Tujuh Belas
Mataku mengerjap beberapa kali, mencoba menangkap gambar dengan jelas dan baik di hadapanku. Kepalaku rasanya sakit sekali seperti mau pecah. Sudah berapa kali aku dipukul Ertha, Si Anak Brengsek itu?
Pukulan yang terakhir kalinya itu benar-benar menyakitkan. Aku tidak ingat dia memukul memakai apa. Yang jelas, sebelum itu, aku melihat sebuah pemandangan yang benar-benar tidak mengenakkan untuk di pandang. Aku masih belum bisa percaya, apa benar dia yang melakukan semua ini sendirian? Atau, bersama si psikopat itu?
Dan lagi, aku tidak berada di posisiku sebelumnya melainkan sudah berpindah ke dalam gudang kotor ini kembali. Aku tidak bisa berdiri, tanganku di tali dan diikatkan ke salah satu tiang gudang.
Apa ini sebuah jebakan?
Kalau memang seperti itu bagaimana?
Jangan-jangan, iming-iming yang Ertha lakukan selama ini hanyalah sebagian dari taktiknya agar orang itu dapat membunuhku dengan mudah?
Aku tidak mau seperti ini. Seharusnya aku terus mengikuti keinginan hati nuraniku untuk tidak menerima tamu asing, siapa pun itu. Padahal aku cuma ingin, hidup tanpa kesepian. Tapi malah begini jadinya. Hancur lah hidupku. Aku akan segera menemui kedua orang tuaku.
Lagi pula, apa, sih, yang berharga dari diriku ini bagi orang itu. Aku hanyalah gadis biasa yang tidak bisa berbuat lebih tanpa orang lain. Tidak bisa mencari uang sendiri, kerjanya hanya bermalas-malasan dan meminta uang dari sanak saudara. Aku tidak berprestasi, tidak juga kuat untuk dijadikan seorang body guard.
Apa maunya orang itu?
Dan kenapa harus Ertha yang melakukannya?
Air mataku bergulir deras menyesali hal bodoh yang sudah aku lakukan tanpa berpikir panjang soal risiko yang akan kuterima nantinya. Andai saja aku sudah berpikir seperti itu sejak dulu, pasti, aku masih bisa tersenyum lebar sampai detik ini.
"Ayah ... Ibu ...," gumamku dalam hati. "Tiffany ...."
Seberkas cahaya menyelinap masuk dari pintu gudang. Air mataku berhenti mengalir, kukira datang seorang malaikat akan membantuku untuk kabur. Tapi, malaikat yang baik itu sudah terganti dengan malaikat jahat yang sudah beberapa hari ini menemaniku. Ertha.
"Ertha! Apa maksudmu ini?!" aku mencoba berteriak demikian, tetapi suaraku tidak bisa keluar karena mulutku ditutup kain tebal.
Ertha tersenyum lembut. "Sebentar saja, kok. Ini tidak akan menyakitkan. Ini cuma bagian kejutan yang sudah aku persiapkan. Kita akan bersenang-senang setelah ini bersama satu orang lain."
"Satu orang lain?" pikirku dalam hati.
"Ah, kasihan. Seperti seorang bayi yang tak terurus," ucapnya dengan nada yang benar-benar tidak aku sukai. "Biar kubantu."
Ertha melangkah maju mendekatiku lalu melepaskan kain yang ada di mulutku. "Sudah, kau boleh mengeluh sekarang," sambung Ertha.
Aku menghela napas panjang lalu menghirupnya kembali. "Aku tidak mengerti, Ertha."
Dia tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya itu menyebar ke seluruh sudut gudang menimbulkan beberapa kali pantulan gema. Dia tersenyum lagi. "Kita akan bersenang-senang, Kak Feli. Bersama satu orang lainnya," jawabnya.
"Si-siapa dia?" tanyaku.
"Dia itu mengenalmu."
Dan baru kusadari, Ertha menyembunyikan sesuatu di balik badannya.
"Mengenal ... ku?"
"Ya," Ertha mengiyakan seraya mengangguk yakin.
Beberapa detik tidak ada pembicaraan lagi. Ertha hanya menatapku dengan tatapan kosong yang benar-benar menyeramkan. Semilir angin malam yang mengerikan menambah kesan tersendiri di sini.
"Ini," Ertha mengeluarkan benda yang ia maksud dari balik tubuhnya. Sebuah garpu yang masih mengkilap.
"Garpu?"
Dia berjongkok dan berusaha mendekat padaku. Aku terus saja mencoba menghindari tatapannya. Tatapannya itu membuatku bergidik kengerian.
"Tenanglah, ini menyenangkan, sedikit menyakitkan, sih. Ahaha, tidak apa-apa."
"Apa maksudmu?" tanyaku dengan rasa takut menyelimuti seluruh lubuk hatiku. "Aku akan menjerit kalau kau melakukan hal semena-mena terhadapku, bocah!"
"Oh," sahutnya. "Baguslah kalau kau memang ...," ia terhenti sejenak. "Akan berbuat seperti itu. Tetapi, KAU TIDAK AKAN BISA, FELI!"
"Ertha!" aku menjerit kesakitan ketika ia menancapkan garpu tersebut ke paha kiriku. Rasanya benar-benar menyakitkan. Air mataku kembali mengalir lebih deras daripada sebelumnya. Aku hanya bisa meringis kesakitan seraya terus melihat darahku sendiri.
"Kan?"
"Ka ... kamu ... a ... kan menanggung semua ini," kataku lemah.
"Oh, tentu saja." Ertha tersenyum lebar lalu tertawa jahat. Sepertinya dia senang melihatku menderita seperti ini. Dia, punya sifat psikopat juga. Rasakan lah ekspresi saat dia melakukan itu, dia tidak merasa bersalah sedikit pun, malah ia, terlihat bangga melakukannya.
"Ini baru pembukaan. Apa lagi nanti kalau sudah bertemu satu orang lainnya. Ini pasti akan menyenangkan!"
Aku hanya bisa diam dan terus merasakan kesakitan yang amat mendalam menatapi garpu itu menancap di pahaku. Sebentar lagi, aku akan kekurangan darah.
Ertha melepaskan tali yang terikat pada tiang penyangga gudang ini, lalu memaksaku untuk berdiri dan berjalan sesuai arahannya. Tidak ada harapan lagi setelah ini, aku tidak mampu berteriak atau bahkan kabur, kaki kiriku tidak bisa digerakan dengan semestinya. Aku tergopoh-gopoh ketika menaiki tangga, lalu terpeleset dan mencoba bangkit kembali.
Dan setelah sampai di tempat yang Ertha maksud.
Aku....
Melihat seseorang sedang duduk manis sambil tertunduk lemas.
Dia....
***
Yo :V
Terima kasih buanyak buat yang masih baca, yang ngevote maupun yang tidak. Yang udah relain waktu dan kuotanya untuk mengikuti cerita ini. Saya sedih, bentar lagi mau.... TAMAT oh tidaaaak :"V
Pokoknya, saya berterima kasih sekali buat pembaca sekalian. Ikuti terus, ya! \(^o^)/
Kalau ada saran, atau kritikan sila berkomentar.
Salam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro