Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Belas

Mataku mengerjap beberapa kali. Cahaya yang begitu terang menyilaukan pengelihatanku. Aku bisa melihat langit-langit yang begitu asing bagiku, aroma ruangan yang tidak aku kenali, suasana dan tekstur kasur yang berbeda.

Aku melirik ke sana ke mari. Tidak ada satu orang pun di dekatku. Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, tanganku tersambung dengan sebuah selang yang memanjang entah ke mana.

Pintu yang berdiri tegap di depan pandanganku terbuka perlahan, lalu muncullah seorang perempuan seusiaku, berkulit putih, berambut panjang menatapku haru lalu segera berlari ke arahku. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi, perempuan itu tiba-tiba saja memelukku erat-erat.

Dia menyeka air matanya. "Lo baik-baik aja, kan, Fel?" tanya sepupuku itu.

Aku mengangguk ragu karena aku tahu, kepalaku masih sakit. "Apa ... yang telah terjadi denganku?"

"Ceritanya panjang, tapi gue seneng lo udah sadar. Apa lo tahu, lo sudah pingsan selama tujuh jam lebih?!" serunya bersemangat.

Aku hanya menatap sepupuku itu heran. "Aku ... tidak mengerti."

Tiffany mengernyit. "Gue juga kagak ngerti banget, sih," katanya, sedih.

Aku tersenyum simpul. "Ceritain aja apa yang lo tahu," ucapku menggunakan bahasa panggilan yang tidak baku, setidaknya supaya enak didengar Tiffany.

"Yah, lo tahu, kalo nggak salah kemarin malem gue telepon lo buat janjian di cafe deket halte buat ngasih lo uang bulanan. Tadi siang gue udah nungguin lo sejam di cafe tapi lo nggak dateng-dateng juga ...," ujarnya.

Tadi siang? Aku melirik ke arah jam dinding yang menggantung di atas pintu. Sudah jam setengah delapan malam.

Sepupuku itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. "Gue jadi penasaran apa yang lo lakuin di rumah sampe-sampe lo lupa janjian gue sama lo. Gua dateng ke rumah lo, berkali-kali gua panggil lo tapi nggak ada jawaban dari dalem rumah ...,"

Bekali-kali? Apa saat aku tertidur di dalam gudang? Kenapa Si Ertha tidak membangunkanku?

"Akhirnya gue nyerah dan balik lagi ke cafe buat nungguin lo, saat itu gue pikir mungkin lo lagi pergi ke pasar. Gue lirik jam tangan gua, eh, udah jam setengah dua belas. Gue cabut lagi ke rumah lo, gua panggil-panggil nama lo lagi, akhirnya lo ...,"

"Gue kenapa?" tanyaku penasaran.

"Bukan sahutan yang gua dapet dari lo, lo malah ngagetin gue," sambungnya.

Aku tertawa pelan. "Emang sebenernya ada apa, sih, sama gue? Sampe gue di rumah sakit gini?"

"Keknya lo emang bener-bener lupa."

"Ember," sahutku singkat.

"Singkatnya, bunyi sesuatu jatuh dari dalem rumah lo, karena gue khawatir banget, gue langsung terobos masuk rumah lo. Dan, gue bener-bener terkejut, lo jatuh dari tangga, pake pingsan lagi ...," ucap Tiffany akhirnya sambil cekikikan.

Aku ikut tertawa.

"Gue nggak ngerti, sih, kok lo sampe bisa jatuh dari tangga, ceroboh banget," ejek Tiffany. "Dan satu hal yang gue nggak ngerti banget."

"Apa?"

"Di ujung tangga atas, ada anak kecil, mungkin umuran sepuluh sampe sebelas tahun ngelirik gue, serem banget, pake ketawa lagi. Emang itu siapa, ya, Fel?" tanya sepupuku.

Spontan aku langsung teringat apa yang telah terjadi padaku berjam-jam yang lalu. Anak kecil brengsek itu mendorongku sampai tersungkur di bawah.

"Itu Ertha," jawabku singkat dengan nada dingin.

"Ah, masa bodo siapa dia, yang gue mau tahu lagi, saat gue mencoba nolongin lo, di kepala lo ada perban. Emangnya ... lo kenapa?" tanyanya lagi.

"Dia memukulku," kataku, dingin. "Sampai kepalaku bocor."

Mata Tiffany membelalak besar. "Apa?! Emang si Ertha itu siapanya lo? Jangan bilang, dia itu tamu yang lo ceritain saat gue telepon lo, ya?"

Aku mengangguk lemah.

Tiffany hanya membalas jawabanku dengan gelengan tak percaya. Ia menghela napas panjang. "Gue nggak nyangka kalo gue bakal punya sepupu seceroboh ini," ejeknya lagi. Dia berjalan mendekati pintu yang tadi menjadi jalan masuknya ke sini. "Gue harus tanya dokter lagi soal keadaan lo. Gue bakal balik lagi ke sini sekitar sepuluh menit, jangan berlaku yang aneh-aneh, gue nggak mau lo kenapa-napa," ucap Tiffany akhirnya. Tubuhnya menghilang di balik pintu.

Aku masih belum betul mengerti apa yang terjadi. Aku ingat kalau Ertha yang mendorongku saat aku hendak menghampiri sepupuku. Tapi yang aku tidak mengerti, kenapa dia melakukan itu padaku? Apakah itu termasuk salah satu cara agar aku tidak diincar si piskopat?

Apa itu hanya akal-akalannya agar ia bisa menguasai rumahku? Seharusnya aku memang harus langsung membunuhnya saat ia membangunkanku.

***

Tiffany kembali lagi ke ruangan yang saat ini aku tinggali bersama satu orang laki-laki mengenakan pakaian dokter.

Dokter itu menyapaku. "Selamat malam, Feli."

"Malam," sahutku pelan.

"Apa kepalamu terasa sakit ?" tanya dokter itu.

"Sakit, tapi tidak begitu parah, kok."

Dokter itu mengangguk lalu menulis sesuatu di clipboardnya. "Setelah saya periksa saat kamu pingsan tadi siang, di kepalamu ada dua luka, yang pertama cukup parah, dan kurasa, seperti cerita temanmu itu, luka tersebut sudah ada sebelum kau pingsan. Benar begitu, kah?"

"Ya. Luka yang sampai mengeluarkan banyak darah itu tercipta kemarin malam, mungkin lebih tepatnya tengah malam," kataku.

Dokter itu mengernyit, dalam, sampai begitu terlihat cekungan di dahinya. "Saya juga terkejut, di kepalamu ada kanker yang sudah mengendap bertahun-tahun, dan luka itu memperburuk kondisi kankermu. Mungkin setelah kau sembuh total soal pingsan ini, kau bisa ikut terapi agar kankermu tidak menjadi ganas kembali," ujar dokter itu.

Aku memandangi sepupuku yang duduk lemas di atas ranjangku dengan mata berkaca-kaca. Dia melirikku lalu tersenyum lemas.

"Tapi, biaya kemo terapi itu sangat mahal, bagaimana aku bisa membayarnya? Aku ini yatim-piatu."

Dokter semakin bermuka sedih. "Begitu kah?" lalu ia beranjak pergi begitu saja.

Tiffany menatapku lemas. "Gue ... tidak bisa berbuat lebih juga. Gue baru tahu kalo lo mengidap kanker otak. Papi Mami gue juga nggak pernah cerita."

Aku tersenyum lebar. "Nggak masalah. Gue ... udah berterima kasih banget ke lo karena lo udah mau nganterin gue ke rumah sakit. Mungkin, kalo lo nggak dateng saat itu, gue udah ... Entah lah seperti apa nasib gue. Gue berterima kasih banget."

Dia tersenyum senang.

"Terima kasih, sepupuku, Tiffany."

***

Halo!

Cie yang masih pantengin sampe sini :D Terima kasih banyak juga buat yang sudah baca. Tetep stay tune ya!

Vote dan komentar dibutuhkan untuk kelanjutan cerita.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro