Chapter 06
Dalam ingatan Ryanne yang penuh akan kabut tebal, meja makan tidak pernah seramai dan sehangat ini. Gadis itu sampai melongo menyaksikan adu mulut kecil-kecilan antara Elrit dan Koryn, juga Mizu yang sesekali menanggapi undangan bercakap dari kedua anak itu dengan seadanya.
"Mizu, besok mau ke Pegunungan Kabut lagi?" tanya Elrit usai menghabiskan mangkuk keduanya. Dia kemudian mengoper mangkuk itu pada orang yang disebut, minta diisi lagi.
"Nggak," jawab Mizu singkat sambil menyalin sup dari panci ke mangkuk. Beberapa tetes kuahnya terciprat ke permukaan meja kayu tanpa taplak. "Kalaupun iya, kau nggak boleh ikut."
Elrit memberengut ketika menerima mangkuknya. "Kenapa begitu? Bukannya bakal lebih aman kalau ada yang menemani?" sahutnya sembari menciduk potongan umbi dari kolam kuah panas.
Duduk di samping anak bandel itu, Koryn berdecak sebal. Gadis kecil itu baru menghabiskan mangkuk yang pertama. "Kamu cuma bakal membuat onar, makanya Mizu nggak mau ajak kamu."
Tangan Elrit terhenti di tengah gerakan menyuap. Dia cengar-cengir, tampak sedang menantang. "Kalau itu alasannya, kenapa kau juga nggak boleh ikut? Kau, kan, anak paling baik dan penurut di pemukiman ini."
"Hei! Dengar, ya---"
Seketika Mizu menyudahi aktivitas makannya. Bunyi yang dihasilkan saat telapak tangannya menyentuh meja, walau tidak keras, sukses menarik perhatian tiga anak lain di meja itu. Ya, bahkan Ryanne yang sejak tadi mengunyah sambil setengah melamun.
Remaja berambut oranye itu memasang wajah datar, walau tidak begitu datar karena alisnya sedikit tertekuk. "Sudah berapa kali kubilang? Cuma aku yang diizinkan masuk area kaki gunung itu. Selain aku, siapa pun itu, nggak bakal bisa keluar dari Hutan Nyth."
Usai penjelasan singkat itu, Mizu lanjut makan seakan-akan yang barusan hanyalah angin lalu. Mestinya dia tidak perlu menjelaskan karena Elrit dan Koryn sudah paham. Hanya saja si anak bandel sedang mencari perkara karena melihat ada kesempatan. Barangkali Mizu menjelaskan ulang karena ingat bahwa keluarga mereka bertambah satu orang.
Tanpa disadari, kolam umbi-umbian panas dalam mangkuk Ryanne sudah tandas. Mizu menyadari itu dan sempat menawarkan mangkuk kedua, tetapi Ryanne menolak dengan tegas. Ada yang tidak beres dalam tubuhnya.
××
Ryanne pikir, Elrit lagi yang akan menemaninya usai makan malam, ternyata tidak. Kini dia sedang bersama Koryn, membersihkan meja makan serta merapikan kursi-kursinya. Elrit dan Mizu sedang mencuci piring dan segala macam peralatan dapur di belakang rumah.
Bangunan ini tidak punya bak untuk mencuci piring, jadi kegiatan itu dilakukan di halaman belakang, ditemani beberapa ember yang menampung air dari danau. Kira-kira begitulah penjelasan dari Koryn yang kini menggantikan tugas Elrit karena anak itu sedang tantrum.
"Nah, beres." Koryn menyeka keringat yang amat sedikit di pelipisnya. Senyum puas terukir pada wajah bulatnya. Permukaan meja makan kini bersih tanpa noda. Beralih pada Ryanne yang baru saja mendorong kursi terakhir hingga sandarannya bertemu dengan tepi meja, Koryn berkata, "Di gudang ada kasur dan selimut. Ayo, kita ambil!"
Ceria sekali, pikir Ryanne. Elrit dan Koryn menguarkan aura yang jauh berbeda daripada Mizu. Mereka terlihat lebih ceria dan penuh semangat, sedangkan si remaja tampak seperti dibelenggu oleh suatu tak kasatmata yang teramat berat.
"Jadi," ucap Koryn yang susah payah mengusahakan agar percakapan terus berlanjut, "Mizuric ketemu kamu di Pegunungan Kabut? Dan kamu sama sekali nggak terluka?"
Ryanne mengangguk. "Iya," katanya, mengekori Koryn ke gudang di samping tangga untuk naik ke atap.
"Wah, keren!" Koryn menoleh dengan mata penuh binar kagum sementara tangan kanannya menarik gagang pintu gudang. "Aku nggak ingat apa-apa, tapi kata Mizuric, aku sudah sangaaat sekarat di kaki gunung. Aku hampir mati!"
Mati. Satu kata itu bagaikan anak panah yang menyasar dada Ryanne. Dia harus mengalihkan topik. "Kalau ... Elrit? Dia juga diselamatkan Mizu?"
"Eeeh...." Koryn melenggang masuk ke dalam gudang setelah pintu terayun, membentur dinding bagian dalam. Sembari berjalan ke arah kotak kayu di sisi ruangan, anak perempuan itu menjawab, "Iya, Elrit juga diselamatkan Mizuric.
"Sama kayak aku, Elrit bisa saja mati kalau nggak ada Mizuric yang berjalan-jalan di kaki gunung. Katanya, kondisi Elrit lebih parah dari aku waktu itu."
Koryn mengeluarkan selembar selimut yang penuh tambalan di sana dan di sini, lantas mendekap gumpalan kain itu erat. Kepalanya tertunduk dalam ketika dia bergumam, "Bukannya dia terlalu baik?"
Suara Koryn memang pelan, tetapi Ryanne refleks mengecek ruang utama dari balik bahunya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Elrit dan Mizu masih mencuci di belakang rumah.
"Dia hanya beberapa tahun lebih tua dari kita, tapi dia berlagak seperti wali, seperti orang dewasa. Kan, dia masih remaja tanggung." Koryn mencebik.
"Wali?"
"Iya." Tangan Koryn kembali mencari-cari sesuatu di dalam kotak. "Dia mengambil tanggung jawab atas kita bertiga sekarang. Aku nggak tahu banyak, tapi kayaknya seseorang melakukan hal yang sama padanya dulu ... dan mungkin anak-anak lain yang nggak lagi tinggal di rumah ini."
Dengan polosnya Ryanne bertanya, "Sekarang orang itu ada di mana?"
Gerakan Koryn tercekat. Lembaran alas tidur menggantung di tangannya dengan lebih dari separuh masih beristirahat di dalam kotak. "Sudah pergi. Orang itu nggak lagi di sini." Sepersekian detik kemudian, dia melipat benda itu dengan cekatan.
Hening yang canggung menyelimuti dua gadis itu. Malam hanya diisi oleh celotehan Elrit di belakang, bunyi kelontang peralatan masak, gemercik air, serta ensambel serangga malam.
"Ya! Pokoknya begitu," ujar Koryn dalam upaya mencairkan suasana yang membeku. Alas tidur dan selimut ditaruhnya di lantai sementara dia merapikan kembali isi kotak.
Aneh. Koryn sempat mengatai Mizu yang bertingkah seperti orang dewasa sementara dirinya sendiri tidak berbicara layaknya anak sebayanya. Anak perempuan itu juga terpaksa dewasa sebelum waktunya.
Bagaimana Ryanne tahu? Bekalnya hanyalah memori penuh kabut tebal, tetapi Ryanne ingat. Saat masih seumuran Koryn, Ryanne tidak bisa memasak; tidak bisa menggunakan pisau dapur; tidak bisa berkata-kata seperti Koryn. Itu saja. Gadis itu tidak mampu mengingat lebih jelas apalagi lebih jauh.
Seolah kepala yang dipenuhi kabut tak cukup menyiksa, sekarang Ryanne merasa perutnya mulai bergejolak. Seperti sedang terjadi penolakan di dalam sana, karena tak lama kemudian, suatu cairan bertekstur memanjat naik melalui kerongkongannya.
"Oh, kalau bantal, kamu bisa ambil dari kasur Elrit. Dia punya terlalu banyak---"
Ryanne tak lagi sanggup menahan semua cairan itu di dalam mulut sehingga ia jatuh berlutut dan memuntahkan semuanya. Koryn spontan memekik sambil mengambil langkah mundur, tidak lupa mengamankan alas tidur dan selimut yang baru dikeluarkan dari kotak.
Kepala Ryanne masih tertunduk usai dia memuntahkan semua itu. Sensasi aneh dalam perutnya sudah hilang dan tidak ada rasa sakit. Itu bagus, tetapi Ryanne justru mematung. Yang barusan itu ... kenapa?
Saat gadis tersebut mendongak, dia mendapati Koryn sudah mundur sampai punggungnya menempel pada dinding gudang. Kedua tangannya yang memeluk erat gumpalan kain tampak gemetar. Dari raut wajahnya, meski sulit dipastikan dalam temaramnya gudang, tampak sedikit pucat.
Tiba-tiba pintu menuju halaman belakang dibanting terbuka, menampilkan Mizu yang bagian depan kaus bertudungnya sedikit basah. Remaja itu tidak berseru panik, tetapi gelagatnya mengumbar kepanikan itu. Dia celingak-celinguk dengan tatapan awas sebelum akhirnya bertemu pandang dengan Ryanne yang terduduk di ambang pintu gudang. Si gadis tengah mengintip dari balik bahu, tangannya mengelap sisa cairan yang menempel di dagu.
"Ada apa?!" seru Elrit yang segera menyusul setelah bunyi kelontang di belakang sana. Begitu dia masuk, Mizu sudah lebih dahulu menghampiri Ryanne.
Sebelum berkata apa pun, Mizu memilih untuk mencermati situasi. Ryanne baru saja memuntahkan makan malamnya, mengagetkan Koryn yang kini terduduk lemas di ujung ruangan.
"Elrit, ambil kain di meja, tolong," pinta Mizu ketika ia memosisikan diri di samping Ryanne.
Elrit melakukan seperti yang dipinta, lantas memberikan kain tersebut pada Mizu. Mata anak itu terlihat sarat akan kekhawatiran. Hal itu juga diperjelas oleh ekor panjang serupa singa miliknya yang berkibas rendah.
Merasa agak terganggu saat Mizu hendak mengelap wajahnya, Ryanne memalingkan wajah seraya mendorong tangan remaja itu menjauh. "Aku nggak apa-apa," ucapnya.
Alis Mizu seketika menekuk dalam. "Kau baru saja jatuh terus muntah. Dari mananya nggak apa-apa?" ujarnya, memberikan kain lap itu pada Ryanne.
Mizu kemudian menoleh ke belakang, pada Elrit yang masih mematung di tempat, memainkan ujung kaus kebesarannya. "Elrit, kau bisa bantu Ryanne? Aku mau membersihkan ini dan...." Dia mengendikkan sebelah bahu, dan dengan lirikan mata mengode pada Koryn.
"S-siap." Elrit menggelengkan kepala cepat guna menyadarkan diri. "Bisa, kok!"
Sungguh, Ryanne tidak ingin merepotkan orang-orang baik ini. Namun, semuanya berlalu begitu saja berkat Mizu yang dapat mengatasi situasi dengan baik, juga Elrit yang tanggap menerima perintah. Tahu-tahu Ryanne sudah berganti kaus dan kini tengah berbaring di ruang atap, tepatnya di atas kasur tipis.
Posisi baringnya terlentang. Selimut membungkus tubuhnya hanya dari ujung kaki sampai perut. Menoleh ke tiap sisi, didapati dirinya diposisikan di antara Elrit dan Mizu. Elrit seperti sedang bergelut dalam mimpinya, bisa dilihat dari posisi tidur yang kacau. Di sisi lain, Mizu tengah memunggungi Ryanne, tertidur menghadap Koryn yang sempat ketakutan tadi.
Cukup lama Ryanne memperhatikan punggung Mizu. Dari gerakan yang samar-samar ketika bernapas, gadis itu sadar kalau si remaja masihlah terjaga. Meski demikian, tidak ada dari mereka berdua yang memulai pembicaraan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ryanne sendiri baru saja mendapat jawaban dari pertanyaannya tadi saat masih terduduk di ambang pintu. Rupanya gadis itu tidak bisa mencerna makanan.
Dalam kondisi ruangan yang remang-remang, Ryanne mengangkat tangannya ke depan wajah dan diamatinya bagian pergelangan. Ada garis samar yang melingkar di sana seperti gelang. Di pergelangan kakinya juga ada, mungkin di leher juga, entahlah. Ryanne belum sempat melihat ke dalam cermin karena benda tersebut tidak tersedia di rumah ini.
Gadis itu mulai bertanya-tanya, barangkali dia tidak semestinya hidup. Dirinya seperti mengawang di antara hidup dan mati, padahal dia masih bisa berjalan di dunia fana.
Banyak yang dia lupakan dan itu bukan karena Qert. Ini bukan masalah apa dia bisa mengingat atau tidak, melainkan apakah dia boleh? Ryanne harap bisikan itu mau datang lagi untuk menjawab pertanyaannya.
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro