Dua
Tiga suara berbeda beradu dalam satu ruangan. Gemeruyuh penggorengan, suara rintik hujan dan percikan air dari kamar mandi saling beradu di lorong rumah tuaku. Aku tak sempat berpikir anak kecil itu lama sekali mandinya. Dari awal aku masak sampai semuanya siap dia belum juga selesai. Bahkan, jika aku sempat aku akan memberinya penghargaan emas karena telah berhasil mengalahi waktu mandiku. Jujur saja, aku hanya butuh 5 menit untuk mandi. Aku ikhlas kau memanggilku jorok atau semacamnya.
Suara langkah kecil mendekati dari belakangku. "Aku sudah selesai, bahkan semua badanku sudah basah," gumam anak itu.
Aku yang sedang serius memandangi penggorengan terhentak berbalik badan. Aku memicingkan alis. "Kau tak seharusnya memakai baju itu lagi, " kataku pelan. "Bukankah kopermu itu penuh? Pakailah setelan di dalamnya. Bisa saja jamur akan tumbuh di kulitmu," sambungku.
Dia tertawa renyah. "Bahkan aku tak pernah membukanya," pekiknya sambil tertawa.
Aku menghela napas kuat lalu mematikan kompor yang menyala terus menerus sejak tadi hingga hujan berhenti. "Duduklah dulu di kursi, ya? Aku akan mengambilkan pakaian masa kecilku."
Anak itu mengangguk pelan dan langsung berbalik menghampiri kursi yang kutunjuk.
***
Di lorong-lorong aku hanya berpikir. Aku tidak percaya dia tidak membawa baju sepasang pun, kopernya yang kukatakan akan meledak itu memang apa isinya? Aku tak habis pikir sampai sana.
Aku melewati kamar yang kupinjamkan untuknya. Di situ aku bisa melihat kopernya yang masih tegap berdiri. Air hujan dari luar masuk sewenang-wenang lewat jendela yang anak kecil itu buka. Hah ... airnya mengendap di lantai kayu rumahku. Aku yakin dalam semalam, air itu akan berubah menjadi lumut-lumut halus.
Akhirnya aku masuk kamarku. Mencoba mencari baju kecilku yang akhirnya kupinjamkan untuk tamu yang tidak pernah kuharapkan kedatangannya. Kalau boleh meminta aku akan menjerit minta tolong pada nenek di kota sebelah. Bodohnya aku dulu tidak mau tinggal bersamanya.
Kalau dipikir, sih, anak kecil itu kelihatan imut sekali setelah mandi. Rambut panjangnya yang terurai basah di biarkan begitu saja dengan air-air yang meluncur melewati pipi lembutnya. Tapi, tetap saja dia tamu, harus diwaspadai, bisa saja, malam harinya dia pergi membawa hartaku.
"Ayah, ibu. Apa yang harus kulakukan sekarang?" ucapku sambil memandangi baju yang akan dikenakan anak menyebalkan itu. Iris mataku terasa tertusuk ribuan jarum akupuntur yang melesat dari langit. Titik air bergulir di pipiku, membuat keheningan seketika pecah menjadi kesedihan. "Aku rindu kalian!" seruku keras, sekeras kubisa. "Kenapa? Kenapa aku tidak ikut mati dengan kalian?"
***
"Kak?" suara lembut dari balik pintu kamarku menggema ke seluruh ruangan. Membuatku yang sedang bersedekap dengan bantal-bantal setiaku yang rela ditumpangi kepala bodohku terlonjak kaget.
"Kamu?" desahku pelan, meliriknya yang sedang berdiri tegap di ambang pintu kamarku.
Anak itu hanya tersenyum simpul lalu berjalan pelan ke arahku.
"Ah, maaf, ya, jadi lama. Pakai ini," tawarku sambil menyondongkan baju berwarna putih dengan renda-renda di seluruh bagian.
Anak itu mengambilnya dari tanganku. Matanya bergerak ke sana sini memperhatikan seluruh bagian baju yang kuberikan. Lalu ia mengangguk yakin lagi sambil tersenyum. "Terima kasih."
Aku berdiri lalu menepuk pundaknya pelan. "Ganti pakaianmu di dalam kamarmu. Bajumu yang basah ini jemur saja di luar. Hujannya sudah reda," ujarku lalu meninggalkannya. Aku berhenti lalu meliriknya sejenak. "Cepat. Kita makan malam bersama. Nanti keburu supnya dingin," sambungku sambil tersenyum.
Anak itu kembali mengangguk yakin lalu mencoba membuntutiku.
Betapa sejuknya ada yang bisa diajak mengobrol di rumah. Setelah 4 tahun di rumah sendirian, akhirnya aku bisa menerima seseorang tinggal di rumahku. Aku nggak akan menyianyiakan malam ini. Aku yakin dia anak yang baik.
***
Sekarang kami bertatap mata tanpa perbincangan sekata pun di meja makan. Dan sedari tadi ia hanya memandangi wajahnya yang terpantul di permukaan sup.
"Isinya hanya sayur dan jamur kancing,"gumamnya memperlihatkan sup yang ia ciduk ke arahku.
Aku mengangguk. "Itu karena aku sengaja tidak memasukkan ayam ke dalamnya." Aku menyeruput sedikit air minum di sampingku. "Kupikir lebih baik ayamnya kuolah untuk sarapan besok. Ya, kan?"
Anak itu hanya diam dengan wajah dingin tanpa membalas pernyataan -bodoh-ku. Dan ia mulai membuka mulutnya untuk memasukkan sendok dengan air sup yang sangat penuh. Sambil mengunyah ia berkata, "kakak sudah mandi?" tanya anak itu dengan mulut penuh yang terus mengunyah.
Kenapa ia tanya yang seperti itu sekarang? "Sudah, memang ada apa sampai tanya hal semacam itu?"
Dia menelan apa yang ia kunyah. "Sebelum menjawab pertanyaan kakak, aku mau tanya lagi. Nama kakak siapa?"
"Feli," jawabku singkat. "Kau?"
Dia menggeleng pelan. "Kalau mandi jangan malam-malam," katanya serius. "Kalau mandi malam saat sampoan jangan menunduk. Bisa saja sesuatu mengawasi Feli dari atas kepala Feli," lanjutnya.
Aku langsung bergidik kengerian. "Kamu percaya yang begituan?" kataku sambil tertawa renyah.
"Jangan sepelekan itu!"
***
Yah...
Saya nggak bisa tulis part ini panjang-panjang karena banyak masalah yang terjadi (?)
Tapi hal itu nggak membebani saya buat nulis ini kok. Sekali lagi terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro