Lima Belas
Ertha meringis lebar sambil melangkah maju mendekati aku yang sedang berdiri di ambang pintu. Aku hanya bisa diam mematung saat kulihat dia membawa sebilah pisau penuh dengan darah, lalu bajunya yang terkena darah baru lagi. Dia belum mandi? Eh, buat apa aku memikirkan itu?!
Aku tak sampai habis pikir kalau dia melakukan hal aneh seperti, membunuh? Bukan, bukannya aku berargumen kalau dia sang psikopat, tapi, apa yang dia lakukan, sih? Membuat kepalaku tambah sakit saja.
"Hei, apa yang kau lakukan dengan pisau itu?" tanyaku santai sambil menunjuk-nunjuk benda yang aku maksud.
Dia terhenti lalu tertawa sejenak. "Sebelumnya maafkan aku ...," ucapnya lirih.
"Maaf karena?"
Dia mengernyit "Kalau orang belum selesai berbicara jangan potong omongan," katanya. "Aku cuman ingin mencoba memasak sesuatu untukmu. Harusnya aku berterima kasih, makanya aku melakukan ini," sambungnya.
Dia masih tertunduk lemas di depanku sambil bergumam menyesal. Hah? Apa, sih, yang dia pikirkan jauh-jauh sebelum ini? Aku tidak mengerti.
Ertha tersenyum kecut. "Pokoknya maafkan aku. Aku tanpa izin memotong asal-asalan ayam milikmu yang kau letakkan di kulkas. Karena aku ingin membalas kebaikanmu, makanya aku ingin menyiapkan makanan setelah kau pulang dari rumah sakit," jelasnya panjang lebar. "Aku tidak yakin masakanku enak atau tidak."
Aku tersenyum simpul lalu mengelus ubun-ubunnya dan beranjak masuk. Seorang anak kecil yang masih begitu polos memang tidak bisa ditebak isi otaknya. Masih ingat? Aku dipukul sampai pingsan, didorong sampai pingsan lagi dan sekarang apa? Dia mencoba membantuku untuk sembuh.
Aku hanya bisa menganga lebar ketika melihat deretan makanan lezat berjejer di meja makan. Aromanya begitu menusuk ke hidung. "Wah, rasanya seperti di restoran. Lumayan, bisa makan enak gratis," pikirku dalam hati.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung melangkahkan kaki dan menghempaskan bokongku ke bangku yang sudah tersedia. Ertha sibuk meracik teh di meja yang lain. Rasanya nggak enak juga makan larut malam begini, tapi apa boleh dikata, aku juga lapar.
"Ertha, dari mana kau belajar semua masakan ini?" tanyaku sambil terus mengunyah. Masakan Ertha benar-benar lezat -bagiku.
Dia tertawa renyah. "Pengalaman."
Pengalaman katanya? Anak sekecil Ertha punya pengalaman memasak jauh lebih baik dariku? Itu tidak mungkin, kan?
Beberapa saat setelah Ertha menjawab, suara dering telepon menggema ke seluruh penjuru rumah. Aku dengan tunggang langgang berlari ke arah telepon itu berada.
"Halo?"
"Oyoyo, Feli!" sahut orang itu dengan cepat dan keras, membuatku rasanya jantungan.
"Apa?" tanyaku. Aku tahu itu siapa. Sepupuku.
"Gue punya ide bagus. Mau denger?"katanya bersemangat.
"Hm ...,"gumamku. Mengkode kalau aku menjawab 'iya'.
"Jadi gini, gue nemu kostan murah, bagus, gede lagi. Malem ini gue nggak pulang ke rumah karena, ya, lo tau lah. Intinya, lo mau nggak, nge-kost bareng gue? Nti kita berangkat sekolah bareng, makan bareng, ah, pokoknya bareng-bareng. Mau?" ucapya panjang lebar.
"Ha?"
"Ck, jadi kita tinggal bareng-bareng. Gue pikir, kan, lo kesepian di rumah sendirian terus tiap hari." ujar Tiffany.
"Gue nggak setuju! Sebaiknya lo pulang dulu ke rumah lo daripada orang tua lo nti nyariin malah jadi tambah masalah, kan? Dah, ah, gua ngantuk. Oh, Makasih juga, ya, uangnya."
Tiffany menghela napas. "Oke, deh." Dia menutup teleponnya.
Aku kembali melangkah menyusuri lorong menuju ke dapur untuk kembali menyantap hidanganku. Aku begitu senang hari ini, walau masih ada sedikit ganjalan di hati yang membuatku tidak enak.
Aku melewati kamar yang ditempati oleh Ertha, melirik sebentar lalu pergi begitu saja. Aku barusan melihat hal yang janggal. "Apa?" gumamku. Aku melangkah mundur untuk melihat apa yang ada di dalam kamar tersebut.
Sebuah koper besar berdiri tegap di samping lemari berdebu. Aku menatapnya sejenak. Karena penasaran apa isinya, aku mendekati koper itu perlahan supaya tidak ketahuan oleh sang pemilik.
Lagakku seperti orang mau maling, lirik sana lirik sini. Perlahan tapi pasti, aku membuka koper itu dan....
Kau tidak pernah akan menyangka apa yang dibawa anak itu.
Percayalah, dia bukan anak kecil biasa.
***
Hai, yang masih setia :D
Walaha, saya akhirnya update. Agak gaje, ya, part kali ini? Alurnya kecepetan kan? Maaf T-T.
Oh, jangan lupa kasih vote lagi ehehe. Terima kasih. Salam!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro