Chapter 05
Saat kali pertama Ryanne bertemu dengan Mizu (hanya beberapa jam yang lalu), dia sama sekali tidak memasang ekspetasi soal orang macam apa remaja itu. Namun, begitu melihat Mizu bertingkah layaknya orang tua di hadapan dua anak di rumahnya, keterkejutan menghampiri Ryanne.
Dua anak tersebut sedang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk. Satu benjolan kecil bersarang pada masing-masing pucuk kepala mereka. Anak laki-laki yang berambut merah memasang ekspresi masam, sedangkan anak perempuan yang punya tanduk kecil serupa milik rusa di kepalanya kelihatan sedang menahan tangis.
Tepat di samping Ryanne, masih membelakangi pintu depan, Mizu berdiri tegap. Kepalanya sama sekali tidak merunduk, hanya tatapannya yang terarah ke bawah, seperti menghakimi anak-anak itu. Mizu bersedekap dengan sebelah tangan menggenggam sendok sup yang dia gunakan untuk mengetuk kepala dua anak malang itu.
Terdengar jahat, tetapi menurut Ryanne mereka bertiga sekarang impas. Dan, wajar saja jika Mizu kesal. Siapa juga yang senang kalau saat pulang bukannya disambut dengan salam, justru sendok sup yang menghantam kepala.
"Sesekali aja. Nggak bisakah kalian akur?" tanya Mizu dengan kepala yang sedikit ditelengkan. "Gimana kalau aku mesti pulang lebih larut dari ini?"
Tidak ada yang menjawab.
Walau belum mengenal mereka, Ryanne sendiri bisa membayangkan apa yang akan terjadi di rumah itu jika Mizu terlambat pulang. Pasti isinya bakal kelihatan seperti habis diporak-porandakan hewan buas, pikir gadis itu.
"Oke, sebelum kita makan malam, aku mau memperkenalkan anggota keluarga baru kita." Mizu menunjuk Ryanne di samping kanannya dengan sendok sup, lantas berkata, "Aku ketemu dia di Hutan Kabut. Namanya Ryanne."
Sendok sup itu kemudian diarahkan pada dua anak yang kini mendongak menatap Ryanne. "Yang petakilan ini namanya Elrit dan itu Koryn, dia lumayan pandai memasak."
Mari kesampingkan soal perkenalan yang kedengaran tidak ikhlas karena nada bicara Mizu. Si anak perempuan, Koryn, langsung berbinar matanya ketika dipuji. Padahal, hanya beberapa detik lalu dia kelihatan jelas sedang menahan air mata.
"Ah, makanannya belum siap, ya," celetuk Mizu, melirik panci sup yang masih berada di atas kompor. Di sampingnya terdapat talenan yang dihamburi jamur kancing seukuran kepalan tangan anak kecil. Masih ada tiga buah yang belum dipotong. Pisau menancap pada salah satunya.
Sontak si anak laki-laki berambut merah, Elrit, bangkit berdiri. Dia menunjuk-nunjuk Koryn sambil berseru, "Koryn masaknya lambat sekali! Aku sudah bilang mau bantu, tapi dilarang."
Koryn ikut berdiri dan balas menunjuk Elrit. "Itu karena dia terus-terusan mengacau! Umbi-umbian yang dia potong berantakan sekali; terlalu besar. Dan dia langsung memasukkannya tanpa dicuci dulu!"
Rupanya celetukan itu berhasil memantik api perang. Mizu hampir kelepasan memukul kepalanya sendiri dengan sendok sup, tetapi dia berhasil menahan diri dan memilih untuk memijat pangkal hidung sambil menggerutu.
Tidak menghitung menit, benjolan pada puncak kepala kedua anak itu bertambah satu.
××
Ryanne ditinggalkan bersama Elrit sementara Koryn dan Mizu lanjut memasak makan malam. Keduanya berdiri berhadapan dalam diam untuk beberapa waktu, sekadar mengamati. Elrit sendiri sampai memegangi dagu saking seriusnya menilik si pendatang baru.
Mizu yang menyuruh anak bernama Elrit itu untuk mengajak Ryanne berkeliling rumah. Supaya tidak merasa asing lagi, katanya.
"Hmn...." Elrit mengambil satu langkah maju agar bisa mengamati Ryanne lebih dekat. Masih dengan tangan mengusap dagu, anak itu memiringkan kepala. "Kau ini dapat Anugerah dari Qert?"
Sebagai jawaban Ryanne hanya mengangguk. Meski tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis itu, Elrit jadi heboh. "Keren! Kita kedatangan putri Qert!" Diraihnya lengan atas Ryanne lantas mengguncang si gadis untuk menyalurkan semangat yang pada akhirnya tidak tersalurkan.
"Wah!" Sebelum Ryanne pusing dibuatnya, Elrit melepas lengan gadis itu. "Dingin sekali!" serunya sembari mengibas-ngibaskan tangan seolah-olah dia baru saja menyentuh permukaan air yang membeku di musim dingin.
Ryanne mendapati gerakan Mizu di depan kompor tercekat untuk beberapa saat. Hanya itu, lalu dia kembali sibuk memasak sambil sesekali membalas pertanyaan Koryn yang kelihatan terlampau bahagia.
"Hei!" seru Elrit sambil melambai-lambaikan tangan satu jengkal di depan wajah Ryanne. Begitu perhatian si gadis kembali padanya, dia berhenti. "Kenapa badanmu dingin sekali? Apa ini efek menerima Anugerah Qert? Kayaknya nggak, sih, soalnya waktu aku dapat Anugerah Fask, badanku nggak jadi panas. Kalau begitu, apa---"
"Kamu berisik sekali," potong Ryanne. Lagi-lagi dia menekuk telinga serigalanya demi menghalau bising agar tak sampai ke gendang telinga, meski ujung-ujungnya ada saja yang lolos.
"Dan kau dingin sekali!" seru Elrit makin kencang setelah melihat gelagat Ryanne. Anak laki-laki itu kemudian merangkul si gadis yang sama tinggi dengannya. "Sebelum tur rumah, kita ke atas dulu."
Ryanne mengernyit. "Buat apa?"
Setelah memastikan kalau Mizu tidak memperhatikan mereka, Elrit menggeser tangan Ryanne dari telinga gadis itu. Dia kemudian berbisik, "Kita berburu pakaian baru buatmu, di kotak pakaian lama Mizu...!"
Tanpa banyak tanya lagi supaya Elrit tidak lebih banyak mengoceh, Ryanne mengekorinya naik ke atap. Tidak ada undakan tangga untuk dilalui, hanya tangga kayu yang mesti dipanjat. Untung saja tubuh Ryanne sudah terbiasa dengan aktivitas seperti itu.
Begitu tiba di atas, kegelapan menyambut. Cuma ada remang-remang cahaya rembulan yang menyusup masuk lewat jendela kecil sebelum Elrit menyalakan lentera yang digantung di tengah-tengah ruangan.
"Ta-da!" seru Elrit seraya membentangkan tangan. Anak laki-laki itu tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang bolong satu di barisan atas. "Ini tempat kami tidur---kau juga bakal tidur di sini. Tinggal ambil satu kasur sama barang-barang lain dari gudang di bawah, yang pintunya di sebelah tangga."
Perlahan Ryanne mendekati Elrit. Derit lantai kayu mengiringi tiap langkahnya. Dia celingak-celinguk, mengamati ruangan yang luasnya tidak seberapa itu.
Di belakang Elrit ada tiga alas empuk yang dia sebut kasur, berjejer dengan bantal dan lipatan selimut di atasnya. Kasur yang paling kanan punya tiga bantal, entah mengapa.
"Oh, yang itu kasurku," kata Elrit yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan dalam benak Ryanne.
Selain jejeran kasur tersebut, ada pula kotak-kotak kayu di belakangnya. Hanya ada tiga, sesuai dengan jumlah penghuni rumah jika Ryanne yang baru datang tidak dihitung. Kotak-kotak itu kelihatan bisa dibuka tutupnya.
"Sini, sini," panggil Elrit disertai gestur tangan, lantas dia menghampiri kotak yang tengah. Kotak itu dia buka tutupnya, membuktikan bahwa pemikiran Ryanne benar.
Ryanne berjongkok di sebelah Elrit tepat saat anak itu mengeluarkan selembar pakaian dari dalam kotak. Kelihatan tebal dengan model serupa milik Mizu, hanya dengan lengan panjang.
"Badanmu dingin sekali dan ini sudah malam, jadi pakai ini saja!" Elrit mendorong pakaian itu ke dekapan Ryanne, lalu kembali menggali isi kotak dengan serampangan. Kurang dari dua menit kemudian, dia mengeluarkan celana yang jelas-jelas kebesaran untuk Ryanne. Celana itu dia lempar, tak sengaja mengenai wajah Ryanne.
"Itu juga---eh, maaf." Elrit cengar-cengir sambil menggaruk belakang kepala. "Kata Koryn, pakai rok pendek malam-malam bikin masuk angin."
Entah kenapa istilah "masuk angin" dapat menggelitik perut Ryanne. Angin tidak pernah membuatnya merasa dingin ataupun sakit, barangkali karena suhu tubuhnya yang memang tidak wajar. Namun, diam-diam dia tetap menghargai perhatian yang Elrit beri. Hanya untuk berjaga-jaga, Ryanne bertanya, "Memangnya Mizu nggak masalah?"
Elrit bangkit berdiri. Seraya meregangkan tangan ke atas, dia menjawab, "Tenang saja." Kedua tangannya pun ditaruh di pinggang. "Aku juga pakai pakaian bekas Mizu. Dia nggak bakal marah."
"Agak meragukan," balas Ryanne cepat dengan raut wajah yang senantiasa datar.
"Hei!" seru Elrit tidak terima, masih berkacak pinggang. "Memangnya aku kedengaran seperti sedang berbohong?"
Ryanne menggeleng. "Enggak, tapi rasanya kamu kurang bisa dipercaya."
"Kenapa?!"
"Karena kamu kelihatan seperti anak bandel."
"Jahatnya!"
Reaksi Elrit lumayan lucu, tetapi senyum tak kunjung mengembang pada wajah Ryanne. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Namun, itu bukanlah hal penting karena dia masih bisa merasa senang dan terhibur tanpa perlu menaikkan kedua sudut bibir.
"Aku ke bawah duluan, ya." Elrit beranjak ke tangga. Sebelum turun, dia berpesan, "Kalau sudah selesai, langsung ke meja makan saja! Kedengarannya Koryn dan Mizu sudah selesai memasak."
Ryanne mengangguk dengan pakaian ganti dalam dekapan. Terasa ada kehangatan dalam dada; kehangatan yang seharusnya tidak berada di sana.
To be continued ....
Clou's corner:
Ini buru-buru gegara tantangan update, jadi kalau jelek susunan kalimatnya maafin ya :'D
26-08-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro