Chapter 6
Menunggu adalah hal yang membosankan. itulah yang dirasakan seorang gadis yang tengah duduk di ruang keluarga dengan ditemani acara televisi yang tak ia mengerti. Saat ini ia tengah menunggu sang kakak pulang.
Suara bel berbunyi, menandakan datangnya tamu yang langsung membuat sang gadis melompat dari sofa menuju pintu karna ia tahu sipa yang datang.
Kakak! Batin sang gadis.
Dengan setengah berlari gadis itu menuju pintu depan. membuka pintu dan mendapapati pria tampan tengah menatapnya lembut. Dugaannya benar, itu adalah kakaknya.
"Kakak!" gadis itu dengan cepat memeluk sang kakak. "Aku bosan berada di rumah besar ini sendiri."
"Chellyn," mendengar sang kakak menyebut namanya ia melepaskan pelukannya. "benarkah?" kata sang kakak lalu berjalan menuju sofa merah yang tak jauh dari mereka kemudian duduk dan menepuk bagian sofa di sampingnya. "ada yang ingin kakak bicarakan."
"Ada apa kak?" Chellynpun menuruti arahan sang kakak dan duduk di sampingnya.
"Kakak di kirimkan ke kota lain untuk beberapa minggu," kata Andreas. "ini permintaan ataan kakak."
"Benarkah?" Chellyn begitu senang mendengar jika kakaknya akan dipindah tugaskan. "Jadi aku akan ikut dengan kakak, bukan?"
"Tidak," kegembiraan Lyn menghilang seketika. "Kakak akan pindah sendiri."
"Jadi, kakak akan meninggalkanku sendiri?" tanya Lyn sedikit kecewa, namun ia tak ingin membuat kakaknya merasa terbebani akan dirinya, ia berusaha membuat dirinya tegar di depan Andreas, walau ia yakin sesampainya di kamar air matanya akan tumpah. "Baiklah, aku akan baik baik saja sendiri."
Mendengarnya, Andreas refleks menatap adiknya tajam. "Jangan pernah mencoba hal bodoh itu!"
Mendengar ucapan Andreas, Chellyn mendongak dan langsung bertemu dengan manik abu abu sang kakak yang begitu tajam dan dingin namun tak menghilangkan rasa khawatir dari sana.
"A- Ada apa, kak?" tanya Chellyn bingung dengan perubahan dari nada dan tatapan sang kakak.
Andreas seketika sadar dan langsung menghela napasnya frustasi sekaligus membuang semua amarah dan kekhawatirannya bersama karbon dioksida yang keluar. "Kau tahu betapa kakak menghawatirkanmu?" Kini sang kakak menjelaskan rasa cemas yang selalu ia rasakan jika menyangkut sang adik, ia tak ingin adiknya salah paham dan mulai memebencinya.
"Ma-maaf." Lyn kembali duduk dengan perasaan tidak enak. "Lalu, bagaimana agar kakak bisa tenang?"
Terbersit dalam pikiran Andreas untuk menitipkan sang adik pada orang tua mereka, ia pikir itu dapat menyelesaikan konflik diantara mereka. Tapi saat dipikir lagi, itu semua hanya akan menambah penderitaa Chellyn yang sudah susah payah ia dalam dalam.
"Kak..." Chellyn menunggu jawaban sang kakak yang tak kunjung terlontar. Namun alih alih menjawab, Andreas hanya membelai puncak kepala Chellyn dengan tatapan nanar.
Kakak, batin Chellyn yang melihat kakaknya yang begitu sayang padanya. Tunggu! Jangan jangan...!
"Kakak...!" Chellyn memberi jarak cukup jauh dari Andreas. membuat Andreas terheran dengan reaksi adiknya. "aku takakan sudi untuk tinggal dengan mereka.!"
Andreas menatap adiknya dalam. Selama beberapa detik ia tertegun dengan ucapan bermakna kebencian yang di lontarkan adiknya. Namun ia rasa itu wajar, orangtua mereka telah memberikan rasa sakit bagi Chellyn.
Andreas menggeleng. "Bukan...?" Chellyn bingung apa makna ekspresi Andreas yang begitu sedih jika bukan karna terpaksa menitipkannya pada orang tua mereka.
"lalu...? Jangan jangan...! Aku mohon, kakak jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku pada paman dan bibi."
Andreas kembali menggeleng, kali ini diiringi dengan senyum maklumnya. "Kengapa kau begitu tidak percaya pada kakakmu ini, Lyn?" Andreas memberi isyarat agar Chellyn mendekat lalu mengacak rambutnya. "Kakak tidak mungkin membuat harimu terluka untuk yang kedua kalinya." Andreas memeluk adiknya. Ia kembali teringat saat ia melihat betapa menderitanya Chellyn bersama dengan orang tua mereka. "Tidak akan pernah."
Dulu, Saat Andreas melihat ketidakadilan yang diterima Chellyn, ia berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Chellyn bahagia. akan menghancurkan apapun dan siapapun yang mengancam batin atau hidup Chellyn. sekalipun itu orang tuanya.
"Jika bukan mereka semua..." Chellyn melepas pelukan. Ia mengingat ingat siapakah yang memiliki kemungkinan besar untuk menjaganya. Namun ia tak mengingat pernah mempunyai orang yang memiliki kemungkinan itu. "Lalu siapa? Aku rasa tidak ada cara lain selain, kakak membawaku."
"Benarkah?" Chellyn mengangguk. "Aku mempunyai seorang yang dapat menjagamu untukku."
"Siapa?" tanya Chellyn.
"Kau kenal Erros?" kali ini Andreas balik bertanya.
"Aku rasa..." Chellyn mengingat ingat wajah orang bernama Erros. "...Aku tahu, bukankah kak Erros itu sahabatmu? Kakak sering menginap dirumahnya, bukan?"
"Benar! Seratus untukmu." Andreas mengeluarkan ponselnya dan mencari sesuatu dalam galeri ponselnya. "Erros memiliki adik bernama Devian dan aku yakin dia dapat diandalkan." Andreas menunjukkan foto seorang bernama Devian.
"Baiklah..." Chellyn tak mengenal orang yang bernama Devian itu, namun ia percaya jika wajah seperti dalam foto itu bukanlah tipe orang yang akan membenci seseorang hanya karna sesuatu yang sepele. Chellyn pun percaya jika kakaknya tak pernah salah. "Jika itu pilihan kakak."
"Bagus..." Andreas kembali mengecak rambut Chellyn yang telah berantakan. "...Gadis pintar."
***
"Kak, kapan kau akan berangkat?" tanya Chellyn yang berada di ruang keluarga pada Andreas yang tengah membuat sarapan.
"Aku akan berangkat saat erros menjemput," kata Andreas di sela sela mengolesi selai strawberi kesukaan Chellyn. "Oh, ya." Andreas menghentikan olesan selainya. "Devian juga akan ikut bersama Erros."
"Maksudnya?"
"Devian akan tingal disini untuk selama aku pergi." Jelas Andreas
"Tidak bisakah jika tidak seperti itu?" tanya Chellyn ragu, ia tidak terlalu nyaman jika harus seatap dengan laki laki selain kakaknya.
"Bukankah Devian akan lebih mudah menjagamu?"
"Tapi..." Chellyn berjalan menuju ruang makan, bersebelahan dengan dapur kemudian duduk di salah satu bangku. "...Apa dia akan seperti yang aku bayangkan?Apakah ia berbeda dengan orang orang yang membenciku?"
"Jangan mengatakan hal kejam seperti itu," Andreas kemudian menaruh roti rapis selai strawberi di depan Chellyn. "Dia itu baik. Aku tahu itu." Andreas menatap Chellyn lembut. "Aku tidak mungkin menitipakan adik kesayanganku pada orang yang salah, bukan?"
"Benar juga," Chellyn mengangguk. "Tidak mungkin kakakku mengenal seseorang yang jahat. Karna kakakku adalah orang paling baik sedunia." ucap Chellyn dengan senyum manisnya.
Orang baik, ya? batin Andreas. Maaf jika nantinya aku tidaklah seperti yang kau kira, Chellyn.
Andreas baru saja akan memasukan roti lapis kemulutnya, namun suara klakson mobil yang sudah dapat dipastikan milik Erros menghentikan gerakannya. Dengan masih memegang roti lapisnya, Andreas menuju pintu dan membukakanya bagi Erros dan Devian yang baru saja keluar dari mobil sedan hitam yang terparkir didepan pagar.
"Sudah siap?" tanya Erros setelah berdiri tepat didepan Andreas. Namun, saat melihat roti lapis yang Andreas pegang, ia tahu jawaban yang akan dikataan Andreas.
"Belum," Andreas kembali masuk ke ruang makan. "Mari sarapan bersama."
Erros dan Devian mengikuti Andreas menuju ruang makan.
"Chellyn," panggil Andreas. Chellyn yang merasa terpanggil berbalik dan mendapati Andreas yang datang bersama dengan dua orang, yang salah satunya ia kenali sebagai Erros dan disebelahhnya adalah Devian, pemuda yang kemarin dibicarakan Andreas dan sempat ia lihat dari foto yang ditunjukkan sang kakak.
"Hai, kak Erros," sapa Chellyn. "Ingin kubuatkan sarapan?" Chellyn berdiri dari bangkunya menuju dapur yang bersebelahan dengan ruang makan.
"Tolong buatkan roti lapis selai kacang." Chellynpun mengangguk alih alih menjawab. "Oh, aku lupa. Perkenalkan, Chellyn..." Chellyn kembali menengok pada Erros yang tengah menunjuk Devian. "...Dia Devian, adikku."
Chellyn mengalihkan pandangannya dari Erros menuju Devian. "Aku Chellyn," katanya dengan menyunggingkan senyum manisnya. "Salam kenal."
"Chellyn, sepertinya kakak akan pergi sekarang," mendengar itu Chellyn menghentikan polesan selainya. "Aku titip adkikku, Devian." ucap Andreas sebelum menutup pintu.
"Tapi, bagaimana dengan sarapanmu, kak..." Chellyn terlambat. Mereka telah terlebih dahulu keluar dari rumah. "Erros...?"
Chellyn mentatap roti selai coklat di atas piring yang tengah ia pegang, kemudian matanya tanpa sadar menemukan keberadaan Devian. "Ehm..." Chellyn ragu apakah ia harus memulai pembicaraan atau tidak. "Sarapan?"
Chellynpun menyodorkan piring berisikan roti Selai coklat pada Devian. Ia tak tahu apa Devian akan menerimanya atau tidak, paling tidak ia suda menawarinya. Masalah suka atau tidak, Chellyn bisa membuatkan yang lain nantinya.
Devian tidak segera mengambil piring itu, ia terlebih dahulu menatap Chellyn kemudian beralih pada piring yang dibawanya.
"Terimakasih..." dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya. "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Devian sebelum menggigit rotinya.
Syukurlah ia menerimanya, batin Chellyn.
"Setelah ini, ya?" Chellyn kembali duduk ke bangkunya, bersebelahan dengan Devian dan melanjutkan sarapan. "Entahlah. Biasanya aku akan melanjutkan tidur."
"Begitu," kata Devian setelah menelan rotinya.
Berarti, batin devian. Penjagaan ini akan lebih mudah.
"Mengapa tidak keluar?" Devian kembali menggigit roti setelahnya.
"Keluar?" Chellyn menghentikan gerakannya yang akan menggigit roti. "Aku tidak terlalu senang keluar rumah. Mungkin aku hanya keluar saat akan akan membeli buku."
"Buku?" Devian menatap Chellyn. "kurasa kita punya hobi yang sama."
"Benarkah?" kata Chellyn dari dapur yang terdengar begitu girang. "Kalau begitu kita harus lebih serang berbincang tentang banyak buku,"
"Oh, ya..." Chellyn mencuci piring piring yang telah selesai digunakan. "Kamarmu berada di lantai dua. pintu bercat hitam."
Devian mengangguk lalu menuju kamar yang diberitahukan Chellyn tanpa melupakan backpackernya.
Satu persatu anak tangga Dvian jejaki hingga Tepat berada di lantai dua, ia dapat melihat semua hal dengan jelas. Dari sana terlihat dengan jelas Chellyn yang begitu rapuh.
Tidak terlalu buruk, batin Devian menilai Chellyn. Aku kira dia gadis yang senang menghambur hamburkan harta.
Devian memberikan nilai delapan puluh di pertemuan pertamanya dengan Chellyn. Namun, itupun dapat berkurang atau bertambah seiring dengan kelakuan Chellyn.
Devian menatap punggung rapuh Chellyn dari tempatnya berdiri saat ini. Ia sedikit ragu dengan cerita Andreas waktu itu, apakah benar gadis seriang itu memiliki kisah hidup yang tragis?
Jika memang benar kisah hidup Chellyn benar benar setragis itu, mengapa itu semua tidak terpancar dari auranya? haruskah Devian memberi nilai sembilan puluh karna itu?.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro