Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Loving Can Hurt (Special Chapter JM Birthday)

Bagian dari alternate universe yang diunggah di akun X an_ssky. Biar lebih nyambung, baca dulu AU-nya, ya!

***

Langkah lunglai Jaza memasuki halaman rumah minimalis miliknya, sangat kontras dengan pijak semangat yang ia entakkan saat meninggalkan bangunan itu pagi tadi. Tenaganya sudah terkuras habis, kepalanya enggan berpikir dan hanya ingin beristirahat dengan melelapkan diri dalam tidur untuk seminggu ke depan jika saja tidak ingat bahwa hari esok masih ada pameran yang harus digelar. Kini, ia menyesali mengapa harus mengaturnya untuk tiga hari padahal menangani hari pertama saja ia tidak ada becus-becusnya.

Pukul sebelas malam, bersama raga yang kelelahan seharian, Jaza merogoh sakunya tanpa energi saat tiba di depan pintu, guna mencari benda berbahan logam guna membantunya membuka lempengan kayu yang memisahkan Jaza dengan ruang di dalam sana. Meski saking malasnya berpikir, Jaza tidak mengindahkan kenyataan bahwa pintu itu tidak dalam keadaan terkunci. Mungkin ia lupa, pikirnya. Pun jika ada orang jahat di dalam sana, Jaza tidak peduli karena harinya sudah berjalan seburuk yang bisa terlintas di kepala.

Senyap dan gelap menyambut ketika raga yang nyaris tanpa daya itu berhasil melangkah masuk. Tengah malam bukanlah alasan hening mutlak itu hadir, tetapi memang karena hanya dia penghuni rumah ini. Dan kini ia menyesali keputusannya untuk menurut kepada kedua orang tuanya agar menempati rumah hasil gadai ini, sebab di situasi ini Jaza butuh setidaknya untuk ditanyai apakah ia ingin segelas air pereda dahaga. Kalau saja masih menetap di indekos, sudah pasti Ibra–kakak tingkatnya yang baik hati itu–akan menyodorkan segelas air dingin kepadanya.

Tapi, sudahlah. Tidak perlu diratapi. Toh, Jaza tidak berminat untuk menambah daftar keluhan di hari ini.

Sudah bulat tekadnya untuk segera merebahkan diri di atas kasur, tiba-tiba langkahnya berbelok ke kamar terhenti akibat pemandangan asing yang sekilas tertangkap sudut mata. Meski tertutup lemari kabinet yang cukup besar, Jaza yakin ada seberkas cahaya yang datang dari sana. Kakinya berangsur waspada, cukup menyesal kenapa tidak bersiap diri sejak menemui pintu rumahnya yang tidak terkunci tadi. Sebab kini rasanya terlambat, tidak ada alat yang bisa dia jadikan jaminan kalau-kalau harus bertarung dengan siapa pun insan yang ada di sana.

Posturnya segera membungkuk, mengubah arah kaki menuju tempat yang sejujurnya jarang ia sentuh karena Jaza lebih sering memasak di dapur rumah Isy. Semakin dekat, jantungnya berpacu kencang. Bukannya dia tidak yakin dengan kemampuan bela dirinya, tetapi di samping kekuatannya yang tidak sehebat Dipta, ia juga sedang berada dalam kondisi yang sangat lelah bahkan untuk sekadar mengangkat sebotol air mineral.

Namun, segala perasaan waswasnya terkonfersi menjadi segenggam kebingungan kala apa yang dia dapati setelah melangkah sepelan mungkin bukan seperti yang dia bayangkan. Alih-alih menemui pria berbadan besar dengan penutup wajah khas penyelundup rumah, netra Jaza justru dipenuhi oleh pemandangan meja makan yang berisi beberapa piring makanan dengan lilin di tengah meja yang apinya nyaris padam.

Seolah belum cukup membuatnya terkejut, Jaza harus mendapati seseorang yang terduduk membelakanginya di salah satu kursi dengan kepala tertunduk. Punggung itu sama sekali tidak asing baginya, terlebih rambut sepunggung yang dari jarak dua meter seperti sekarang saja sudah mampu Jaza bayangkan wanginya. Bahkan Jaza sendiri tidak bisa mendeskripsikan betapa campur aduk rasa di dalam sana, merematnya hingga susah untuk mengembuskan napas barang sekali.

Ada rasa senang yang menyerbu, tetapi kecewanya ujar tak mau untuk tinggalkan kalbu. Perasaannya campur aduk, hingga gemetar dia rasa di kakinya.

Dibanding percaya pada penglihatannya, Jaza memilih untuk mengekalkan asumsi bahwa pandangannya sedang tidak bekerja dengan baik. Atau mungkin ini hanya ilusi, yang akan segera menghilang ketika ia berkedip, sebagaimana euforia pagi tadi sebab disemangati sang kekasih lalu dileburkan hatinya dengan perlakuan yang kontras dengan ungkapan cinta.

Kakinya melangkah ragu, mendekat ke arah gadis itu hingga kemudian berdiri di sebelahnya, mengamati mata yang terpejam dengan rambut yang jatuh mengamini gravitasi. Di depannya terdapat laptop yang masih terbuka dengan layar gelap, mungkin akibat didiamkan terlalu lama. Lalu di bawahnya, ada lembaran kertas yang sudah dijilid, yang tidak terlalu bisa Jaza baca sebab remang cahaya mengungkung mereka.

Badan lelaki itu menunduk agar sejajar dengan kepala si gadis. Namun, baru ia hendak mengangkat tangan agar mendapat kepastian apakah yang di depannya itu betulan orang yang dia pikirkan, sebuah pergerakan menghentikan niatnya.

Mata mereka bertemu, setelah dua hari tak bersinggungan sama sekali. Atau mungkin tiga? Jaza tidak mengingatnya dengan betul karena siksa yang ia rasa seperti tidak bersua untuk berabad lamanya. Jantung lelaki itu seolah berhenti berdetak, kelopaknya lupa cara berkedip, dan pita suaranya kehilangan daya untuk berkata. Tak seperti sang gadis yang secepat kilat mampu menangani terkejutnya lalu berkedip-kedip singkat guna menghilangkan kantuk yang sepertinya sejak tadi merajai.

"Ehm ... Za. Udah pulang?"

Suara serak itu ... Jaza seperti tidak pernah merindukan gadis itu sehebat ini. Hingga yang ia mampu hanya mengangguk tanpa suara.

"Maaf, aku ketiduran," kata si gadis lagi sembari membetulkan posisi duduknya.

Namun, alih-alih menanggapi kalimat itu, Jaza justru membuka topik lain. "Kamu ... ehm ...." Ia berdeham guna menghilangkan rasa lengket di tenggorokan. "Kamu kenapa di sini?"

Entah ide siapa untuk saling berkata tanpa menyahuti lawan bicaranya, kini Isy juga justru mengatakan hal lain yang tidak menjawab tanya Jaza. "Gimana kalau makan dulu? Udah dingin, sih ...."

"Nggak apa-apa." Jaza menyerobot kala Isy bangkit dan seperti cepat-cepat ingin merangkum semua piring di atas meja, mungkin ingin menghangatkan makanan yang katanya sudah dingin itu. "Ayo makan," lanjutnya lagi meski belum bisa membaca situasi.

Sedangkan Isy hanya mengangguk, lalu mengklik mouse. Jaza tidak tahu apa tujuannya, mungkin untuk memastikan apakah benda elektronik itu sudah ter-shut down otomatis ataukah belum. Namun, kala layar menyala, keterkejutan melingkupi diri Jaza. Sebab kini, apa yang terlihat di hadapannya adalah potret dirinya sendiri dengan hiasan dekoratif entah siapa yang membuatnya. Ia masih tercengang dengan apa yang ada di hadapan, ketika suara dari samping menariknya kembali ke realitas.

"Astaga." Suara Isy mampu membuat Jaza menoleh. "Za!"

Nada suara Isy terdengar panik dan Jaza semakin bingung dibuatnya. "Ya?" jawabnya ragu.

"It's soon to be over." Setelah berkata demikian, yang tidak Jaza tahu apa maksudnya, Isy bergegas berdiri dan meraih sesuatu di tengah meja yang tidak Jaza mengerti apa gerangan bendanya.

Tangan gadis itu terburu-buru dan ... oh? Kenapa kini ada kue tart sederhana di depan mata Jaza dengan dua lilin kecil yang menyala di atasnya?

"Make a wish."

"Hah?"

"Ayo. It will pass in three minutes." Isy mendesak, dengan mata yang bergantian menatap kue, Jaza, lalu layar laptop.

Jaza mengikuti tatapan gadis itu, dan sesuatu yang membuat hatinya tak karuan tertangkap oleh mata. Meski kecil, sangat kecil.

Jaza's day will pass in 3 minutes. Begitu reminder yang bisa Jaza baca, di bawah widget jam dan tanggal pada laptop Isy.

Sebentar. 13 Agustus ... hari ini?

"Za, cepet."

Dengan otak yang belum sepenuhnya berfungsi, Jaza memilih untuk menuruti mau Isy dengan memejamkan mata sebelum meniup lilin yang tertanam di atas kue berwana cokelat di depannya.

"Happy birthday, Za. Maaf setelat ini." Selirih angin, tetapi Jaza masih bisa mendengarnya.

Matanya memanas, entah karena haru atau apa, ia tidak mengerti. Setelah hari ini, dia tidak bisa mengendalikan diri untuk bereaksi. Pun kini ia hanya mengangguk saat Isy tersenyum teduh kepadanya.

"Sekarang makan dulu. Tadi kata Ellio kamu nggak makan dengan benar."

Lagi, Jaza hanya mengangguk. Tidak menghiraukan nama Ellio yang tersebut oleh lisan Isy, atau apa pun itu. Dia hanya beranjak ke meja seberang Isy, duduk, lalu membiarkan gadis itu menghidangkan sepiring pasta yang telah dingin ke hadapannya setelah menyingkirkan laptop dan tumpukan kertas di hadapan.

Jika biasanya Jaza akan banyak bicara saat mereka bersama, kini lelaki itu hanya diam dan peran berkicau itu tidak diambil oleh siapa pun. Mereka berdiam, seolah khidmat dengan makanan masing-masing meski sebenarnya banyak yang berkecamuk di kepala. Ya ... setidaknya kepala Jaza.

Mungkin mereka bisa mendengar semua suara makhluk malam jika keheningan ini konsisten diteruskan. Akan tetapi, untungnya ada suara yang memecah hening, yakni dari Isy. Dari gadis yang selama ini lebih pasif jika soal berbicara.

"Za ...."

Mata Jaza yang semula tertuju pada sepiring pasta seolah tidak ada yang lebih menarik lagi, kini beralih menuju Isy. "Ya?"

Lalu, di depan matanya tersodor beberapa lembar kertas yang sudah disatukan dengan stapler. Jaza tidak langsung menerimanya, hingga Isy lebih mendekatkannya ke arah sang lelaki. Pada kebingungan yang entah diciptakan oleh berapa alasan, Jaza menyerah pada diamnya dan memilih mengulurkan tangan untuk mengambil kertas itu.

Meski remang, ruangan ini masih cukup aman untuk membaca, semua tulisan terlihat jelas di sana. Akan tetapi, kepala Jaza justru bertambah pusing atas bait-bait kata yang tersaji. Makin membalik ke halaman berikutnya, semakin pula adrenalin terpacu kuat dalam dirinya.

Providing, agreement, PixelPerfect, one unit, holographic ... projector? Di detik itu Jaza mengarahkan pandangannya pada Isy secepat yang ia bisa, untuk mendapati sang gadis yang tersenyum tipis dan memintanya untuk lanjut membaca melalui isyarat gerak kepala. Ini ... ten units Virtual Reality? Jaza semakin terbelalak saat ada tanda tangannya yang terbubuh di halaman akhir, serta tanda tangan lain dengan tag identitas CEO of PixelPerfect di atasnya.

"Isy ...." Jaza tidak mampu berkata, hanya bisa tergugu dalam diamnya.

"Bisa kan, buat hari pertama sama kedua? Nanti aku bantu persiapannya."

Jaza tidak pernah mengangguk sekeras ini seumur hidupnya, bersamaan dengan air mata yang meluruh entah atas izin siapa. Ia masih belum mampu berkata, hanya kepalanya yang bergerak riuh agar tak semakin banyak bulir bening yang tumpah ruah dari matanya. Sampai ia tidak sadar bahwa Isy sudah mendekat dan merengkuhnya erat dari samping.

"I'm sorry you experienced those hardships. I'm sorry that I wasn't there. I'm sorry." Isy bergumam tanpa henti, sering dengan rengkuhannya yang mengerat pada tubuh Jaza.

Lama bertahan pada posisi itu, Jaza akhirnya bergerak lebih dulu saat merasa sedikit tenang. Ia mengurai rengkuhan Isy karena takut tubuh gadis itu akan kebas jika bertahan di posisi ini lebih lama lagi. Dan kala wajah keduanya berjarak, Jaza bisa melihat bekas anak sungai yang juga tercipta di pipi Isy. Segera ia angkat tangannya guna mengusap jejak basah itu.

"Duduk sini, nanti kamu pegel," katanya sembari menarik kursi di sebelahnya agar Isy bisa duduk dan langsung dituruti oleh sang gadis. Jaza terkekeh saat mendapati Isy menyusut air matanya. "Kenapa kamu jadi nangis?"

Isy menggeleng, menatap Jaza dengan sayu dan binar kesedihan yang jelas kentara. "Maaf."

"Maaf kenapa?" Ada banyak yang Jaza katakan kepada Isy, tetapi lebih banyak lagi yang ingin ia dengar darinya, sehingga lelaki itu memilih untuk bertanya alih-alih mengutarakan isi hatinya.

"For not loving you correctly."

Jaza menyimak, membiarkan Isy berbicara lebih banyak.

"Aku sadar, aku gak bisa vokal soal perasaanku dan itu buat aku kesal. Orang-orang bilang, kamu kayak sayang aku sendirian. Aku pikir, pendapat itu nggak penting karena yang penting kita nggak kayak gitu. Tapi setelah dipikir lagi, rasaku mungkin sama kayak punyamu, tapi lakuku berbeda. Tingkahku nggak mencerminkan kasih, dan mungkin kamu juga merasa. Mungkin kamu juga berpikir kalau aku nggak cinta." Isy menarik napasnya yang terlihat memburu, sehingga yang dilakukan Jaza adalah menggenggam tangan dinginnya erat-erat guna menenangkan.

"Maaf, Za. Maaf harus sama aku yang payah soal ungkapkan cinta. Maaf karena kamu nggak dapatkan cinta yang setara dari aku. Tapi sumpah, aku pengen bisa sevokal kamu. Aku ... aku ...."

"Hey, udah. Udah." Jaza tidak bisa menahan diri lagi ketika melihat tetes-tetes air mata Isy semakin tidak terbendung. "Nggak apa-apa. Kalau kamu mau ungkap cinta sevokal aku, nanti aku ajari. Jangan minta maaf karena menjadi diri kamu sendiri. Nanti ... nanti kita belajar lagi buat saling mengerti, biar nggak ada perasaan seperti ini. Oke?"

Di pelukannya, Jaza bisa merasakan anggukan Isy. Senyumnya terulas. Gadisnya ini lucu sekali.

"Thank you for showering me with love."

Aduh, Jaza gemas sekali. Semua kesal, lelah, dan kecewanya seolah sirna karena Isy. Ia tidak bisa menahan diri dari menggigit bibir bawahnya, sebelum memangkukan dagu di kepala Isy.

"Sama-sama. Makasih juga sudah mau menerima ekspresi cinta Jaza yang banyak lebaynya. Makasih for shouting things out, Isy. Dan ... makasih buat MoU-nya yang nggak aku ngerti sama sekali bisa kamu dapetin. Eh! Kamu nggak janjiin CEO-nya dibuatin bekel tiap hari, kan?"

Kalimat terakhir Jaza yang sedikit meninggi membuat Isy di rengkuhannya tertawa, hingga jalinan rengkuh itu kembali terurai.

"Ya enggak, lah? Aku kan hebat kalau soal negosiasi," ujar Isy menyombongkan diri.

"Wah! Ini Reyga pasti emosi berat kalau denger kamu bilang gini, soalnya dia gagal nego."

Lalu gelak tawa pertama keduanya setelah beberapa hari ke belakang tercipta. Kebahagiaan seolah memenuhi setiap sendi.

"Tapi serius, kok kamu bisa dapat ini dan terlebih lagi kok tahu kalau aku gagal dealing? Oh! Kamu chatting sama Ellio?" Tatapan tak suka dilontarkan Jaza. Soalnya Ellio itu kalau berbicara tidak ada filternya, segala bahasa kasar dia ucapkan dan Jaza tidak mau Isy mendengar atau sekadar membacanya.

Jaza sudah hampir memulai sesi ngambek ketika melihat Isy tersenyum bak memiliki kesalahan. Namun, hal tersebut diurungkan ketika mendengar jawaban yang terlontar.

"Sebenarnya tadi aku udah ke galeri. Aku juga lihat kamu speech. Thank you for mentioning my name."

Tentu, mata Jaza melotot seolah hendak keluar dari persemayamannya. "Kok aku nggak liha? Eh ... nggak! Kok nggak nyamperin aku?"

"Sengaja. Tadi niatnya aku sama anak-anak cewek mau bikin kejutan buat kamu, sama Ellio juga soalnya dia maksa minta dikasih tahu Cisca. Tapi nggak jadi, soalnya pas lagi nunggu kamu dari kamar mandi, malah denger kabar buruk itu."

"Aku aja nggak ingat kalau hari ini ulang tahun ...."

"Iyalah, yang kamu ingat cuma ulang tahunku."

Tidak salah, sih.

"Eh, tapi, tadi kenapa kamu langsung pergi? Nggak nemuin aku?" cecar Jaza tidak percaya saat menyadari situasi yang tidak kalah penting, karena siang tadi dia benar-benar membutuhkan Isy.

Kali ini, perkataan lelaki itu sampai membuat Isy melontarkan tatapan kesal.

"Ya aku panik? Kamu setiap saat selalu bangga-banggain hologram itu. Jadi aku muter otak biar nggak gagal, terlebih ini film dokumenter pertama kamu," sewot sang gadis.

"Terus kok bisa? Dan ini sama VR juga? Kok mereka mau ngasih?"

"Ya bisa lah. Aku kan jago!" Isy kembali dengan jumawanya yang membuat Jaza gemas, terlebih karena hal ini jarang ia temui di keseharian.

Jaza hanya bisa terkekeh geli. "Kenapa nggak dari kemarin aja, ya, aku minta tolong kamu."

"Enak aja. Tadi aja aku udah menanggalkan rasa malu dengan ngotot-ngotot biar deal. Nggak gampang juga tahu! Aku pakai jurus kasihan, bilang kamu baru keluar RSJ karena depresi mimpinya gagal."

Sang lelaki melongo tak percaya. "Jahat banget?"

"Yang penting berhasil!"

Lalu tawa kembali mengudara. Jaza bahagia sekali rasanya, sampai ia tidak mampu mengalihkan tatapnya dari wajah Isy. Ah, bodohnya ia sudah sempat meragukan kasih Isy untuknya.

"Apa, sih, kok lihatinnya gitu banget?"

Jaza menggeleng, masih dengan senyumnya. "Terus ini kenapa kamu bisa di sini dengan semua makanan ini? Kamu masak sendiri juga? Kok bisa di dalem rumahku juga?"

"Ish. Bisa satu-satu nggak, sih?" Mungkin Isy sudah muak karena lelaki ini tidak berhenti bertanya sejak tadi. Sedangkan Jaza hanya membalas dengan cengiran. "Iya ... eh, sebenernya lebih ke Bulek Ratih, sih, yang masak. Tadi habis ke pameran kamu dan nyelesain kerjaan di klinik, Bulek ke sini buat mulai masak dulu. Tapi aku baru nyampe rumah kamu jam delapanan, udah selesai semua. Terus pas kamu ditelfon sama Bulek tadi, katanya bakal pulang tengah malem dan Bulek nggak bisa di sini sampai semalem itu, Kayla nggak ada yang jagain. Jadi ... ya gitu."

Rasa gemas tidak bisa Jaza sembunyikan sebenarnya, tetapi ada hal lain yang lebih dia perhatikan.

"Eh, kuenya aku bikin sendiri semalem, sih. Terus aku kulkasin dan bawa ke sini."

Gadis ini ... pakaiannya ... apakah tidak lengket setelah seharian dibawa ke sana kemari?

"Kamu sampai nggak sempat ganti baju, ya?"

Jaza dapat melihat Isy yang menyusuti lengatnya sendiri setelah tanyanya terlontar. "Iya. Kenapa? Bau, ya?"

Namun, Jaza menggeleng. Tidak, bukan itu. "Emang nyaman? Nggak lengket?"

"Enggak, sih. Bau beneran, ya? Aku ganti baju dulu, deh. Eh, tapi nggak bawa ...."

Kerusuhan gerak Isy ditahan oleh Jaza, membuat gadis yang sudah hendak berdiri itu kembali terduduk lagi. Dengan tatapan teduhnya yang mungkin sedikit berkaca, Jaza justru lontarkan tanya dan mengabaikan kekhawatiran Isy soal bau dan sejenisnya. "Kenapa susah-susah ngelakuin ini semua?"

Isy mengernyit. "Apa?"

"Ini," ujar Jaza dengan mata yang berkeliling, ingin menunjukkan bahwa banyak yang sudah dilakukan oleh Isy untuk Jaza di hari ini. "Kenapa?"

Mungkin Isy mengerti arahnya, karena sekarang Jaza bisa merasakan tangan gadis itu menurunkan telapak Jaza yang bertengger di lengannya untuk kemudian digenggam erat.

"Karena kamu juga berhak dihujani oleh cinta, bahkan dari orang yang nggak tahu caranya mencinta seperti aku. Kamu nggak cuma dilahirkan untuk membuat siapa pun merasa berharga, tetapi juga untuk dihargai sebagaimana berharganya setiap bagian dari kamu. Aku mungkin masih berusaha, masih banyak kurangnya. Tapi akan aku coba buat enyahkan semua rasa, dari siapa pun itu, bahwa kamu tidak dicintai sama besarnya oleh aku. You were born to be loved, Jaza."

"Aku nggak akan bantah ucapan Antoine di serial kesukaan kita, kalau emang ... to become spring, means accepting the risk of winter. Tapi aku akan berusaha, semampuku, sekuasaku, agar musim dingin milik kamu nggak akan semenusuk itu. Aku janji, aku mau. Jadi, tolong bantu aku yang banyak kurangnya ini buat belajar cintai kamu sebanyak kamu cintai aku, ya, Za?"

Oleh siapa pun di dunia, insan seperti Jaza yang tidak pernah habis cintanya untuk manusia, Tuhan, dan semestanya tentu layak dicinta. Sekarang biar Isy yang giliran memastikan bahwa bulir air mata milik Jaza seperti yang lagi-lagi turun di dini hari ini mengisi dekapan raga keduanya ... selalu bermakna bahagia, bukan duka.

"Terima kasih sudah hidup hingga selama ini, Za. Aku lebih dari sekadar berkenan untuk lihat kamu bersinar di sisa usia yang kupunya."

Selamat ulang tahun, Niscala Jaza Ariga.

***

Hehehe panjang sekali, ya! Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Sepotong kisah ini aku buat sebagai bentuk perayaan hari lahir manusia yang paling berhak untuk dihujani cinta, Jaemin Na. Aku akan sangat senang jika kamu juga cintai dia sebesar kamu cintai Jaza, atau lebih besar juga akan sangat bagus :DD

Sampai jumpa di hari lain Jaza ^^. Jangan remove cerita ini dari library, ya, karena aku pastikan di masa depan akan ada kisah lain yang aku sajikan ke kalian.

The Prettiest Day, August 13, 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro