Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga

Matanya membelalak besar. Sekali lagi dia melakukan hal itu lagi, pasti, matanya akan loncat ke luar. Anak kecil bisa-bisanya buat cerita horor begitu. Mungkin saja itu hanya cerita simpang siur yang keluar dari satu mulut ke mulut lainnya, kan?

"Kamu ini. Masih kecil percaya yang begitu. Dapat dari mana?" tanyaku, mencoba menghibur diriku sendiri agar tidak bergidik ketakutan. Jujur, aku takut.

"Aku bilang jangan acuhkan omonganku barusan. Feli nggak tahu apa yang kumaksud. Jadi jangan keluarin argumen sebelum aku menerangkannya," katanya. Lalu mulai menciduk lagi makanannya dengan semangat. 

"Hei!  Aku lebih tua dari kamu. Panggil aku Kak Feli. Seperti kau pertama memanggilku tadi!" pintaku keras, semua urat di leherku keluar mencoba menahan sesuatu yang akan lompat dari sana.

"Hah? Apa? Kakak? Yang benar saja. Siapa bilang aku harus memanggil yang lebih tua kakak? Bukankah tidak ada hukum yang menyebutkan kalau yang tua harus di panggil kakak?" 

Ternyata pintar juga anak kecil ini. Oke, aku kalah. Aku menghela napas kuat. "Cepat terangkan!" suruhku sambil mengunyah jamur kancing yang kemarin aku dapat dari tukang sayur yang paling fantastis. karena dia memberiku gratis.

"Sudah kubilang. Kalau sampoan jangan menunduk karena sesuatu mengawasi dari atas kepala," katanya serius. Aku menelan ludah sebanyak yang kubisa, bersama jamur kancing. "Yang kubicarakan  sekarang bukan hantu atau makhluk halus lainnya," sambungnya dengan tatapan menyeramkan.

"Lalu?" ucapku, entah mengapa semangat. Ceritanya menarikku untuk terus menyimaknya.

"Yang mengawasi itu seseorang. Seseorang yang bisa saja menyerangmu kapan saja. Dengan senyum kejinya dia akan menghiburmu. Menghiburmu dengan sebuah permainan yang tidak akan pernah kau bayangkan sebelumnya."

"Apa orang itu ada di dekat kita sekarang?" tanyaku dengan nada lemas. Sepertinya aku harus mengecek ke bawah meja makan, aku takut kalau sesuatu, bukan, seseorang memenggal kakiku.

"Iya," jawabnya singkat, lalu menenggak air putihnya.

Aku terjengkal kaget. "Apa?! Apa orang itu sedang mengawasi kita untuk melakukan permainannya?" tanyaku sekali lagi. Kalau orang itu keluar aku akan langsung pergi ke kota sebelah untuk tinggal bersama nenek atau pun menelepon sepupuku.

Anak kecil itu mengangguk pelan sambil tersenyum simpul. "Orang itu sekarang ada di dekat kita. Dia melakukan jurusnya dengan tepat. Kita tidak dapat mengelaknya sedikit pun, sekali pun kau berlindung di bawah Tembok Cina Raksasa, pasti dia akan menemukanmu."

Aku menelan ludah lagi, kali ini lebih banyak jumlahnya. "Ya, ya,ya. Aku percaya. Yang belum kumengerti, permainan semacam apa yang dia lakukan?"

Anak kecil itu memandangku tajam lalu tersenyum sinis. "Dia bermain dengan pisau. Dia seorang psikopat," jawabnya.

Jantungku berdegup lebih cepat. Sekarang aku takut malam hari datang sebentar lagi. Aku tidak bisa tidur, yakin. Lutut dan jemariku bergetar kuat. Tak bisa mengatakan apa-apa tentang 'orang itu'. Lebih buruk dari hantu. Garis bawahi psikopatnya. Psikopat seorang pembunuh. Sekarang aku takut malam dan mati.

Anak kecil itu terlihat biasa saja setelah mengatakan pernyataan barusan, yang berhasil membuat keberanianku runtuh menjadi kepingan kecil, lebih kecil dari mikroba yang berkumpul di air tenang. Dia terlihat senang-senang saja. Apa ini alasannya dia tinggal ke sini, mencoba menjauh dari orang itu? 

Aku hanya bisa memandangi wajahku dari pantulan air sup. Bersiap-siap kalau ada dua muka di dalamnya. Aku kehilangan nafsu makanku dalam sekejap. Semua argumen yang menggambarkan tentang psikopat mengambang di otakku. Memenuhi setiap sel di otakku. Semua yang kupandang terlihat merah. Penuh dengan bercak-bercak darah, walau itu hanya sebuah gambaran, tapi aku takut.

"Hei, hei," panggilku pelan. Dia langsung menengokku dengan cepat dengan pipinya yang penuh makanan. "Namamu, siapa?" tanyaku, tersenyum lembut ke arah nya.

Anak itu menelannya. Lalu menggeleng. "Cukup panggil aku Ertha. Nggak usah pakai kata adik, terlalu manis untuk orang tidak jelas sepertiku," jawabnya dengan kelopak mata menutup dua per tiga matanya.

"Oh, nama yang bagus," kataku. "Aku rasa, perutku sudah menutup pabrik gilingannya. Aku sudah kenyang. Kau, Ertha?" sambungku.

Dia mengangguk pelan. Tangan lembutnya mendorong mangkuk bekas hidangannya ke depanku. "Aku lihat, ada televisi di rumah ini. Di ruang tengah. Boleh aku menontonnya?"

Aku mengangguk sambil beranjak dari duduk. Tiba-tiba kakiku terhenti ketika anak itu berjalan tiga, empat langkah menjauh dariku. Aku meliriknya sejenak lalu mulai membuka mulut, "Tunggu sebentar. Kamu mau menemaniku mencuci piring dulu? Aku takut psikopat itu memata-mataiku saat mencuci piring. Lalu dengan secepat kilat menyodongkan pisaunya. Ya, Ertha?" pintaku dengan nada lembut, semoga dia mau.

Dia menghela napas. "Nggak. Psikopat itu nggak akan menyerangmu saat mencuci piring. Lagi pun, dia memulai permainnya tengah malam." Begitu perkataanya selesai, ia langsung berjalan dan hilang ditelan kegelapan lorong.

Aku mulai melangkahkan kakiku kembali. Aku masih bisa percaya dengan perkataanya barusan, karena dia sendiri yang bercerita tentang 'orang itu'. Pasti dia yang lebih mengetahuinya.

***

Suara khas piring yang membentur piring keramik lainnya menggema ke seluruh ruangan dapur. Aku memainkan spons yang penuh busa dengan rasa was-was menyelimuti tanganku, tidak, bahkan seluruh tubuhku. 

Sesaat pandanganku tertuju pada sebuah pisau yang berdiri dengan alat-alat dapur lainnya. Aku takut, kalau tiba-tiba pisau itu melayang lalu menggorok leherku, atau mencabik isi perutku. Seketika dengan bersamaan tanganku membilas semua piring dengan cepat.

Setelah semuanya selesai, otakku langsung memprogram kakiku untuk lari ke tempat Ertha berada, suara decitan kayu terdengar seiring langkah kakiku. Sedikit demi sedikit telingaku menangkap suara yang keluar dari speaker televisi. Aku yakin, suara itu keluar dari sebuah film bergenre fantasi bercampur horor, pasti. Aku sangat mengenalnya.

Benar apa yang kusangka. Mata Ertha serius memandang layar televisi dengan gambar-gambar yang sedang bergerak melakukan sebuah adegan, adegan yang tidak dapat kumengerti.

"Hei!" seruku. Dia langsung menengokku. "Tidak seharusnya kamu menonton film yang seperti itu. Kamu masih anak-anak. Adegan di film itu dapat mempengaruhi otak kekanak-kanakanmu itu!"

Ertha tersenyum licik sambil sesaat tertawa keji. "Kenapa? Justru otakmu yang kekanak-kanakan."

Kekanak-kanakan? Otakku? Beraninya anak ini!

***

Yah...Kali ini nggak bisa panjang lagi karena lagi males #jujur #bhak

Terima kasih telah berkenan membacanya. Jangan lupa vote, komen, saran dan kritik saya tunggu.

:D Terima kasih...See you next part!

Stay tune...




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro