BAB 6
Shira yang sedang sibuk di ruang kerjanya lantas bergegas pergi ke toilet ketika rasa mual itu semakin menyiksa perutnya, seolah memaksa lambungnya mengeluarkan seluruh isinya melalui mulut. Belakangan, Shira merasa kurang sehat. Dirinya kerap merasa sempoyongan dan lebih lemas dari biasanya. Belum lagi setiap pagi, Shira selalu memuntahkan sarapan yang baru disantapnya beberapa menit yang lalu seperti sekarang. Ia sungguh kehabisan tenaga karena asupan yang ia telan sekarang harus dikeluarkan sebelum sempat dicerna.
"Ya, Tuhan." Shira mengerjap lemas. "Apakah aku sudah...."
Ia mulai menghitung kalender menstruasi di ponselnya. Periodnya memang sudah berlalu sejak satu minggu, tetapi ia belum mau berharap lebih sebelum memastikannya terlebih dulu. Maka, ia pun mengeluarkan test pack yang telah ia beli sejak hari inseminasi itu dilakukan.
"Tiga minggu setelah inseminasi, dan satu minggu terlambat dari periodku biasanya. Sepertinya aku sudah bisa memastikannya dengan ini, 'kan?"
Sembari menunggu hasil, Shira tak bisa berhenti mondar-mandir. Lantas, sebelum melihat hasilnya, ia memutuskan untuk pergi ke ruang studio. Mungkin saja Taehyung sudah kembali dari acara pameran sehingga ia bisa melihat hasilnya bersama Taehyung.
Ketika Shira baru saja keluar dari toilet, Seokjin berlari menghampirinya dengan gurat wajah cemas. Napasnya saling memburu, sampai dirinya kesulitan bicara. "Shira... ada sesuatu... yang terjadi!"
"Ada apa? Katakan padaku!"
"Taehyung.... ada seorang wanita mengacaukan acara pameran... dia... mengaku ibu kandungnya Taehyung!"
Shira tersentak kaget. Setahu Shira, ibu Taehyung sedang terbaring koma dan sedang menunggu jadwal operasi tiba. "Tidak mungkin. Ibunya sedang sakit sekarang."
"Aku juga tidak tahu kebenarannya karena Taehyung hanya diam saja sejak tadi."
Seokjin pun memperlihatkan sebuah video yang beredar saat seorang wanita tua menyerang Taehyung hingga berakhir diseret oleh pihak keamanan. Taehyung hanya terdiam membisu di sana, hingga menimbulkan pertanyaan bagi siapa saja yang menyaksikan insiden itu.
"Masalahnya, sekarang sudah mulai merebak isu bahwa Taehyung telah mengacuhkan ibunya sendiri." Seokjin pun mengurut pelipisnya pening. "Sulit dipercaya, Panache selalu saja menemui masalah sejak kedatangan gembel itu, huh!"
Shira mengamati reaksi Taehyung yang tampak tidak biasa. Ia lebih terlihat seperti syok ketimbang acuh layaknya perkataan media massa. Sungguh, Shira yakin Taehyung tampak terguncang di video itu. Dalam sekejap, rasa cemas pun meliputi Shira. "Katakan, di mana dia sekarang?"
***
Shira mempercepat langkahnya menuju tempat di mana Taehyung berada. Menurut informasi yang diberikan Seokjin, Taehyung sedang berada di ruang istirahat model. Setelah sampai di sana, Shira menemukan Taehyung terduduk dengan pandangan kosong menatap dirinya sendiri di hadapan cermin. Wajahnya datar, tak berekspresi. Tak bersemangat, tak seperti dia yang biasanya
Ketika Shira mencoba melangkah mendekati Taehyung, sosok Yerim muncul dari pantry membawa dua gelas kopi di tangannya. Melihatnya membuat Shira mengurungkan niat, dan hanya mengintip dari balik pintu. Yerim pun menyodorkan segelas kopi untuk Taehyung.
"Minumlah kopi ini, Taehyung."
Bodoh. Dia tidak suka kopi!
"Te-terima kasih, Yerim."
Taehyung menatap ngeri pada segelas kopi yang dibawakan Yerim, tapi ia tetap menenggaknya. Sontak wajah Taehyung berubah masam. Matanya menyipit dan lidahnya melepeh. Kopi terlalu pahit baginya.
"Astaga. Tidak enak?"
"Ha-hanya kurang suka kopi."
"Maafkan aku, aku tidak tahu!"
Shira mendengus pelan. "Ya, ampun. Begitu saja dia tidak tahu? Aku yang baru mengenalnya dua bulan saja sudah tahu, kalau dia tidak bisa minum kopi."
"Tidak apa-apa, Yerim. Terima kasih sudah datang menghiburku." Taehyung tersenyum miris. "Sepertinya aku akan pulang sebentar, untuk menenangkan diri."
Taehyung pun beranjak dari kursinya. Baru hendak berbalik, langkahnya terhenti ketika Yerim tiba-tiba memagutnya erat, menyembunyikan wajah di balik dada Taehyung.
"Ini pasti membuatmu syok. Aku tahu betul, sejak kecil kau selalu ingin bertemu dengan ibumu. Tapi dia tidak pernah datang untuk menjemputmu lagi, seperti janjinya pada Ibu Panti. Sampai akhirnya orang tua biadab itu datang mengadopsimu!"
"Yerim, ini sama seka—"
"Dan seseorang tiba-tiba datang dengan cara seperti itu? Jika benar dia ibumu, tidak sepantasnya dia muncul setelah sekian lama! Dia meninggalkanmu di panti begitu saja, tidak pernah datang barang sekalipun untuk melihatmu. Dia tidak layak disebut sebagai Ibu!"
Taehyung menggigit bibirnya yang mulai bergetar menahan tangis. Yerim telah menyentuh sesuatu yang terlampau rapuh di relung hatinya. Kesedihan yang ia simpan dengan baik sejak tadi, akhirnya tumpah juga seketika. Tanpa ia sadari, likuid bening mulai memenuhi pelupuk mata hingga mengalir membasahi pipinya. Taehyung pun buru-buru menyapu air mata yang entah sudah berapa lama tak pernah jatuh lagi.
"Menangislah, Taehyung. Jangan ditahan. Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat untukmu menunggu ibumu datang. Setelah kau mulai sukses dan terkenal, dia malah...." Yerim tak sanggup melanjutkan cercaannya. Ia mulai terisak setelah meluapkan seluruh empati yang terpendam.
Perlahan, pelukannya bersambut oleh dekapan erat dari Taehyung. Pria itu pun menangis sejadi-jadinya di ceruk leher Yerim. "Aku... tak tahu harus... berbuat apa, Yerim. Harapan... bertemu dengannya... bahkan sudah... kukubur sejak lama...," sahut Taehyung sesenggukan.
Shira hanya memandangi keduanya yang sedang berpagut erat membagi luka. Sesekali ia mendecih. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Konyol sekali. Perasaan macam apa ini?"
Pada kenyataannya, ketimbang soal minuman yang dibenci Taehyung, ternyata Yerim tahu sesuatu yang lebih penting. Yerim jauh lebih tahu tentang kesedihan Taehyung, dibanding dirinya yang hanya tahu sisi luar pria yang selalu tampak bahagia itu.
Shira bahkan tak pernah menanyakannya pada Taehyung, berpikir bahwa pria itu hidup baik-baik saja selama ini. Entah mengapa, menyadari bahwa dirinya hanya orang baru yang tak tahu apa pun jadi membuatnya kesal.
Hasil test pack yang ia pandangi sedari tadi pun ia abaikan begitu saja. Dua garis yang muncul di sana mungkin bukan berita yang hebat untuk Taehyung yang sedang kalut sekarang.
Tidak boleh begini. Aku harus berbuat sesuatu untuk masalah Taehyung!
***
Anakku, Kim Taehyung. Winter Bear kesayangan ibu.
Apa kabar, Sayangku? Kau tumbuh sehat dan tampan, persis seperti mendiang ayahmu. Sepeninggalan ayahmu, ibu tak sanggup merawatmu seorang diri. Kesalahan terbesar yang pernah ibu lakukan adalah meninggalkanmu di Panti Gidae. Ibu sungguh minta maaf karena sudah terlambat menjemputmu. Seumur hidup, ibu terus diliputi rasa penyesalan yang hebat. Melihatmu di pemberitaan, membuat ibu kembali berharap bisa mendekap tubuhmu. Ibu tak sabar ingin memberikan seluruh kasih sayang yang tak sempat ibu beri padamu, Nak.
Taehyung tak bosan-bosannya membaca sepucuk surat yang sempat diselipkan wanita tua itu ke saku mantelnya. Wanita itu memanggilnya dengan 'Winter Bear'—sebutan yang sering Ibu Panti gunakan padanya waktu kecil. Kata Ibu Panti, julukan itu ibu Taehyung sendiri yang memberikannya karena ia lahir di musim salju.
Ia bahkan menyebutkan nama panti tempat Taehyung ditinggalkan dulu. Tak ada yang pernah tahu di mana Taehyung tumbuh besar selain orang tua angkat dan teman-temannya di panti, termasuk Yerim.
Keraguan Taehyung pun mulai luntur. Sosok ibu yang selama ini Taehyung khayalkan mulai terasa nyata ketika ia berulang kali membaca tiap kalimat dalam sepucuk surat itu. Ia mulai memikirkan nasib wanita yang mungkin sekarang sedang ditahan di kantor polisi karena menyerangnya dan membuat keributan di acara pameran besar.
"Bagaimana... jika wanita itu, memang ibuku?"
Ia pun beranjak dari sofa di ruang istirahat menuju pintu keluar. Ketika presensi Seokjin tiba-tiba muncul di depan pintu, Taehyung hampir saja terjengkal kaget. Terlebih lagi ia mendapati wajah Seokjin kali ini sangat mengintimidasi. "Mau ke mana kau?"
Taehyung jadi gelagapan. Sejak insiden di acara pameran, dirinya selalu diperingati oleh para staf Panache—termasuk Seokjin, agar tidak berbuat gegabah karena sekarang ia adalah model andalan Panache yang baru menetas. Melihat Seokjin memelototinya begini, membuatnya mencoba berdalih. "Aku hanya mau menemui Shira, kok. Minggir!"
Sesaat ketika ia melangkah, satu benda yang mengganjal di bawah alas sepatunya membuatnya berhenti dan mengangkat kakinya. Benda itu tampak familier. Seperti yang pernah ia lihat saat menemani Shira pergi membelinya di apotek sepulang dari rumah sakit. Satu alat test pack dengan dua garis tertera di sana.
"Shira tadi menyusulmu ke sini, 'kan? Kau tidak bertemu dengannya?"
"Apa? Aku tidak bertemu dengannya." Taehyung pun mengambil benda persegi panjang di lantai itu.
"Aneh, sekali. Kukira kalian sudah bertemu. Dia barusan bilang padaku kalau dia akan pergi ke pantimu untuk meluruskan ini semua. Padahal terakhir aku bertemu dengannya, dia kurang sehat. Dia baru saja muntah habis-habisan."
Taehyung mengernyit bingung. Ia menyodorkan benda itu pada Seokjin.
Seokjin pun meraihnya. "Apa ini?"
"Kalau muncul dua garis di test pack, artinya apa?" tanya Taehyung.
Seokjin sontak melemparkan benda itu ke wajah Taehyung. "Ya! Itu bekas air kencing, kenapa kau pungut dan memberikannya padaku?! Astaga, tanganku...."
"Katakan, apa artinya? Ini mungkin saja punya Shira! Ini persis seperti yang dia beli bersamaku beberapa waktu silam."
"A-aku juga tidak tahu?"
Keduanya pun mencari tahu lewat ponsel masing-masing. Ketika telah menemukan jawabannya, keduanya saling bertatapan penuh kekhawatiran. "Shira... sudah hamil?"
***
Seokjin dan Taehyung memutuskan untuk menyusul Shira dengan mobil Seokjin. Shira mungkin telah pergi sekitar setengah jam yang lalu, sehingga Seokjin pun melajukan mobilnya lebih cepat agar Shira bisa disusul sebelum terlambat.
Di sepanjang perjalanan, Taehyung terus menggerutu menyalahkan Seokjin karena sudah melepaskan Shira pergi begitu saja. "Kenapa kau biarkan dia pergi sendiri, Paman?!"
"Aku tidak tahu kalau dia sudah hamil! Memangnya aku ini peramal yang tahu segalanya?!"
"Bukannya kau bilang tadi dia tampak kurang sehat?" Taehyung menghela napas kecewa dengan Seokjin. "Seharusnya kau lebih peka, Paman!"
"Kenapa jadi aku yang disalahkan, sih?!"
"Kau tahu? Jalanan ke Panti Gidae itu berliku! Harus mendaki bukit, melewati lembah, menyeberangi sungai. Dia bisa keguguran kalau melakukan semua itu!"
"Tapi... dari mana dia tahu kalau kau dari Panti Gidae? Padahal kalian saja tidak bertemu, 'kan?"
Sementara itu, Shira juga sedang mengemudikan mobilnya menuju Panti Gidae. Dengan santai, ia menyalip tiap mobil yang menghalanginya di depan.
"Nona Kang. Kenapa Anda terlihat takut?" selidik Shira sembari menguarkan senyum tipisnya.
Kang Yerim yang duduk tegang di sisi pengemudi sambil memegang erat sabuknya lantas menunduk takut. "Ti-tidak, Bu Direktur. Sa-saya hanya sedikit mabuk darat."
"Ya, ampun. Kau ternyata payah sekali, ya, Nona Penggoda."
Yerim baru saja percaya bahwa Taehyung dan Shira benar-benar menjalin hubungan seperti isu yang beredar. Atasannya itu tiba-tiba datang menghampirinya setelah ia keluar dari ruangan Taehyung. Shira bahkan menjambak rambut dan menyeretnya secara paksa untuk mengantarkan Shira menuju Panti Gidae, tempat Taehyung dibesarkan. Dan sekarang nyawanya sedang terancam karena Shira mengebut gila-gilaan di jalan raya, seperti sedang kerasukan.
"Pelan-pelan, Bu! A-anda sedang hamil, 'kan, sekarang?"
Shira mendadak menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Jadi, kau sudah tahu itu, tapi masih menggoda kekasih orang? Wah, wanita macam apa kau?" Shira tertawa kering, lalu kembali mengemudi dengan lebih santai.
Yerim hanya bisa tercengang dengan reaksi Shira yang tak terduga. Bibirnya hanya bisa merapalkan doa agar mereka bisa selamat sampai tujuan.
***
Dua wanita itu turun dari mobil, memandang pada bukit terjal yang menghadang di hadapan mereka. "Bu Direktur, kita tidak bisa memakai mobil untuk melewati bukit ini. Jalannya berliku. Harus ditempuh dengan jalan kaki. Belum lagi lembah setelahnya. Lalu ada..."
"Diam. Kau hanya menakutiku, 'kan?" Shira kemudian memicingkan mata demi melihat bukit yang cukup terjal itu. Sepertinya memang agak sulit dilalui oleh mobilnya. "Kenapa, sih, kalian harus tumbuh di panti itu? Memangnya tidak ada panti lain?"
"Ma-maafkan kami, Bu. Ka-kami juga tidak bisa memilih..."
Shira pun mengelus perutnya lembut. Sejenak, ia tersadar bahwa sedari tadi dirinya cukup impulsif hanya karena seorang Kim Taehyung, sampai melupakan janin yang sekarang bersemayam di dalam rahimnya.
Shira pun menimbang-nimbang untung dan rugi yang akan terjadi. Bisa saja ia kehilangan janinnya yang bahkan belum ia periksakan ke Dokter Song hanya karena memaksakan diri seperti ini. "Baiklah, kita pulang saja kalau begitu."
Baru saja hendak berbalik arah, sebuah mobil Lamborghini Aventador S berwarna biru berhenti tepat di sisi mobil Shira. Seokjin dan Taehyung pun turun dari sana.
"Astaga, i-itu... mobil Sekretaris Han?" kaget Yerim tak menyangka ternyata Seokjin sekaya itu, bahkan mungkin lebih kaya dari Shira. Sedangkan Shira hanya melotot sembari bersedekap menyaksikan kedatangan dua pria yang masing-masing berusaha memasang wajah sangar sekarang. Tentu saja Shira tidak takut sama sekali.
"Ya! Apa yang kau pikirkan?! Kenapa tiba-tiba pergi ke panti asuhanku?" serang Taehyung.
"Aku ini atasanmu. Kabar beritamu sudah mulai simpang siur, jadi wajar jika aku ingin memastikannya, 'kan?"
Taehyung pun melirik pada sosok yang berdiri di belakang Shira. Yerim masih saja tercengang dengan situasi yang ia alami saat ini. "Aku akan ke panti dengan Yerim! Kau pulanglah dengan Paman Jin!" titah Taehyung.
"Kenapa begitu? Kenapa harus aku yang pulang?!"
"Apa kau tidak memikirkan janinmu?!"
Shira mengerjap. Dari mana Taehyung tahu kalau dirinya sudah hamil?
"Aku dan janinku kuat! Kami tetap akan pergi ke panti!"
Yerim pun kebingungan. Padahal tadi Shira bilang dia akan pulang saja.
"Bukankah kau sendiri pernah bilang padaku untuk tidak masuk ke dalam hidupmu lebih jauh? Sekarang, lakukan hal yang sama. Jangan campuri kehidupanku, Shira!"
Sesaat, ada yang sakit di dada Shira. Ia ingat betul bahwa dirinya memang pernah bicara hal serupa pada Taehyung dulu. Tetapi, mendengarnya dari mulut Taehyung terdengar begitu kejam baginya sekarang. Padahal, pertengkaran lain biasa terjadi sejak awal mengenal pria itu dan ia tak sesentimentil seperti saat ini.
Menahan tangis, Shira berbalik dan melangkah menuju bukit itu. "Aku akan tetap pergi. Pulang saja kau dengan Yerim."
"Terserah kau!" Taehyung mendengus lelah.
Seokjin dan Yerim hanya bisa menelan ludah menyaksikan perdebatan Taehyung dan Shira. Taehyung pun berbalik sembari menarik lengan Yerim. "Kau dengar perintah Bu Direktur, 'kan? Kau pulang bersamaku!"
"Ta-tapi, Tae...."
Taehyung masih menarik lengan Yerim untuk ikut dengannya. Seokjin pun memutuskan untuk menemani Shira. Ia berjalan mengimbangi langkah Shira, sesekali melirik pada wajah Shira yang memerah seperti kepiting rebus, pun matanya.
"Shira... kau menangis?" tanya Seokjin.
Shira tak lagi mampu menahan kesal, sampai tangis itu meluap. Tetapi, ia tetap bersikeras melangkah mendaki bukitnya. Seokjin sampai bingung harus berbuat apa.
"Kenapa kau keras kepala sekali, sih?!" Taehyung datang lagi, kali ini ia menarik lengan Shira sampai wanita itu berbalik arah padanya. Shira kelabakan menutupi wajah sembabnya.
Taehyung menarik napas berat. "Ya, sudah. Kau boleh ke sana, dan harus denganku. Kita lewat jalur lain."
***
Entah sejak kapan, pekerjaan Seokjin terasa lebih berat sekarang. Ia tak lagi sekedar mengurusi tumpukan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris, melainkan sibuk berkutat dengan urusan pribadi Choi Shira, dan sekarang ditambah lagi dengan urusan silsilah keluarga Kim Taehyung. Ia lebih terlihat seperti seorang pesuruh dibandingkan sebagai sekretaris.
Alih-alih mengurus pekerjaannya yang semakin menumpuk di ruangannya, ia malah sibuk memesankan dua buah perahu demi menjangkau panti yang sampai sekarang masih dipertanyakan letaknya. Hanya Taehyung yang tahu jalan pintas selain harus melewati bukit dan lembah. Keempatnya pun menaiki perahu tersebut— Seokjin bersama Yerim, dan Taehyung bersama Shira.
"Kau harus janji, setelah mendapatkan apa yang kau mau, kita harus pulang dan periksa ke Dokter Song."
Shira mencebik kesal. "Ini, 'kan, urusanmu. Kenapa seolah aku yang punya urusan?"
"Kau yang memaksa ikut, kan? Padahal aku bisa sendiri."
"Jangan besar kepala. Aku melakukannya hanya demi nama baik Panache. Kau baru saja debut jadi model kami dan sudah muncul berita begini. Aku harus memastikannya sendiri."
"Tapi, kenapa harus ke panti, sih?"
"Aku dengar pembicaraanmu dan Yerim tadi." Shira menatap Taehyung lamat-lamat. "Tolong, beritahu aku juga, Taehyung! Semuanya tentangmu."
"Tak ada yang menarik dalam hidupku, Shira. Aku hanya anak yang ditinggalkan di panti sejak lahir oleh ibuku."
"Lalu, siapa wanita yang perlu biaya operasi itu? Aku pikir dia ibumu."
"Dia hanya ibu angkatku. Aku diadopsi oleh sebuah keluarga saat tinggal di Panti Gidae." Taehyung tersenyum simpul. Sorot matanya melemah. Kedua obsidian Taehyung menggambarkan kesedihan lain yang mungkin ia simpan rapat-rapat selama ini.
Sesaat, Shira mengingat ucapan Yerim tentang orang tua angkat Taehyung yang biadab saat menguping tadi. Daripada mengobati rasa keingintahuannya, ia lebih memilih bungkam. Enggan mengorek luka yang mungkin tak ingin Taehyung ungkit di saat seperti ini.
Perjalanan itu hampir menempuh waktu dua jam hingga akhirnya mereka sampai di panti. Kedatangan Taehyung dan Yerim hampir membuat Ibu Panti tak percaya. Sulit mengenali anak yang sudah hampir belasan tahun tidak bertemu dengannya.
"Ya, Tuhan! Kau... Tae? Dan Yerim?" Mata Ibu Panti berkaca-kaca saat menyadari kedua anak yang sempat ia besarkan menyambanginya di panti. Lantas, ia peluk keduanya dengan erat, pun sebaliknya.
"Ibu apa kabar? Aku merindukanmu!" seru Yerim sembari mengeratkan pelukannya.
"Ibu selalu begini-begini saja. Bagaimana kabarmu, Sayang? Orang tua angkatmu tampaknya membesarkanmu dengan baik, ya?"
Yerim mengangguk. "Tentu saja! Mereka memberikan semua yang aku inginkan. Aku bahkan bisa bekerja di perusahaan majalah fashion ternama di ibukota karena mereka, Bu!"
"Ehm! Saya direkturnya." Shira tiba-tiba ikut bicara.
Ibu Panti pun mulai meraba-raba ingatannya tentang sosok yang baru saja angkat bicara. "Jangan-jangan... kau juga anak panti di sini, ya?"
"Bukan, Bu! Dia... atasan kami," timpal Taehyung sebelum Shira mengomel.
"Wah, Anda menemani dua karyawan Anda sampai jauh-jauh datang ke sini?"
"Aku mengandung anak Taehyung. Jadi, aku harus tahu asal-usulnya juga."
Seketika, seluruh pandangan membidik pada Shira. Terutama Taehyung. Ia menyenggol lengan Shira karena sudah bicara yang bukan seharusnya, meski itu kenyataannya.
"Oh, kau ternyata istrinya Taehyung, ya?" tanya Ibu Panti semringah.
"Bukan." Shira menyahut dengan lugas.
"Hah? Bagaima... oh?!" Ibu Panti menutup mulutnya sendiri, tampak salah tingkah. Ia tak menyangka bahwa Taehyung sudah sedewasa ini. Demi mengalihkan pembicaraan yang semakin sensitif, Ibu Panti pun mencoba mencari topik lain.
"Ehm, ka-kalau kau bagaimana, Nak? Tampaknya, orang tua angkatmu juga membesarkanmu dengan baik, ya?"
Taehyung hanya tersenyum miris. "Aku tak seberuntung Yerim, Bu. Tapi... aku cukup bahagia, kok."
***
"Jadi, ada wanita yang datang mengaku sebagai ibumu?" Ibu Panti tampak terkejut dengan cerita yang baru saja Taehyung ungkapkan padanya, terlebih setelah membaca sepucuk surat yang telah dituliskan oleh wanita yang mengaku sebagai ibu kandung Taehyung.
"Iya, Bu. Hanya ibu yang tahu rupa dari ibuku, 'kan? Sebentar, sepertinya wajahnya sudah muncul di berita online." Taehyung mulai melakukan pencarian di situs internet, tetapi sinyalnya terlalu buruk di sini. "Ah, sinyalku jelek. Ponsel kalian bagaimana?"
Seokjin, Shira, dan Yerim mulai memeriksa ponsel mereka. Sementara Ibu Panti hanya menatap nanar pada Taehyung yang terlihat sangat antusias. Lantas, ia meremas jemari Taehyung erat, sampai pria itu mengalihkan fokus padanya
"Aku tak pernah ingin memberitahukan ini padamu. Kupikir, kau telah berhenti mengharapkan kedatangannya, Tae."
"Tunggu sebentar, Bu. Kau harus melihat wajahnya, mungkin saja dia...."
"Ibumu... sudah lama meninggal, Taehyung."
Taehyung terdiam sejenak, kemudian tertawa kecil. "Kau... jangan bercanda. Bukankah dia menitipkanku? Lihatlah du...."
Ibu Panti merangkum pipi Taehyung pelan. Matanya memancarkan sorot mata pilu pada Taehyung. Seketika Taehyung menggeleng dan tertawa kembali. Namun, kali ini tawanya terdengar sumbang. Ia masih saja mengelak dari kenyataan yang dituturkan oleh Ibu Panti.
"Jangan! Jangan bilang begitu, Bu. Ibuku masih hi—"
"Dia... bunuh diri di rumahnya sendiri, saat kau masih berusia lima tahun, Tae."
——
JENG JENG.......
Apa yang akan terjadi???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro