Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

“Lelahnya...” Devian membanting tubuhnya diatas sofa merah. “Baru kali ini aku berjalan hingga membuatku selelah ini.”

“Benarkah?” Chellyn duduk di sofa merah yang berada di samping Devian kemudian menekan tombol on pada remot tv.

Dengan beberapa bulir keringat yang membuat punggungnya basah, Chellyn bersandar pada sofa. Tak peduli jika nantinya akan membuat sofa malang tersebut tak lagi sebersih sebelumnya, toh sang kakak sedang tak berada di rumah maka tak akan ada yang akan menceramahinya.

Devian menatap Chellyn yang mengganti saluran setiap satu detik. Tatapan Devian bagitu hangat. Begitu teduh. Matanyapun Begitu jernih hingga dapat memantulkan apapun yang ia lihat.

“Tidakkah kau bosan?” Devian duduk menghadap Chellyn yang masih asik dengan aktivitasnya.

“Bosan?” Chellyn masih berkutat dengan saluran televisinya. “Tentu.”

“Lalu...” Devian ragu untuk menanyakanya. Namun ia benar benar penasaran dengan jawaban Chellyn. “...Mengapa kau tidak berkunjung ke rumah orang tuamu?”

Chellyn menghentikan gerakannya. Tatapannya seketika kosong layaknya boneka manequin. Seketika cahaya kehangatan dimatanya meredup kemudian hilang dalam netra kelabu itu.

“Orang tua?” ucap Chellyn sakratis. “Apa itu orang tua? Apa mereka sesuatu hal yang menyenangkan?”

“Aku rasa...” Devian manjawab pertanyaan itu dengan ragu.

“Kalau begitu...” Chellyn menatap devian kemudian memberikan senyum palsunya. “...Aku tidak mempunyainya. Aku hanya mempunyai orang orang yang tidak menginginkanku.”

Seketika ruangan itu berubah menjadi hening, hingga volume suara televisi yang tengah menyiarkan berita terdengar terdengar lebih kuat.

Chellyn merenggangkan tubuhnya. “Aku ingin mandi,” kemudian berjalan menuju pintu kamarnya. “Aku duluan, ya...” ucapnya tanpa menatap Devian.

Chellyn sadar, karna ucapannya suasana menjadi berat dan tidak nyaman untuk terus dilanjutkan. Namun ia tak ingin dirinya sendirilah yang bersalah, harusnya ia juga menyalahkan Devian karna pertanyaan barusan. Tapi bagaimanapun juga ia tidak ingin bersikap egois, ia juga sadar ini merupakan kesalahannya. Ia harusnya tak perlu menjawab dan mengatakan pada Devian jika ia tak ingin membicarakan hal itu, Maka suasana seperti tadi tak akan pernah tercipta.

Nasi telah menjadi bubur. Suasana telah berubah dan Chellyn harus meringankan pikirannya dengan mandi air hangat, baru ia dapat kembali berbicara dengan Devian seperti biasanya. Kira kira seperti itulah menurutnya.

Chellyn membanting tubuh di atas ranjang biru langitnya. Berharap dengan begitu rasa yang muncul saat ini dapat ikut terbanting dan pecah layaknya kaca yang rapuh.

“Mengapa kau menanyakan itu, Devian?” Chellyn menarik guling.
“Mengapa kau menggali kembali kenangan yang telah kukubur dalam dalam?”

Hening.

Tak mendapat sebuah jawaban dari manapun, Chellyn berjalan menuju kamar mandi. Menyiapkan air hangat lalu berandam di dalam bathup, menghilangkan rasa lelahnya dan kembali mencoba mengubur sedalam mungkin kenangan yang kembali muncul dengan menenggelamkan tubuhnya hingga hidung.

***

“Apa dia marah?” gumam Devian didalam kamarnya.

Ia kembali teringat tatapan kosong yang dipancarkan Chellyn saat menjawab pertanyaannya. Devian merasa bersalah. Ingin rasanya ia mengulang kembali waktu dan menghentikan bibirnya yang mengucapkan pertanyaan itu. Namun itu hanyalah keinginan yang tak dapat terwujud walau apapun yang ia lakukan.

“Maaf...,” Devian berjalan menuju jendela, Menatap bunga bunga diluar. Devian seakan melihat wajah Chellyn tengah tersenyum manis saat menatap bunga bunga yang bertebaran memenuhi taman yang tidak terlalu besar itu. “...Jika itu membuatmu merasakan sakit.”

Terdengar suara bel berbunyi. Devian berjinjit didepan jendela, berharap dengan begitu ia dapat melihat siapa tamu yang datang malam malam begini. Namun usahanya sia sia. Gelapnya malam menutupi pandangan. Ia hanya melihat sebuah mobil putih terparkir didepan gerbang.

Devian berjalan menuju pintu. Membuka pintu dan berjalan sedikit mengendap saat mendekati tangga. Dari sana ia dapat melihat semua yang terjadi di lantai bawah. Dari sana juga ia melihat Chellyn yang tengah membukakan pintu untuk sepasang suami istri yang menatapnya dengan tatapan jijik serta benci yang begitu kentara di wajah mereka.

“Dimana Andreas?” tanya sang wanita dengan nada ketus. Matanya yang tajam menyisir sekeliling mencari keberadaan Andreas.

Tak mendapatkan jawaban, ia mendorong Chellyn menyingkir dari jalanya dan mencari sendiri keberadaan Andreas di semua ruangan di lantai itu.

“Dimana Andreas?” kali ini giliran pria yang masih berdiri didepan pintu itu yang menyuarakan hal yang sama seperti sang istri dengan nada dinginnya.

“Andreas...” panggil sang wanita itu terus berusaha mencari sesuatu yang tak ada. “Aku harap kau tidak merepotkan Andreas.” wanita itu menghentikan langkahnya lalu menatap Chellyn tajam dan penuh ancaman. “Sudah cukup Thomas. jangan lagi nyawa Andreas yang kau incar.”

Wanita itu berjalan mendekat lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Chellyn. “Aku harap kau tidak melakukan hal bodoh yang akhirnya membuat Andreas kerepotan atau bahkan terluka. Aku tak ingin mendapat alasan untuk membuatmu kembali menuju surga para iblis” Menjauhkan wajahnya, wanita itu memberikan senyum palsunya. “Jadi... jangan melakukan sesuatu yang sama seperti dulu untuk kedua kalinya.”

Setelah mengucapkan hal tidak berguna pada Chellyn, mereka berdua keluar dan dengan cepat Chellyn menutup pintu masuk kemudian menyandarkan punggungnya, berusaha menopang tubuhnya yang kini terlalu lemah untuk berdiri dengan kedua kakinya.

“Kakak...” gumam Chellyn sedikit bergetar. Air mata sudah siap untuk meluncur jatuh. “...Cepatlah kembali...” tubuhnya seakan hanyalah perpaduan dari kulit dan daging dan kepalanya begitu berat. Ingin rasanya ia memuntahkan semua hal yang tengah memberatkan kepalanya hingga membuatnya tak dapat berfikir seperti biasanya.

Ia tak kuat untuk menegakkan tubuhnya kembali hingga jatuh ka lantai. “...Aku tidak kuat dengan tekanan yang menyakitkan ini...” airmata membasahi pipinya tanpa henti.

Baru kali ini Chellyn kembali bertatap muka dengan orang tuanya, atau mungkin lebih tepatnya ’mantan’ orang tua tanpa sang kakak disisinya untuk menguatkannya.

Devian yang sedari tadi melihat ketidak adilan yang terjadi didepan matanya, ingin sekali berlari menuju Chellyn dan membelanya. Namun, orang tua Chellyn pasti akan berpikir sesuatu yang tidak tidak dan menjadikan itu bahan untuk lebih menyudutkan Chellyn. Jadi ia mengurungkan niatnya itu.

Devian berjalan menuruni tangga. Selangkah demi selangkah ia mendekati Chellyn yang terlihat begitu rapuh. Ia berlutut didepan sang gadis. Merengkuhnya, memberikan kehangatan dan kekuatan. Devian tahu ia tak mungkin dapat menggantikan Andreas, namun tak ada yang dapat ia pikirkan selain hal ini.

“Maaf,” ucap Devian sembari membelai rambut hitam Chellyn. Entah mengapa ia melakukan itu, ia sadar hanya dengan sebuah pelukan saja sudah cukup menenangkan. Namun semua itu bukan kehendak devian, tubuhnya bergerak diluar kehendak. “Aku tidak dapat membantumu.” dalam sesenggukan Chellyn menggeleng.

“Maaf,” ucap Chellyn disela sela tangisnya. “Karna kau harus melihat semua itu.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro