Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ertha x Reader : Orang Tua

A. *menunduk sedih* "Sudah meninggal."

Ertha terlihat begitu panik ketika mendengar jawaban [y/n] atas pertanyaannya.

"Ma-maaf aku sudah mengungkit masa lalumu sehingga membuatmu bersedih seperti ini," ucap Ertha memohon sambil mencoba menghibur lawan bicara di hadapannya.

[y/n] menggeleng pelang sambil menyeka air matanya. "Tak apa, yang berlalu biar lah berlalu. Sekarang kita yang masih bisa hidup harus menjalani hidup dengan semangat," ujarnya menyemangati diri sendiri.

Ertha mengangguk mengerti soal ceramah tuan rumah.

Denting jam terdengar begitu jelas, ketika dua manusia itu saling diam satu sama lain. Ertha hanya menatap setoples biskuit kacang yang tergeletak di meja, sedangkan [y/n] hanya diam tak bergeming, menyandarkan tengkuknya yang terasa pegal di bantalan sofa sambil menatap langit-langit rumahnya yang kotor.

Dia harus apa kalau sudah memikirkan kedua orang tuanya? [y/n] merasa payah ketika kedua orang paling tercinta dalam hidupnya meninggalkan dirinya sendirian. Dia terus-terusan ingin menjerit ketika mengatakan 'orang tua'.

"Uhm," Ertha mencoba membuka mulut.

[y/n] hanya melirik sekilas.

"Kau pasti sayang sekali kepada orang tuamu, ya?" tebak Ertha tiba-tiba membuat [y/n] mengernyitkan dahi. Kenapa pertanyaan itu dilontarkan? Tentu saja jawabannya sudah tertebak.

"Tentu saja. Kami sering pergi berkemping dulu."

Ertha hanya manggut-manggut.

"Kalau kau? Sayang?" [y/n] balik bertanya.

"Tidak," jawab Ertha dengan ringannya, itu membuat [y/n] terlonjak kaget dan spontan menegakan tubuhnya kembali.

"Ha?!" serunya tidak percaya. 

"Aku memang tidak sayang kepada kedua orang tuaku. Mereka tega membuangku, ah, bukan membuangku sewaktu aku bayi. Maksudku, mereka mentelantarkanku dan tidak pernah menganggapku ada di antara mereka," jelas Ertha. "Aku tidak pernah diurus dengan baik, mereka membiarkan aku kelaparan dan kehausan, apalagi saat ayahku mendapat pekerjaan baru di luar kota, mereka tidak memberi tahuku ketika mereka berencana untuk pindah rumah."

"Kemudian?" tanya [y/n] penasaran. Dirinya telah dirasuki untuk menyimak cerita yang menurutnya 'penting' di dalam sejarah hidupnya.

Ertha perlahan menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak ingin menceritakan hal pahit ini, karena rasa 'haus' di dalam tubuhnya akan keluar. "Kemudian ...," Ertha memotong pembicaraannya. Dia sibuk dengan sesuatu di dalam kantong jubahnya.

Sedangkan [y/n] masih bersabar menunggu lanjutan cerita tersebut dan tidak mempedulikan aktivitas Ertha.

"Tetapi ... sebenarnya aku tidak berniat melakukannya. Tapi ... tapi ... AKU SUDAH TIDAK PUNYA KESABARAN!" Ertha yang entah kenapa sepertinya berubah menyondongkan pisau mengkilap ke arah [y/n]. Hal tersebut membuat [y/n] gelagapan.

"O-Oi, apa maksudmu?"

"Aku membunuh mereka, kau tahu? Aku sangat menikmati saat-saat itu. Ternyata membunuh dan memainkan darah bukan hal yang buruk."

[y/n] hanya bisa menelan saliva di mulutnya sambil membuat gerakan perlahan untuk bisa kabur dari tempat ia duduk.

"A-aku tahu kau memang pembunuh, te-tapi aku kan sudah memegang perkataanmu. Aku mengizinkanmu untuk tinggal di sini semalam. Tapi tidak soal darah-darah itu," sanggah [y/n]

"Begitu kah? Kau tahu, seorang psikopat pandai berbohong."

[y/n] hanya bisa diam sambil memikirkan hal terbaik yang bisa ia lakukan di saat-saat seperti ini.

***

B. *tersenyum sinis* "Mati."

Ertha membelalakan matanya mendengar jawaban lawan bicaranya yang sangat sangat dingin tersebut. "Sebegitu senangnya kah dirimu ketika orang tuamu tiada?"

"Bukankah kau juga sepertiku?" tebak [y/n]

"Cih," Ertha menggigit bibir bagian bawahnya sebelum ia menghela napas panjang. "Oh, seperti itu, ya?" ucap Ertha sambil melontarkan senyum sinis kepada [y/n]

"Benarkan?"

Ertha mengangguk mantap sambil meraih sesuatu dalam saku jubahnya. "Sepertinya kita sudah saling mengetahui. Ah, bukankah kau sudah tidak sabar bermain?" tanya Ertha yang seolah tahu isi pikiran sang tuan rumah.

"Yah ...," [y/n] hanya menghela napas sambil merapikan rambutnya.

"Ada salam terakhir?"

"Setidaknya, aku hanya ingin menceramahimu hari ini. Jangan pernah membunuh orang-orang yang telah memberi belas kasihan kepadamu lagi ketika kau berhasil membunuhku," ujar [y/n] dengan penuh keberaniannya.

"Ha?" Ertha tertawa keras ketika mendengar jawaban lawan bicaranya yang ia kira ber-status sama dengannya, yakni seorang pembunuh. "Kau yakin mengatakan hal tersebut? Kau membunuh orang tuamu juga kan?" tebak Ertha.

"Tidak. Sama sekali tidak. Kedua orang tuaku meninggal murni dari Tuhan, bukan aku," jawabnya.

"Jadi ... saat ini? Apa yang harus aku lakukan dengan pisau ini?"

[y/n] berpikir sejenak. Memikirkan hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.

***

C. *mencoba menutupi hal yang sebenarnya* "Ka-kau tidak perlu tahu, itu bukan urusanmu."

"Tentu saja aku perlu tahu karena aku tamu di sini. Dan aku harus mengenal baik dengan tuan rumah yang aku tumpangi kediamannya saat ini," ucap Ertha sambil menyeruput kembali teh di genggamannya.

[y/n] tidak menjawab, dia hanya menggigit bibir bagian bawahnya sambil menahan isak tangis yang hendak membeludak. Sebenarnya ia ingin sekali mencurahkan isi hatinya kepada siapa pun yang bersedia mendengarkannya.

"Tak apa. Aku akan menjaga rahasia tersebut. Yah, orang tuamu sudah meninggalkan?" tebak Ertha.

"Kenapa kau bisa tahu?!"

"Tentu saja, karena aku sudah mengincar dirimu sejak lama. Dan aku juga menghadiri pemakaman orang tuamu di antara kerumunan orang banyak yang menggunakan baju serba hitam," jelas Ertha sambil meletakkan cangkir di tanggannya ke meja di hadapannya.

"Untuk apa kau mengincarku?"

"Untuk bermain denganmu."

"Ja-jadi itu kah sebabnya kau berusaha masuk ke dalam rumahku?"

"Yah ... tepat sekali!"

[y/n] tak bergeming sedikit pun selain memainkan bola matanya. Memikirkan dirinya yang malang kalau nantinya dia harus mati hari ini.

***

D. "Masa bodo, kau tidak perlu tahu, Pembunuh!"

"Ouh, aku kan bertanya ramah padamu, kenapa kau menjawab pertanyaanku dengan pedas seperti itu? Aku tidak suka tahu," keluh Ertha sambil meluncurkan raut yang benar-benar tidak suka dengan perilaku lawan bicara di depannya. Ini tidak akan asyik sekali kalau dia dibunuh dengan rasa hambar, pikirnya begitu. "Biar aku yang tebak, orang tuamu, sudah meninggalkan?" tebak Ertha kemudian.

"Eh?"

"Jawab saja tebakanku."

"Ah, ya-ya-ya, kau benar! Ugh ...," [y/n] merasa kesal dengan hal-hal tentang Ertha. Dari sifatnya, cara bicaranya, tenatangnya, semuanya!

"Wah!" Ertha bertepuk tangan entah memuji apa. "Kalau memang begitu, aku bisa dengan mudah bermain denganmu! Daripada aku harus berlama-lama melihat wajah kecutmu itu."

[y/n] yang merasa tersindir langsung berdiri tanpa mengucap hal apa pun.

***

Melihat perilaku tuan rumahnya yang tampak kebingungan, Ertha memanfaatkannya untuk menakut-nakuti.

"Apa yang akan kau lakukan?"

A. *mencoba memberanikan diri* "Membunuhmu sesegera mungkin!"

B. *diam* "Menurutmu?"

C. *kebingungan* "Se-sebaiknya kau pergi dari sini sebelum aku menelpon polisi."

D. "Mengusirmu dari sini apa pun caranya."

***

Yah, itu saja :'v

Ketuk tanda bintang yo kalau mau lanjutannya.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro