Cari Kerja Susah Amat, Sih?
"Mbak, ini seriusan lamaran saya ditolak? Portofolionya belum diliat, lho ..."
Pemuda berseragam di depan Arini menggeleng. "Kami nggak menerima anak sekolahan sebagai pekerja."
"Tapi syaratnya minimal 17 tahun, kan?" Arini bersikeras.
Pemuda itu mendengkus. "Sudah tamat sekolah, Mbak. Kalau masih sekolah, tentu konsentrasi kerjanya akan terpecah."
Pasrah, Arini merapikan dokumen-dokumen lamaran kerjanya. Ia keluar dari gedung penerbit Cendekia dengan kesal. Rambut pendeknya ia acak-acak sendiri, kemudian menyeberangi jalan untuk pulang. Tak peduli orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh, ia akhirnya sampai di halte bus.
Minggu ini, sudah empat penerbit baik majalah maupun buku yang ia datangi untuk melamar kerja. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mau menerima Arini sebagai ilustrator ataupun editor dengan alasan umur. "Umur 18 masih lama, anjir!" gerutunya.
Portofolio desainnya masih ia pegang dengan erat. Sambil menunggu bus, ia membuka ponsel, mengecek barangkali ada yang ingin menggunakan jasanya sebagai ilustrator. Namun, notifikasi yang ditampilkan hanya satu, yaitu dari grup ekskul Jurnalistik.
Ketua Jurnalistik: Ada yg mau ngeliput deklarasi tumbler besok? 2 org yaa
Arini mengecek jadwalnya. Berhubung besok Senin tak ada ulangan atau hal lain yang butuh konsentrasi tinggi, ia mengajukan diri untuk liputan itu.
Arini Delia: Aku kak
Ketua Jurnalistik: Oke, kamu sama gio yaa. @giopratama
Ia pun menutup ponsel. Gio adalah kakak kelasnya sewaktu SMP. Kendati demikian, ia yakin Gio tak pernah mengenal Arini. Gadis itu sewaktu SMP memang cenderung pasif, temannya pun bisa dihitung jari. Namun, berkat cowok itulah, Arini punya ketertarikan dengan dunia desain dan ilustrasi. Sekarang pun, ia dan Gio saling mengikuti di Instagram—yang mana isi konten mereka sama-sama berupa ilustrasi buatan sendiri.
Sesampainya di rumah, Arini menjatuhkan diri di kasur dengan kepala yang terasa berat. Sejak kecil, Arini jarang keluar rumah. Ia tak tertarik pada dunia luar, liburan ke luar pun bisa dihitung jari. Oleh sebab itu, kepalanya akan terasa penat jika berada di keramaian terlalu lama. Arini tidak ingin menderita seperti itu selamanya.
Ia ingin bisa berlama-lama di luar ruangan tanpa merasa kelelahan. Dan salah satu caranya adalah dengan mengikuti ekskul yang dominan berkegiatan di luar ruangan, yaitu Jurnalistik. Ia memutuskan tak memasuki OSIS, Pramuka, atau Paskibra. Karena ketiga ekskul itu cukup menyita waktu baginya. Tak seperti Jurnalistik yang santai, tetapi tetap berjalan efektif.
Setelah menutup mata agak lama, ponselnya berbunyi, muncul pesan dari nomor tak dikenal.
+62xx: Besok ambil kamera di perpus ya rin. Jam 7 kurang kudu udh sampek, soalnya ngecas dulu. Btw ini aku, gio
Tak berlama-lama, Arini menyimpan nomor kakak kelasnya itu.
Arini Delia: Oke kak. Perlu hubungin bu wulan? Soalnya dia kan yg bawa kamera
Kak Gio: Udh aku chat. Orgnya standby di peprus kok. Btw, poto profilnya cakep. Itu ngambil poto sndiir?
Arini diam sebentar, melihat foto profilnya sendiri. Foto pemandangan gunung Arjuna itu memang ia ambil sendiri dari rumahnya pagi-lagi sekali. Ia tak menyangka kalau Gio akan membahasnya.
Arini Delia: iya kak. Makasih udh perhatiin wkwk
Melihat kalimat terakhirnya, Arini jadi tertawa sendiri. Seharusnya ia menyusun kalimat terima kasih yang lebih natural, bukannya terkesan alay seperti yang sudah terkirim. Namun, baginya itu cuma hal sepele. Ia pun menjauhkan ponsel dari dirinya, memutuskan untuk tidur siang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro