Dua Puluh Enam | Epilog
Kala hujan menabrak tanah dengan keras, suara gemuruh guntur saling bersahut-sahutan di langit, dan angin kencang menerjang di sela-sela pepohonan, wanita berambut putih itu masih sibuk dengan layar televisi di hadapannya.
Tangannya sibuk merajut baju untuk cucu terkecilnya yang sedang bermain di luar tetapi matanya tertuju pada acara berita hari ini.
"Telah ditemukan kembali pembunuhan berantai di daerah kompleks perumahan 9J tepatnya di kediaman Feli Thompsen. Tersangka pembunuhan ini adalah seorang pembunuh yang sama dengan kematian keluarga Ergin minggu lalu.
Polisi datang ke tempat kejadian perkara setelah ada petugas listrik yang datang ke rumah korban dan mengeluhkan mencium bau amis dari dalam rumah.
Para polisi menemukan sebuah mayat wanita dalam loteng rumah tersebut dengan keadaan yang mengenaskan: tubuh korban sudah dalam keadaan tidak utuh. Kemudian seorang mayat wanita yang merupakan pemilik rumah yang berumur sekitar 17 tahun di dalam kamar mandi rumah dengan keadaan digantung dengan bagian kaki di atas, dan kepalanya menghilang. Setelah ditelusuri lagi, ditemukan kuburan yang berisi mayat tanpa kepala juga.
Motif pembunuhan ini sama dengan yang terjadi pada keluarga Ergin, di mana kepala para korban hilang. Polisi masih berusaha memburu pembunuh dengan cara mencari anak dari keluarga Ergin yang berhasil kabur untuk menjadi saksi, bernama Ertha Ergin.
Kemudian, ditemukan mobil mewah yang terparkir di depan rumah keluarga Thompsen, yang merupakan milik anak dari keluarga Ishney, yaitu Tiffany Ishney. Selanjutnya, mobil ini akan dibawa ke kantor polisi sebagai barang bukti.
Anehnya, pembunuh ini sulit sekali diidentifikasi karena cara membunuh yang tidak biasa.
Kita beralih pada berita berikutnya ...."
Wanita yang sudah menua itu hanya bisa mengernyit, menghasilkan cekungan dalam di dahi keriputnya karena ia tidak bisa mengingat nama keluarga besarnya. Thompsen, sepertinya nama itu sangat familier di ingatannya, tetapi ia sepertinya lupa bahwa Tohmpsen adalah nama keluarganya, dan Ishney adalah nama saudara keluarganya.
Di luar, cucunya sedang asyik bermain dengan tetes air hujan yang sejuk nan segar. Senyumnya menghilang ketika ia melihat seorang bertubuh lebih besar darinya, mengenakan jubah hitam yang menutupi sebagian wajahnya, dan sebuah koper besar di sampingnya.
Siapa? gumam anak itu penasaran.
Orang tak dikenal tersebut mendekat ke arahnya. "Halo," sapa orang tersebut.
Sang cucu hanya diam tak menanggapi perkataan orang di hadapannya. Ia merasa ada hal yang ganjil terjadi padanya. "Ha-halo." Ia mencoba mengembangkan senyum.
Seseorang itu menepuk pundaknya, kemudian merunduk, menyesuaikan tinggi badan dengannya. "Perkenalkan, nama kakak Ertha Ergin. Asyik sekali, ya, bermain air di luar?" kata orang bernama Ertha tersebut.
Anak kecil bersurai hitam tersebut mengangguk kecil kemudian tersenyum mantap. "Kakak Ertha mau ikut main?" tawarnya.
Ertha menggeleng pelan sambil mengusap kepala anak kecil tersebut dengan lembut. "Kakak bukan anak kecil lagi. Kakak akan ajak permainan yang lebih seru nanti," sahut Ertha.
Lagi-lagi anak kecil itu mengangguk menanggapi perkataan Ertha yang sebenarnya sedang mengincar kepala anak itu. "Kakak ...," panggilnya.
"Hm?"
"Mata Kakak kenapa diperban?" tanyanya penasaran.
"Ah," desah Ertha pelan. "Ini tidak apa-apa, kok. Hanya kecelakaan kecil," jawabnya.
"Kakak jangan hujan-hujanan. Ayo masuk!" ajaknya.
Ertha menerima ajakan anak kecil tersebut. Ia mengembangkan seringai lebar ketika ia melihat sosok wanita berambut putih dengan wajah keriput menatapnya. Ia sudah tak sabar ingin bermain dengan keluarga Thompsen yang lain. Ini pasti akan jadi sebuah permainan yang lebih seru daripada sebelumnya.
Tak perlu susah payah seperti Feli. Acungkan saja pisau ke wajah mereka berdua, mereka pasti sudah menjerit ketakukan.
"Selamat sore. Aku datang. Untuk bermain dengan kalian berdua."
Seringainya begitu membunuh.
Ingat itu.
Ketika kau menemui tamu seorang anak kecil dengan seringai keji, jangan sesekali menatap seringainya. Karena jika kau melakukannya, berarti kau memberi kode kepadanya untuk segera bermain.
END.
***
Huaaaaaaaa :'3
Emak, akhirnya aku buat cerita sampe tamat, eheuheuheuhe. Aku begitu mengucapkan terima kasih buat pembaca sekalian, kalian sudah menemaniku menulis cerita ini. Dari bulan April sampe Januari :'v Lama sekaleh.
Bagaimana epilognya? TvT Kuharap menarik.
Ada yang pingin buku ke dua? ._. Kayanya enggak.
OKE. Terima kasih. Jangan lupa ketuk tanda bintang itu. WUHUUUUU.
Tapi eh tapi, buku ini nggak bakal ku tinggal sepenuhnya. Nanti bakal ada update kecil-kecilan seperti Ertha x Reader, atau asal usul, atau teka-teki cerita ini, atau apa pun itu.
Aku tak tahu harus mengucapkan apa TvT Aku BAHAGIA sekali dapat menyelesaikan sebuah novel. WUHUUUUUUUUUU.
Oke deh, buabay~
Ertha : "Aku masih menunggu korban selanjutnya, yaitu kamu para pembaca! *evil smirk*"
Shiro : "._. Biarin aja ding, jangan dipeduliin ucapannya Ertha si Vocah Tanpa Otak itu."
Ertha : "-_- Shiro minta dibacok *ambil kapak*"
Shiro : "Siapa takut! *ambil garpu*"
Kemudian terjadilah pertengkaran hebat.
Yang kangen sama cerita buatan Shiro //eak, bisa baca kumpulan cerpen horor di buku berjudul "Silakan"
Buabay~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro