjalan mengitari pohon tersebut, katanya, "Biar aku cek sekali lagi kalau itu bisa membuatmu yakin."

Buah Jiwa, buah yang bunganya cocok disebut Bunga Kematian. Saat ia berbunga, takdir seseorang yang tinggal di lembah akan dikunci oleh jerat maut. Lalu seiring tumbuhnya hingga berbuah, ketika ia akhirnya matang, pada saat itulah akan ada yang meregang nyawa.

Dari sepengetahuan orang-orang lembah, jiwa mereka yang meninggal akan singgah di ruang yang terbentuk dalam buah itu. Ketika waktunya tiba, jiwa yang singgah akan dibebaskan, entah berpulang atau dilahirkan kembali. Pada tahap itu, Buah Jiwa akan berubah ungu dan mengerut, lantas jatuh ke tanah dengan sendirinya.

Frian, sebagai pengawas Pohon Jiwa, tidak pernah melewatkan perkembangan buah-buah yang ada. Sejauh ini tidak lebih dari sepuluh yang tumbuh di sulur-sulur pohon. Semuanya sudah matang, menjadi tempat bersinggah para jiwa. Tidak ada bunga baru yang akan berbuah.

"Tidak ada buah maupun bunga baru, Mizuric," ujar Frian usai berkeliling. Dia bahkan mengecek tiap sulur dengan saksama. "Kurasa kondisi spesial anak itu bukan berarti dia sudah dekat dengan maut."

"Ya, kalau memang nggak tumbuh buah waktu dia datang...." Mizu bangkit dari duduknya lantas meregangkan tubuh sebentar. "Aku tetap bakal berkunjung sesekali."

Senyum kembali terbit pada wajah Frian. "Baru kemarin anak itu datang dan kamu sudah mengkhawatirkannya sampai seperti ini."

Mizu mendengkus. "Gimana enggak kalau kondisinya saja begitu." Sekali lagi dia meregangkan tubuh, kali ini disertai bunyi gemeletuk. "Aku pamit dulu, Nona Frian. Sudah mau malam."

"Hati-hati di jalan," ucap Frian sambil melambaikan tangan. Ekor panjang wanita itu yang ujungnya seperti daun ikut melambai di balik tubuh.

Mizu menoleh ke belakang sebentar. "Nona Frian juga," ucapnya sebelum melangkah pergi menuruni bukit.

Embusan angin sore menemani Mizu dalam perjalanannya kembali ke area pemukiman. Saat menyusuri tepian sungai, dia sempat mencuri pandang pada pantulannya di permukaan air. Lantas satu pemikiran hinggap dalam benak.

Sejak kapan Mizu jadi orang yang seperti itu? Dingin dan ketus, enggan berbasa-basi. Dia tidak ingat jelas. Jika diberi kesempatan untuk bertemu dengan dirinya yang masih kecil, dia akan menolaknya.

"Ah, Mizu." Suara seorang gadis terdengar dari arah samping.

Menoleh ke kanan, Mizu mendapati gadis kecil yang dua hari belakangan ini membuatnya pusing. Penampilannya yang acak-acakan membuat Mizu mengernyit. "Kau habis dari mana?"

Ryanne menunduk, mengamati kaus yang kotor ditempeli debu dan lumpur. "Latihan," jawabnya.

"Bukannya Qert bilang latihanmu baru dimulai besok?"

"Aku latihan dengan Fask."

"Oh---hah!?"

To be continued....


Clou's corner:
Bulan depan kayaknya mau rehat dulu. Capek juga ngebut ngejer deadline challenge ;^;)

29-09-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro