Chapter 02
Pegunungan Kabut merupakan tempat yang tidak boleh dipijak oleh para humanyth yang menghuni lembah. Demikian yang mereka percaya dan memanglah itu kenyataannya. Namun, ada beberapa orang yang termasuk dalam daftar pengecualian. Salah satunya adalah Mizu.
Sudah hampir setengah jam Mizu berkeliling di tengah kabut. Hari itu para penjaga gunung mengabaikannya seperti yang sudah-sudah. Tidak ada yang mendekati untuk menuntunnya, berarti tidak ada calon pendatang baru. Begitu pikirnya sebelum bulu kuduk serta ekornya mendadak berdiri.
Secepat kilat Mizu berbalik sambil berseru, "Woy!"
Si pelaku tak lain adalah salah satu penjaga gunung: seekor yuima. Makhluk bundar bersayap mungil layaknya serangga terbang. Tubuhnya yang seukuran kepalan tangan orang dewasa diselimuti cahaya yang tidak pernah padam, setidaknya selama Mizu melihat.
Saat yuima itu mulai menyundul-nyundul bahu Mizu, kawan-kawannya justru menjauh dan menghilang ditelan kabut. Ia tampak tergesa-gesa ... atau kesal? Mizu tidak mengerti.
Mengenali yuima itu dari aura yang dipancarkannya, Mizu menangkapnya dalam sekali sambar. "Kau," ucap Mizu membawa yuima tersebut ke depan wajah, "mau membuatku tersesat lagi?"
Yuima itu mulai panik, meronta-ronta minta dilepaskan.
Setelah kontes saling tatap dalam hening dengan makhluk tanpa mata dalam genggaman, Mizu pun membebaskannya. "Kubuat jadi serangga penyet kalau kau bikin aku tersesat lagi," ancamnya.
Terbang mengitari Mizu tiga kali seolah berjanji, yuima itu pun bergegas ke depan untuk menuntun Mizu ke suatu tempat. Jejak berupa taburan bubuk bersinar ditinggalkannya sebagai tanda untuk diikuti si humanyth kalau-kalau dia kehilangan jejak. Taburan bubuk tersebut lenyap begitu dipijak.
Kira-kira sepuluh menit Mizu mengikutinya. Dia mulai berprasangka buruk pada yuima itu. "Sumpah. Kalau kau cuma bermain-main ...." Mizu menguap. Sambil mengucek mata, dia kemudian melanjutkan, "Aku benar-benar bakal menggilingmu."
Si yuima terperanjat, tampak kesal karena terus-terusan dituduh. Namun, Mizu yang matanya setengah terpejam tidak memperhatikannya. Kantuk mulai menggerogoti remaja itu. Mungkin lebih baik dia sudahi saja penelusuran rutinnya. Bocah-bocah di rumah pasti membutuhkan bantuannya untuk menyiapkan makan malam tanpa menghancurkan dapur.
Mizu mengusap wajah dengan kasar, berusaha mengusir rasa kantuk. Dia pun menggerutu, "Sudah, ah. Aku mau pulang sa—" Tercekat hampir menggigit lidah, Mizu tersandung sesuatu yang terlalu lunak untuk disebut batu.
BRAK!
Remaja itu terjerembap disertai bunyi yang begitu renyah kala jatuh di atas tanah berkerikil. "Aduh ... bilang-bilang dong kalau ada sesua ...." Akhir kalimatnya menguap dalam kepala, digantikan oleh secuil rasa panik dan penasaran akan apa pun yang baru saja membuatnya tersandung. Jelas rasanya bukan batu.
Cepat-cepat Mizu memutar badan, sampai mencakar tanah demi bangun dari rebah. Dalam posisi duduk menghadap penyebab ia terjatuh, pandangan Mizu terkunci pada sosok yang terbaring tiga langkah di depannya.
"Anak manusia ... eh?" Seketika Mizu terbelalak, menyadari ucapan yang keliru. Makhluk yang terbaring di hadapannya memang memiliki wujud serupa manusia, tetapi jika diperhatikan lagi, dia berbeda.
"Oi, bagaimana bisa seorang tycal sampai—dia hilang!" seru Mizu, tak lagi mendapati yuima yang sempat dia cekik. Ragu-ragu pandangannya kembali pada anak perempuan dari ras tycal tersebut.
Walau kulitnya terlalu pucat untuk seorang tycal, bahkan untuk makhluk yang hidup, telinganya memang sedikit runcing. Itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa dia memanglah seorang tycal, ras yang tidak diterima oleh para penjaga gunung.
Jika demikian, mengapa yuima tadi menuntun Mizu pada anak itu? Dan, harusnya seorang tycal tidak akan pernah bisa mencapai titik itu di Pegunungan Kabut. Dari dunia luar, katanya, paling jauh mereka hanya bisa mencapai seperempat perjalanan menuju puncak.
Apa Mizu harus membawanya ke Hutan Nyth sebagai calon pendatang baru? Meninggalkannya di sana terdengar seperti pilihan yang salah. Lagi pula, penjaga gunung yang mempertemukan mereka, lantas hilang begitu saja.
Usai mengatur napas yang sempat tercekat, Mizu memantapkan hati untuk mengecek anak itu terlebih dahulu. Tidak kelihatan ada luka fisik, tetapi kulitnya sungguh pucat sampai nyaris putih. Saat Mizu meraih tangannya untuk mengecek denyut nadi, dia dibuat berjengit oleh suhu tubuh yang abnormal.
Dingin. Seperti ....
Segera Mizu menggeleng-gelengkan kepala guna mengusir pikiran buruk. Namun, sepertinya pikiran yang dia cap "buruk" itu benar.
Mizu tidak merasakan denyut nadi.
Kendati sudah menduga hal itu, Mizu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Seketika benaknya diserbu pertanyaan, tetapi ia tepis semua itu jauh-jauh. Hari sudah semakin sore. Jika ingin bertindak, Mizu harus melakukannya dengan cepat.
Dia dituntun ke sana oleh seekor yuima. Tidak mungkin Mizu membiarkan tubuh tak bernyawa itu tergeletak di sana sampai membusuk dan menyatu dengan tanah. Paling tidak, Mizu bisa melakukan penguburan yang layak untuk menghormati jiwa anak itu yang telah berpulang.
Mengambil napas panjang, Mizu pun mengangkat tubuh anak itu ke dalam dekap. Tidak merasakan degup jantung saat menggendong seseorang membuatnya merinding. Suhu tubuh yang berada jauh di bawah juga sama sekali tidak membantu.
Seakan anak yang digendongnya masih hidup, Mizu berceletuk, "Bisa-bisanya kau mati di sini."
Sebelum Mizu sempat merutuki celetukan bodohnya, ada yang menjawab, "Aku nggak mati di sini."
Kehabisan kata-kata dalam keterkejutannya, Mizu bereaksi dengan menjatuhkan anak itu ke atas tanah.
"... aw?"
××
Anak perempuan yang ditemukan Mizu masih hidup. Mereka akhirnya menempuh perjalanan ke Hutan Nyth berdua. Mizu bersikeras menawarkan anak itu untuk dibopong sepanjang perjalanan sebagai permintaan maaf, yang akhirnya diterima setelah memaksa dua kali.
"Maaf. Aku pikir kau sudah mati," ucap Mizu. Ada sedikit keraguan dalam nadanya sebab dia tahu, jantung orang hidup seharusnya berdetak. Pelan sekalipun, mestinya tetap bisa dirasakan, apalagi saat Mizu sedang menggendongnya.
Kelihatan nyaman ketika dibopong oleh Mizu, anak perempuan itu menggeleng pelan. "Nggak apa. Aku memang sudah mati."
Hening sejenak. Mizu berusaha memproses balasan itu, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Sama sekali tidak masuk akal. "Nggak ngerti," ucapnya.
Si anak perempuan berpikir sejenak, lantas ia membenamkan wajahnya di atas pundak Mizu. "Masalahnya rumit."
Atas jawaban itu, Mizu hanya ber-oh ria. Perjalanan pun dilanjutkan dalam diam. Hanya bunyi gesekan sepatu dengan permukaan tanah kasar yang mengiringi.
Setengah jam berlalu, sesuai pergerakan matahari yang samar-samar bisa Mizu perhatikan dari dalam lautan kabut, tibalah mereka di penghujung perjalanan. Kabut menipis seiring langkah kaki menapak, pun bising para nyth pada sore menjelang malam itu penuh mengisi pendengaran.
"Kita sudah sampai." Perlahan Mizu membungkuk, lalu berakhir dalam posisi jongkok, membiarkan si anak kecil turun dari punggungnya.
Tidak ada balasan. Menoleh ke belakang, Mizu dapati anak itu telah menginjak tanah berselimutkan rumput nan hijau. Kulitnya tampak sedikit lebih berwarna setelah keluar dari kepungan kabut. Dia mendongak menatap langit sore, membiarkan rambut panjangnya melambai-lambai di udara, dimainkan oleh embusan angin.
Pepohonan di sekitar mereka mulai dikerumuni oleh para nyth yang penasaran. Mizu mengambil kesempatan itu untuk berdiri dan berujar, "Selamat datang di Hutan Nyth."
Si anak kecil tanpa nama berbalik. Tatapannya masih saja kosong; raut wajahnya tampak letih. Fisiknya terlihat sebaya dengan Elrit yang masih berumur sepuluh tahun, tetapi gelagatnya tidak demikian.
Seperti melihat ke dalam cermin, begitu pikir Mizu. Dan, dia tidak menyukainya. Maka dari itu, Mizu berbalik terus menelusuri jalan setapak di hutan. "Ayo, cepat."
"Ke mana lagi?" Si anak tanpa nama menyusul.
"Menemui arch-nyth yang mau memberimu Anugerah kalau kau setuju untuk tinggal di lembah."
Langkah anak perempuan itu tercekat sebentar. "Tinggal ... di lembah?"
Menangkap kebingungan yang dirasakan oleh anak perempuan di belakangnya, Mizu berhenti dan berbalik. "Iya ...? Orang-orang datang kemari mencari tempat aman untuk tinggal. Kalau bukan itu yang kau cari, buat apa kau datang ke Pegunungan Kabut?"
Si anak perempuan masih kelihatan bingung. Dia mengernyit, lalu tiba-tiba tersentak dan mulai memegangi samping kepalanya. "Aku—aku nggak tahu," akunya tampak kian kesulitan. "Ada sesuatu yang menyuruhku tinggal di sana ... sampai ada yang menemukanku."
"Oke ...." Tak tahu mesti membalas apa, Mizu mengalihkan pandangan sejenak. Dia seperti mencari-cari seseorang di antara kerumunan hewan magis yang asyik menyimak. Tidak menemukan sosok yang dicarinya, Mizu mengembuskan napas gusar baru bertanya, "Jadi, sekarang kau mau bagaimana?"
"Tinggal denganmu," jawab anak itu cepat.
"Hah?"
To be continued ....
Glossaries
• Arch-nyth : Pemimpin yang dimiliki tiap kelompok elemen; entitas yang lebih tinggi daripada nyth
• Humanyth : Manusia setengah nyth
• Nyth : Hewan magis dengan kekuatan elemen
• Tycal : Ras yang mendominasi dunia itu
• Yuima : Penjaga Pegunungan Kabut
××
Clou's corner:
Wah, apdet tengah malem lagi. Ga kehitung berapa kali aku hapus-ketik-hapus-ketik adegan² di chapter ini
04-05-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro