Chapter 07
"Fask," panggil Mizu di tengah jeda istirahat. Remaja itu duduk bersandar pada sebuah batu besar, mengelap peluh dengan handuk. Karena sedang sesi latihan, dia hanya memakai kaus dalam abu-abu gelap sementara kaus cokelat bertudungnya dilipat rapi di atas batu tersebut.
Manset lengan yang biasa dikenakan Mizu, bahkan saat dia mencuci, kini dilepas. Tampaklah tato bermotif api yang berpendar jingga kemerahan; tato yang sepertinya enggan dia lihat.
"Fask," panggil Mizu sekali lagi. Pipinya mulai berkedut kesal.
Seekor nyth serupa tupai meregangkan tubuhnya di atas dahan pohon. Ia kemudian melompat turun dan berlari memanjat batu yang disandari Mizu. "Tumben. Biasanya kau nggak mau diganggu kalau sedang istirahat."
Tatapan Mizu menerawang ke arah langit biru yang begitu cerah. Tanpa mengindahkan celetukan Fask, dia bertanya, "Blasteran manusia dan tycal itu memang dibolehkan masuk?"
"Hmn? Tergantung." Fask, dalam wujud nyth kembali mengambil posisi nyaman untuk tidur siang. "Mereka langka sekali, dan baru gadis itu yang mendatangi Pegunungan Kabut."
Sebagai respons, Mizu hanya bergumam singkat, lalu hening melanda. Desir angin dan suara para nyth yang sibuk beraktivitas tak mampu mengusirnya. Fask hampir tertidur saat anak muridnya kembali bersuara.
"Anak itu aneh, Fask," katanya dengan dahi sedikit mengerut. Remaja itu tengah mengingat-ingat kejadian malam kemarin. "Dia nggak bisa makan. Kalau dipaksa, dia bakal muntah. Dia juga nggak bernapas dan badannya dingin kayak...."
"Kayak tubuh mayat?" tanya Fask dengan entengnya, masih memejamkan mata dalam posisi bergelung.
Mizu mengangguk, tetapi Fask tidak melihatnya. Karena hening itu cukup menyiksa, Fask pun mengambil wujud humanyth, lantas menempatkan diri di samping Mizu. Gerakan itu tidak menuai respons yang seperti biasa: sikutan dan keluhan agar Fask menjauh.
"Kau khawatir pada anak itu?"
Mizu terperanjat. Dia tidak menjawab apa-apa selama satu menit kemudian.
"Yah!" Fask melipat tangan di belakang kepala, kembali memejamkan mata. "Mungkin saja dia itu kasus spesial. Aku ini bukan makhluk yang tahu segalanya. Dan, yang penting dia masih hidup, 'kan?"
Mizu berdecak. Itulah tanggapan yang Fask nantikan.
"Gimana kalau sesuatu terjadi padanya? Sesuatu yang membahayakan nyawa." Kepalanya menunduk agar ekspresi menyedihkan itu dapat disembunyikan. Pendar tato pada lengannya jadi makin kentara saat Mizu meremas rumput-rumput pendek yang mereka duduki.
Tanpa sadar Fask telah mengukir senyum tipis dengan alis sedikit tertekuk. "Nanti coba ajak dia bertemu Qert lagi," ujarnya membuat Mizu menoleh setelah menetralkan ekspresi.
Senyum Fask seketika berubah menjadi senyum andalan yang penuh jenaka. "Bilang saja kalau Fask si hebat yang mengirim kalian ke sana."
Ekspresi yang Mizu pajang jelas menunjukkan kalimat itu terlampau menggelikan. Masih dengan alis tertekuk, remaja itu pun bertanya, "Memangnya apa yang bisa Qert lakukan? Kau saja nggak tahu apa-apa soal kasus anak itu."
Fask menahan tawa lantas balik bertanya, "Kapan aku bilang Qert tahu sesuatu?" Dengan gesit entitas itu menghindar sebelum Mizu sempat meninju bahunya.
"Lalu buat apa aku mengajaknya ke sana lagi?!" seru Mizu, makin geram karena Fask berhasil menghindar.
Sekitar delapan langkah dari si humanyth, Fask duduk bersila. Dia mengendikkan bahu, kemudian mengarahkan telunjuknya pada sebuah dahan pohon kokoh yang tertutup rimbunnya daun. "Daripada dia menguntitmu begini, lebih baik dia berlatih dengan Qert seperti kau berlatih denganku."
Sesaat Mizu melongo. Ditatapnya dahan pohon yang Fask tunjuk. Jika hanya dilihat sekilas, tidak ada apa-apa di sana, bahkan seekor nyth kecil sekalipun. Namun, saat ditatap lamat-lamat, ada warna biru kelabu yang mengintip dari celah dedaunan lebat.
"Sejak kapan---hei, Ryanne. Turun," titah Mizu sambil berkacak pinggang. "Nggak ada gunanya kalau kau mau kabur sekarang."
Dedaunan itu pun bergemerisik dan kepala yang dihiaskan telinga serigala menyembul keluar. Benar, itu Ryanne yang masih setia dengan ekspresi datar walau (bisa jadi) dia sedang kesal.
"Elrit dan Koryn nggak ikut, 'kan?" tanya Mizu yang kini bersedekap.
Ryanne menggelengkan kepala, lalu dia melompat turun. Pendaratannya yang mulus sempat membuat Fask dan Mizu terpukau. Gadis itu berjalan mendekati Mizu, menunjuk pola api pada lengan si remaja, lantas bertanya, "Ini apa?"
"Hah? Kau nggak perlu ta---"
"Kau bakal dapat yang seperti itu kalau pergi menemui Qert besok!"
Tatapan Mizu dan Ryanne seketika tertuju pada Fask yang masih saja cengar-cengir. Sebelum salah satu dari keduanya menyahut, Fask bertepuk tangan sekali dan berubah menjadi wujud nyth-nya.
"Nah, sekarang Mizu harus melanjutkan latihannya. Ayo, Nak, kita menepi," ajak entitas itu yang kemudian bergegas naik ke atas pohon dengan dua pasang kaki kecilnya.
Ryanne terlebih dahulu bertukar pandang dengan Mizu lantas pergi memanjat pohon yang ditempati Fask. Tidak ada kata-kata yang dilontarkan oleh gadis itu, sedangkan Mizu kelihatan terlalu frustrasi untuk berucap.
Tato pada kedua lengan Mizu pendarnya kian terang sementara dia memijat pangkal hidung. Menyimak dari tempat aman, Fask tak tahan untuk terkikik. Ryanne yang duduk di sampingnya sampai menatap heran.
Usai menenangkan diri, Mizu melanjutkan sesi latihannya. Tato apinya kini memancarkan sinar jingga kemerahan yang lebih terang. Perlahan, diiringi napas teratur, telinga dan ekornya berubah menjadi kobaran api.
Fask menoleh pada gadis kecil yang duduk di sampingnya. "Keren, 'kan?"
Dengan pandangan terpaku pada Mizu, Ryanne mengangguk. Matanya jadi sedikit lebih cerah, memantulkan kobaran api di depan sana. "Tato itu yang buat Mizu bisa pakai elemen?"
"Tepatnya, 'tato' itu bikin pemiliknya bisa menggunakan elemen tingkat lanjut." Fask manggut-manggut dalam wujud nyth-nya. "Kau cepat tanggap juga."
Tanpa menghiraukan balasan Fask, gadis itu kembali bertanya, "Jadi, Mizu itu spesial? Soalnya, penduduk lain nggak punya tato begitu."
"Ya, hanya orang-orang terpilih yang punya."
"Terpilih untuk apa?"
Kalau saja Fask sedang memakai wujud humanyth, senyumnya pasti akan terlihat amat menjengkelkan sampai-sampai Mizu bisa menyadarinya dari kejauhan.
Ryanne akhirnya menoleh karena arch-nyth itu lama sekali terdiam. Barangkali sempat terlintas dalam benaknya kalau dia salah naik pohon dan hewan magis yang bergelung di sampingnya bukanlah Fask.
Disangka jawaban tidak akan datang, Ryanne kembali memperhatikan Mizu. Api remaja itu telah berubah menjadi biru. Dia sedang berusaha mempertahankan pusaran api mini di hadapannya. Satu hal yang aneh, yaitu rumput dan segala macam tumbuhan sekitar yang harusnya terbakar sama sekali tidak terpengaruh.
"Tumbuhannya kenapa—"
"Terpilih untuk tugas."
Dua kalimat itu terucap dalam waktu yang bersamaan, membuat Ryanne menoleh kebingungan. Dari sorot mata itu, Fask diminta mengulang, tetapi sang arch-nyth enggan menuruti. Dia sudah terlalu banyak bicara.
××
"Ya, sebaiknya kau berusaha lebih keras agar tidak kelepasan bicara."
Fask, yang tengah mengambil wujud humanyth, asyik bergelantungan dalam posisi terbalik di dahan pohon. "Ayolah, Ruoh, santai saja. Dia juga anak terpilih yang akan mendapat sigil-nya besok."
Ruoh yang semula tidak tampak mulai mewujud dalam bentuk bola angin sebesar kepala manusia. "Aku khawatir, Fask. Tidakkah kau demikian?"
"Semua arch-nyth pasti cemas." Fask menarik tubuhnya ke atas lalu melompat turun. Dia kemudian bersandar pada batang pohon yang berdiri kokoh. "Aku bertugas mengawasi mereka, jadi aku nggak boleh kelihatan suram sepertimu---"
"Fask, berhenti mengejek Ruoh," tegur Qert. Sang arch-nyth air tersebut sedang memakai wujud humanyth seperti entitas yang baru saja dia tegur.
Sang arch-nyth api menghela napas kasar dan mengembuskannya seraya memalingkan wajah. "Ruoh nggak boleh begini terus. Anak yang bakal dia bimbing sebentar lagi datang," ucap Fask bersedekap. "Kita mesti jadi sosok mentor yang bikin mereka yakin kalau semuanya bakal baik-baik aja sesuai rencana kita."
"Memberi rasa aman yang semu tidak baik untuk perkembangan anak-anak itu," sahut Ruoh. "Dan lagi, kita bertigalah yang paling tahu, bahwa rencana yang telah disusun rapi ini tidak akan berjalan tanpa kendala."
"Demi Dewi Kehidupan!" Memukul Ruoh yang tanpa wujud padat tiada guna, jadilah Fask berseru dan menggerutu. "Dari sekian banyak elemen, kenapa anak itu mesti cocok dengan elemen angin? Kenapa nggak alam atau tanah?"
"Pertanyaan yang sama dengan milikku," ucap Ruoh.
Sebelum Fask sempat mengajak Ruoh berkelahi, Qert menyela, "Karena sudah begitu adanya." Nada bicara yang tegas sukses membungkam kedua temannya.
"Tidak ada yang dapat kita lakukan bila sudah menyangkut afinitas elemen, bukan?" ucap Qert, menempatkan dirinya di antara Fask dan Ruoh. Setelah bergantian menatap mereka, dia pun menambahkan, "Aku percaya kalian sudah cukup bijak untuk bisa bekerja sama dalam perihal genting ini."
Fask menyilangkan tangan di depan dada lantas memalingkan wajah; Ruoh mengambang menjauh.
"Puluhan abad telah berlalu sejak kita dilahirkan ke dunia...." Qert geleng-geleng kepala. "Sungguh konyol kalau kalian berdua tak kunjung akur."
"Sudah, sudah. Kita balik ke topik utama," ujar Fask ketus. "Ada pesan baru dari dia atau nggak?"
Qert menjawab dengan gelengan kepala. Seketika pandangannya dan Fask tertuju pada Ruoh, seakan-akan sudah tahu kalau sang arch-nyth anginlah yang mendapat pesan.
"Kurang dari satu bulan. Itu waktu yang kalian punya untuk melatih kedua anak itu sebelum mereka diutus untuk menjemput anak yang ketiga," jawab Ruoh. Penampakan fisiknya yang berupa bola angin perlahan menyebar lantas hilang, menjadi satu dengan udara yang tak tampak oleh mata.
"Dan dia menghilang," celetuk Fask.
Sementara itu, Qert sedang larut dalam pemikiran. Dahinya sampai mengerut.
"Hei," panggil Fask yang baru saja memanjat naik ke dahan pohon. Kawannya tidak merespons. Tanpa harap akan didengar, dia pun berkata, "Anak itu akan baik-baik saja. Dia punya bakat alami."
Qert mengembuskan napas panjang. "Ya, bisa saja dia sudah menguping sejak tadi dan tidak ada dari kita yang menyadarinya. Aku tahu, Fask. Hanya saja...."
"Mereka masih anak-anak."
"Iya."
Hening. Kecemasan tak lagi dapat ditepis. Air muka mereka bisa dibaca dengan mudah.
"Walau ini adalah pilihan terbaik, aku masih tidak habis pikir," gumam Qert. Wanita itu duduk di atas rumput, bersandar pada batang pohon tempat Fask beristirahat. "Terkadang ... takdir itu kejam juga."
Fask nyaris menyemburkan tawa. "Bukannya lumayan sering? Makanya lembah ini jadi ramai dengan humanyth."
"Kuharap kau tidak mengatakan yang seperti itu di depan anak-anak." Qert menengadah.
Dengan senyum tipis Fask menyahut, "Jelas nggak bakal."
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro