Dua Puluh Lima
"Kau tidak akan bisa bersembunyi dariku, Feli. Aku bisa mencium bau tubuhmu yang khas itu. Tidakkah kau menyadari sesuatu?" kata Ertha di luar ruanganku tempat bersembunyi.
Kamar mandi rumahku tidak selebar yang kau bayangkan. Mungkin hanya 2x2 meter, tanpa air panas, dan tanpa shower, hanya bathub kecil yang selalu terlihat seakan-akan mau pecah ketika dipakai.
Aku bisa menangkap suara derap langkah anak itu yang kedengarannya sangat berat, perlahan, namun menakutkan. Kau mengerti apa yang kumaksud. Aku juga bisa merasakan deru napasnya semakin memburu.
Ya Tuhan ... apakah ini memang akhir hidupku? batinku sedih dalam hati.
Tak apa lah kalau ini memang akhir hidupku. Aku yang sudah membahayakan banyak orang, kalau aku terus hidup, aku mungkin akan membahayakan lebih banyak orang daripada sebelumnya. Orang tuaku meninggal karena aku membuat mereka dalam bahaya, Tiffany, sepupu perempuanku meninggal karena aku juga membuatnya dalam bahaya. Dan sumber bahaya itu adalah diriku yang bodoh ini. Siapa yang akan jadi korbanku lagi kalau aku masih hidup?
Mungkin kematianku ini akan membuat kerabat keluargaku sedih, tapi dengan ini, aku tidak akan membawa orang lain dalam bahaya.
Tapi ....
Sebenarnya aku tidak ingin mati juga, apalagi mati di tangan psikopat bocah itu.
Labil, kataku mencemooh diri sendiri dalam hati.
Dulu, sebelum aku mengenal Ertha, keseharianku hanya berisi diam dalam sendirian. Menolak tamu yang tidak kukenal adalah kebiasaanku. Ketika bertemu Ertha, sebenarnya aku begitu senang saat ia meminta kamar untuk menginap di sini. Jujur kubilang, wajahnya manis sekali.
Rasa senang menyelimuti hatiku saat ia tersenyum riang ketika aku mengajaknya berkeliling seisi rumahku, sifatnya yang terkadang menjadi dingin secara tiba-tiba tidak menjadi masalah bagiku, ketika ia menceritakan 'orang itu' untuk pertama kalinya, aku ingin sekali tertawa.
Tetapi, sejak ada tragedi pembunuhan di kamarku, sifat Ertha mulai berubah perlahan. Ia menjadi pribadi yang serius, dingin, dan kaku.
Dia bahkan sudah kuanggap sebagai teman.
"MAU KE MANA KAU FELI?!" seru Ertha tiba-tiba membuatku ketakutan. Aku terlalu banyak merenung sehingga tidak menyadari kalau ternyata Ertha sudah ada di depan mataku.
Aku yang tidak sempat melarikan diri langsung dijambak oleh Ertha dan siap untuk dijadikan mangsanya. "Lepaskan aku!" rontaku.
Ertha tertawa keji. "Sekarang kita mulai inti permainannya, Feli."
Ertha semakin kuat menjambak rambutku. Kemudian ia melempar tubuhku dengan kuat ke arah bathub kecil di sampingku. Bunyi benturan keras antara kepalaku dengan dinding bathub tersebut menggema ke seluruh sudut kamar mandi.
Aku menyadari kalau ada cairan hangat mengalir dari kepalaku. Aku merasakan pusing yang amat tidak tertahankan. Sekali-kali aku meringis kesakitan dan memohon ampun pada anak kecil yang bediri di depanku.
"Tidak asyik juga kalau ia langsung mati. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak seru diajak bermain."
Ertha mengguyurkan air yang ada di bak penampung air ke atas kepalaku.
Rasa dingin langsung masuk merasuki setiap tulangku. Aku hanya bisa menangis tanpa daya untuk berucap sedikit pun. Akhir hidupku sudah di ujung tanduk.
Ertha meletakkan kapak yang ia genggam ke lantai, kemudian meraih rambut basah milikku. "Terima kasih sudah menyewakan kamar yang begitu mewah padaku. Lain kali aku akan berkunjung ke rumahmu lagi, Kak," katanya.
Aku bisa melihat mata Ertha yang terluka mengeluarkan darah segar. Ia tidak terlihat kesakitan sedikit pun. Kuakui itu.
"Hey, Ertha," panggilku lemah sebelum ia mengayunkan kapaknya lagi.
Ertha terhenti.
"Sebenarnya aku sangat senang kau datang berkunjung ke rumahku. Kau sudah kuanggap sebagai teman terbaikku, kau tahu itu?"
Ertha terisak pelan, air mata menyusuri pipi kecilnya itu. Ia tertawa. "Kau bilang apa? Teman? Yang benar saja?" Ia kembali tertawa.
"Omong-omong, masakanmu yang tadi itu enak sekali. Andai kalau aku bisa belajar memasak darimu," ujarku.
"JANGAN BANYAK BASA-BASI!" teriaknya sambil terus membiarkan air matanya menetes.
Ertha sudah siap mengayunkan kapak itu ke kepalaku. Aku siap mati sekarang.
"Terima kasih."
Aku merasakan sakit yang luar biasa tanpa bisa menjerit, sedikit demi sedikit, wajah Ertha yang kupandang menjadi gelap.
Gelap sekali.
Dan dingin.
***
Huhuhuhuh T-T Feli matiiii. Feliiiiku!!!!
Ini belum habis, masih ada satu part lagi X"P
Aku sedih harus berpisah dengan Feli. Ada yang sedih juga? Kurasa tidak ._.
OKE. Jangan lupa vote dan komentar.
Buabay.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro