Sembilan
"Menggelikan. Orang yang sudah dewasa sepertimu pun masih bisa menangis?" Ertha tertawa terbahak-bahak sampai ia memegangi bagian perutnya. Aku yakin, kalau ia masih tertawa seperti itu, lambungnya akan jebol esok hari.
Aku menyeka air mataku yang keluar begitu saja tanpa perintah dariku.
"Hey, kau lupa akan mayat yang ada di kamarmu itu?" tanya anak itu tanpa pikir panjang.
Aku menggeleng ragu. "Tentu saja tidak," jawabku dengan nada naik satu oktav.
Beberapa saat Ertha tidak merespon perkataanku. Mataku hanya memperhatikan tangannya yang meremas-remas baju yang terkena darah di bagian bawah dekat lutut kecilnya.
Ia menghirup napas dalam-dalam, prediksiku, dia akan berkata banyak setelah ia selesai melakukan itu.
Prediksiku memang selalu tepat. Ertha menghela napas panjang lalu memasang senyum menyeringai di wajah putihnya. "Kau dengar apa yang 'wanita itu' katakan sebelum ia mati dibunuh?"
Aku berpikir sejenak. "Bagaimana aku mau mengingat apa yang dia bilang, aku terlalu takut! Aku bisa gila kalau sekali lagi aku mendengar jeritan mayat itu lagi," gertakku dengan suara yang benar-benar keras -menurutku. Mungkin beberapa menit lagi tetangga akan menghampiri rumahku jika mereka mendengar ucapan kerasku barusan.
Lagi-lagi Ertha tertawa. "Haha. Biar aku beri tahu," katanya sambil melangkah menuju gudang rumahku. Dia berbalik menatapku ketika ia berhasil meraih tuas gudang tua itu. "Di dalam sini kau bisa menemukan jawabannya. Gudang ini saksi pilu mayat di kamar Feli itu," ucap Ertha, akhirnya.
Aku menelan beberapa cc air ludah untuk mengepel kerongkongan keringku. "Tunggu! Jangan buka pintunya dulu!"seruku sambil menahan tangan kanan Ertha yang hendak beraksi.
"Hm?"
"Aku punya banyak pertanyaan untukmu, Ertha."
"Apa itu?"
Angin berhembus kencang sedetik sebelum aku membuka mulutku untuk memulai pertanyaan. Rasanya benar-benar seperti di film-film horor. Ertha menatapku jengkel karena aku tidak memulai pertanyaan untuknya.
"Pertama, kenapa kau bisa tau kalau orang yang tukang bunuh itu akan datang ke rumahku dan mengincarku? Tapi tunggu dulu, kenapa 'ia' tak langsung membunuhku saja? Kenapa harus orang lain dulu?" tanyaku berbelit-belit, dengan cepat. Aku jago dalam berbicara cepat, kurasa Ertha akan kebingungan lalu memintaku untuk mengulangi pertanyaan tadi.
"Tentu saja aku tahu, karena ia adalah bagian dari hidupku. Ia membunuh orang lain karena wanita yang ia bunuh tadi adalah kunci dari dirimu, Feli. Dan, kenapa harus orang lain dulu, itu agar kau mengerti dengan permainannya," jawab Ertha panjang kali lebar sama dengan luas. Prediksiku kali ini melenceng, ia menangkap semua pertanyaanku dan menjawabnya dengan jelas.
"Maksudmu bagian dari hidupmu itu apa?" tanyaku sekali lagi dan bukan untuk terakhir kalinya.
Dia memutar bola matanya 360 derajat. "Dasar orang dewasa tidak tau bahasa majas."
Aku merasakan wajah dan telingaku memanas mendengar ocehan yang mengandung sindiran barusan itu. "Apa maksudmu?!"
Dia memasang wajah geram lalu menepis tanganku yang menggengam erat tangannya sedari tadi. "Kubilang, kau bodoh! Mengerti?"
Aku mundur beberapa langkah untuk menghindari sesuatu apa pun yang akan terjadi pada Ertha, dia terlihat marah. "Dan yang kau maksud 'agar mengerti dengan permainannya' itu apa?" tanyaku lagi, mungkin untuk terakhir kalinya, kurasa. "Maksudmu mungkin, permainan menampar pipi itu? Yang 'orang itu' lakukan pada mayat itu tadi?" lanjutku.
"Bukan!"
Aku mundur satu langkah lagi. "Lalu, mayat itu adalah kunci dari diriku, maksudnya?"
Ertha terkekeh hebat lagi, dia tertawa sampai mengeluarkan air mata. Aku hanya memandangnya heran, seperti sedang melihat orang gila di depanku.
"Biar kuberi tahu jawabannya, kau pasti tercengang, Feli," tangan Ertha kembali meraih tuas pintu gudang itu, ia membukanya perlahan-lahan. Suara pintu itu mengerik hebat gendang telingaku, rasanya mau pecah.
"Kau lihat?"
Aku tidak tahu harus bilang apa setelah ini. Dengan cahaya bulan yang remang-remang menerangi ruangan kotak itu, lensa mataku bisa melihat beberapa perkakas kebun milik ayah berserakan. Kantung-kantung goni berceceran di sana-sini, dan yang aku tidak mau lihat.
Itu.
Garpu dan gunting taman yang berlumuran darah, bercak-bercak darah menempel di lantai gudang. Siapa yang melakukan ini?
***
Masih aja pendek T-T
Saya nggak bisa nulis panjang-panjang karena memang malas ngetik. Kalau nulis pakai tangan masih rajin.
Terima kasih telah berkenan membaca.
Vote dan komentar dibutuhkan untuk kelanjutan part selanjutnya :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro