Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima

Cerita ini hanya fiksi belaka. Tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Dilarang keras mengcopy sebagian atau seluruh cerita tanpa seizin penulis. Semua adegan di dalam cerita harus disikapi dengan bijak. Selamat membaca :D

***

Ertha. Dia telah membuat jantungku turun sejajar dengan ginjal kananku. Beberapa kali, di saat aku memikirkan 'hal itu' lagi, lututku akan bergetar hebat. Aku tidak bisa berkedip, walaupun satu sekon saja, itu tidak bisa. Mataku, aku rasa, tidak akan pernah menutup sedikit pun. 

Aku tak bisa berkata apa-apa setelah dia selesai bicara di lorong menuju dapur. Saat mengambil kue siffon di kulkas saja aku sampai berpikir panjang dulu untuk membukanya. Bisa saja, tempat persembunyian yang tidak pernah disangka itu adalah kulkas. Atau bahkan, kue siffon. Aku nggak tahu bagaimana rasa kue siffon lemon yang sudah bermalam di kotak dingin itu, kurasa, lemonnya sudah menguap, jadi hambar. Aku nggak tahu air teh di depanku sekarang panas atau tidak, manis atau pahit, enak atau nggak. Tapi hatiku yakin, pasti keduanya enak, lihat saja, anak menjengkelkan itu dengan lahap menyantap mereka tanpa berkomentar.

Sekarang aku butuh, seseorang -selain Ertha- yang bisa menenangkanku. Atau sekadar menemaniku malam ini, tidak, mungkin saat tidur saja.

Dan...Benar-benar terjadi...

Telepon rumahku berdering keras. Membuat kepala munggil yang sedang menghadap televisi itu terjengkal kaget -aku juga-.

"Ah," desisku sambil berlari kecil -mungkin sekecil semut- menghampiri tempat telepon itu berada. Aku bisa melihat, anak itu menatapku kesal. "Halo?" sahutku. Kuharap bukan nenek.

"Eh, Fel. Lo mau nggak, besok kita ketemuan di cafe deket halte bus? Lo nggak lupa, kan?"  tanya seseorang dari telepon itu. Dari suaranya aku yakin, itu sepupuku, Tiffany.

Perkataan sepupu perempuanku berhasil membuat mataku berfungsi kembali. "Iya. Uang bulanan kehidupanku, kan? Tapi, kenapa harus di cafe? Biasanya, gih, di rumahmu."

Tiffany menghela napas panjang. Bisa kurasakan napasnya dari teleponku. "Hih, lo ini mau ditraktir malah nolak. Banyak yang mau gue ceritain. Kalo di rumah gue nggak enak, soalnya besok Papi gue kerjanya di rumah, bisa aja, kan, Papi nguping," ketus Tiffany, mungkin bersamaan dengan suara tegukkan air.

Aku terdiam sejenak lalu memandang anak itu. Matanya dengan lekat menatap televisi. Tangannya terus cekatan menyendok kue siffon. "Jam berapa?" tanyaku.

"Jam sembilan. N'ti, gue nungguin lo di depan cafe."

"Eh, kamu masih makan malam, ya? Udah jam tujuh, kok, masih sempetnya makan?" gumamku dengan selingan cekikikan tawa kecil.

Dia menenggak air yang ia bawa, sepertinya. "Iya. Habis, Mami gue pulang terlambat, katanya, jadwal tayang jadi bintang tamu hari ini lebih padet dari pada biasanya. Ada yang mau diomongin lagi nggak? Kalo nggak gue tutup, mau lanjut makan," gerutu Tiffany.

Entah mengapa, gigiku ingin menggigit kuku, dan itu memang terjadi. Otak bodohku berpikir sejenak. Yah, tidak sejenak. Lumayan lama, sekitar satu menit.

"Meh, cepetan. Pulsa gue nanti habis, nih. Lo mau gue main ke rumah lo?"

"Iya-iya. Mau!" itulah kalimat yang tersimpan di otakku.

Tapi, nyatanya, yang keluar adalah, "Eh, nggak usah. Ngerepotin aja. Lagian di rumahku lagi ada tamu, mungkin, lain kali aja."

"Cih, nggak biasanya lo nerima tamu. Ya, udah. Bye. Jangan lupa, besok jam sembilan di cafe. Daa...," kata Tiffany dengan nada semangat. Belum sempat aku membalas, suara dentuman telepon dimatikan sudah menggema di telingaku.

Lagi-lagi aku berkata bodoh. Benar-benar bodoh. Mungkin kalau aku bisa berpikir jernih sejenak saja, aku bisa tidak tidur semalaman karena ada sepupuku. Aku bisa selamat semalam. Aku benar-benar bodoh! Kenapa aku tolak.

Aku berjalan tunggang langgang sambil menundukan kepala. Berharap, 'orang itu' cepat pergi dari rumahku. "Hei," panggilku ketika tubuhku berada beberapa langkah dari anak yang sedang asyik makan, mengunyah, menenggak sekaligus menonton.

"Apa?" sahut Ertha sambil mengunyah.

"Habiskan, ya, kuenya. Kalau kamu mau, kamu bisa ambil jatah cemilanku, tuh, di meja," ujarku dengan senyum terpaksa. Mungkin mukaku akan pucat ketika pukul sembilan malam, pukul di mana aku akan pergi ke ranjang sendirian.

"Kenapa?"

"Tiba-tiba nafsu makanku hilang. Ambil saja," kataku lesuh, benar-benar lesuh. Aku rasanya seperti akan mati. Punggungku menghantam keras ke tembok berlapis kayu. Aku bisa merasakan tulang rusukku nyut-nyutan. 

"Umurmu berapa, Fel?" tanya anak itu tiba-tiba. Membuat punggungku yang melengkung, tegak kembali.

"Tujuh belas tahun, tinggal beberapa minggu lagi naik satu tingkat," jawabku. Aku menghela napas panjang. "Sepertinya aku butuh sedikit hiburan, atau permainan yang menyenangkan." Aku mengacak kuncit rambutku, mungkin, rambutku akan menjadi sarang burung lagi.

Ertha beranjak dari tempat duduknya menyambar kue siffon milikku di atas meja. Dengan secepat kilat matanya menatap tajam ke arahku. "Kan sudah kubilang. Tunggu saja 'orang itu' datang. Mungkin sekitar lima jam lagi ia akan datang. Seperti yang kuceritakan tadi, permainannya menyenangkan."

Lagi-lagi, dia mengatakan itu lagi. "Menyenangkan katamu? Pisau itu? Memang aku wortel yang akan dicincang?" ketusku.

"Menurutmu?" 

Aku melihat kakinya melangkah lagi, dengan cepat tanganku mengambil satu buku dari rak di sampingku, melempar buku itu ke arah mukanya. "Rasakan itu. Sakit, kan? Kalau buku saja sakit, bagaimana kalau pisau yang dilempar seperti itu?" Di lain sisi aku merasa senang, baru pertama kali ini korban sasaran lemparanku tidak mengelak seranganku.

Ertha terdiam sejenak. Mataku menangkap bibirnya yang setengah tersenyum. Pelan-pelan matanya melirikku. "Bodoh. 'Orang itu' tidak akan melemparkan pisaunya ke mukamu, tapi ke jantungmu."

Mataku membelalak besar. Kalau dilempar ke jantung, artinya, langsung is dead, donk? Kataku dalam hati. Aku menelan air ludah yang telah tersimpan di mulutku. "Kenapa kau bisa tahu?"

"Tentu saja. Karena aku pernah melihatnya di depanku sendiri. Bahkan setiap malam, aku selalu melihatnya," kata Ertha santai. "Ambil ini," ucapnya sambil melempar buku itu kembali ke arahku.

"Aw!" desisku ketika buku itu menabrak hidungku. "Woi! Itu tidak sopan!" 

Dia melahap kue siffon milikku. "Kau tahu hal itu tidak sopan, kenapa kau melakukannya juga? Benar-benar bodoh."

Aku tidak bisa berkata lagi. Kalau dia setiap malam melihat permainan itu, bagaimana bisa ia setenang itu sekarang. Aku yang belum apa-apa saja sudah bergidik kengerian. Aku memang bodoh. Bodoh. Bahkan, orang tuaku meninggal itu karena diriku. Kalau waktu bisa diulang, aku tidak akan melakukan hal itu. Tapi, itu mustahil, semua sudah terjadi.

Aku bisa dibilang juga sebagai pembunuh. Telah mencabut nyawa  orang tuaku karena hal sepele. Seorang pembunuh yang akan dibunuh. Malam ini juga.

***

Terima kasih. Arigatou. Thank you. Telah membaca lagi. Saya terharu :') Nggak tahu juga kok bisa terharu.

Intinya terima kasih banyak kepada semua pembaca. Oh, aku mohon, jangan jadi silent reader, ya? Vote dan komen itu berharga banget buat penulis semacam saya.

Saya menerima segala kritikan, saran, atau pertanyaan.

TERIMA KASIH~~ Stay tuned ya~~ See you next part :D


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro