Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(4/8) Nona Kelinci Hitam dan Kakek Wendigo

'Bang! Bang! Bang!'

Terdengar suara pukulan keras yang membangunkan semua tamu yang sedang tidur pulas di menara lantai dua. Mereka terpaksa bangun dengan mata mengantuk setelah semalam suntuk berpesta karena Madam Gretel memaksa mereka semua untuk turun ke ruang pertemuan di rumah utama.

Dari jendela tampak langit masih gelap.

"Ada apa sih pagi buta begini?!" gerutu Caroline yang turun bersama teman-temannya yang lain.

"Dingin ...," gumam Nora.

Pertanyaan mereka semakin dalam setelah membuka pintu menara yang terhubung ke ruang pertemuan rumah kue yang sudah menyala terang.

Ada dua orang sedang duduk di lantai beralas karpet, membelakangi mereka dan menghadap Jack. Seorang gadis berambut pirang panjang lurus tampak hanya mengenakan pakaian dalam bersama seorang laki-laki berambut coklat muda yang hanya mengenakan celana pendek. Mereka berdua memeluk tubuh masing-masing karena kedinginan.

"Ethan? Bella?" Rolando muncul dari balik pintu menara pria diikuti tamu laki-laki yang lain, bersamaan dengan kemunculan para gadis.

"Ada apa ini?" tanya Jean, terkejut mendapati kekasih dan sahabatnya nyaris telanjang di subuh yang dingin.

Jack masih memakai tuksedo biru putih lengkap dan rapi ketika ia menjelaskan situasi yang terjadi.

"Kedua teman kalian melanggar peraturan pertama: 'Tidak boleh keluar dari menara setelah jam dua belas malam. Apalagi kalau keluar dari menara untuk melakukan hal tidak pantas yang sangat dibenci sang Penyihir.'"

"M-maksudnya?" tanya Jean terbata. Ia sepertinya sudah bisa menduga, tapi takut pada dugaannya sendiri.

Wajah rekan-rekan Jean juga tampak terpukul.

"Mereka berdua bertemu diam-diam dalam kegelapan di ruang pertemuan. Aku menemukan mereka saling bercumbu dan—"

"—Kami mengerti," potong Adam yang khawatir dengan adiknya jika Jack menjelaskan lebih lanjut.

"Ah, kalian sudah tahu tentang mereka? Aku paham kalian butuh waktu intim. Tapi peraturan tetaplah peraturan. Di pulau ini kalian harus menaati peraturan sekalipun kalian sepasang kekasih."

"Kekasih?" Jean meradang. "Aku kekasihnya?!"

Seolah tidak bisa membaca situasi atau tidak peduli dengan situasi, Jack membalas apa adanya.

"Aku pikir mereka berdualah yang kekasih. Bukankah mereka sering bermesraan di sana-sini. Aku mendapat laporan bahwa mereka juga berciuman di gubuk kebun Tuan Scarecrow meski ada satu temannya sedang bersama mereka di sana. Tapi aku membiarkannya karena tidak termasuk peraturan."

"Teman?"

Semua menoleh ke arah Rolando.

"Ah, sial!" gerutu Rolando. Ia memandang Ethan dan Bella dengan tatapan kesal.

"Apa-apaan ini? Jadi kamu juga tahu tentang perselingkuhan mereka?!" Jean menunjuk Rolando dengan murka.

Caroline berusaha menenangkan sahabatnya.

"Apa semua orang kecuali aku tahu tentang itu?" Tangis Jean pun pecah.

"Ehem, maaf." Tiba-tiba Jack memotong dengan suara jenakanya. "Hukumannya—"

"Hukum saja mereka!" jerit Jean. "Kalau perlu buang mereka berdua ke laut!"

"Tapi itu bukan hukuman—"

Jean segera membalikkan badan dan menaiki tangga dengan langkah berdebum.

Akhirnya para remaja itu membubarkan diri karena enggan melihat Ethan dan Bella yang sudah merusak suasana liburan. Mereka lantas meninggalkan keduanya yang masih berlutut menghadap Jack.

Jack menatap Ethan dan Bella sambil terkekeh.

"Nah. Kalian sudah siap menerima hukumannya, kan?"

***

Sekitar jam sepuluh pagi para peserta liburan sudah berkumpul di ruang pertemuan. Berkat kejadian di pagi buta, mereka berkumpul dalam suasana yang tidak nyaman.

"Kabarnya mereka di kurung di lantai tiga. Aku tidak bisa menuju ke sana karena jalan masuk ke lantai tiga digembok," ujar Adam pada adiknya sambil membawakan segelas coklat panas.

Mereka baru saja sarapan dengan hidangan yang mewah dan berlimpah, tapi Jean tidak menyentuh secuil roti pun. Sang kakak yang khawatir pada Jean pun meminta Madam Gretel untuk dibuatkan segelas coklat panas, minuman yang ia tahu akan sulit ditolak Jean.

"Sudahlah! Jangan menyebut mereka! Aku tidak peduli mereka akan dihukum seperti apa," gerutu Jean.

Jean memegang gelas coklat dengan malas. Meski pada akhirnya ia mau menyeruput sedikit demi sedikit minuman itu.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita lanjut berjalan-jalan keliling pulau? Sayang sekali waktu liburan diisi dengan kemurungan karena dua siala—maksudku, dua orang itu," lanjut Adam.

Jean terdiam sejenak. Ia hanya memutar-mutar gelasnya selama beberapa saat sebelum meneguk cairan manis di dalamnya dengan cepat dan menaruhnya dengan suara keras di atas meja.

Semua orang di ruangan menoleh.

"Ayo kita berjalan-jalan! Rumah ini membuatku sumpek!" seru Jean.

Ajakan Jean disambut gembira oleh teman-temannya yang khawatir jika Jean akan uring-uringan sepanjang hari.

Jean kembali memimpin jalan. Kali itu ia bergerak ke jalan setapak yang mengarah ke barat. Ujung dari jalan itu adalah sebuah rumah cantik berlantai satu dengan dinding merah muda. Lis rumah tersebut berwarna putih dan atapnya berwarna ungu, rumah yang persis seperti rumah boneka.

Ada tanda dari kayu bercat putih yang memanjang ke bawah di samping pintu masuk, bertuliskan:

'Buatlah boneka dengan sempurna atau ia akan menghantuimu.'

'Klining'—sebuah suara lonceng kecil menandakan pintu depan dibuka seseorang.

Dari dalam rumah, keluar seorang wanita tinggi, lebih tinggi sekitar sepuluh sentimeter dari Jack. Kontras dengan rumah yang bercat cerah dan terkesan manis, wanita itu justru memakai gaun hitam ketat yang menutupi seluruh tubuh. Seperti penduduk pulau lainnya, ia juga memakai topeng yang menutupi seluruh kepala. Topengnya berbentuk seperti kepala kucing hitam.

"Selamat datang wahai boneka-boneka yang manis, di Rumah Kerajinan Tangan-ku. Perkenalkan, aku adalah Nona Kucing Hitam." Suara Nona Kucing Hitam seperti suara seorang wanita dewasa yang elegan. Ia membuka lebar pintu rumah merah mudanya.

Sebuah ruangan besar dengan warna yang juga merah muda menyapa. Ruangan itu berukuran cukup luas untuk dipenuhi sembilan kursi-kursi malas berwarna putih yang berjejer di dindingnya. Lantai berkeramik ungu mudanya ditutupi karpet bulu senada. Terdapat lemari pajangan putih di sudut ruangan dan meja putih di sudut berseberangan.

Di dalam lemari terdapat beberapa hasil kerajinan seperti boneka, tas, permainan tradisional, dan berbagai macam rajutan. Sementara di atas meja sudah tergeletak berbagai peralatan kerajinan hingga kerajinan yang masih jauh dari kata selesai.

"Ini adalah ruang pekerja," ucap Nona Kucing Hitam. Ia menuju ke sebuah pintu melengkung di seberang pintu masuk dan melambaikan tangannya untuk memanggil para tamunya ke sana. "Kemarilah. Kita lakukan tur keliling rumahku."

Setelah melewati pintu melengkung, mereka tiba di koridor panjang bernuansa merah muda. Di kanan-kiri koridor terdapat banyak pintu berbagai warna dan di ujung koridor terdapat satu pintu hitam.

Nona Kucing Hitam membuka dan menunjukkan beberapa ruangan. Ada ruangan berisi mesin-mesin jahit, ruangan berisi beragam corak kain, ruangan berisi kayu-kayu yang dipotong dengan bermacam-macam ukuran, dan lain sebagainya. Di dalam setiap ruangan terdapat dua pintu di dinding kiri dan kanan, sepertinya saling terhubung dengan ruangan lainnya.

"Ruangan apa yang ada di sana?" tanya Ronaldo ketika Nona Kucing Hitam menyelesaikan tur mereka tanpa membuka pintu hitam di ujung koridor.

"Ohoho. Itu adalah kamar tidurku. Apakah kau ingin mengunjungi kamarku?" goda Nona Kucing Hitam.

Ronaldo menggeleng dengan cepat.

Nona Kucing Hitam kemudian mengajak para remaja kembali ke ruang pekerja di depan. Ia mengajarkan cara merangkai sebuah boneka kayu, menjahit pakaian untuk boneka, hingga mengecat dan menggambar wajah boneka.

Setelah peragaan singkat, Nona Kucing Hitam pun mendorong tamu-tamu mudanya untuk mencoba membuat boneka.

Jean dan teman-temannya tanpa ragu mencoba, tapi mereka dengan cepat menyerah. Kebanyakan menyerah ketika harus menjahit pakaian boneka. Hanya Jean, Nora, Summer, Adam, dan Dmitry yang berhasil menyelesaikan hingga akhir. Meski hasil lukisan wajah boneka mereka terkesan mengerikan.

"Wah. Berbeda dengan tampangmu yang mengerikan, kau ternyata cocok dengan boneka," cetus Rolando ke Dmitry.

Dmitry mendelik pada Rolando, tapi pandangannya teralihkan oleh Nona Kucing Hitam yang berdiri di antara dirinya dan remaja pria berambut pirang yang kata-katanya tidak diayak tersebut.

Nona Kucing Hitam membagikan kalung bertali hitam dengan bandul perak. Ia hanya membagikannya pada beberapa tamunya yang tidak menyerah dalam membuat kerajinan boneka kayu dan berhasil sampai akhir.

"Jangan lepaskan kalung itu selama kalian berada di pulau ini. Kalian akan mendapatkan bantuan darinya," ucap Nona Kucing Hitam. Kalimat yang mirip dengan kalimat Paman Scarecrow.

Jean dan rekannya lalu keluar dari rumah boneka Nona Kucing Hitam. Ternyata hari telah menjelang sore, bukti mereka sudah menghabiskan waktu cukup banyak di rumah Nona Kucing Hitam.

"Bagaimana kalau kita menyusuri hutan?" ajak Caroline.

"Ini sudah sore," sahut Rolando. Ia melirik ke hutan yang terasa semakin gelap. "Besok pagi sajalah."

"Tapi—"

"—Dia benar. Lebih baik kita mendatangi peternakan," timpal jean. Gadis tersebut berjalan lebih dulu ke jalan setapak yang mengarah ke utara menuju peternakan Kakek Wendigo di timur laut pulau.

Teman-temannya pun mengikuti Jean dari belakang.

Tidak butuh waktu lama untuk mencapai peternakan Kakek Wendigo, sebuah peternakan sederhana dengan pagar kayu mengelilingi tanah berlumpur. Terdapat sebuah bangunan kayu beratap tinggi di tengah peternakan yang catnya sudah terkelupas. Tampak dua ekor sapi gemuk, lima ekor domba kotor, dan tiga ekor kambing kurus menyebar di halaman peternakan.

Berbeda dengan suasana dua rumah penduduk pulau sebelumnya yang cantik dan cerah, peternakan tersebut terlihat muram.

"Berhati-hatilah pada taring yang disembunyikan."

Summer mengucapkan kata-kata yang tertulis di bagian atas gerbang masuk peternakan dari kayu. Gerbang persegi itu sama lusuhnya dengan bangunan dan pagar peternakan.

"Hah. Akhirnya peternakanku dikunjungi bocah-bocah serigala manja."

Terdengar suara kasar dari arah belakang rombongan Jean. Seolah sudah terbiasa dengan kemunculan tiba-tiba penduduk pulau, tidak ada dari mereka yang terkejut.

Muncul seorang pria berbadan tinggi yang sepertinya merupakan penduduk pulau paling tinggi yang pernah terlihat. Ia menggunakan topeng mengerikan berupa tengkorak rusa dengan tanduk mencuat tinggi ke atas. Baju yang dikenakannya adalah kemeja flanel kotak-kotak berwarna merah yang dipasangkan dengan celana jin. Tampaknya dia adalah seorang yang tua, dilihat dari kulit tangannya yang pucat dan berkeriput.

"Apakah ini peternakan Kakek Wendigo? Apakah Anda Kakek Wendigo?" tanya Summer dengan suara riang.

"Ya, Serigala Berisik," sahut Kakek Wendigo. Kemudian dirinya mengulurkan sepasang sepatu bot karet berwarna hitam ke arah Summer. Sepatu itu dapat menutupi hingga lutut pemakainya. "Pakai sepatu ini! Aku tidak mau kaki bersih kalian mengotori lumpur cantikku!"

Meski racauan Kakek Wendigo terdengar aneh, tapi tidak ada yang berkomentar karena nada suara Kakek Wendigo tidak ramah sama sekali. Ia terkesan seperti orang tua pemarah. Mereka menurut begitu saja dan langsung mengganti alas kaki dengan sepatu bot yang dibagikan si kakek bertopeng tengkorak rusa. Mereka juga dibagikan sarung tangan hitam.

Sebagian remaja tersebut mengernyit ketika harus menginjak lumpur kotor yang dalamnya hingga di atas mata kaki. Kening mereka berkerut lebih dalam lagi begitu mencium bau peternakan.

Awalnya mereka diajak memberi makan binatang-binatang di sana. Selain Rolando, mereka semua melakukannya dengan senang hati. Sampai akhirnya, Kakek Wendigo mengajak mereka mendatangi salah satu sapi, mengambil golok di dekat sana, lalu menggorok leher sapi tersebut.

"Kyaaa!"

Seluruh remaja kota yang tidak pernah melihat bagaimana bahan makanan mereka dipersiapkan pun berteriak kaget. Mereka terlonjak juga melompat ke belakang, berusaha menjauh dari cipratan darah sapi. Beberapa dari mereka berlari menjauh dan muntah.

Ketika Kakek Wendigo mulai menguliti dan memotong bagian-bagian sapi, kerumunan remaja tersebut berkurang drastis; hanya tertinggal Jean, Adam, Nora, dan Dmitry. Mereka berempat bahkan menurut ketika disuruh Kakek Wendigo mengambil gerobak besi lalu memindahkan daging-daging hasil potong si kakek ke dalam keranjang. Sementara rekan mereka yang lain duduk lemas tak berdaya di kursi kayu panjang dekat bangunan peternakan.

'Bang! Bang! Bang!'

'Bang! Bang! Bang!'

Tiba-tiba terdengar suara pukulan keras seperti pukulan di pagi buta ketika mereka dibangunkan oleh ulah Ethan dan Bella. Namun, kali itu suara pukulannya seperti menggema ke seantero pulau.

Jean dan teman-temannya saling melirik satu sama lain.

Ada apa? Apa ada yang berulah lagi?—Begitulah yang mereka pikirkan.

"Di mana Caroline?" tanya Jean yang baru menyadari satu rekannya tidak ada di sana.

Seolah temannya yang duduk jauh di dekat bangunan bisa mendengar suara Jean, mereka sontak bangkit berdiri.

Jean mengutuk dirinya sendiri yang tidak sadar jika salah satu sahabatnya tidak ikut ke peternakan. Ia lalu mengingat ajakan Caroline untuk pergi ke hutan. Apakah Caroline pergi sendiri ke hutan? Mengapa dia ngotot begitu, sih?!

"Kita kembali ke rumah!" lanjut Jean sambil melepas sarung tangan yang sedikit berlumur darah sapi.

"Tunggu, Bocah Serigala berisik!" seru Kakek Wendigo yang ikut melepas sarung tangannya. Ia menyodorkan pada keempat tamu pulau—yang membantunya memindahkan potongan-potongan tubuh sapi—empat kartu berlapis emas yang sangat kontras di peternakan. "Jangan dihilangkan atau kalian akan menyesal!"

Jean tidak lagi melihat kartu apa itu. Ia mengantonginya dan setengah berlari di tanah berlumpur, menyusul temannya yang lain yang sudah berada di gerbang peternakan.


***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro