Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat

Alur cerita ini hanya fiksi belaka. Khayalan penulis di otaknya. Tidak ada hubungannya dengan realita kehidupan. Dan, ceritanya harus diimbangi dengan sifat bijaknya pembaca. Hidupkan yang di atas itu. Biar terkesan 'sreg'. Terima kasih :)

***

"Apa?!" pekikku ketika ia mulai menggunjingku kalau otakku ini kekanak-kanakan. Apa ia tidak pernah berkaca kalau dirinya sendiri yang kecil. "Memangnya umurmu berapa, hah? Beraninya bicara seperti itu di depan orang yang lebih tua dari kamu!" sambungku sambil melotot. Menurut sugestiku, anak kecil kalau dipelototi bakalan takut lalu lari ke kamar sambil menangis.

Ertha tersenyum sinis sambil membenarkan posisi duduknya yang manis -menjijikkan juga-. "Umur? Aku sudah hidup di dunia selama sepuluh tahun. Di Bumi ini, tidak ada hukum untuk mengatakan kalau otak orang dewasa itu sudah benar," jawabnya santai, matanya berputar seolah mencoba menghilangkanku dari hadapannya.

"Cih! Tidak pernah sekolah, ya? Sampai segitunya kamu ini." Aku mulai melangkahkan kakiku. Bukan mendekat ke arahnya, lebih tepatnya berjalan ke beanbag tua yang kulapisi dengan seprai bekas karena beberapa bagian mulai bolong dimakan usia.

Dia menatapku remeh lalu tertawa renyah. "Sekolah? Kau sendiri apa sekolah?"

Oh, tidak. Aku mulai terpojok dengan pertanyaanku sendiri. Lututku mulai bergetar sebelum aku benar-benar duduk di beanbag. Entah kenapa aku ingin menelan sesuatu ke kerongkonganku. "Tentu," jawabku singkat, melesatkan bokong najisku ke beanbag tersebut. "Tapi, sekolah meliburkan selama 1 bulan penuh karena proyek re-lokasi sekolah," sambungku.

"Oh." Mata Ertha kembali menatap televisi yang sedang berjalan sponsor.

Aku menghela napas. Keadaan sudah mulai membaik. Aku nggak mau marah-marah terus menerus, aku takut darah tinggiku naik lagi. Untunglah dia tidak berargumen lagi. Kata 'oh' tadi itu sudah membuatku lega. Pasti 'oh' itu menandakan kalau ia tidak akan berbicara lagi. " Haha," tawaku dalam hati.

Mataku tertuju ke meja berkaki satu yang berdiri tegap di depanku. Tidak bergetar sedikit pun, beda sekali dengan lututku barusan. Di atasnya hanya ada sebuah toples bening berisi remahan biskuit kacang. Aku ingat, kemarin Kamis aku yang menghabiskannya. Karena aku tahu, pasti seminggu ke depan Nenek akan memberiku paket berisi biskuit kacang itu lagi.

Nenek rutin mengirimkannya dua minggu sekali. Aku sudah memperingatkannya dengan memberi surat lewat pos, kalau tidak usah mengirim biskuit kegemaran Nenek itu lagi. Gara-gara kue itu aku harus beli banyak krim wajah, kalau tidak, sudahlah, mukaku akan jadi jalanan kerikil. Namun, tetap saja, ia nggak percaya kalau aku akan baik-baik saja tanpa biskuit homemade-nya.

Aku mengernyit. Otakku mulai merancang memori masa lalu saat tinggal bersama Nenek untuk diingat lagi. Mataku terasa perih lagi. Beberapa kali aku mengedipkan mata, mencoba menghapus genangan air di sana. "Hei, Ertha?" panggilku sedikit berbisik.

"Apa?" sahutnya cepat tanpa melirikku sedikit pun.

"Mau cemilan?" tawarku mencoba mulai ramah lagi.

"Cemilan?" Ia mendongak ke atas mencoba melihat wajahku. "Toples itu, kan, kosong. Bagaimana caranya aku makan cemilan itu. Harusnya kau tawarkan remahan di dalam situ kepada semut. Kasihan, tahu. Mereka kelaparan."

Aku tertawa mendengar pernyataannya. "Bukan. Aku punya simpanan kue siffon sisa kemarin. Aku ada banyak. Mau?"

"Rasa?"

"Rasa lemon. Tidak terlalu manis, sih. Aku membuatnya dengan menambahkan perasan dua butir lemon, gulanya hanya setengah gelas. Aku suka rasa masamnya yang merambat di lidah," jawabku sambil membayangkan rasanya lagi.

Ertha mengangguk pelan sambil mengecilkan volume televisi. 

Aku mulai mengangkat tubuhku lagi. Sebenarnya malas, tapi karena ada tamu. Itulah, aku benci tamu. ME-RE-POT-KAN.

Kakiku berhenti ketika aku sudah melangkah tiga petak dari beanbag. "Bagaimana kalau kau menemaniku? Aku janji, akan kutambahkan teh manis hangat, deh," rayuku. Iya, iya. Aku taku dengan 'orang itu'.

Ertha memutar tubuhnya lalu menatapku sejenak. "Sedang asyik nonton, nih. Scenenya lagi seru. Ambil sendiri memang kenapa? Takut, ya?"

Aku mengangguk pelan. "Plisss...."

Dia menghela napas. "Ya sudah. Cepat, ya? Aku nggak mau kehilangan banyak cerita dari film itu hanya karena menunggu kamu menuang air panas."

Padahal film yang ia maksud sedang digusur sponsor berderet. "Iya."

***

Ertha sedari  mengikuti aku ke dapur tidak melakukan banyak aksi selain mengikutiku dari belakang. Tentu, mengikuti dari belakang bukan dari depan. Kalau dari depan namanya memimpin.

Aku mulai berbicara, "Hei, sepertinya kau ingin mengatakan sesuatu kepadaku?"

Dia berhenti melangkah. "Ya, kau memang benar, Fel. Ada yang ingin kukatakan sedari tadi."

Perkataannya yang barusan meloncat membuat kakiku reflek memutar balik arah jalan. Menghadap ke arahnya perlahan. Lalu melangkah ke sampingnya. "Ayo, ayo. Bicaranya sambil jalan saja. Kamu di sampingku terus sampai dapur, biar enak di dengar."

Lalu kami mulai berjalan kembali. Dan tentu saja, Ertha memulai pembicaraannya.

"Seperti yang Feli ketahui, sekarang sudah malam. Orang itu mulai agresif bergerak ke sana kemari. Kegelapan malam membuatnya lebih leluasa bergerak, dan juga membantunya agar tidak kelihatan." kata Ertha dengan nada tinggi -tidak, dengan nada seram-

Aku hanya bisa menelan ludah. Jadi dia hanya ingin mengungkit cerita yang sukses membuatku bergidik kengerian itu lagi.

"Bisa saja sekarang dia sedang membuntuti kita." 

Seketika aku langsung menengok ke belakang. Tidak ada apa-apa, syukurlah.

"Bisa juga ada di atas kepala kita. Atau, bersembunyi di tempat yang tidak kita pernah menyangka selama ini," lanjutnya dengan nada lebih seram dari sebelumnya.

"Oi, oi. Jangan cerita itu lagi. Aku jadi semakin takut tahu. Nggak seharusnya kamu cerita seperti itu di malam hari. Tidak baik, lho," ujarku, sedikit marajuk agar ia memberhentikan ceritanya, bukan, fakta yang ia sedang ceritakan.

Ertha memutar bola matanya. "Aku nggak berniat menakuti kamu, Fel. Aku hanya memperingatkan kamu. Agar kamu baik-baik saja nanti. Nanti, saat tengah malam menerjang tidurmu."

"Hoi~. Sudah-sudah. Kamu ini!" gumamku dengan cekikikan tawa yang tertahan, sambil sewaktu-waktu menepuk pundaknya. "Lha, kamu sendiri apa nggak takut akan dia?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Nggak! Buat apa? Karena aku telah mengenal dirinya selama bertahun-tahun. Bahkan dia selalu ada di tiap tahun yang kulewati!" Matanya kembali membelalak besar. Sugestiku salah, matanya tidak lompat keluar.

"Eh?" Aku terlonjak kaget. "Bagaimana bisa?"

"Kau bisa mengenalnya dari apa yang akan ia perbuat nanti saat tengah malam," jawab Ertha. Mukanya menatap wajahku dengan seramnya. "Tenang saja. Dia orang yang sangat ramah dan menyenangkan. Benar-benar menyengangkan."

Aku menelan ludah, kali ini lebih banyak dari yang tadi. Aku rasa, aku harus beli 1000 lampu neon untuk di pasang di seluruh ruangan, agar 'orang itu' tidak bisa sembunyi. Bisa saja, para pembaca sekalian, rumah pembaca di datangi. Atau, malah, saat membaca, dia sedang ada di belakangmu.

"DIA ORANG YANG SANGAT MENARIK!" pekiknya keras. Telingaku rasanya dikeruk sangat kuat menggunakan besi yang baru keluar dari genangan api.

"Hentikan cerita itu kubilang!" teriakku. Otakku rasanya benar-benar berat. Aku ingin marah, semarah-marahnya. "Jangan buat aku takut lagi. Aku ... aku ...," ucapku terengah-engah. Sulit sekali mengatur napas.

Ertha hanya bermuka dingin tanpa menggubris omonganku.

"Aku ... benar-benar ... takut. Takut akan ... hal ... itu," ucapku dengan bibir bergetar.

"Sudah terlanjur takut. Cerita itu akan terus menghantuimu," kata Ertha dengan entengnya.

Aku membeku seketika. Seharusnya aku mengambil kue siffon bukan mendengarkan cerita itu lagi. Otakku benar-benar berhenti beroperasi. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Aku harus pergi tidur. Sekarang juga! Aku akan berlindung di bawah selimut musim dinginku sebanyak mungkin. Walaupun ini bukan musim dingin. Kalau pun 'orang itu 'masih bisa menemukanku aku akan berlindung di bawah busa kasurku. Atau, aku akan berlari untuk berlindung di balik Gunung Fuji.

***

Huft...*sambil menyeka keringat.

Akhirnya selesai. Pendek, ya? Waktu saya nulis ini ikut deg-degan. Haha.

Tapi, saya tetap berterimakasih sudah membaca. Jangan lupa vote dan komen. Terima kasih :D

Stay tuned, ya~~~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro