Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 8

Free me,

From this pain I've been running from

I don't have a way back down, I'm stepping even further

Take my hand and turn me around

Free Me – Sia

----

"Jika kau bilang bahwa kau akan selalu ada di sisiku, apa itu artinya, aku bisa menaruh percaya padamu, Taehyung?"

Pertanyaan itu menghentikan pergerakan Taehyung yang hampir saja mencapai ambang pintu setelah mengantar gadis itu ke kamarnya. Seharusnya, Shira sudah tertidur pulas di atas kasurnya selepas obrolan yang mendalam malam itu. Namun, rupanya gadis itu sama sekali belum terlelap kendati malam semakin larut.

Kini, saliva Taehyung terasa mengkristal di kerongkongan. Sungguh, Taehyung bukan orang yang bisa dipercaya. Taehyung bahkan tidak percaya dengan dirinya sendiri. Lantas pertanyaan mudah itu berangsur-angsur terasa sulit untuk dijawab.  Hanya dibutuhkan salah satu dari dua jawaban mutlak semacam ya atau tidak untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi lidah Taehyung terasa kelu untuk menjawabnya. Taehyung hanya tak ingin mengecewakan gadis itu jika suatu saat, Taehyung ternyata mengingkari perkataannya.

Menunggu respons sang pria yang tampak ragu, Shira pun jadi bertanya-tanya tentang apa yang mungkin Taehyung pikirkan saat ini. Sayangnya, Taehyung hanya bergeming, tiada jawaban yang bisa diberikan Taehyung sebagai respons atas pertanyaan itu. Seolah menjadi isyarat bahwa tak seharusnya Shira mempertanyakan hal konyol semacam itu.

"Ah, itu... tentu saja." Taehyung pun akhirnya memilih mengiyakan saja, meski tampak ragu.

Terpampang jelas di mata Shira saat bahasa tubuh Taehyung tampak menunjukkan bahwa pria itu sedikit terbebani oleh kata-kata yang menjurus pada hal-hal yang lebih dalam dan serius ini. Pria itu bahkan tak berani berpaling menatap wajahnya.

Konyol memang. Sejak awal, hubungan ini hanya sebatas urusan bayi. Entah sejak kapan, Shira membiarkan masalah perasaan turut meruntuhkan logikanya.

Apa yang kau harapkan, Shira?

Gadis itu pun tersenyum miris sembari memejamkan matanya. "Lupakan saja Taehyung. Aku hanya sedang bercanda. Kau payah sekali."

Taehyung kontan membalik badannya untuk melihat lawan bicaranya sembari mengelus dada karena lega. "Oh? Ahahaha... aku sudah kaget, karena tadi kau terdengar sangat serius!"

Namun, gadis itu tak memberikan respons. Shira sudah tidur berbalik memunggunginya.

Aku bukanlah pria yang pantas untuk kau percaya, Shira.

Sepersekon lamanya, Taehyung masih berdiri di sana, masih memandang gadis itu dari belakang. Perlahan-lahan, matanya meneliti ke setiap inci bagian dari diri Shira. Rambut panjang nan indah milik sang gadis yang tergerai. Setiap gerak napas yang tergambar dari gerakan tubuhnya. Hingga akhirnya, lekukan tubuh sang gadis yang tanpa sengaja membuat Taehyung menelan salivanya. Sontak Taehyung memejamkan mata dan berbalik badan.

"Oh, astaga. Bekerjalah secara profesional, Taehyung!"

***

"Setelah kami evaluasi pasca radiasi, tumor di kepala Nyonya Park sudah mengecil. Jadi, kemungkinan besar, operasinya bisa dilakukan minggu depan sesuai jadwal yang sudah direncanakan," jelas Hagyeong panjang lebar sembari membaca rekam medis ibu angkat Taehyung di atas meja kerjanya. "Jadi, apa ada yang ingin kau tanyakan tentang keadaan ibumu, Taehyung?"

Taehyung hanya bergeming, tidak merespons pertanyaan dokter saraf itu. Merasa diabaikan, Hagyeong langsung saja menepuk pundak Taehyung hingga pria itu tersentak kaget. "Kim Taehyung!"

"Astaga! Kenapa kau mengagetkanku?!" protes Taehyung seraya mengelus dada pelan.

"Aku dari tadi sudah bicara panjang lebar, tapi kau malah asik melamun. Coba ulangi, apa perkataanku tadi?"

Taehyung menggaruk tengkuknya bingung. "Itu... tadi... apa, ya?"

"Benar, 'kan? Kau tidak menyimak penjelasanku. Kataku, operasi ibumu bisa dilakukan minggu depan, karena tumornya sudah mengecil pasca radiasi."

"Ah, baguslah kalau begitu." Taehyung hanya menyahut singkat, lalu pandangannya kembali kosong.

"Biasanya kalau pikiranmu sedang kosong seperti itu, kau pasti sedang terlilit utang atau tagihan rumah sakit belum kau bayar. Tapi, 'kan, semua sudah ditanggung Shira. Apa lagi yang sedang kau pikirkan sekarang?"

"Hagyeong," Taehyung tiba-tiba menatap serius pada Hagyeong. "Mungkin, sesuatu yang buruk telah terjadi di masa lalu Shira, sampai akhirnya dia mengidap penyakit itu."

"Wow, aku tidak salah dengar, 'kan?" Hagyeong berdecak setelahnya. Mendengar sebuah kalimat bermakna kepedulian dari mulut Taehyung adalah hal yang aneh bagi Hagyeong. Apalagi jika Hagyeong mengulas kembali ingatan bagaimana hebohnya adu mulut yang terjadi antara Taehyung dan Shira saat pertama kali dipertemukan. "Apa Tom and Jerry sekarang sudah berubah jadi Patrick dan kerang ajaib?"

"Aku sedang serius, Hagyeong," sahut Taehyung dengan tatapan sinis.

Hagyeong pun tertawa lepas, lalu buru-buru mengontrol mimik wajahnya untuk menghargai Taehyung. "Baik, baiklah! Sekarang katakan, kenapa kau jadi beranggapan begitu?"

"Malam itu, kami hanya berbincang biasa, lalu dia berubah menjadi sosok yang tak kukenal. Rapuh sekali. Kurasa, apa yang terjadi padanya dulu sangat melukainya."

Hagyeong terdiam sejenak, menelengkan kepalanya bingung dengan penuturan Taehyung yang terasa janggal. "Berbincang? Malam? Apa maksudmu?" tanya Hagyeong sembari menyesap ice americano di mejanya.

"Beberapa hari yang lalu, dia memutuskan tinggal bersamaku. Lalu kami jadi...."

Taehyung kontan terhenti ketika Hagyeong tanpa sengaja langsung menyemburkan air yang ada di mulutnya tepat ke arah wajah Taehyung. Kedua mata Hagyeong membelalak kaget, begitu pula Taehyung. Pria itu pun menyapu wajahnya yang basah sembari tersenyum miris.

"Wow, reaksi yang cukup menyegarkan," satir Taehyung kesal.

"Apa-apaan ini?!" kaget Hagyeong. "Kalian... tinggal bersama?! Dan Shira yang memutuskan itu?!"

"Shira hanya kasihan padaku. Kau tahu, 'kan, semua berawal karena insiden wanita tua yang datang mengaku sebagai ibuku itu."

"Shira bukan gadis yang mudah kasihan dengan orang lain. Apalagi sampai tinggal bersama dengan pria. Itu hal paling tidak mungkin!" tukas Hagyeong. "Sepuluh tahun yang lalu, Shira pernah melakukan terapi pemulihan fobia. Tapi, Shira gagal menyelesaikannya. Dia tiba-tiba drop out dari terapi dan tak pernah datang lagi pada psikiaternya."

"Kenapa? Apa alasan Shira berhenti terapi?" selidik Taehyung penasaran.

"Psikiater Jung menyarankan Shira untuk membuka hatinya pada seorang pria. Tapi Shira bilang, dia tak mungkin bisa hidup berdampingan bersama pria. Padahal, terapinya saat itu cukup membuahkan hasil. Perjuangan Psikiater Jung dalam mengobati Shira saat itu benar-benar besar hingga akhirnya Shira perlahan-lahan bisa melanjutkan hidupnya sedikit lebih baik. Shira yang dulunya sering panik jika melihat atau berada di sekitar pria, akhirnya mulai mampu berbaur di lingkungannya. Tapi, tiba-tiba dia berhenti, lalu memutuskan bergantung pada obat-obatan penenang seumur hidupnya untuk mengatasi gejalanya yang masih tersisa."

"Jadi, karena itu, ya, dia menolak pria hebat semacam Kim Namjoon?" gumam Taehyung. "Padahal... pria itu selalu berusaha mendapatkan cinta Shira selama ini."

"Wow, Shira benar-benar menceritakan semuanya padamu, termasuk soal Namjoon? Ini luar biasa." Hagyeong kembali berdecak kagum. "Shira paling membenci pria itu. Menyebut namanya saja, bisa merusak mood Shira seharian."

"Memangnya kenapa Shira bisa membenci Tuan Kim sebegitu besar?"

"Namjoon membuat kehidupan Shira yang seorang androfobia jadi berkali lipat bertambah buruk. Pria itu sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan cinta Shira, bahkan ia tak segan mencari tahu setiap seluk beluk kehidupan Shira. Namun, tingkah Namjoon yang agresif dan berlebihan itu justru membuat Shira terganggu. Puncaknya adalah saat Shira mendapati Namjoon pernah mengintai kehidupannya selama dua puluh empat jam penuh. Shira jadi bertambah benci dan muak padanya."

"Ke-kenapa dia melakukan hal semacam itu? Apa dia itu sejenis... pria mesum? Ini jelas perasaan cinta yang salah dan aneh."

"Entahlah. Mungkin, sikap Namjoon itu adalah hasil dari setiap penolakan Shira, yang akhirnya membuat Shira semakin tak bisa sejalan dengan Namjoon," jelas Hagyeong seraya menghela napas. "Namjoon mungkin datang di saat yang kurang tepat, dengan cara mencintai yang keliru."

"Padahal, kalau Shira melanjutkan terapi dan membuka hati untuk Namjoon, mungkin sekarang dia sudah hidup bahagia bersama Namjoon," ujar Taehyung ikut berasumsi.

"Menurutmu begitu?" Hagyeong tampak heran. "Jika dibandingkan dengan Namjoon, aku rasa sekretarisnya yang tampan itu jauh lebih pantas untuk diperhitungkan. Tapi, Shira tidak mau."

"Han Seokjin dan Shira?" Taehyung meringis. "Astaga. Sulit dibayangkan...."

Hagyeong pun tertawa kecil. "Shira juga bilang begitu padaku. Katanya dia tidak mungkin dengan Tuan Han. Padahal menurutku, Tuan Han mungkin saja menaruh cinta padanya selama ini."

"Ah, masa? Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Taehyung terdengar kurang setuju.

"Rasanya hampir mustahil ada pria yang bisa bertahan sebegitu lamanya di sisi Shira yang keras kepala dan arogan tanpa ada perasaan apapun. Padahal, Tuan Han bisa saja mendapat pekerjaan yang lebih tinggi dibanding menjadi sekretaris pribadi Shira. Tapi, dia tetap saja berkeliaran di sekitar Shira sampai sekarang, 'kan?" Hagyeong menyipitkan matanya seperti sedang menduga sesuatu. "Tuan Han bahkan selalu menemani Shira berkonsultasi tentang obat rutinnya denganku, selama sepuluh tahun. Mustahil, 'kan, kalau Tuan Han tidak menaruh perasaan apapun selama ini?"

Taehyung terdiam sejenak. Ia pikir, Hagyeong mungkin saja benar. Seokjin memang terlihat cukup kompeten jika menjadi seorang direktur atau pebisnis sukses. Bahkan, tampaknya juga lebih kaya dibanding Shira. Namun, pria itu memilih bertahan dalam waktu yang lama hanya menjadi seorang sekretaris pribadi Shira.

"Omong-omong, aku baru menyadari kalau Shira sudah tidak pernah lagi meminta resep obat penenang padaku. Seharusnya dia mengambilnya beberapa minggu yang lalu. Padahal, aku sudah menyiapkan resep obat penenang yang aman selama masa kehamilannya."

"Hagyeong, apa boleh aku tahu, nama psikiater yang pernah membantu Shira dulu?" Alih-alih merespons perkataan Hagyeong, Taehyung malah menanyakan hal lain padanya.

"Oh? Namanya Jung Hoseok. Dia juga praktik di rumah sakit ini."

***

Sepulang dari menjenguk ibunya yang tengah terbaring koma, Taehyung menyempatkan diri singgah ke suatu tempat di rumah sakit. Pria itu kini berdiri tepat di depan ruangan dengan pelang nama 'dr. Jung Hoseok' tertera di pintunya. Taehyung berencana menemui psikiater itu setelah mendengar cerita singkat dari Hagyeong tentang masa lalu Shira. Namun, ia hanya bergeming di tempatnya berdiri.

"Untuk apa, Taehyung? Apa harus kau melakukan hal sejauh ini? Menemui Dokter Jung hanya untuk membantu Shira keluar dari masalahnya?" Begitu pergolakan yang terjadi di batin Taehyung. "Ini agaknya berlebihan. Setiap orang pasti punya masalah dan Shira memang harus menyelesaikannya sendiri, 'kan?"

Setelah berpikir cukup lama, Taehyung pun berbalik arah. Namun, sepersekon kemudian, Taehyung teringat dengan Shira yang tiba-tiba datang menghiburnya kemarin. Terutama saat gadis itu menyatakan tak akan membiarkan Taehyung melalui masalahnya sendirian. Setelahnya, Taehyung terhenti, lalu berdecak sebal. "Tapi, aku sudah sampai di sini. Tidak ada salahnya, 'kan, mencoba menolong Shira?"

Ketika Taehyung berbalik arah, ia mendengar perdebatan yang terjadi antara seorang pasien dengan perawat yang sedang bertugas di samping ruangan Dokter Jung. Pasien tua itu tampak frustasi karena perawat bersikeras tak mengizinkannya menemui Dokter Jung. "Maaf, Pak. Jika mau bertemu dengan Dokter Jung, Anda harus membuat janji terlebih dahulu. Bila ingin berkonsultasi, silakan ke tempat pendaftaran dan menyerahkan struk pembayaran pada kami," jelas seorang perawat yang sedang bertugas di poli kejiwaan.

"Ta-tapi, saya benar-benar butuh bantuan Dokter Jung. Saya sudah biasa menemui Dokter Jung secara gratis, Suster. Jika mendaftar, biayanya terlalu mahal, jadi saya...."

"Maafkan saya sekali lagi, Pak. Ini sudah menjadi prosedur yang wajib diikuti di rumah sakit ini. Mungkin Anda bisa membuat janji terlebih dahulu sebelum datang ke sini."

Menyaksikan perdebatan antara pasien dan perawat itu membuat Taehyung mundur teratur, lalu memeriksa isi dompetnya. Hanya terdapat selembar dua ribu won di sana, kertasnya tampak usang dan hampir robek. Taehyung pun meringis. "Peduli dengan sesama ternyata juga butuh uang yang banyak, ya."

Namun, Taehyung tak kehabisan ide. Pria itu memutuskan pergi dari sana, tetapi beberapa menit kemudian kembali datang dengan segelas minuman soda yang dibelinya di kantin rumah sakit dengan uang yang tersisa di dompetnya itu.

"Permisi, soda limun pesanan Dokter Jung sudah datang!" seru Taehyung tiba-tiba, mengagetkan perawat yang sedang mengisi lembar administrasi pasien. Taehyung pun menunjuk ke arah ruangan sembari mengerlingkan matanya, "Saya diminta masuk ke dalam untuk mengantarkan secara langsung."

Perawat itu menatap bingung pada Taehyung. "Rasanya, Dokter Jung tidak pernah minum soda limun. Kenapa tiba-tiba dia pesan itu?" Setelah lama berpikir, akhirnya perawat itu mengizinkan Taehyung masuk ke ruangan Dokter Jung. "Baiklah, antarkan saja minuman beliau ke ruangannya."

Taehyung pun melangkah menuju ruangan Dokter Jung. Setibanya di depan pintunya, Taehyung mengetuk pelan pintunya, kemudian terdengar suara lantang seorang pria yang mempersilakannya masuk.

"Ya, silakan masuk," titah Dokter Jung, diikuti Taehyung yang masuk ke dalam. Dokter Jung tampak sibuk membaca sebuah rekam medis di mejanya. "Nona Choi Shira, silakan masuk."

"Ma-maaf?"

Suara bariton milik Taehyung lantas mengejutkan Dokter Jung. Pria itu hampir terjatuh dari kursinya saat mendengar suara berat Taehyung. "A-astaga? Si-siapa kau?!"

Taehyung yang ikut terkejut melihat respons Dokter Jung pun memperkenalkan diri. "Sa-saya Kim Taehyung, Dok."

"Maaf, saya sedikit lupa dengan beberapa pasien saya." Dokter Jung menyipitkan matanya, berusaha mengingat pria yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. "Oh? Sebentar, Kim... Taehyung?"

"Saya bukan pasien Anda, Dok. Saya hanya ingin membicarakan beberapa hal pada Anda tentang... kondisi seorang teman, tapi sepertinya Anda orang yang sulit ditemui."

"Kau pendonor inseminasi itu?" tanya Dokter Jung. "Pendonor inseminasi untuk Choi Shira?"

"Woah! Luar biasa! Kau bahkan bisa menebak sesuatu semacam itu? Kemampuan analisismu sangat tajam. Pantas saja pasienmu banyak sekali."

Dokter Jung menepuk jidatnya cemas. "Nak, tidak seharusnya kau menemuiku sekarang," ujar Dokter Jung seraya mendorong Taehyung segera keluar dari ruangannya.

Namun, Taehyung segera mengeratkan kedua pegangannya pada meja kerja Dokter Jung. "Ta-tapi, ada... beberapa hal yang ingin saya tanyakan tentang Shira, Dok!"

"Oh, astaga! Kenapa kau sangat kuat? Cepat keluar, Nak! Karena...."

"Mungkin, bolehkah kita bertemu di lain waktu?"

"Baiklah, tapi sekarang kau sebaiknya keluar dari sini, karena..."

"Apa kau kesal karena aku tidak membayar uang konsultasi?!"

"Karena pasienku yang akan masuk selanjutnya adalah Choi Shira!"

Taehyung membeliak kaget. Belum sempat berkata-kata, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar, mengejutkan Taehyung dan Dokter Jung. "Permisi, Dok. Boleh saya masuk?"

Suara gadis yang familier di telinga Taehyung itu sontak membuat Taehyung panik.

"Cepat kau bersembunyi di ruangan kecil di sana!" bisik Dokter Jung sembari menunjuk sebuah kamar sempit di dalam ruangan yang dikelilingi kaca gelap.

Lantas, Taehyung langsung mengikuti arahan Dokter Jung. Di dalam ruangan itu, ia dapat melihat jelas ke arah luar tempat Dokter Jung tengah berdiri. Tak berapa lama, Shira masuk dan kemudian duduk di kursi pasien, tepat menghadap ke arah Taehyung yang sedang berdiri di dalam ruang sempit itu, sementara Dokter Jung duduk di kursi lain di sampingnya.

"Jadi, bagaimana? Apa kau sudah melakukan hal yang aku sarankan?" tanya Dokter Jung.

"Akhirnya... aku memutuskan pindah ke rumah pria itu sejak beberapa hari yang lalu, seperti saran yang pernah kau katakan padaku untuk memulainya dengan pendonor inseminasi itu." tutur Shira pelan.

Taehyung terkesiap di balik persembunyiannya. Jadi... Shira tiba-tiba datang padaku... karena ingin memulai kembali terapinya?

"Dan ceritakan apa yang kau rasakan setelahnya?"

"Aku rasa, aku tidak bisa melanjutkannya lagi dengan Taehyung."

Raut Dokter Jung berubah bingung. "Kenapa? Apa pria itu menjauh?"

Shira menggeleng. "Taehyung mungkin merasa terbebani saat aku bertanya apakah aku bisa menaruh percaya padanya. Jadi, aku memilih mundur sebelum melibatkan pria itu lebih jauh."

Di dalam ruang kaca itu, Taehyung semakin dilanda rasa bersalah ketika mendengar penuturan Shira. Dan saat itu pun, sebenarnya dia ingin meminta bantuan padaku. Tapi, aku malah....

"Kau masih saja sama, Nona Choi." Sedikit menghela napas, Dokter Jung pun kembali bertanya pada Shira. "Lalu, dengan siapa lagi kau akan berani mencobanya, Nona Choi?"

"Aku masih belum tahu. Untuk sementara, mungkin aku akan kembali pada obat-obatan itu."

"Bukankah kali ini kau ingin sembuh demi bayimu? Janinmu terus tumbuh semakin besar dan kemudian lahir ke dunia, tapi kau masih belum lepas dari bayang-bayang penyakitmu," ujar Dokter Jung prihatin.

Tanpa sadar air mata kembali jatuh dari kedua pelupuk Shira. "Lucu sekali," satir Shira. "Dulu, aku yang sangat menginginkan inseminasi ini. Tapi, sekarang... rasanya aku menyesal telah melakukannya." Shira pun menyeka tangis yang meleleh di pipinya. "Tanpa sengaja, aku sudah menyeret bayi ini masuk ke dalam hidupku yang sulit. Apa pun yang kulakukan selalu berhasil membuatku merasa semakin tampak buruk," terang Shira. "Kadang aku berpikir, apakah lebih baik aku menghilang saja dari dunia ini?"

"Bodoh, jangan katakan hal semacam itu!" batin Taehyung sembari mengepalkan tangannya.

"Nona Choi, kau sudah sampai tahap ini. Menyerah bukanlah ide yang bagus. Obat pun hanya menyelesaikan masalahmu sesaat, tidak sampai pada akarnya." Dokter Jung menghela napasnya. "Sungguh... jatuh cinta adalah resep terbaik bagi seorang androfobia, Nona Choi. Apa kau tidak bisa membiarkan satu saja pria hadir dalam hidupmu?"

Shira tak kunjung merespons Dokter Jung. Saat ini, Shira jelas nampak tertekan. Sepersekon selanjutnya, hal lain justru terungkap dari mulutnya. "Aku tak berani lagi merasakan cinta sejak Tuan Han bilang aku bukanlah wanita yang pantas untuk dicintai."

Taehyung mengernyit bingung. "Tuan Han?"

Shira pun melanjutkan kalimatnya. "Sejak itu, aku banyak menahan diri, meski harus menyaksikan banyak kehidupan wanita seusiaku berjalan normal. Mereka menjalin cinta dengan pria, menikah, punya anak dengan cara yang lazim, dan bahagia. Kau tahu? Rasanya seperti... dunia di sekitarku terus berputar sementara hanya aku yang diam saja di tempatku. Stagnan. Terjebak dalam masalah tanpa bisa menemukan jalan keluar. Dan kemudian, aku tersadar bahwa... lima belas tahunku sudah terlewati dengan sia-sia."

Taehyung menatap nanar pada gadis yang tengah duduk di kursi tersebut dengan wajah tanpa ekspresi, sementara likuid bening terus mengalir dari pelupuk matanya. Bibir gadis itu bergetar menahan getir, hingga akhirnya tangisnya tumpah seluruhnya. Perlahan, Taehyung meletakkan tangan di dadanya, merasakan ada sesuatu yang ikut sakit di sana.

Kenapa... sesakit ini?

***

Sekitar pukul delapan malam, Taehyung baru saja menginjakkan kakinya di rumah setelah seharian penuh berada di luar. Pria itu berjalan mengendap-endap menuju kamar mandi, dan mendapati Shira sudah tiba di rumah lebih dulu. Gadis itu tampak sibuk menata bahan makanan ke dalam kulkas. Sesaat Taehyung termenung, mengilas balik obrolan yang sempat dilakukannya dengan Dokter Jung.

Sore tadi, Taehyung telah membuat janji dengan Dokter Jung selepas jam praktik psikiater itu. Banyak hal yang baru diketahui Taehyung, seperti peran Dokter Jung yang menyarankan Hagyeong menganjurkan program inseminasi buatan untuk Shira sebagai salah satu cara terapinya, serta memilih Taehyung sebagai pendonornya.

"Mengatasi permasalahan mental seseorang itu tidaklah gampang. Hampir seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Psikiater sepertiku hanya bisa membantu Shira melihat peluang-peluang kesembuhan yang ada. Contohnya, bayi itu." Dokter Jung mulai menjelaskan alasan dibalik sarannya itu. "Ketika manusia punya tujuan hidup yang jelas, dia akan berusaha untuk meraihnya meski harus melalui banyak hal sulit. Shira sangat mendambakan seorang bayi dalam hidupnya. Dengan munculnya tujuan hidup yang baru, aku pikir Shira bisa membangkitkan semangat untuk sembuhnya lagi. Dan mungkin sekarang, kau pun juga bisa menjadi peluangnya," tutur Dokter Jung panjang lebar.

"Lalu, kenapa aku? Aku memang butuh uang, tapi kau tentu tidak sembarangan memilih orang untuk dijadikan objek terapi pasienmu?!" cerca Taehyung. "Bagaimana... kalau aku adalah orang jahat yang berniat menjebak Shira? Bagaimana kalau aku hanya ingin mengeruk keuntungan banyak darinya? Bagaimana jika...."

"Tapi buktinya, kau datang padaku hari ini. Demi Shira," potong Dokter Jung. "Bukankah itu artinya, kau peduli padanya?"

Taehyung tersentak mendengar asumsi Dokter Jung. "A-aku... hanya ingin... tahu masalah Shira. Tampaknya, sesuatu yang buruk sudah menimpanya. Gadis itu sudah banyak menolongku, sekarang aku ingin melakukan hal yang sama."

Dokter Jung kontan menggeleng. "Aku tak bisa memberikan informasi lebih banyak lagi tentang penyakit Shira, karena itu artinya aku melanggar kode etik yang ada. Hanya sedikit hal yang bisa kuberikan padamu. Sisanya, jika kau masih ingin tahu, kau harus biarkan gadis itu sendiri yang menceritakannya padamu," tegasnya.

"Ayolah, apa kau tidak dengar kalau dia ingin menghilang dari dunia?! Bagaimana kalau dia melakukan percobaan bunuh diri lagi?!" bentak Taehyung cemas. "Aku harus tahu tentang permasalahan Shira secepatnya jika ingin menolong Shira. Tapi, sekarang kau malah menghambatku!"

"Dengar, Nak. Lima belas tahun itu waktu yang sangat lama. Gadis itu sudah kehilangan hampir separuh masa hidupnya sebagai wanita normal yang harusnya bisa jatuh cinta pada siapa pun. Namun, tak ada satu pun yang mampu menemukan dan mencintai dirinya dalam versi yang sesungguhnya," kata Dokter Jung. "Barangkali, Shira memang berpikir bahwa menghilang dari dunia adalah pilihan yang terbaik. Padahal mungkin, sebenarnya dia hanyalah ingin ditemukan."

Lamunan Taehyung buyar ketika Shira tiba-tiba menyergahnya dengan berbagai pertanyaan tatkala presensi Taehyung bergeming di depan pintu kamar mandi. Seperti maling yang tertangkap basah, Taehyung berubah pucat. Kendati Taehyung sudah berhasil mengendap-endap masuk, Shira tetap saja menyadari kedatangannya itu.

"Dari mana saja kau?" tanya Shira sembari menyusun bahan makanan di kulkas. "Kau sudah punya pekerjaan baru, ya?"

"Ah, ti-tidak. Aku hanya bepergian keliling kota saja." Taehyung mengarang bebas.

Dengan wajah teramat lelah, Shira masih sibuk menyusun barang di kulkas. "Aku sudah memenuhi isi kulkas ini dengan susu, buah-buahan, kimchi, serta bahan makanan praktis lainnya. Kau hanya perlu memanaskannya. Mungkin mulai besok, aku akan kembali ke rumahku, karena tampaknya kau sudah mulai membaik sekarang."

"Kenapa kau tidak bilang saja, sih, yang sebenarnya?"

Shira terhenti dari aktivitasnya. Kini, atensinya tersedot pada Taehyung sepenuhnya. "Bilang apa?"

"Kalau kau sebenarnya sedang memulai terapi pemulihan lagi." Taehyung menjeda sesaat. "Aku tidak sengaja melihatmu di rumah sakit pagi tadi."

Taehyung kini melangkah jauh lebih dekat ke arah Shira, kemudian menumpu kedua tangannya pada tepi meja dapur, dan memandang lekat-lekat pada Shira yang sedang bediri di balik meja dapur itu. "Jadi, katakan, kenapa kau tiba-tiba memulai terapi lagi?"

"Bukan urusanmu," sahut Shira singkat seraya memasukkan kembali bahan-bahan makanan ke dalam kulkas.

"Jadi urusanku, karena kau memanfaatkanku."

"Memanfaatkanmu bagaimana?" protes Shira. Ia kembali mengalihkan atensinya pada Taehyung.

"Kedatanganmu ke rumah ini adalah salah satu metode dalam terapi pemulihanmu, kan?"

"I-itu... kenapa kau...." Shira tercekat sesaat, kemudian akhirnya mengakui. "Dari mana kau mengetahuinya? Apa Dokter Jung yang bilang padamu, huh?"

"Sebenarnya tidak masalah kalau kau memanfaatkanku seperti ini, hanya saja aku sedikit kecewa." Taehyung mendecih. "Aku pikir, kau benar-benar peduli padaku. Tapi, ternyata...."

"Hei, aku benar-benar peduli padamu! Tapi, kebetulan saja waktunya bertepatan. Ja-jadi sekalian saja...." Shira mulai gelagapan bicara. "Ma-maksudku tidak sepeduli itu juga, hanya mencoba menumbuhkan empati padamu! Iya,  begitu! Ja-jadi... kau jangan terlalu percaya diri juga, ya!"

Taehyung mengulas senyum tipisnya melihat kepanikan Shira yang tampak lucu saat mencoba menjelaskan motifnya. "Hei, kau sudah memanfaatkanku diam-diam, jadi kau harus ganti rugi."

Shira sontak membeliak. Gadis itu pun memutar bola matanya malas, kemudian mendecih pelan. "Segala hal memang selalu kau uangkan, ya?"

"Kali ini, aku tidak ingin uang," tukas Taehyung. "Hanya pekerjakan aku kembali untukmu. Tapi, kali ini, aku akan meminta tiga rangkap pekerjaan."

"Astaga? Kenapa sekarang kau jadi bertambah serakah?" heran Shira.

Taehyung pun bersedekap sembari berdeham. "Aku ingin kembali bekerja menjadi modelmu saat kau juga bekerja di kantor. Aku juga ingin jadi supirmu saat kau mau pergi kemana pun. Dan aku juga ingin jadi... teman hidupmu di dalam rumah ini." Kali ini, Taehyung mengalihkan tatapan sepenuhnya pada Shira.

Shira membeliak kaget, bingung dengan Taehyung. "Apa, sih, maksudmu?"

"Maksudku, aku ingin dua puluh empat jam penuh bersamamu."

Shira sontak terkesiap. Gadis itu hanya bisa mengerjap matanya berulang kali. Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutnya sedikit pun saat ini. Lamat-lamat, wajahnya mulai memanas. Hatinya berubah jadi tak karuan. Perutnya terasa penuh, seolah ada yang berterbangan di sana, seperti yang pernah dirasakannya dulu. Namun, kali ini juga disertai rasa mual yang membuat Shira tanpa sengaja menampilkan ekspresi ingin muntah.

"Ya! Reaksi macam apa itu? Jangan bilang kalau kau mau muntah mendengarnya." Taehyung mengerungkan kening seraya mengerucutkan bibirnya kesal. "Aku sedang berusaha romantis, tapi kau malah mual!"

"Bu-bukan itu maksudku!" Shira pun menutup mulutnya, guna menahan mual. "Kenapa? Kau sedang merencanakan apa? Ini terdengar... mencurigakan, tahu!" ujar Shira membual, kendati sesungguhnya hatinya terasa berbunga-bunga sekarang.

"Bayi itu, 'kan, alasanmu ingin sembuh?" tanya Taehyung.

Shira menggigit bibirnya, sedikit terpekur pada sosok Taehyung yang kini sedang menatapnya dalam. Entah sihir apa yang baru saja diberikan oleh Taehyung hingga Shira tak lagi mampu mengungkapkan penolakannya lagi.

"Mulai sekarang, aku akan membantumu sembuh pelan-pelan. Sebelum bayinya lahir. Sebelum aku... pergi dari kehidupan kalian," pungkas Taehyung.

Jika kau memang ingin menghilang, maka aku akan berusaha menemukanmu, Shira.

***

"Apa hari ini dia masih pergi ke psikiater itu, Pak Jang?" Pertanyaan itu langsung saja terlontar oleh Kim Namjoon sesaat setelah salah seorang pria berpakaian formal masuk ke dalam ruang kerja di rumahnya, di kediaman keluarga Kim. Dari balik meja kerjanya, Namjoon menyilangkan kaki sembari melayangkan tatapan tajam, menunggu pesuruhnya itu melaporkan hasil pengintaiannya setelah mengawasi aktivitas Choi Shira beberapa hari terakhir.

"Se-selamat malam, Tuan Kim," sapa Pak Jang sebagai permulaan, seraya membungkuk hormat pada majikannya. "Masih, Tuan."

"Kalau begitu cepat siapkan informasi yang kau dapatkan tentang hasil konseling Shira hari ini." Namjoon mengurut pelipisnya pening. "Oh, ya. Dia pasti sudah pulang, 'kan, dari rumah cecunguk itu, Pak Jang?"

Tekanan yang diberikan dari gerak tubuh Namjoon yang tampak frustasi membuat Pak Jang semakin pucat pasi. Ia hanya bergeming dan membisu. Tak ada satu pun kata yang berani lolos dari mulutnya.

Namjoon malah semakin tersulut ketika mendapati bawahannya itu tak kunjung melaporkan apa yang ingin ia tahu. "Kenapa kau diam saja?! Cepat katakan!" seru Namjoon sembari memukul keras meja kerjanya demi menekan mental si pesuruh.

"Be-belum, Tuan."

"Apa katamu?" Namjoon membeliak kaget. "Bagaimana bisa?! Ini sudah hampir beberapa hari dan Shira masih belum juga pergi?! Ini mustahil!" bentak Namjoon, membuat Pak Jang bergidik dan gemetar.

"Se-sebelumnya... Nona memang menggeret dua koper yang besar ke rumah itu, Tuan." Setelah mengumpulkan banyak keberanian, akhirnya Pak Jang  mengatakannya juga pada Namjoon. "Ja-jadi, sepertinya...."

Namjoon pun memejamkan matanya dengan alis bertaut, menyerap apa yang barusan ia dengar dari mulut pesuruhnya. Giginya gemeretak pun tangannya mengepal kuat menahan amarah. "Maksudmu... Shira akan tinggal selamanya bersama cecunguk bangsat itu?"

Pak Jang kembali tergugu, lalu mengangguk ragu seraya menunduk. Rasa takut membumbung segera setelah mendapati kedua netra majikannya kini menyalang penuh amarah.

"Dasar tidak berguna! Keluar kau, berengsek!" cerca Namjoon dengan nada kepalang tinggi, membuat seluruh penghuni kediaman Keluarga Kim tersentak. Pak Jang pun jelas bergegas keluar dari ruang kerja majikannya, sebelum setan di dalam diri Namjoon bangkit.

"Apa-apaan ini?! Kenapa semuanya justru tidak berjalan sesuai dengan rencana?" Merasa kesal, Namjoon pun meluapkannya dengan menyingkirkan seluruh barang yang ada di atas meja kerjanya hingga jatuh tersapu oleh lengan besarnya. "Kupikir dia bisa diandalkan, tapi nyatanya, orang itu benar-benar tak berguna!"

Vibrasi ponsel di balik saku celananya membuat atensi teralihkan. Lantas, ia merogoh ponselnya di saku celana, buru-buru memeriksa isi pesan dari satu nomor tak dikenal. Namun, emosinya jadi semakin tersulut selepas membaca pesan masuk tersebut.

"Kurang ajar! Berani-beraninya orang itu main-main denganku?!" Namjoon pun melemparkan ponselnya ke lantai begitu saja, kesal dengan isi pesan yang luar biasa membuat amarahnya semakin meledak-ledak.

"Rupanya dia masih belum tahu, siapa Kim Namjoon sebenarnya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro