Enam Belas
Otakku terus meyakinkan diriku kalau yang barusan aku lihat hanyalah sebuah ilusi, mungkin ini akibat benturan kemarin sehingga beberapa sarafku menggambarkan objek yang sedang aku pikirkan.
Ertha tidak mungkin menyimpan benda itu di dalam kopernya. Aku juga tidak begitu melihat jelas apa yang ada di dalamnya karena aku sudah ketakutan duluan. Bahkan wajah manisnya tidak menyimpan suatu rahasia apa pun dariku. Dia masih sibuk dengan teh racikkannya.
Dia tersenyum lebar ketika aku melihat ke arah dirinya. "Ada apa? Kau kelihatan sedang ketakutan."
Anak kecil itu berhasil menebak pikiranku. "A-ah, tidak ada apa-apa, aku hanya mengantuk sedikit. Ya, sedikit," jawabku dengan suara bergetar.
Ertha tersenyum masam kemudian duduk kembali ke posisinya. Dia menuangkan perlahan teh buatannya ke gelas yang ada di hadapanku. "Kau merasa tidak enak badan?" tanyanya lagi.
"Ya," aku mengiyakan.
Anak itu mendesah pelan. "Ayo lah, habiskan makananmu dulu. Aku bisa membuatmu merasa lebih nyaman nanti. Aku akan memperkenalkan padamu permainan relaksasi yang sudah aku pelajari sejak dulu dan ini sudah aku praktekkan ke beberapa orang kenalanku," ujar Ertha dengan bangganya. "Dan kau tahu? Mereka benar-benar menikmatinya."
"Kurasa tidak," bantahku mentah-mentah.
"Habiskan dulu makananmu dan aku akan bermain denganmu. Ini akan menyenangkan dan menenangkan," kata Ertha sedikit marah."Mau tambah?" tawarnya dengan suara hangat.
Aku menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku sudah kenyang, bocah kecil."
Ertha memutar bola matanya dengan kesal. "Katakan sekali lagi," pintanya.
"Bocah kecil."
Dia tertawa renyah lalu memukul-mukul meja ringan. Aku tidak tahu di mana bagian yang lucu dari ucapanku. "Kalau didengar lebih mendalam panggilan itu manis juga, kan?" pikir Ertha. "Panggil aku seperti itu, aku akan sangat tersanjung."
"Bocah kecil yang tidak punya sopan santun," aku berseru mengejek.
"Ha? Aku sudah membuatkanmu makan malam dan menawarkan permainan relaksasi tapi kau masih menganggapku tidak punya sopan santun?" tanya Ertha berapi-api. "Kamu harusnya berpikir lebih mendalam sebagai orang dewasa," tukas Ertha, dia menatapku dengan sorot mata yang tajam.
Ertha beranjak berdiri lalu pergi ke pintu belakang rumah, tubunya hilang di balik pintu kayu tua itu. "Tunggu di situ. Aku ingin bermain denganmu. Sebentar." seru Ertha.
Ya! Aku mendapat kesempatan untuk mengecek kembali isi koper Ertha. Aku punya rasa penasaran yang begitu besar terhadap apa yang aku baru temui.
Aku masih bisa melihat koper itu menga-nga dan berdiri tegap di posisinya. Aku perlahan masuk ke mara tersebut. Bau amis menusuk penciumanku. Aku sudah memasang pengelihatanku secara kuat-kuat.
Aku hanya bisa menelan ludah dan menutup mulutku agar tidak berteriak.
Di dalam koper itu berisi ....
Aku tidak bisa membayangkan ini sebelumnya. Di balik parasnya yang manis itu, tersembunyi sifat anarkis di dalam dirinya.
Beberapa kepala orang yang sudah membusuk dan dalam keadaan yang tidak megenakkan. Aku ... salah lihat, kan? Aku tidak percaya.
"Oh, kau sudah melihatnya, ya? Biar kubantu."
Kemudian, hitam kembali.
***
We .... :V
Akhirnya update setelah hiatus dua minggu atau tiga minggu? Entah lah. Saya lupa.
Jangan lupa vote, komen.. Eh, sekalian promosi, aku buat cerita baru dengan judul "The Queen" baca juga, e :D
Terima kasih :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro