Akhir dari Liputan Deklarasi Tumbler
"Kamu ngerti golden ratio, Rin?" tanya Gio, mengintip Arini yang sedang menghapus foto-foto di galeri ponselnya. Arini menoleh, melihat tampang datar kakak kelasnya. Ia yakin pembicaraan ini masih satu konteks dengan foto profilnya kemarin, yang mana untuk memotret gunung Arjuno, ia menggunakan golden ratio.
"Ngerti. Tapi jarang banget sih pakai golden ratio, lebih sering motret spontan gitu," terangnya. Gio mengangguk-angguk. "Pakai kamera?"
"Ponsel."
Keduanya diam sejenak.
Kegiatan Deklarasi Tumbler yang diisi dengan para siswa mengisi botol minum mereka dengan air dari sekolah baru saja selesai. Berhubung bel masuk belum berbunyi, Arini dan Gio menggunakan waktunya untuk makan di kantin yang lumayan sepi. Hampir seluruh siswa kembali ke kelas masing-masing, takut kalau secara mendadak guru masuk kelas.
"Ini jamkos apa gimana sih? Kok jam 10 belum bel juga." Arini berujar. Gio menghentikan kegiatannya menyedot es teh.
"Lah kan emang jamkos, Rin. Emang mau pelajaran apa? Semester 1 udah selesai, tinggal yang remidi doang. Deklarasi ini 'kan buat alasan aja biar siswa tetep masuk, soalnya aturannya tahun ini nggak ada libur semester," balas Gio panjang lebar. Arini cuma melongo.
"Maksudnya, kita masuk cuman buat formalitas doang gitu?"
Gio mengangguk, sementara Arini tepuk jidat. Melihat tingkah adik kelasnya itu, Gio jadi tertawa. "Tapi ada manfaatnya lho kita masuk sekalipun enggak pelajaran. Bisa evaluasi ekskul, belajar mandiri di perpus, kegiatan pokja, atau ... proyek pribadi siswa."
"Proyek pribadi maksudnya?" Dalam hati, Arini takjub. Ini kali pertama ia dan Gio mengobrol berdua, alias berkenalan secara resmi. Namun, obrolan mereka seakan menunjukkan jika mereka sudah kenal lama.
"Rahasia umum sekolah ini adalah gencar sama prestasi nonakademik. Tau, 'kan?" Arini mengangguk. Ketimbang prestasi akademik, guru-guru di sekolah ini memang lebih memperhatikan prestasi nonakademik. Tak heran jika ada siswa yang izin tidak sekolah dengan alasan persiapan lomba, maka guru akan mempermudahnya dengan memberi fasilitas tambahan.
"Nah, ini juga termasuk proyek-proyek nggak resmi kepunyaan siswa. Misal, Jurnalistik jual majalah ke luar sekolah. Ekskul musik bikin band, sekarang udah diundang ke mana-mana. Mereka semua lahir dari sekolah ini, dan populer di luaran sana. Termasuk ... proyek filmnya anak teater. Bentar lagi proyeknya yang film pendek mau mulai, aku jadi astrada-nya." [*]
[*] Astrada: Asisten Sutradara.
Arini tersenyum simpul. "Keren kamu, Kak. Udah mah jago gambar, fotografi. Eh, jago di dunia perfilman juga," pujinya.
Selain menyukai percakapannya dengan Arini, Gio mengerutkan dahi. "Kok tau aku suka fotografi?"
Arini yang mendengarnya justru tertawa. "Kita saling follow lho di IG. Masa gak nyadar?"
Gio mengingat-ingat. Ia kemudian menjentikkan jari. "Kamu yang suka motret plus nggambar pakai cerpen di caption itu?"
Spontan Arini mengangguk. Dan sejak saat itulah, akhirnya Gio mengetahui eksistensi Arini.
Saat hendak berpisah ke kelasnya masing-masing, Gio membuat sebuah kesepakatan. "Rin, nanti kalau aku butuh bantuanmu soal fotografi ataupun ilustrasi, kamu mau bantu, 'kan?"
Padahal, Arini yakin kemampuan menggambar maupun fotografi Gio lebih tinggi darinya. Namun, tanpa berpikir panjang, Arini menyanggupi.
Toh, belum tentu juga 'kan Gio akan benar-benar butuh bantuannya nanti?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro