Dua Puluh Satu
Tiffany mengerang kesakitan dan mencoba melepas tusukan Anak Brengsek itu dari matanya. Matanya yang sebelah lagi mengeluarkan air mata kesakitan yang begitu luar biasa. Dia tidak henti-hentinya menjerit.
Aku dengan jelas melihat mata sepupuku itu yang mengeluarkan banyak sekali darah lantaran Ertha berhasil menancapkan garpu yang ia pegang tepat di mata kiri Tiffany. Aku memberontak dan mencoba untuk melepaskan ikatan di tanganku untuk menyelamatkan Tiffany.
Tapi entah mengapa itu, kakiku tidak ingin bergerak sedikit pun. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku bisa merasakan bertapa sakitnya luka itu.
"ARGH!" Tiffany mengerang lebih kuat. Dia terus berusaha melepaskan garpu itu tapi ia tak berdaya.
Ertha tertawa puas mendengar jeritan kesakitan yang dikeluarkan dari mulut Tiffany. Ia menatapku kemudian melontarkan garus lengkung yang begitu manis di wajahnya. Dia menyeringai gaya psikopat.
Lihat wajahnya itu, ia sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun.
Ertha mendekat dengan langkah yang begitu mengerikan. Kemudian mengluarkan sebilah pisau dari balik tubuhnya dan membelai pipiku dengan sisi dingin pisau tersebut. Rasanya benar-benar mengerikan. "Lihat saudaramu itu. Dia begitu menikmati rasa sakit yang ia rasakan. Aku juga senang melihat darahnya yang bercucuran dari mata indahnya itu, kan?"
"A-apa yang sebenarnya kau inginkan! Lepaskan aku! Aku harus menyelamatkan saudariku!" aku meronta-ronta tidak jelas karena hanya itulah yang aku bisa lakukan.
Ertha menurunkan pisaunya itu menelusuri ke leherku perlahan. "Menyelamatkan saudarimu?" ulangnya. Dia tertawa keras. "Mana mungkin. Kau juga akan mati, Feli, ah bukan, kau akan bermain bersamaku juga."
"Tidak akan pernah."
"Sedikit saja pisau ini bergerak salah, kita langsung saja permainannya tanpa basa-basi, ya?" ajaknya. "Oh, ya. Aku harus menyelesaikan bersama Tiffany dulu. Sungguh malang dirinya kutinggal," Dia beralih ke Tiffany yang masih saja berusaha.
Entah kenapa, ada sedikit perasaan lega ketika Ertha mendekati Tiffany. Aku tidak tahu kenapa.
Tiffany mencoba sekuat tenaganya. Dia memegangi kepalanya, aku juga tidak tahu kenapa. Mata kirinya tak henti-henti menangis darah. Keringat sebesar biji jagung membasahi wajah Tiffany.
"Uh, kasihan sekali bocah satu ini."
"Keparat kau!" seru Tiffany mengumpat.
"Mau kubantu melepaskannya?" tawar Ertha dengan tampang yang ingin sekali kupukul sampai babak belur.
Tiffany mendorong Ertha kuat-kuat tepat di bagian perutnya. Ertha langsung terhempas jatuh, ia terbatuk sejenak, dari mulutnya mengeluarkan setetes darah yang merosot di dagu mungilnya itu.
Ertha mencoba untuk bangun sambil tersenyum horor. "Oh, jadi ini jawaban yang kudapat. Padahal aku ingin sekali membantumu." Ertha kembali mendekati Tiffany.
Ertha menjentikkan jari kecilnya itu ke garpu yang masih tegap di mata sepupuku. Tiffany kembali mengerang kesakitan. Darahnya bercucuran sangat deras. Bisa-bisa Tiffany akan anemia kalau-kalau itu tidak dihentikan.
"Tidak lagi anemia, tapi MATI!"
Apa? Ertha membaca pikiranku? Tidak mungkin ia dapat membaca pikiranku. Aku tidak pernah melakukan telepati dengannya. Hah, mungkin hanya sebuah kebetulan.
Tiba-tiba, tangan Ertha itu menarik paksa garpu yang ada di mata Tiffany. Seketika sepupuku itu menjerit, garpu di matanya berhasil melarikan diri. Dara dari matanya menghujani wajahku dan mengotori seisi ruangan.
Aku hanya terpelompong melihat saudariku itu menggeliat bak ayam yang telah di sembelih. Entah kenapa, otakku seperti tidak mau merespon apa yang telah terjadi. Darah Tiffany menyusuri pipiku perlahan, darahnya begitu terasa dingin, apa dia terlalu takut sampai daahnya terasa begitu dingin?
"Akh ... to-tolong, ma-mataku. Feli ... ukh, mataku!" jerit Tiffany.
Ertha dengan bahagianya mengiris pipi Tiffany dengan pisau yang ia pegang, membentuk garis-garis yang tidak dapat aku mengerti, sama seperti yang aku lihat di wajah kepala tanpa awak di koper Ertha.
Uh, rasanya pasti itu begitu perih.
Aku diam-diam menggesek-gesekkan tali di tanganku berharap dapat putus dan aku dapat membawa kabur Tiffany dari sini.
Tapi ... Ertha mengetahui apa yang sedang aku lakukan. Dia mentapku dengan mata melotot dan seringai yang ugh, aku tak mau melihatnya lagi.
"Sedang apa, Feli?" tanyanya.
Aku hanya terdiam.
Tanpa aba-aba, pisau yang untuk melukis garis di pipi Tiffany itu melesat tepat di wajahku. Untungnya, aku dengan sigap menghindari pisau tersebut, sial, pisau tersebut menggores pipiku. Rasanya perih sekali, aku mengeluh.
Ku tengok ke belakang, pisau tersebut tertancap di rak buku. Saat aku kembali untuk melihat ke depan, betapa terkejutnya aku. Mataku menangkap tubuh Ertha sudah ada di depanku dengan mengayunkan garpu hendak mencelakaiku seperti Tiffany.
"KAU BERIKUTNYA!"
***
Ye :V
Mau ngomong apa, ya?
Oh! Maaf, ya, kalau pecinta psycho adegannya kurang jos, Shiro belum berpengalaman bikin cerita gore. Ini aja cerita gore pertama yang Shiro buat, ada dua, sih, tapi satunya aneh bingits ceritanya :P
Hm, jadi Shiro mau ngasih tau kalau untuk satu bulan ke depan, cerita ini bakal hiatus karena Shiro mau UAS dolo~~~
Yang bosen nungguin bisa baca kumpulan cerpen horor Shiro yang berjudul "Silakan" :D
Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro