Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ertha x Reader : Hasil

Mari kita lihat bersama hasilnya xD

Bersiap-siap melihat hasil dari jawaban pilihan kalian. Semoga selamat~

***

A. *tersenyum ramah* "Silakan, aku pegang kata-katamu."

Ketika [y/n] mengatakan hal tersebut, Ertha tersenyum ramah, dan begitu terlihat senang. Ia membuka jubah yang menutupi wajahnya, ia merunduk memberi kode terima kasih kepadanya.

[y/n] mempersilakan Ertha untuk memasuki kediamannya, ia membantu Ertha membawa koper miliknya. [y/n] yakin kalau anak itu bisa memegang kata-katanya, dan ia percaya bahwa Ertha tidak akan melukainya atau bahkan membunuhnya. Jika saja hal tersebut terjadi, ia bisa menelpon kepolisian.

"Kau bisa duduk di sofa itu dulu," ucap [y/n] menunjuk sofa dekat televisi.

Ertha mengangguk menuruti perkataan [y/n]. Ia berjalan dengan langkah lebar dengan kegembiraan menyahut tempat bermalam barunya. Sepertinya ia sesekali harus bersikap sopan dengan tuan rumah, itu saja, dan dengan itu, tuan rumah mungkin bisa mempercayainya.

Sang tuan rumah melangkah santai menuju ke dapur hendak menyiapkan suguhan untuk tamu barunya. Sudah lama ia tak mendapat tamu.

Sedikit takut, sih, tapi ia mencoba mempercayai perkataan tamunya tersebut.

Dengan semangat membara menyelimuti diri [y/n], ia cekatan menyiapkan teh hangat, biskuit kacang, dan buah pencuci mulut.

"Maaf sudah menunggu," ucapnya sambil meletakkan suguhan itu di meja.

Ertha tersenyum lebar. "Wah! Banyak sekali!"

[y/n] tersenyum balik kemudian memberikan segelas teh kepada tamunya tersebut. Setelah itu ia mengambil biskuit kacang untuk dirinya sendiri. "Silakan dinikmati."

"Terima kasih!" seru Ertha lalu menyeruput sedikit teh tersebut. "Wah! Ini enak sekali!" pujinya. Ertha merasa ada sensasi hangat meluncur di tenggorokannya. Tidak hanya itu, ia merasakan ada hal istimewa dalam teh tersebut, seperti ... kasih sayang dari tuan rumah.

"Wah? Benarkah?" kata [y/n] tidak percaya.

Ertha mengangguk menanggapi perkataan [y/n]

"Aku tidak percaya ada yang suka teh buatanku. Selama ini teman-temanku selalu enggan meminum teh di rumahku. Bukankah itu hal yang jahat?" jelasnya sambil tertawa kecil. "Ah sudah-sudah bahas hal itu, ayo kita makan bersama-sama biskuitnya!"

Obrolan hangat tercipta di antara mereka tanpa ada ketakutan di antara mereka. Tawa bahagia terdengar saling menyahut. Anak kecil memang jarang berbohong.

***

B. *bersikap dingin* "Semaumu, masuk lah."

Ertha menyeringai ketika [y/n] bersikap dingin kepadanya. Bersikap dingin, itu hal yang sangat menarik bagi Ertha. Saat orang bersikap dingin kepadanya, itu artinya orang tersebut menerima apa pun tindakan yang akan dilakukan Ertha. Seperti membunuh, mungkin.

[y/n] mempersilakan tamunya itu untuk masuk ke kediamannya.

Masih dalam keadaan sifat dingin, [y/n] menunjuk sofa dekat televisi, memberi kode kepada tamunya untuk segera melepas penat dengan duduk di sofa yang menurutnya empuk tersebut.

Ertha semakin menyukai tuan rumah tersebut, dia tidak banyak tanya, langsung saja berjalan sambil menyeret kopernya menuju sofa tersebut.

Dengan langkah lebar, [y/n] pergi ke dapur hendak menyiapkan suguhan untuk tamu anak kecilnya. Ia suka sekali dengan anak kecil, tetapi bukan anak kecil macam biasanya, ia lebih suka anak kecil macam Ertha, yang suka bermain pisau.

[y/n] menyiapkan pisau dengan berbagai macam ukuran dan ketajaman, ia meletakkan koleksi pisaunya tersebut di meja makan miliknya. [y/n] mempersiapkan itu semata-mata untuk kesenangannya dan jaga-jaga diri dari serangan Ertha.

Ini pasti menyenangkan, gumamnya dalam hati sambil menyelipkan pisau kecil di saku celana.

Setelah menunggu cukup lama, [y/n] datang dengan dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja tepat di hadapan Ertha.

Ertha memandang [y/n] dengan tatapan psikopat miliknya, ia bisa merasakan aura yang sama dengan miliknya melekat pada tubuh tuan rumah tersebut. Kemudian dengan bangganya ia mengambil segelas teh tanpa menunggu perintah dari [y/n]

Tidak ada obrolan yang terjadi di antara mereka, tetapi, setiap menit mereka saling bertukar pandang dengan tatapan sinis seperti hendak saling membunuh, tapi [y/n] masih belum mau melakukannya, mungkin tunggu Ertha menyerangnya lebih dahulu.

***

C. *menjerit ketakutan kemudian menutup pintu kuat-kuat*

Jantung [y/n] berdegup begitu cepat, rasa sakit menyerang daerah sekitar dadanya, tangannya bergetar hebat karena ketakutan dengan sosok di depan rumahnya.

Dia mencoba untuk menenangkan diri sejenak. Ia mengambil napas panjang kemudian membuang napas tersebut pelan-pelan sambil melirik ke jendela di sampingnya.

Samar-samar ia melihat halaman rumahnya yang kosong, tidak ada siapa pun di sana. Ia merasa lega ternyata sang pembunuh itu sudah pergi dari kediamannya.

Belum sempat ia menghela napas lagi, tiba-tiba saja wajah psikopat itu menempel tepat di jendela yang sedang ia intip. Jantungnya semakin berdegup kencang tidak keruan, keringat mencucur deras di keningnya.

Dengan cekatan dan tanpa pikir panjang, [y/n] mengunci pintu rumahnya dan segera berlari ke semua pintu di rumahnya, melakukan hal yang sama dengan pintu utama rumahnya. Dengan begini, Ertha tidak akan bisa masuk ke dalam rumahnya, pikirnya begitu.

Dengan langkah gontai, [y/n] menuju ke kamarnya dan segera menarik selimut yang tergeletak di lantai. Ia membalut tubuhnya sebisa mungkin, mencoba menghilangkan wajah psikopat itu dari ingatannya.

Tapi belum sempat ia melupakan wajah tersebut, tiba-tiba saja air membasahi kakinya, bukankah jendela kamarnya tertutup?

"Kau lupa mengunci jendela kamarmu, Nak," ucap Ertha sambil menyeringai lebar.

Spontan, [y/n] langsung menjerit, tetapi ia hanya bisa menjerit beberapa detik karena mulutnya dibekap oleh Ertha.

"Kita bisa buat kesepakatan dulu. Tenang lah," ujar Ertha seraya membelai lembut rambut [y/n]. "Berjanjilah kau tidak akan menjerit lagi setelah tanganku lepas dari mulutmu."

[y/n] mengangguk.

"Pilih aku menginap di rumahmu sehari, atau kau mati sekarang?"

"Si-silakan menginap. Aku mengizinkanmu," ucapnya terbata-bata.

Singkatnya, mereka meminum teh bersama tanpa obrolan hangat. Ertha selalu menatap [y/n] dengan sorot mata yang tajam, sedangkan [y/n] yang merasa risih dengan hal tersebut mencoba berpaling dengan menciptakan sebuah obrolan, tetapi setiap ia hendak mengatakan sesuatu, ia selalu mengurungkan niatnya tersebut dan memilih untuk diam karena ia takut kalau ucapannya akan membuat Ertha marah padanya.

***

D. *ketakutan tingkat ringan* "Pembunuh! Aku akan melaporkanmu karena berencana membunuhku! Pembunuh! Tolong!"

Ertha menunjukan ekspresi ketakutan atas ucapan [y/n] barusan. Ia langsung mengangkat kaki dari halaman [y/n] tersebut tanpa pikir panjang.

Karena merasa berhasil membuat pembunuh itu pergi tunggang langgang, [y/n] merasa lega dan dengan santainya menutup pintu, dan segera pergi menuju dapur untuk membuat segelas teh.

Setelah meracik teh, ia mengambil posel di kamarnya, dan segera duduk di sofa dekat televisi di ruangan keluarga, ya, bukan ruang keluarga, melainkan ruang televisi.

[y/n] sibuk memainkan ponselnya, mengetik, membaca atau tertawa kecil karena chat darinya telah dibalas oleh teman-temannya. Ya, bukan hari yang buruk karena telah bertemu dengan pembunuh, toh, dia juga berani sudah menakuti seorang pembunuh.

"Uhm!"

Teh di tangan [y/n] tumpah membasahi ponsel yang ada di pangkuannya. Ia terkejut dan spontan menumpahkan tehnya karena ada seseorang membekapnya dari belakang.

Ia mencoba memberontak tapi itu tidak berhasil.

"Izinkan aku menginap di sini. Kuharap kau tidak melupakan kehadiranku hanya gara-gara membaca pesan. Tidak mungkin sang predator meninggalkan mangsanya tanpa mendapatkannya," kata Ertha mengancap.

Karena ketakutan, [y/n] mencoba menghubungi polisi lewat ponselnya. Tapi itu percuma karena ponselnya tidak mau hidup.

"Aku janji tidak akan melukaimu kalau kau memberiku teh hangat dan membiarkanku menginap di sini semalam."

"Ba-baiklah."

Hari yang [y/n] pikir akan baik-baik saja, ternyata hancur dengan kehadiran Ertha yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumahnya dan mengancam akan membunuh dirinya.

Mereka minum teh bersama, Ertha hanya tersenyum simpul setiap kali ia menyeruput teh di genggamannya. Tetapi [y/n] tidak mempedulikan aktivitas aneh tersebut.

***

Minum teh hangat tanpa obrolan hangat? Ertha rasa itu adalah membuang-buang waktu, oleh karena itu ia memilih untuk berbicara kepada tuan rumah.

"Orang tuamu ke mana?" tanya Ertha mencoba ramah.

A. *menunduk sedih* "Sudah meninggal."

B. *tersenyum sinis* "Mati."

C. *mencoba menutupi hal yang sebenarnya. "Ka-kau tidak perlu tahu, itu bukan urusanmu."

D. "Masa bodo, kau tidak perlu tahu, Pembunuh."

***

Apa jawabanmu?

Bagaimana hasilnya :3 Apakah menegangkan untukmu?

Jangan lupa ketuk tanda bintang itu.

Tunggu hasil selanjutnya, tataw~~




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro