Chapter 12
“Baiklah aku akan membeli air mineral.” ucap Chellyn kemudian meninggalkan devian bersama dengan sang iblis.
Sialan! Batin Chellyn memaki pertemuan menjijikan itu. Kenapa ada dia di tempat ini?!
Saat ini Chellyn telah berada tepat di depan swalayan. Namun bukannya masuk, ia berjalan menuju arah rumahnya yang tidak jauh dari sana, hanya butuh beberapa menit untuk sampai.
Apa ini? batin Chellyn di sela sela langkahnya. Mengapa aku tidak suka jika devian bersama dengan iblis itu?
“Tentu aku tidak suka,” gumam Chellyn saat langkahnya terhenti karna traffict light menunjukkan warna merah. “Dia itu iblis. Devian memang tidak seharusnya dekat dengan iblis.”
Chellyn kembali meneruskan langkahnya diantara banyaknya pejalan kaki. Ia menunduk. Matanya menatap garis hitam putih yang mewarnai jalan itu. Anginpun berhembus berlawanan arah dengan langkahnya, membuat Beberapa daun kering luruh dari dahannya.
Aku merasa sesuatu akan datang, batin Chellyn.
Tanpa sadar, ia telah sampai di depan gerbang rumahnya.
***
Matahari kian memancarkan sinar terangnya. angin berhembus dengan anggun. Beberapa daun keringpun luruh dari dahan akibat sentuhan lembutnya. Beberapa lembar daun itu berguguran diantara Devian dan Azurea yang tengah duduk di kursi taman.
Apa ini! batin Devian memekik. Aku merasa sebuah firasat. Tapi apa?
Devian menyisir keadaan sekitar. Ia tak dapat menemukan Chellyn dimanapun.
Dimana Chellyn? Mata Devian masih terus menyisir keadaan sekitar. Bukankah dia mengatakan akan membeli air mineral.
Devian melihat jam tangan yang kini menunjukkan pukul delapan kurang enam menit.
Jantung Devian berdetak lebih kencang dari sebelumnya dan bulir bulir keringat sebesar biji jagung jatuh menuruni pelipisnya. Perasaannyapun tidak tenang.
Kemana sebenarnya Chellyn? Devian kembali menyisir sekelilingnya dengan gelisah. Azurea yang sedari tadi bersaman yapun sadar jika devian tengah resah.
“Dev,” panggil Azurea. “Ada apa? Kau terlihat gelisah."
Panggilan Azureapun menyadarkan Devian jika ia tidaklah sendiri.
“Hah? Oh,” Devian bingung akan mengatakan apa. “Tidak ada apa apa.” walau menjawab tidak ada apa apa. Jelas sekali, Devian tengah menyembunyikan sesuatu. Namun ia tidak ingin memaksa Devian jika ia tidak ingin mengatakannya.
“Baiklah.” putus Devian yang tidak tahan dengan perasaan tidak nyamannya ini. Akhirnya mengambisl sebuah keputusan setelah perang batin di dalam dirinya, Devian berdiri dari duduknya. “Maaf, Rea,” Devian menatap Azurea dengan tatapan menyesal. “Aku harus segera mencari Chellyn.”
Azurea diam sejenak setelah Devian menyebut nama Chellyn. Namun akhirnya ia mengangguk.
Devian berjalan meninggalkan Azurea menuju swalayan terdekat. Sudah tiga swalayan terdekat ia masuki dan bertanya pada penjaga apakah mereka melihat gadis dengan ciri ciri yang sama dengan Chellyn. Namun jawaban mereka adalah
‘tidak ada gadis yang datang dan memiliki ciri ciri yang sama dengan yang kau sebutkan.’
Dengan hati yang makin resah, Devian mencoba peruntungannya untuk pulang, berharap Chellyn telah sampai di rumah terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan dihabiskan Devian untuk menebak nebak adakah Chellyn di rumah. Hingga tanpa sadar ia telah berada di dekat dengan rumah. hanya tinggal menyebrang maka ia akan sampai di depan gerbang.
Belum selangkah Devian berjalan, seseorang yang tidak dikenal dengan menggunakan jaket hitam dan topi yang menutupi wajahnya keluar dari gerbang.
Mata Devian tak melapaskan pandangannya dari seseorang tak dikenal itu. Hingga seseorang itu berjalan melewati traffic light barulah Devian sadar jika kemungkinan orang itu berbuat sesuatu pada Chellyn.
Bagaikan tabuhan pernyataan perang, jantung Devian berdetak kencang mengiringi laju larinya menuju rumah. Membuka gerbang, devian pun Kembali berlari lalu Membuka pintu.
Jantungnya semakin berdetak kencang kala tak ada seorangpun yang berada di ruangan. Devian kini merasa jika tulang rusuknya tak dapat lagi menahan dentuman detak jantung yang semakin heboh hingga seakan akan meledak.
Chellyn dimana kau? batin Devian sembari matanya menyisir ruangan sekitar dari tempatnya berdiri saat ini.
“Chellyn...” dengan langkah yang begitu berat Devian berjalan menuju dapur. “...Kau disini...”
Tak ada jawaban apapun. Ia merasa begitu menyesal telah meninggalkan Chellyn demi Azurea yang baru ia temui beberapa menit.
Jika pikiran negative ini adalah sebuah hal yang benar, batin Devian. lalu apa yang akan aku katakan pada kak Andreas nantinya.
Tapi diluar dari pemikiranya itu, tanpa sadar ia benar benar cemas akan keselamatan Chellyn.
Jika waktu dapat ia ulang kembali, maka ia akan mengikuti Chellyn menuju swalayan. Dari sana ia berharap akan mengubah semua.
Ini belum terlambat! sebuah suara berbisik ditelinga Devian. Cari Chellyn!
“Benar!” gumam Devian. Langkahnya pun lebih ringan. Ia menjelajah ruangan dari kamarnya yang berada di lantai dua hingga berakhir di lantai satu.
Hampir semua ruangan telah ia cek. Namun tak ada Chellyn di salah satu ruangan itu. Hanya tinggal satu ruangan yang belum ia cek. Kamar Chellyn. Ia berharap banyak dari ruangan itu.
“Chellyn...” panggil Devian saat telah berada di depan pintu kamar Chellyn. Tak ada jawaban.
“Chellyn...” panggil Devian untuk kedua kalinya namun tetap sama.
Tangan Devian kini telah terulur untuk menjangkau gagang pintu kamar Chellyn. Seiring dengan dekatnya tangannya dengan gagang pintu, jantungpun semakin lambat berdetak. Namun darahnya mengalir dengan deras, hingga membuat sensasi yang begitu mencekam.
“Ada apa...?” belum sempat tangan Devian meraih gagang, pintu telah lebih dulu terbuka dan menampakkan Chellyn lengkap dengan pakaian yang ia gunakan untuk jogging sebelumnya.
“Kau...” Devian menatap Chellyn dari atas kebawah, memastikan tak ada sebuah luka sedikitpun di tubuhnya. “...Baik baik saja?
”
“Menurutmu...?” ucap Chellyn sembari menguap. “Kau sudah selasai mengobrol dengan Rea?”
“Maaf,” alih alih menjawab, Devian hanya mengucapkan maaf yang membuat Chellyn bingung untuk apa kata maaf itu. “...Karna meninggalkanmu demi Azurea.”
Barulah Chellyn mengerti fungsi kata maaf yang diucapkan Devian. “Lupakan saja,” kata Chellyn dengan nada datar yang begitu sarkas. “Aku sudah terbiasa.”
Chellynpun bergerak untuk menutup pintu, namun gerakan pintu dihentikan tangan Devian. Tidak cukup sampai disitu saja, Devianpun menarik Chellyn menuju pelukannya.
“Maaf,” kata Devian di sela sela pelukannya. “Maaf. Maaf. Maaf. Maaf.”
“Ada apa denganmu Dev?” Chellyn berusaha melepaskan diri selembut mungkin.
“Aku hanya ingin meminta maaf,” Devian mempererat pelukannya. “Aku akan mengatakannya sebanyak banyaknya hingga kau memaafkanku.”
“Aku tidak merasa jika kau bersalah.”
“Tapi aku merasa jika akulah yang bersalah disini.”
“Baiklah,” Chellynpun mengalah. “Aku memaafkanmu. Sekarang lepaskan aku.”
Devian menempatkan dagunya diatas kepala Chellyn. “Aku hampir menangis karna mencemaskanmu. jantungku serasa akan keluar dari tempatnya saat sebelumnya aku tak dapat menemukanmu dimanapun,” mempererat pelukannya. “Dan kau tidak membiarkan aku memelukmu?”
Chellyn mendengar devian yang begitu mencemaskannya, ia senang ada seseorang yang menghawatirkannya selain sang kakak. “kau bukan anak kecil lagi, Dev...”
“Sungguh! Aku sangat mencemaskanmu, terutama saat...” Devian menghentikan ucapanya dan mengingat saat ia melihat seorang yang tak dikenalnya keluar dari gerbang.
“Saat...?” Devian yang menghentikan ucapannya membuat Chellyn penasaran.
“Lupakan saja,” Devian mencari tempat yang nyaman untuk dagunya di atas kepala Chellyn. “Saat ini biarkan aku menghiangkan rasa cemas ini.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro